Seri Santet #7 – “Ilmu” Akan Mencari Tuannya Sendiri

Sosbud215 Dilihat

Ketika putra saya akil baligh mulai muncul tabiat buruk pada dirinya. Sering bolos sekolah, tidak mau salat, melawan kepada saya, berbohong, dll.

Semula saya pikir hal itu terkait dengan masa remaja. Tapi, ada yang selalu mengganggu pikiran saya. Jika dia marah tangannya bagaikan tangan harimau yang akan mencakar.

Suaranya mengaum persis seperti auman harimau. Hal ini juga sering terjadi pada ibunya kalau dia sedang marah sambil memanggil-manggil nama ayahnya. Si Ibu tadi tidak mau membicarakan masalah yang dihadapi putra saya. Saya mencari jawabannya ke sana ke mari.

Ibunya tidak mau membicarakan masalah ini. Saya mencari jawabannya ke sana ke mari. Seorang teman, paranormal, mengatakan bahwa anak saya ‘dititipi’ ilmu macan putih. Ilmu ini dimaksudkan sebagai ‘benteng’ untuk menjaga diri. Tapi, karena ilmu diberikan kepada putra saya ketika dia masih duduk di SD maka ilmu itu mengendalikan dirinya.

Belakangan anak saya menceritakan pengalamannya ketika dimandikan tengah malam di Kota “S”, sebuah kota di Jawa Barat. Ketika itu namanya juga mereka ganti. “Ilmu ini nanti akan mencari tuannya sendiri kalau “X” (nama panggilan putra saya-pen.) sudah dewasa,” kata putra saya menirukan ucapan pamannya.

Seorang teman, paranormal, mengatakan bahwa anak saya ‘dititipi’ ilmu macan putih. Ilmu ini dimaksudkan sebagai ‘benteng’ untuk menjaga diri.

Tapi, karena ilmu diberikan kepada putra saya ketika dia masih duduk di SD, maka justru ilmu itu yang mengendalikan dirinya.

Setelah saya bujuk, akhirnya putra saya mau dibawa ke Banten. Dia menceritakan pengalamannya ketika dimandikan tengah malam di Kota ”S”, Jawa Barat. Waktu itu dia kelas lima SD.

Selain dimandikan dengan air kembang di tengah malam, kakek, ibu dan pamannya juga mengganti nama putra saya. Soal penggantian nama itu saya sama sekali tidak diberitahu. Saya hanya mendengar selentingan dari putri saya yang juga hanya mendengar samar-samar dari dalam kamar tentang pembicaraan ibunya, kakek dan paman mereka di ruang tamu tentang penggantian nama abangnya itu.

“Ilmu ini nanti akan mencari tuannya sendiri kalau ”X” (nama panggilan putra saya-pen.) sudah dewasa,” kata putra saya menirukan ucapan pamannya.

Nah, nama putra saya diganti sebagai jalan untuk memasukkan ilmu ’macan putih’ tsb.

Memang, sejak putra saya akil baligh dan putri saya menstruasi mulai muncul sikap dan sifat buruk pada diri mereka. Karena terkait dengan sekolah saya pun ‘curhat’ kepada guru di sekolah anak saya.

Saya menemui guru kelas, guru agama, guru BP dan kepala sekolah.

Celakanya, beberapa guru yang saya temui menampik cerita saya tentang pengalaman saya terkait dengan perilaku kedua anak saya.

Guru BP di SMA swasta di Jakarta Timur, tempat putra saya bersekolah, sama sekali tidak mau mendengar cerita saya. Dia justru menceritakan kejahatan anak saya di sekolah itu, misalnya, sering bolos dan tidak mau sholat Jumat di mushola sekolah.

Kalau saja guru BP itu mau mendengar cerita saya tentulah persoalan yang dihadapi anak saya bisa menjadi pertimbangan untuk mendidiknya.

“Ah, saya belajar psikologi, Pak, itu hanya masalah pubertas,” kata guru putri saya di sebuah SD swasta di bilangan Pisangan Timur, Jakarta Timur, sambil membusungkan dada ketika saya ceritakan perubahan sikap dan perilaku putri saya setelah menstruasi.

Saya hanya bisa mengurut dada mendengarkan sanggahan Pak Guru itu. Putri saya menstruasi sejak duduk di kelas enam SD. Sebelum menstruasi dia tidak pernah bolos.

Tapi, setelah menstruasi dia justru sering tidak mau masuk ke sekolah. Saya antar sampai pagar sekolah. Dia berontak. Tenaganya tidak menggambarkan tenaga seorang anak perempuan. Saya terdorong. Tangan saya diplintir. Matanya terbelalak. Merah.

Akhirnya saya bawa dia pulang ke rumah, kemudian saya buat surat izin dan saya antar ke sekolahnya serta menemui kepala sekolah. Pak Guru itu bukan mengajak diskusi, tapi menampik cerita saya tentang pengalaman saya menghadapi putri saya.

Saya melihat air muka beberapa guru yang saya temui menunjukkan cibiran dan hinaan kepada saya. Saya hanya bisa mengira-ngira kalau mereka melihat saya sebagai orang bodoh karena percaya kepada mistik.

