Sarana Wisata di Pantai dan Pulau yang Menyatu dengan Alam

Wisata76 Dilihat

Jika melihat pemandangan di pantai-pantai di Indonesia nyaris tak ada bangungan yang menyatu dengan alam sekitar. Bangunan permanen menjulang tinggi dalam bentuk persegi yang masif.

Itu artinya bangunan-bangunan hotel tsb. sama sekali tidak mempunyai ciri khas bahkan berlawanan dengan kondisi alam sekitarnya. Bangunan hotel di bibir pantai bagaikan benteng penahan gelombang yang tidak bermakna terhadap lingkungan.

Padahal, sebagai bagian dari wisata bangunan yang serasi dengan alam menjadi pilihan utama wisatawan mancanegara (Wisman). Objek wisata yang ramah lingkungan merupakan bagian dari “Pesona Indonesia” yang merupakan kekayaan Nusantara.

  1. Rumah Baduy

Nah, di Carita, Banten, di awal tahun 1980-an ada hotel yang dikembangkan oleh orang Jerman, Dr Axel Ridder. Dia ini ahli sejarah timur. Dia mendapatkan tempat yang sangat strategis di Pantai Anyer  yaitu di relung bagaikan teluk yang menghadap persis ke gugusan Gunung Krakatau.

Dr Axel membangun hotel, dulu namanya Carita Beach Krakatau Hotel, dengan memanfaatkan alam sekitar yaitu memakai kayu dan atap daun nipah. Kamar-kamar hotel memakai papan, tempat tidur pun hanya dipan. Bangunan berkolong dan mempunyai teras. Menurut Dr Axel rumah itu prototype Rumah Baduy. Suku Baduy adalah salah satu suku asli di Indonesia, hidup di kawasan Baduy di Kabupaten Lebak, Banten, yang masih mempertahankan kehidupan mereka yang menyatu dengan alam.

Tapi, kamar mandi modern, “Ya, kamar mandi merupakan kebutuhan utama wisatawan asing,” kata Dr Axel waktu itu. Maka, tidak mengherankan kalau kamar mandi berlantai dan dinding marmer ada pula pemanas air dan shower.

Rumah-rumah Baduy itu jadi kamar bagi tamu. Rumah-ruma dibangun di antara pepohonan sehingga tidak merusak lingkungan. Tiang rumah pun dari kayu sehingga tidak merusak pantai berpasir.

Begitu turun dari rumah melalui tangga kayu langsung menginjak pasir pantai. Jarak rumah ke pantai pasang surut sekitar 25 meter. Pantai yang landai dengan deburan ombak menjadi hiburan tersendiri bagi Wisman di malam hari.

Rumah adat Baduy, Banten (Foto: archive.netralnews.com/Istimewa)

Bentuk rumah dan suasana menjadi daya tarik bagi wisatawan mancanegara (Wisman). “Tamu kita 100 persen orang bule, Pak,” kata seorang karyawan. Tidak ada hingar-bingar musik. Ada pojok yang menyediakan buku bacaan dan novel berbahasa Inggris. Buku dan novel disewakan.

Suatu hari Dr Axel menelepon penulis. “Tolong dibantu supaya jaringan telepon masuk ke hotel kita,” ujar Dr Axel dari kantornya di sekitar Bundaran HI. Telepon amat perlu karena mereka hanya bisa berkomunikasi dari Jakarta ke hotel melalui alat komunikasi SSB. “Repot sekali, apalagi cuaca buruk,” kata Dr Axel mengeluh.

Tidak jarang staf pemasaran hotel terpaksa langsung ke hotel dengan mengendarai mobil jika ada booking-an atau permintaan khusus tentang kamar, makanan, dll.

Ketika itu sarana transportasi juga sangat sedikit. Jalan aspal dari Cilegon baru sampai Anyer, selebihnya kondisi jalan sangat jelek sehingga pengunjung ke Pantai Carita memilih jalur Serang-Pandeglang-Labuan-Carita.

Berita tentang keluhan Dr Axel terkait jaringan telepon menjadi laporan utama di sebuah harian sore. “Terima kasih, Pak, di hotel sudah ada telepon,” kata Dr Axel beberapa minggu setelah berita diterbitkan.

2. Wisnus vs Wisman

Belakangan Dr Axel menjual hotelnya karena alasan kesehatan yang membuat dia pulang kampung ke negaranya. Sayang, pembeli hotel itu sama sekali tidak memahami konsep alamiah yang dikembangkan Dr Axel. Di bekas hotel itu dibangun flat yang bentuknya seperti tembok raksasa.

Suasana yang alami pun ada di Pulau Putri, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta. Penginapan bukan berupa bangunan masif seperti kotak, tapi dibuat rumah kopel di sela-sela pohon kelapa.

Bangunan pun jauh dari bibir pantai sehingga ombak tidak terhalang memecah diri di pantai berpasir. Bangunan untuk penginapan tamu, kantor dan restoran nyaris tidak bisa dilihat dari dermaga karena terhalang pepohonan.

Jalanan juga hanya berupa jalan setapak yang tidak lebih dari satu meter lebarnya. Jalan setapak ini tidak memakan tempat sehingga tidak mengganggu keseimbangan lahan.

Begitu juga dengan Pulau Bidadari yang sama sekali tidak merusak lahan untuk membangun penginapan (cottage) karena bangunan didirikan di atas air laut dengan tiang-tiang kayu yang tidak merusak laut. Jalan penghubungan antar cottage juga terbuat dari kayu sehingga menyatu dengan alam.

Ketika tiga contoh resort itu dibangun istilah-istilah eco-friendly atau yang biasa disebut dengan istilah eco-hotel atau eco-resort belum dikenal secara luas. Tapi, konsep yang dijalankan oleh Dr Axel dan Pulau Putri merupakan bentuk dari eco-resort.

Sayang, pemerintah dari awal tidak membuat aturan baku tentang sarana dan prasarana wisata di pantai dan pulau sehingga banyak pengelola yang membangun arena wisata dengan merusak alam.

Bagi Wisman eco-resort menjadi pilihan utama. Pasangan wisatawan nusantara (Wisnu) belum melirik eco-resort sebagai tujuan wisata. Jika Wisnu juga menjadikan eco-resort sebagai syarat untuk berlibur, maka pengelola wisata pantai dan pulau pun akan menjalankan  eco-resort dalam membangun sarana dan prasarana wisata.

Tentu saja untuk menggerakan Wisnu agar memilih eco-resort memerlukan waktu. Tapi, dengan penyuluhan yang berkesinambungan diharapkan Wisnu juga hanya akan memilih eco-resort sebagai tujuan wisata (Kompasiana, 21 Oktober 2015). *

Tinggalkan Balasan