Setelah beberapa hari bertandang di Wellington, ada baiknya jalan-jalan sedikit ke luar kota walau masih termasuk wilayah Metropolitan Wellington. Kalau diibaratkan dengan Jabodetabek, Wellington memiliki 4 buah kota dalam wilayah Wellington region, yaitu Wellington sendiri, lalu Upper Hut, Lower Hut, dan Porirua. Nah karena itu siang ini saya berencana untuk mengunjungi salah satunya yang cukup menarik yaitu Porirua.
Nama Porirua sendiri berasal dari bahasa Maori Pari dan Rua yang berari dua pasang. Kata Rua mirip dengan salah satu bahasa daerah di Indonesia yaitu Bahasa Lampung yang berarti dua. Untuk menuju ke sana pun sangat mudah, tinggal naik kereta api Kapiti Line dari Wellington Station.
Stasiun Wellington letaknya tidak jauh dari hotel tempat saya menginap dan juga Old St. Paul Cathedral yang sudah kita kunjungi sebelumnya. Gedungnya sangat cantik dengan kolum atau 13 tiang besar gaya dorik di depannya. Di taman yang cantik di depan stasiun, ada sebuah monumen dengan patung Mahatma Ghandi. Sebagaimana biasa, Bapak Kemerdekaan India itu ditampikan dengan bertelanjang dada, berkacamata, dan sedang berdiri memegang tongkat dengan hanya selembar kain menyelimuti Sebagian tubuh dan tangannya.
Suasana di dalam stasiun lumayan ramai karena di sini bertemu beberapa jalur kereta api yang menghubungkan kota-kota di Wellington Region dan juga kereta jarak jauh yang menghubungkan kota-kota di North Island.
Setelah membeli tiket di vending machine, saya berjalan menuju peron mencari kereta jalur Kapiti Lines menuju Porirua. Saya sempat melihat seorang pengamen yang duduk di kursi lipat kecil dan memainkan alat music kecil seperti sebuah biola. Ini adalah pengamen pertama yang saya jumpai selama berkunjung ke Wellington.
Masih di sekitar kompleks stasiun ini ternyata terdapat kampus Victoria University of Wellington yang merupakan salah satu universitas paling terkenal di Selandia Baru. Nama Universitas yang dibuat dari kuningan terpampang indah di dinding warna merah bata di sepanjang koridor di kawasan stasiun. Ternyata universitas ini memiliki beberapa kampus salah satunya di kawasan stasiun yang Bernama Pipitea Campus dan menjadi lokasi Wellington School of Business & Government dan juga Fakultas Hukum.
Perjalanan ke Porirua dengan kereta hanya sekitar 20 menit menempuh jarak sekitar 17 kilometer dan melewati beberapa stasiun seperti, Takapu Road, Redwood, Tawa, Linden dan Kenepuru.
“Welcome to Porirua City,” sebuah gambar lukisan besar yang tertera di dinding stasiun menyambut kedatangan saya di kota ini. Di sebelahnya ada juga petunjuk arah ke City Center dengan uraian beberapa tempat menarik seperti Te Rauparaha Arena dan Pataka Museum.
Kesana lah saya melangkahkan kaki sambil melihat lukisan mural yang banyak menghiasi kawasan di sekitar museum. Keluar museum saya berjalan menyusuri sungai yang lumayan besar yang mengalir ke arah muara di Porirua Harbour. Sekitar 5 menit berjalan saya tiba di sebuah taman yang lumayan luas. Taman ini memiliki rumput yang hijau dan sekawanan burung dara tampak sedang bermain dengan riang.
Di salah satu sudut taman, ada sebuah monumen yang tidak terlalu besar berbentuk tugu yang terbuat dari granit. Di depannya ada tiga buah tiang bendera. Saya mendekat ke tugu ini dan kemudian membaca tulisan dengan tinta emas yang diukir: “This Memorial is dedected to Peace and all those who have fallen in the struggle to preserve it.”
Pada sisi lain ada beberapa baris kata Mutiara atau puisi yang lumayan menggetarkan hati ketika dibaca:
“They shall not grow old,
as we that are left grow old
Age shall not weary theme,
nor the years condemn
At the going down of the sun
and in the morning
We will remember them.”
Dengan santai, saya berjalan mengeliling taman dan kemudian menjumpai sebuah papan dengan latar biru abu-abu yang bertuliskan warna putih nama taman ini : Te Rauparaha Park.
Di taman ini saya juga melihat banyak patung-patung kayu yang dipahat dengan indah menggambarkan manusia dalam ukuran yang lumayan besar. Patung ini menggambarkan orang etnis Maori dengan wajah dan dada berhiaskan tato motif tradisional. Rambutnya digulung model konde dan kebanyakan patung tidak memiliki lengan. Uniknya patung-patung ini dipahat dengan sedikit ‘nakal’ karena alamat kelaminnya juga dipahat dalam keadaan ereksi.
Di kejauhan saya melihat gedung Te Rauparaha Arena yang merupakan kompleks olah raga dengan fasilitas cukup lengkap seperti gym, dan kolam renang. Rasa penasaran membawa saya terus berjalan mengelilingi taman dan akhirnya tiba di Pataka Art Museum. Ah barangkali di museum ini akan banyak pertanyaan saya terjawab tentang sekilas sejarah kota Porirua dan juga siapakah Te Rauparaha atau makna patung-patung kayu di taman tadi.
Pataka Art Museum merupakan sebuah museum tempat dipamerkan bendar seni dan budaya baik kontemporer, Maori dan juga etnis-etnis di kawasan Pasifik. Selain pameran tetap ada juga pameran sementara di museum ini yang kebetulan memamerkan uang dari berbagai negara. Salah satu yang menarik adalah kopi uang dalam ukuran raksasa dari Zimbabwe dengan denominasi yang juga luar biasa karena banyak sekali angka nol nya.
Di dalam kompleks museum ini juga ada sebuah perpustakaan dan saya sempatkan mampir sejenak. Di sini lah saya bisa mengetahui lebih banyak mengenai sosok yang Bernama Te Rauparaha yang merupakan salah seorang kepala (rangtira) suku etnis Maori, yaitu suku Ngati Toa. Beliau juga merupakan salah satu tokoh yang ikut menandatangani Perjanjian Waitangi pada 1840. Namun makin banyaknya pendatang dari Inggris membuat Te Rauparaha tidak mau lagi menjual tanah milik mereka dan mengakibatkan terjadinya kerusuhan atau pembantaian di Wairau pada Juni 1843. Salah satu sejarah kelam dan konflik berdarah antar etnis Maori dan pakeha atau orang kulit putih.
Namun hingga saat ini saya masih bertanya mengapa patung kayu di Ta Rauparaha Park digambarkan dengan kondisi yang cukup vulgar. Mungkin untuk menggambarkan keperkasaan pemiliknya?