“Ya, ada, sih, riwayat tentang santet,” kata guru agama di sebuah SMP negeri di Jakarta Timur sambil meninggalkan saya di ruang guru ketika saya jelaskan tentang putri saya yang sering bolos.

Alhamdulillah. Beberapa guru mau mendengar cerita saya. Bahkan, seorang guru matematika putri saya di SMP menawarkan diri untuk memberikan les tambahan kepada putri saya. Tentu saja tawaran itu saya terima.

“Saya curiga kepada putri Bapak. Sorot matanya tidak seperti anak sebayanya,” kata Bu Guru yang baik hati ini.

Pagar SMP tempat putri saya belajar hanya berbatas gang dengan rumah saya. Ternyata dia sudah tiga bulan tidak masuk sekolah. Guru kelasnya memanggil saya dan mengabarkan bahwa anak saya bolos selama tiga bulan lebih.

Astaga. Ada apa?

Padahal, belasan langkah dari pintu rumah dia sudah sampai ke gerbang sekolah.

Saya tidak tahu mengapa hal itu terjadi. Dengan berbagai cara dan dukungan dari guru kelas dan salah satu guru BP anak saya bisa dibujuk untuk sekolah.

Guru kelas anak saya di kelas satu SMP sangat membantu saya. Hampir tiap hari saya bertemu dan ngobrol tentang putri saya. Bukan karena Bu Guru kelas itu orang Batak, tapi karena dia bisa menerima penjelasan saya.

Setelah saya dan putri saya sering berobat ke Banten, barulah ketahuan mengapa dia sering bolos. “Di gerbang sekolah SD dan SMP ada boneka putri Bapak ditanam,” kata Pak Ajie di Cilegon, Banten, yang mengobati saya. Boneka itu boneka gorila yang menabuh drum yang dibeli pada satu penerbangan.

Boneka itu ‘dijaga’ makhluk halus. Ketika putri saya keluar rumah dan melangkah menuju gerbang dia ketakutan dan langsung belok kiri karena ada wujud gorila di gerbang sekolah. Dia pun melanjutkan perjalanan ke sebuah mal di Jalan Pemuda, Jakarta Timur.

Menjelang magrib pas sekolah bubar dia sudah ada di rumah. Itulah yang dia lakukan selama tiga bulan membolos.

Mendengar cerita putri saya rasanya dada mau pecah. Yang saya lakukan adalah sujud syukur karena Dia telah melindungi putri saya dari bencana selama tiga bulan lebih. Soalnya, selama tiga bulan itu saya tidak pernah berpikir bahwa anak saya tidak sekolah. Wong, dinding rumah dan halaman sekolah itu Cuma dipisahkan gang kecil.

Selain itu kalau upacara hari Senin pun dia sering lemas nyaris pingsan. Begitu juga kalau olah raga. Setelah minta tolong kepada Pak Ajie akhirnya diketahui bahwa di dekat tiang bendera di halaman tempat upacara ada juga ’tanaman’ yang menjadi terminal untuk mengirim santet ke putri saya.

Untunglah guru olah raga mau mendengarkan permohonan saya agar anak saya diberikan izin ikut tidak upacara dan olahraga. Ketika upacara putri saya duduk di teras sekolah di belakang barisan. Pak Guru olah raga di SMP itu, Alhamdulillah, bisa memahami masalah yang dihadapi putri saya.

Semoga Tuhan memberikan ganjaran kepada guru-guru yang telah mendengarkan keluhan saya dengan hati yang tulus. Amin (Kompasiana, 30 Juli 2013). *

===

Komentar:

Arya Penangsang (31 Juli 2013) Tumben Pak Harahap menulis seperti ini. Hemat saya, boleh jadi ini masalah pubertas. tetapi kemungkinan kecurigaan Bapak ada benarnya, hanya saja ini tidak menjadi sebuah vonis yang justru sulit membebaskan putri Bapak. Sebab kepercayaan bahwa ini adalah sebuah ilmu atau santet justru akan menutup pada usaha lain. Semoga lekas bebas. Salam

Syaiful W. HARAHAP (14 November 2021) Arya Penangsang ….. terima kasih ….. baru baca ….. hal tsb merupakan pengalaman empiris dng kondisi yg bisa dibuktikan. Dng dasar jurnalistik tulisan adalah yg bisa dibuktikan ….. Ada nama2 dan alamt yg bisa ditinjau yg jadi bukti tulisan ini faktual sebagai realitas sosial di social settings …..

Adi Semar (31 Juli 2013) Saya merasakan hal yang sama Kang Arya, agak terjebak dalam nuansa fiktif di tulisan pak Harahap, tapi kalau benar (artinya nonfiksi) …. ya semoga segera ditemukan pembebasan

Syaiful W. HARAHAP (14 November 2021) @ Adi Semar ….. terima kasih …. baru baca ….. tulisan ini merupakan pengalaman empiris saya dng cataan ada nama dan tempat yg bisa dikunjungi sebagai bukti …. pijakan jurnalistik adalah menulis yg bisa dibuktikan, maka artikel ini merupakan fakta sebagai realitas sosial di social settings ….

Tinggalkan Balasan