KABUT DALAM BADAI 4

Tung Widut

 

Tiba-tiba Arera menelpon. Indu membiarkan saja hp-nya yang berbunyi berkali-kali.

“Terima! Siapa tahu  sangat penting,” kata Marsudi sahabatnya.

“ Malas ah,” jawan Indu.

“Jangan gitu bunyi terus tu. Siapa tahu darurat.” katanya Wikyo. Teman ngopi satunya lagi.  Dengan malas tangan Indu  memencet tanda terima.

“Aku ngopi sama teman-temanku,” suara Indu.

Setelah itu HP ditutup dan jemari tangannya mengirimkan lokasi dia berada saat itu. Tak berapa lama Arera datang menaiki sepeda motornya.

“ Mas antarkan aku ke Jombang,”ajak Arera.

“Bukan aku tak mau, tapi nanti suamimu salah paham.”

“Aku bilang.  Aku mau carai,” tegas Arera dengan nada tinggi.

“Aku juga punya istri, kamu enggak boleh begitu,” tandas Indu.

“Pokoknya sekarang antarkan aku,”

“Biar diantar Wikyo atau Marsudi,”

“Kalau mas tidak mau,  akan ku tabrakan sepeda motor ini ke truk kontainer yang lewat itu,” ancam Arera.

Semuanya yang ada di tempat itu tercengang. Melihat tingkah laku Arera yang tiba-tiba datang dan berbicara  keras. Dia membuka helm yang dikenakan. Dilemparkan begitu saja. Kembali menghidupkan  mesin motor dan mengegasnya keras-keras.  Spontan Wikyo, Marsudi  dan Indu berteriak. Indu segera menghalangi di depan sepeda motor.

“Sudahlah Ndu kamu antarkan dulu ke Jombang,”  saran Wikyo.

“Kalau kamu nggak berani aku temani,” dukung Marsudi.

Akhirnya keempat orang itu berangkat menuju Jombang. Bertamu kepada seorang sesepuh.  Di situ Arera menangis sejadi-jadinya. Dia minta tolong agar  dapat cerai dengan suaminya dan bersedia menjadi istri ke dua Indu. Sungguh kaget semua orang yang ada disitu. Mereka tak mengira, jalinan   sudah lama terputus. Tanpa saling  kontak sama sekali masih menyisakan harapan bagi Arera.

Mulai sejak itu hubungan yang sudah jeda   terjalin kembali. Setiap hari mengirimkan wa kepada Indu.  Sebenarnya Indu sudah tak menjawab seperti dulu.  Bila Indu lama  tak menjawab, Arera memberondong dengan pesan yang banyak sekali.

Pernah juga pernah juga suatu malam Arera menelponnya. Keadanya mabuk berat dia tak mampu  mampu berbicara jelas dan berdiri tegak. Pelayan cafelah yang melankutkan penbicaraan pada Indu karena café sudah akan tutup.  Etika esoknya sudah sadar di mengutarakan alasannya.