Kumpulan Kisah Kami di Masa Pandemi (6)

Terbaru26 Dilihat

Kumpulan Kisah Kami di Masa Pandemi (6)

Bab. 6

Pelajaran Berharga Untuk Marisa

Sudah 3 kali pertemuan Marisa tidak pernah meninggalkan jejak kehadirannya di agenda saya. Telah lama pula saya tidak melihat sosoknya datang ke sekolah menyerahkan tugas-tugas luring. Sebagai guru dan wali kelasnya, saya harus mencari tahu alasannya. Dan akhirnya, kesempatan bertemu langsung dengannya pun terlaksana. Atas kehendak Allah, Marisa datang menyerahkan tugas luringnya ke hadapan saya. Tentunya, saya tak mau melewatkan momen berharga ini. Akan saya tanyakan mengapa dia jarang sekali mengikuti pembelajaran.

Mengenakan gamis hitam dan kerudung panjang berwarna abu-abu, plus cadar hitam pula menutupi wajahnya. Hanya kedua matanya saja yang tampak jernih. Ciri khas mata remaja putih biru. Mata yang masih sehat dan cemerlang. Jauh berbeda dengan mata seorang perempuan berumur 40an ke atas seperti saya yang sudah banyak terkontaminasi. Tubuhnya mungil dan putih kulitnya. Walaupun tertutup cadar, saya dapat melihat kecantikan wajahnya. Wajah remaja yang manis. Dengan penampilannya yang bergamis dan bercadar, membuat saya berkata dalam hati, alangkah solehahnya anak ini. Seumuran dia sudah mau menutup auratnya rapat-rapat, sementara di luar sana masih banyak anak ABG yang berani memamerkan keindahan tubuhnya.

Saya sambut dia dengan salam. Lalu mempersilakannya duduk di sebelah saya. Seorang temannya yang menemani, saya suruh pergi sebentar, membiarkan kami berbincang berdua tentang urusan yang harus diselesaikan. “Halo, Marisa. Gimana kabarnya nih. Sudah lama ya kita ga ketemu.” Kata saya memulai percakapan. Marisa menjawab dengan suara pelan dan malu-malu. “Alhamdulillah, baik, Bu.” Lalu saya bertanya lagi, “Marisa tinggal di mana?” Marisa menjawab, “Di kompleks Bumi Persada, Bu,” sahutnya. Saya tahu lokasinya. Tak jauh dari sekolah ini. Basa-basi masih terus berlanjut. Hingga tibalah pada topik utama. Agak hati-hati saya mencoba menanyakannya. Tipe anak seperti dia sepertinya harus dihadapi dengan kelembutan.

“O, ya..kayanya Ibu ngga pernah melihat kehadiranmu di setiap PJJ. Sudah tiga kali pertemuan kalo ngga salah. Kenapa say?” tanya saya kemudian. Wajahnya yang sedari tadi selalu menunduk, tiba-tiba terangkat dan menatap saya. Kelihatannya Marisa terkejut dengan pertanyaan saya. “Saya suka ikut kok, Bu.” Apa? Ketenangan hati saya terusik mendengar ucapannya. Kenapa Marisa bicara seperti itu? Apakah dia tidak menyadari kalau saya punya bukti yang kuat tentang ketidakhadirannya. Kenapa dia bersikap seolah tak bersalah? Saya mencoba tenang menghadapinya. Sabaaar…Lalu, saya berkata lagi padanya, “Masa sih? Tapi di dalam daftar hadir Ibu masih banyak yang kosong.” Matanya terlihat semakin kuat menatap saya. Tapi tak lama. Wajahnya seketika tertunduk kembali. Saya teruskan lagi wawancaranya. “Ulangan harian kamu juga masih belum ada nilai satupun. Hayoo..kemana aja nih?” Reaksi Marisa berikutnya sangat mengagetkan saya. Tiba-tiba dia meneteskan air mata. Entah apa maknanya.

