Tepat pukul 10 pagi,, saya sudah siap menunggu di resepsionis. Sesuai janji, Joel, seorang pemuda suku Maasai , lengkap dengan pakaian tradisional yang mirip selimut kotak-kotak dengan warna merah dan biru, juga sudah siap mengantarkan saya ke perkampungan suku Maasai.
Joel menjelaskan bahwa untuk berkunjung ke sana, saya dikenakan ongkos masuk sebesar 2000 Shilling Kenya. Uang ini harus diserahkan kepada kepala suku yang akan menyambut saya. Selama di perkampungan saya akan diperlihatkan tarian perang yang akan dibawakan pemuda suka Maasai, tarian para wanita dan juga cara membuat api secara tradisional.
Kami berdua berjalan kaki menuju perkampungan. Dalam perjalanan, Joel memperkenalkan saya dengan berbagai jenis tumbuhan yang digunakan suku Maasai baik sebagai toilet paper dan ada juga yang batangnya dapat digunakan sebagai pembersih gigi. Sambil mengunyah batang pembersih gigi itu kami berdua berjalan menuju ke perkampungan yang jaraknya sekitar satu kilometer dari kamp.
Dari kejauhan terlihat gerombolan sapi besar yang ternyata merupakan ternak utama di taman nasional yang ada di perbatasan Kenya dan Tanzania ini. Di pintu gerbang perkampungan tiga orang sudah menanti, salah satunya adalah James yang merupakan kepala suku. Saya diperkenalkan dengan mereka, di beri sebuah tongkat yang harus saya pegang selama kunjungan dan kemudian beberapa pemuda pun mulai menyambut dengan tarian perang yang gerakannya banyak melompat lompat bak kijang.
Saya pun kemudian diberi mahkota kepala suku dan diajak menari bersama. Tarian berlangsung sekitar sepuluh menit diiringi oleh lagu yang dinyanyikan bersama tanpa alat musik alias dengan a capella. Iramanya tampak riang gembira penuh semangat dan bergelora. Maklum ini adalah tarian perang yang sekaligus digunakan sebagai ucapan selamat datang kepada saya.
Selanjutnya saya dibawa ke perkampungan yang bentuknya bundar dan terdiri dari beberapa puluh rumah yang diatur membentuk lingkaran sehingga di bagian tengahnya terbuka membentuk tanah lapang yang luas. Tampak para wanita dan anak-anak sedang bermain di perkampungan. Yang membuat saya agak kaget adalah aromanya yang tajam karena hampir seluruh permukaan tanah ditutupi oleh sisa kotoran sapi yang sudah mengering. Bahkan masih banyak kotoran sapi yang masih basah di sana.
Di sini kembali para wanita itu menari dan kali ini lagu yang dinyanyikan lebih sendu karena berupa doa agar mereka diberi banyak keturunan. Saya pun diajak turut menari dan kebetulan ada dua wisatawan dari Eropa yang juga ikut menari bersama.
Acara di kampung suku Maasai diakhiri dengan melihat cara tradisional membuat api dengan cara menggesek kayu dan sejenak melihat rumah suku Maasai yang dindingnya dibuat dari kotoran sapi yang dikeringkan. Setelah sejenak melihat gerai terbuka yang menjual kerajinan suku Maasai, kami pun kembali menuju kamp dengan membawa kenangan yang tak terlupakan berkunjung ke kampung Suku Maasai.