Dari Menara Emas ke Masjid Biru
Kawasan Sultan Ahmet, persis di depan Aya Sofia, berdiri dengan anggunnya salah satu landmark Kota Istanbul. Terkenal dengan nama The Blue Mosque, namun nama aslinya adalah Masjid Sultan Ahmet atau Sultan Ahmet Camii.
Dari kejauhan, tampak kemegahan masjid yang memiliki enam buah menara dan kubah yang bertingkat-tingkat ini. Ini adalah masjid yang dibangun untuk menyaingi keindahan Aya Sofia. Saya kembali terpaku di Sultan Ahmet Maydan atau lapangan Sultan Ahmet yang menjadi lapangan penghubung kedua bangunan mahakarya yang terdapat di jantung Kota Lama Istanbul ini.
Susunan kubahnya tampak bagaikan alunan ombak di Laut Marmara. Pantulan sinar lembayung senja menambah mistis suasana. Kubah yang bersusun-susun ini memang menjadi rancangan khas masjid dan bangunan model Turki Utsmani. Tiba-tiba saja alunan azan yang merdu membahana melalui keenam menaranya yang langsing dan cantik. Kerumunan orang mendekati masjid mulai kian banyak. Sementara tidak kalah banyaknya juga orang yang mengabaikan panggilan Allah ini.
Saya berjalan kian mendekat. Tepat di halaman masjid terpampang pada papan elektronik nama resmi masjid ini. Jelas namanya adalah Sultan Ahmet Camii. Memasuki kompleks masjid melalui pintu utama di sebelah barat yang juga merupakan pintu utama. Tentu saja karena kiblatnya berada di sebelah timur. Pintu ini dihiasi dengan indahnya. Setelah menaiki tangga, saya sampai di halaman masjid di mana di tengah-tengahnya terdapat sebuah bangunan bulat tempat untuk mengambil air wudu. Masjid-masjid di Turki dan juga di Timur Tengah, pada umumnya memiliki rancangan yang sedikit berbeda dengan masjid di Indonesia sehingga tempat berwudu pada umumnya terpisah dengan bangunan utama ruang salat.
Masjid Biru dengan 20 ribu Porselin
Memasuki ruang salat, saya terkesima dengan keindahan interior masjid ini. Pertama-tama saya terpaku oleh bagian dalam kubahnya dan langit-langitnya yang megah dan indah. Warna kebiru-biruan yang saling berpantulan inilah yang menjadikan Masjid Sultan Ahmet ini disebut Masjid Biru. Warna biru itu didapat dari 20 ribu keramik yang menutupi interior masjid ini. Konon keramik istimewa ini khusus didatangkan dari Iznik dan merupakan contoh klasik rancangan dari abad ke 16.
Porselen berwarna biru ini memiliki beberapa pola, kebanyakan memiliki pola flora, seperti bunga, dan pohon. Di beberapa bagian, keramik berwarna biru ini juga menjadi lebih indah karena memiliki pola hiasan abstrak. Masjid ini juga dilengkapi oleh 260 jendela kaca patri yang indah. Konon kaca yang asli sudah hilang dan sekarang yang dipasang hanyalah kaca tiruannya saja. Tiruannya saja sudah demikian indah, apalagi aslinya.
Masjid biru ini juga menjadi salah satu tujuan utama wisatawan berkunjung ke Istanbul. Selama waktu salat, turis tidak diperbolehkan masuk, dan mereka hanya diperbolehkan masuk melalui pintu sebelah utara dari arah Hippodrome. Yang menarik dari pintu utara ini adalah rantai yang menggantung sehingga seakan-akan memaksa semua orang untuk menundukkan kepalanya sebagai tanda rasa hormat. Konon Sultan juga sering memasuki pintu ini dengan menunggang kuda.
Saya baru sadar bahwa turis asing non-muslim selalu diarahkan untuk masuk dan keluar melalui pintu utara, sedangkan pintu utama atau pintu barat lebih diperuntukkan bagi orang Turki dan orang yang mau menunaikan salat di masjid ini.
Kisah Tragis Sultan Ahmet dan Masjid Enam Menara
Arsitek Mehmet Aga diperintahkan oleh Sultan Ahmet I untuk membangun sebuah masjid dengan menara yang terbuat dari emas. Dalam Bahasa Turki emas adalah altin. Namun Mehmet Aga salah mendengar sehingga mengira junjungan memerintahkannya untuk membuat masjid dengan enam menara atau alt dalam Bahasa Turki.
Pembangunan masjid dimulai pada 1609 dan selesai dalam waktu tujuh tahun pada 1616. Ketika masjid ini selesai dengan megahnya dan memiliki enam menara, ternyata kontroversi tidak berhenti di sini. Konon pada saat itu Masjidil Haram di Mekkah juga memiliki enam menara. Tentu saja tidak boleh ada masjid yang menyamai masjid paling suci dalam dunia Islam itu. Untuk memecahkan masalah ini, Sultan pun mengirimkan arsiteknya ke Mekkah untuk membangun menara ketujuh.
Konon Sang Sultan sangat menaruh perhatian besar terhadap proses pembangunan masjid ini, sehingga beliau sering berada di lokasi untuk melihat secara langsung kemajuannya. Akibatnya kesehatan Sultan menjadi sangat menurun dan beliau pun meninggal dalam usia yang sangat muda, hanya satu tahun setelah masjid ini selesai dibangun. Sultan Ahmet yang pada saat meninggal baru berusia 27 tahun ini dimakamkan di sebuah tempat tidak jauh dari Masjid. Dalam kompleks masjid juga dimakamkan sang arsitek Mehmet Aga.
Dengan langkah santai saya pun meninggalkan masjid biru ini, sambil membayangkan betapa Sultan Ahmet yang masih sangat belia terus mengawasi pembangunan masjid sampai akhirnya jatuh sakit dan meninggal. Sebuah kisah yang tragis tentang Sultan Ahmet yang menginginkan sebuah masjid dengan menara emas. Namun Istanbul akhirnya memiliki sebuah Masjid Biru yang maha indah.