Dengan sikapnya yang seperti itu, membuat saya semakin penasaran. Kenapa dia harus menangis? Ada apa dengan Marisa? Untuk mengetahuinya, saya bertanya lagi, “Aduh, kenapa kamu menangis, Marisa? Ada yang salahkah? Atau mungkin kamu punya masalah ya?” Selang beberapa menit kemudian dia berkata, “Maaf, Bu. Sebenarnya saya ngga ngerti cara belajar daring. Saya ngga tau caranya gabung ke Classroom. Saya juga ngga tau ada ulangan harian.” Hmm..sepertinya dia mencoba membela diri.

“Kan Ibu selalu share info-info penting yang menyangkut pembelajaran. Kamu sudah ada di grup, kan?” Lama-lama gatal juga nih tangan, pengen nyubit..”Iya, Bu..Tapi saya jarang baca grup, Bu. Makanya suka ketinggalan informasi.” Salah sendiri lah…”Kenapa atuh, terus kalau ngga baca grup kelas, gimana kamu dapat informasi?” tanyaku selanjutnya. “Saya sering bertanya sama KM di WA tapi suka ngga dibales, Bu.” Semakin saya mendengar kata-katanya, malah tambah tidak percaya. “O, gitu ya? Padahal Ibu sudah menyuruh Fahri untuk meneruskan informasi ke siswa yang belum mengetahui. Jadi Fahri ngga memberitahu kamu sama sekali?” tanya saya seperti seorang penyelidik. “Ngga, Bu..” jawabnya. “Ya sudah cukup. Nanti ibu tanya ke Fahri ya.” Setelah itu, Marisa pun beranjak kembali ke temannya.

Untung Fahri saat itu masih berada di sekolah. Setelah mengumpulkan tugas, Fahri bergegas akan pulang ke rumah. Segera saya memanggilnya untuk mengkonfirmasi pernyataan Marisa. Tak lama, Fahri sudah berada di depan saya. “Ya, Bu. Ada apa?” tanya Fahri. “Begini, tadi Ibu ngobrol sama Marisa. Kan dia sering ngga ikut daring tuh. Katanya karena ngga dapat informasi dari kamu. Betul begitu, Fahri?” Saya lihat Fahri mengernyitkan keningnya. “Ah, ngga, Bu. Saya sering menjapri dia dan ngeshare info-info dari Ibu atau dari mapel yang lainnya. Kalau Ibu ngga percaya, nih Fahri masih punya buktinya,” jawabnya sambil lalu membuka gadgetnya dan memperlihatkan isi chat-chat japrinya dengan Marisa. Dan benar saja, Fahri sudah memberikan tiap informasi kepada Marisa. Lalu kenapa Marisa berbohong seperti itu? Saya harus menyelidikinya lebih lanjut. Serasa tak percaya, tapi nyata adanya.

Sebulan kemudian, saya bertemu kembali dengan Marisa. Namun kini dia datang tidak sendiri. Ada seorang wanita bertubuh mungil dan berambut hitam pendek yang menemaninya. Mengenakan kemeja biru lengan pendek dipadu dengan rok span hitam yang panjangnya di bawah lutut. Setelan bajunya mengingatkan saya pada guru-guru jaman dahulu. Setelah berkenalan barulah saya mengetahui kalau wanita itu adalah ibunya. Kebetulan sekali..Pucuk dicinta ulam tiba. Inilah saatnya saya mengetahui lebih lanjut tentang ketidakwajaran sikap Marisa.

Saya mempersilakan mereka memasuki ruangan kelas yang sudah lama kosong. Tak terpakai semenjak penerapan PJJ. Sebisa mungkin jangan ada orang lain yang mengetahui atau mendengar percakapan kami. Setelah pintu saya tutup, barulah saya mengajak mereka berbicara. Awalnya saya menanyakan alasan kenapa Marisa sering tidak mengikuti PJJ. Dengan lantang ibunya menegaskan bahwa anaknya tidak mengetahui cara belajar daring. Dan bahwa Marisa tidak mendapatkan informasi sama sekali baik dari saya ataupun dari ketua kelas. Aduh ibuu..dikau belum tahu ya yang sebenarnya.

