“Ayo ke Sultan Ahmet,” demikian ajakan teman-teman saya setelah sempat makan siang dan berkelana di sekitar “Taksim Square”. Trem dengan cepat menembus kepadatan dan keramaian jalan-jalan di Kota Istanbul menuju kawasan kota tua yang disebut “Sultan Ahmet”. Di sini, terdapat hampir semua ikon Kota Istanbul dan negeri Turki seperti Masjid Biru, The Grand Bazaar, dan tentunya Aya Sofia, yang pernah merupakan sebuah basilika, gereja, dan masjid, namun sejak tahun1934 diubah menjadi museum.
Setelah turun dari trem, keramaian kawasan Sultan Ahmet memang sangat menarik. Hotel, restoran, kafe, toko suvenir, travel agent dan segala kegiatan pendukung pariwisata berkumpul di sini. Termasuk juga para pengedar brosur jasa mandi uap khas Turki yang disebut ‘hamam”. Namun di kejauhan dua buah gedung yang paling terkenal di Istanbul menyambut kami. Aya Sofia di sebelah kiri dan the Blue Mosque di sebelah kanan.
Di seberang jalan raya dari halte trem Sultan Ahmet, sebuah taman yang cukup luas dengan pemandangan berlatarbelakang dua bangunan tadi memang sudah memberikan suatu rasa kagum tersendiri. Istanbul, kami datang!, demikian kira-kira ucapan dalam hati kami yang memandang dua buah bangunan yang memang menjadi maha karya arsitektur di kota yang terletak di dua benua ini.
Sebuah amfiteater berukuran sedang ada di hadapan kami. Sore itu banyak sekali wisatawan lalu-lalang. Sepasang suami istri berperawakan Timur Tengah mendekati saya dan meminta saya mengambil foto mereka. Setelah selesai, kami pun gantian minta diabadikan oleh sang pria setengah baya tadi. “Syukron,” jawab saya sambil tersenyum dan kemudian percakapan dilanjutkan dengan campuran Bahasa Arab dan Inggris. Ternyata mereka wisatawan dari Maroko yang kebetulan sedang berlibur ke Turki.
Dari taman ini, saya memandang dengan takjub dua bangunan yang sama-sama menjadi landmark Kota Istanbul ini. Di halaman sebelah depan Aya Sofia, terdapat sebuah air mancur yang menambah indahnya suasana. Kubahnya yang besar dan pernah menjadi terbesar di dunia selama lebih dari seribu tahun berwarna coklat kemerahan, tampak gagah memantulkan sinar lembayung senja. Empat buah menara yang menghiasi kubah ini pun menjadi saksi bahwa monumen ini selama hampir 500 tahun pernah menjadi masjid kebanggaan dinasti Turki Utsmani.
Aya Sofia yang Penuh Misteri
Saya terus berjalan melewati taman yang hanya ditumbuhi rerumputan dan semak, kita merasa seakan-akan mendekati sebuah bangunan kuno dari zaman Byzantium yang dalam posisi duduk dan dikawal oleh keempat menaranya yang tinggi namun tampak tidak terlalu simetris. Air mancur di taman tiba-tiba berhenti seakan-akan menambah misteri apa yang ada di dalam Aya Sofia ini. Sambil terus memandangi kemegahan bangunan zaman Byzantium dari abad ke 4 Masehi ini, kami tiba-tiba tersentak lagi oleh suara air mancur yang rupanya dihidupkan kembali. Suatu permainan yang indah seakan-akan mengucapkan selamat datang di Aya Sofia.
Basilika, Gereja, Masjid, atau hanya sebuah Museum
Sejarah bangunan ini memang sangat panjang. Gereja pertama yang saat ini sudah sama sekali tidak tersisa dibangun pada 360 Masehi oleh kaisar Konstantin Agung, Kaisar Kristen pertama yang mendirikan Kota Konstantinopel yang pada saat itu disebut juga “Roma Baru”.
Tidak lama kemudian Aya Sofia yang asli ini runtuh dan kemudian digantikan oleh gereja kedua yang dibangun oleh Kaisar Theodisius. Gereja ini pun kemudian dibakar pada saat kerusuhan di tahun 532 M.
Bangunan yang masih berdiri sampai saat ini dibangun pada masa pemerintahan Justinian I antara tahun 532-537. Pada saat menyelesaikan basilika ini Kaisar Justinian konon bersabda: ”Sulaiman, Aku telah melampaui Engkau”. Hal ini diucapkannya sebagai pertanda bahwa kubah Aya Sofia dibangun lebih besar dari kubah Kuil Sulaiman yang ada di Yerusalem.
Zaman pun terus berganti, hingga pada saat Konstantinopel ditaklukkan oleh Sultan Mehmet pada 1453 bangunan ini langsung diubah menjadi Masjid. Dan 500 tahun kemudian pada 1934 Republik Turki yang sekuler pun mengubahnya menjadi sebuah museum.
Warisan Kristen dan Islam Ada Di sini
Terlepas dari segala kontroversi, barangkali keputusan untuk mengubah Aya Sofia menjadi sebuah museum adalah sesuatu yang tepat. Karena sebagai museum, dia bisa dengan lengkap mengekspresikan dirinya secara utuh. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi, juga terbuka bagi seluruh ummat dan wisatawan yang berkunjung ke Istanbul
Di dalamnya kita dapat menyaksikan semua kemegahan dan keindahan dari dunia Kristen dan Islam. Fresko dan Mozaik yang menggambarkan Nabi Isa, Bunda Maria, Malaikat Jibril, Yohanes Pembaptis, dan tentu saja gambar Sang Kaisar Konstantin sendiri sekarang dapat dengan leluasa dinikmati keindahannya. Fresko ini untungnya hanya ditutup pada saat Aya Sofia berfungsi menjadi Masjid. Kemudian pada saat Aya Sofia menjadi masjid, hiasan kaligrafi dan medalion bertuliskan “Allah, Muhammad, dan Allahu Akbar” juga ikut menghiasi Aya Sofia.
Uniknya, kaligrafi yang dibuat sekitar seribu tahun kemudian ini juga mengapit gambar Yesus dan Bunda Maria. Terasa sekali keagungan bangunan yang telah berusia hampir 1.500 tahun ini. Sementara itu, di lantai dasar dapat kita saksikan keindahan mihrab yang terbuat dari marmer. Di sebelah kanan mihrab juga terdapat mimbar dan tempat khusus bagi Sultan untuk melaksanakan salat.
Kini, zaman pun telah berganti. Aya Sofia, bukan lagi sebuah basilika, gereja katolik ataupun masjid. Dia adalah sebuah museum, namun, bagi sebagian ummat, Aya Sofia tetaplah sebuah basilika, gereja dan masjid. Ternyata dari sejarah Aya Sofia yang panjang ini pula kita dapat belajar, bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi.
Istanbul, 2009
NB: Benarlah Aya Sofia memang tidak abadi dan terus berubah. Sejak 2020, bangunan ikon kota Istanbul ini kembali diubah menjadi sebuah masjid.