Zona Hijau Sebagai Daerah Semu Pandemi Virus Corona

Mendagri Tito sebut ada daerah klaim zona hijau, tidak pernah lakukan tes Covid-19 daerah itu bisa disebut daerah semu pandemi pandemi virus corona

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, mengatakan ada daerah yang klaim daerahnya sebagai daerah dengan status zona hijau hanya karena tidak ada kasus positif virus corona (Coronavirus Disease 2019/Covid-19). Padahal, yang terjadi bukan tidak ada kasus positif virus corona, tapi karena di daerah tersebut tidak pernah pernah diadakan tes swab dengan metode PCR (polymerase chain reaction) untuk Covid-19.

Dengan kasus yang diungkapkan Mendagri Tito itu merupakan duplikasi dari kasus epidemi HIV/AIDS. Banyak daerah yang merasa aman karena kasus HIV/AIDS di daerahnya sedikit. Padahal itu terjadi karena ada warganya yang tes di kota lain, terutama di Jakarta dan kota besar lain di Pulau Jawa, dan di daerah tersebut surveilans tes HIV tidak dijalankan dengan konsisten.

Terkait dengan pandemi Covid-19 banyak warga yang tertular virus corona tapi tidak menunjukkan gejala. Dulu dikenal sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG), tapi Kemenkes mengganti terminologi ini dengan kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik).

  1. Virus Corona Ada Dalam Tubuh Sehingga Dibawa ke Mana pun Pergi

Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) menetapkan isolasi selama 14 hari karena masa inkubasi virus corona tidak semerta terjadi ketika seseorang tertular virus corona. Asimptomatik bisa terjadi sampai 14 hari, tapi pada rentang waktu 14 hari sejak tertular penularan sudah bisa terjadi melalui droplet yang keluar dari orang yang asimptomatik ketika berbicara, batuk atau bersin.

Ketika di satu daerah tidak dilakukan tes massal Covid-19 dengan tes swab metode PCR itu artinya kasus yang ada di masyarakat tidak terdeteksi sehingga terjadi penyebaran virus antar warga sebagai transmisi lokal.

Lagi pula epidemi dan pandemi tidak mengenal batas wilayah secara fisik dan nonfisik antar dusun, kampung, desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi dan negara. Soalnya, virus corona ada di dalam tubuh. Ke mana orang-orang yang tertular virus corona pergi virus itu pun ikut pula karena ada di dalam tubuh.

Baca juga: Covid-19 Tak Kenal Batas Wilayah, Daerah dan Negara

Ketika WHO menerima laporan tentang virus yang belum dikenal merebak di Wuhan, China, banyak kalangan dan pemimpin negara yang menganggap remeh karena menurut mereka yang akan jadi ‘neraka’ pandemi virus itu adalah China. Selanjutnya Korea Selatan karena Negeri Ginseng ini jadi tujuan utama pelancong asal China, khususnya dari Wuhan.

Laporan menunjukkan awal Januari 2020 jutaan warga Wuhan melancong ke puluhan negara di dunia. Kalangan ahli memperkirakan sebagian besar dari pelancong Wuhan itu tertular virus corona baru. Benar saja karena kasus pertama virus corona di luar China terdeteksi di Bangkok, Thailand, pada seorang perempuan, pelancong Wuhan, berumur 61 tahun.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian ‘neraka’ pandemi virus corona justru terjadi di luar China yaitu di Italia. Disusul Spanyol dan Rusia. Selanjutnya di Amerika Serikat, Brasil, India dan Afrika Selatan. Itu artinya virus corona menyebar ke segala penjuru dunia melalui kontak langsung (close contact) dari pembawa virus corona.

Matriks risiko tertular virus corona setelah tes swab PCR Covid-19 (Tagar/Syaiful W Harahap).

  1. Tes Swab PCR Covid-19 Bukan Vaksin

China dan Korea Selatan justru tidak pernah jadi episentrum pandemi virus corona. Bahkan, kasus virus corona di dua negara itu tidak sebanyak negara lain. Sampai tanggal 3 September 2020 China ada di peringkat ke-38 dunia, dan Korea Selatan di peringkat ke-73 dunia.

Banyak yang negara yang menerapkan penguncian (lockdown) untuk membatasi pergerakan warga. Sedangkan di Indonesia dijalankan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tapi, program ini tidak membawa hasil karena hanya dilakukan secara parsial di beberapa daerah. Padahal, ada warga yang keluar dari wilayah PSBB dan ada pula yang masuk ke wilayah PSBB.

Baca juga: Menyoal Penanganan Virus Corona Jakarta dan Jawa Barat

Maka, penyebutan daerah sebagai zona hijau, zona kuning (risiko rendah), zona oranye (risiko sedang) zona merah (risiko tinggi) dan zona hitam tidak tepat untuk pandemi virus corona karena pandemi tidak mengenal batas wilayah administratif daerah-daerah tersebut. Bahkan, biar pun daerah dengan zona-zona itu dibatasi dengan tembok tetap saja tidak jadi jaminan karena warga keluar dan ada pula warga dari daerah lain yang masuk.

Seperti yang diungkapkan Mendagri Tito ada daerah menyebut daerahnya sebagai zona hijau padahal bukan karena tidak ada kasus, tapi karena tidak pernah dijalankan tes swab Covid-19. Tentu saja ada warga daerah yang menyebut daerahnya zona hijau tertular di luar daerah atau warga tertular dari pendatang yang mengidap virus corona.

Bisa saja terjadi ada di antara mereka yang membawa virus corona dan warga yang keluar tertular di luar zona. Ketika warga yang tertular di luar zona kembali ke zona daerahnya warga tersebut jadi mata rantai penyebaran virus corona di daerahnya.

Yang perlu diingat adalah tes swab PCR Covid-19 bukan vaksin. Artinya, biar pun hasil tes negatif itu tidak jaminan selamanya akan bebas Covid-19 karena bisa saja tertular virus corona setelah tes swab dengan hasil negatif sekalipun (tagar.id, 4 September 2020). *