Hampir saja saya bertengkar dengan ibunya. Sejak pagi sebelum berangkat ke sekolah, perasaan saya sudah tak menentu. Ada sesuatu yang menyebabkan emosi saya tak karuan. Biasa, masalah keluarga. Dan sekarang, di sekolah ini, saya mendapatkan masalah lagi. Menghadapi seorang ibu yang berusaha membela anaknya mati-matian. Ibunya yang menganggap anaknya tak bersalah. Bahwa anaknya bukanlah seorang pembohong. Dari kecil hingga sekarang, dia tidak mendidik anaknya untuk berbohong. Berkali-kali saya mengucap istigfar dalam hati. Memohon petunujuk pada Allah untuk menghadapinya.

Sesaat kemudian saya mengalihkan pandangan kepada Marisa, yang sedari awal pembicaraan belum mengeluarkan sepatah katapun. Hanya diam membisu menyaksikan kami yang memperdebatkan kebenaran tentang dia. Saya tatap dia dengan tajam lalu berkata kepada ibunya, “Sebentar, Bunda..saya ingin bicara dengan anak bunda dulu ya.” Disambut dengan ucapan ibunya, “Ngga usah, Bu. anak saya ngga salah. Yang salah itu KM nya. Kenapa ngga pernah ngasih info ke Marisa.” Duh, keukeuh pisan nya..”Iya, Bunda, sebentar ya. Saya akan panggil Fahri ke sini. Supaya Bunda mendapatkan buktinya dari Fahri.” Agak susah juga mencari Fahri dalam keadaan emosi seperti ini. Alhamdulillah, tak berapa lama, Fahri akhirnya dapat saya temukan. Sebelum memperlihatkan bukti chatnya kepada ibu Marisa, Fahri sempat terlebih dahulu ia omeli. Saya berusaha menenangkan sang ibu.

Selanjutnya, saya mempersilakan Fahri pulang. Lalu saya memalingkan muka kembali kepada Marisa. “Marisa, kenapa kamu diam saja? Coba jelaskan pada ibumu yang sebenarnya,” kata saya kepada Marisa. Tak memperdulikan ibunya yang masih emosi. Marisa terus terdiam. Tak bisa dan tak mau menjawab. Lalu saya berkata lagi, “Kenapa kamu diam saja, Marisa. Tau ngga, diammu itu sudah menunjukkan kebenaran bahwa kamu sudah berbohong pada kami.” Emosi saya rasanya teraduk-aduk.

Situasi masih diliputi kekesalan kami berdua menghadapi sikap Marisa. “Ibu ngga butuh jawaban Marisa sekarang. Ibu tahu yang ada dalam hatimu. Makanya sekarang kamu ngga bisa berkata apa-apa. Ibu yakin hatimu pasti akan mengutarakan kebenarannya. Karena hati ngga pernah bohong.” Jleb..mereka berdua terdiam setelah saya mengucapkan kalimat sakti seperti itu. Tak disangka, keajaiban terjadi. Ibunya yang semula meledak-ledak membela putrinya, sekarang menunduk malu dan kemudian meminta maaf pada saya. Subhanallah, tabarakallah..Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberiku petunjuk untuk menyelesaikan masalah ini.

Di akhir perbincangan, dengan mata berkaca-kaca, ibu Marisa bercerita bahwa dirinya adalah seorang single parent yang bekerja di luar kota dalam waktu yang lama. Sehingga ia tak bisa sepenuhnya menemani putri tersayangnya belajar. Tugas itu ia serahkan kepada ibunya atau nenek Marisa yang tinggal di kota ini. Saya pun berusaha mengerti kesulitan yang dihadapinya dan meyakinkan dirinya bahwa sebenarnya Marisa adalah anak yang baik dan pintar. Setelah masalah pelik kami terselesaikan, mereka berdua pun mohon pamit kepada saya. Dalam hati saya berdoa. semoga ibunya tidak akan memarahi Marisa ketika sudah berada di rumah nanti. Dan semoga Marisa tidak akan berbohong lagi.

Sampai jumpa di kisah selanjutnya…

Penulis: Tuti Suryati, S.Pd

Instansi: SMPN 2 Subang










Tinggalkan Balasan