Efesus adalah sebuah kota kuno yang survive melewati beberapa zaman. Ia mulai berkembang sejak jaman Kerajaan Lidya pada abad ke 6 sebelum Masehi, kemudian kekuasaan pun berganti. Dari tangan Yunani, Romawi, Kristen, hingga, kemudian kota ini berubah nama menjadi Selcuk sejak jaman Islam berkuasa di Anatolia.
Namun hanya sekitar tiga kilometer dari pusat kota Selcuk masa kini, masih terdapat reruntuhan kota kuno Efesus yang disebut Efes dalam bahasa Turki.
Dari terminal kota Selcuk, sebuah dolmuz atau sejenis mikrolet mengantarkan penumpang menuju Pamucak Beach via Efesus. Cukup dengan ongkos dua Lira dan dalam waktu sekitar 10 menit sampailah saya di sebuah pinggir jalan kecil. Saya masih harus berjalan sekitar 300 meter menuju pintu masuk. Siang itu, tidak terlalu banyak wisatawan yang ada, sederetan toko suvenir yang menjual pernak-pernik Efesus menyambut kedatangan saya.
Sesampainya di loket, uang 20 TL pun bertukar menjadi sebuah tiket yang cantik. Setelah melewati pintu masuk otomatis, maka saya pun terlempar ke sebuah kota dari masa lampau. Ke masa lebih dari 2000 tahun yang lalu ketika Efesus menjadi bagian kekaisaran Romawi. Walaupun sebagian besar yang dapat dilihat kini hanyalah reruntuhan dalam kompleks yang maha luas.
Tidak jauh dari pintu masuk pemandangan pertama yang menanti adalah sebuah amfiteater yang maha luas. Diperkirakan lebih dari 25 ribu penonton dapat ditampung di tempat duduknya yang terdiri dari 66 baris yang terbagi menjadi tiga tingkat oleh dua buah diazoma (koridor di antara tempat duduk) ini. Di panggung yang terletak di bawah amfiteater, pernah dipertunjukkan drama terkenal pada jaman Yunani, dan juga pernah dijadikan tempat pertarungan gladiator melawan hewan buas.
Keunikan amfiteater yang konon terbesar di Asia Kecil ini adalah sistem akustiknya yang sangat canggih. Kalau kita bertepuk di tengah panggung, maka gemanya kan terdengar hampir ke seluruh amfiteater, maklum pada jaman itu belum dikenal adanya pengeras suara.
Perpustakaan sekaligus Kuburan di Library of Celcus
Dari amfiteater, pengembaraan di kota kuno Efesus dilanjutkan dengan terus berjalan melalui reruntuhan kota. Tidak lama kemudian tampak tiga buah pintu masuk berubah ogive atau relung yang akan mengantar kita menuju Agora atau tempat terbuka dimana kegiatan orang banyak dilakukan pada jaman Romawi. Sebuah prasasti dalam bahasa Turki dan Jerman menjelaskan bahwa ini adalah pintu gerbang sebelah selatan Agora.
Pemandangan pertama yang ada di sebelah kanan adalah sebuah bangunan yang juga tinggal reruntuhan saja. Namun penampang muka atau fasad Perpustakaan Celcus ini masih dapat dinikmati kemegahannya. Dari kejauhan tampak pintu yang besar dikawal oleh tiang-tiang yang bulat kokoh terbuat dari marmer. Tiang bulat besar ini disebut tiang model Korinthian.
Tiang-tiang ini juga ada di tingkat dua dan juga mengawal jendela-jendela yang besar. Memasuki ruang perpustakaan yang sudah tidak beratap, masih dapat dinikmati keindahan reruntuhan perpustakaan yang konon menyimpan lebih dari 12 ribu naskah yang berupa scroll atau gulungan. Di tempat yang dibangun pada sekitar tahun 115 AD ini juga terdapat peti mati batu atau sarkofagus sang gubernur provinsi Asia pada saat itu yaitu Celcus. Pada masa itu, merupakan sebuah kehormatan bagi seorang gubernur untuk dimakamkan di sebuah perpustakaan yang dinamakan sama dengan nama dirinya.
Temple of Adrian
Selepas Library of Celcus, sebuah jalan utama yang dihiasi dengan pilar-pilar raksasa menyambut saya. Jalan utama ini disebut Via Curetes yang membentang sampai ke Gerbang Hercules. Pada masa kejayaan Efesus, di sepanjang jalan ini terletak banyak toko, air mancur, patung dan monumen. Dan salah satu bangunan yang paling terkenal di jalan ini adalah kuil yang dipersembahkan untuk Adrian, salah seorang kaisar Romawi yang termasuk lima kaisar yang baik.
Adrian sempat berkunjung ke Efesus pada 128 AD dan kemudian pada 138 AD dibangunlah kuil ini. Fasad kuil ini memiliki empat buah tiang Korinthian yang mendukung sebuah lengkung berbentuk kurva di tengahnya. Pada kurva ini terdapat relief Tyche atau Dewi Kemenangan,
Adrian merupakan seorang kaisar Romawi yang penuh kontroversi antara lain oleh kehidupan seksualnya. Banyak rumor yang menyebutkan bahwa dia adalah seorang biseksual.
Efesus, Kota Religius yang juga Penuh Kebobrokan Moral
Bagi umat Nasrani, Efesus memang merupakan nama yang sangat suci, karena di sinilah Rasul Yohanes pernah menuliskan surat-suratnya yang diwahyukan dalam Injil. Dan tempat ini juga merupakan salah satu dari tujuh gereja di Asia.
Walaupun pada masa Romawi Efesus bukanlah ibu kota provinsi. Tetapi ketenarannya melebihi Pergamus, ibu kota yang sebenarnya. Kota ini juga terkenal dengan julukan Metropolis pertama dan terbesar di Asia. Karena keindahan dan kegemilangannya, bahkan seorang pujangga menyebutnya sebagai Lumen Asiae atau Cahaya Asia. Di Efesus, kehidupan keagamaan dan keduniawian bersatu padu dengan harmonis sekali. Konon, banyak gadis jelita yang berfungsi rangkap sebagai imam dan sekaligus sebagai pelacur suci di kuil Artemis. Menurut kepercayaan Romawi, kita dapat menyatukan diri dengan Dewa Dewi dengan cara menyambangi pelacur-pelacur suci itu.
Di samping kehidupan seksnya yang bebas, Efesus juga merupakan surga bagi para penjahat. Konon semua penjahat akan mendapat suaka dan bebas dari jerat hukum apabila sampai di Efesus.
Karena kehidupan moral yang morat-marit ini lah maka Heraklitus, filsuf Yunani pra-Socrates sampai menangisi kebobrokan kota ini sehingga dikenal sebagai The Weeping Philosopher.
Saya berjalan terus menyusuri Via Curetes sampai ke Gerbang Hercules. Seekor kucing tampak sedang bermain di reruntuhan tiang-tiang besar yang memenuhi kota kuno ini. Masih banyak tempat yang belum saya kunjungi. Namun hari sudah mendekati senja dan cuaca semakin dingin. Akhirnya saya kembali ke pintu utama dan kemudian menunggu Dolmuz untuk kembali ke pusat kota Selcuk.
Sebuah kunjungan ke kota Suci yang sekaligus penuh dosa. Ke sebuah perpustakaan sekaligus sebuah kuburan.
Selcuk, Oktober 2010