RASA LEBIH DARI KATA 1

Cerpen, Fiksiana34 Dilihat

 

RASA LEBIH DARI KATA 1
Tung Widut

“Sudah. Sudah sampai,” suara  Zuria sambil duduk di sebuah  cafe. Cafe itu yang menjadi kenangan bersama kekasihnya. Kekasih saat dia masih menjadi mahasiswa di sebuah universitas negeri. Univesitas negeri satu-satunya di Tulungagung.

Semasa dulu mereka sering mengunjungi tempat romantis itu. Menikmati kopi hangat dan tahu goreng. Di bawah rindangnya sebuah pohon. Di bangku potongan pohon kelapa.  Terlihat di kejauhan air waduk gemerlap bagai btiran permata yang berserak.

Lamunan Zuria terputus oleh dentuman pintu mobil. Dia segera menoleh ke arah depan gazebo.   Sebuah  mobil Fortuner yang masih mengkilap sudah terparkir. Seseorang lelaki tegap berwibawa menyapanya.
“Zui. Sudah lama menunggu?”
Zuria hanya tersenyum tipis diikuti anggukan kepala. Kemudian dia berdiri menyambut lelaki itu. Mereka berjabatan tangan.
“Sori Zui. Aku mengganggu kerjamu. Bagaiman kabarmu? Kau sekarang   bagaimana? Sori, sori aku terlalu gembira kau bersedia menemuiku.”

Zuriapun masih membisu. Hanya senyumnya yang selalu di kembangkan.

Seorang pelayan tiba-tiba datang ke gazebo. Membawa nampan berisi nasi goreng kecap, semangkok bakso, kopi mega mendung, sepiring tahu goreng dan sebuah es kelapa muda.
“Ini aku pesankan makanan kesukanmu. Masihkah kau ingat menu setiap kali      kita kemari?”
Ganti lelaki itu yang menjawab dengan senyuman sambil melangkah ke meja.
“Heeem, harumnya masih sama.”
Kini keduanya duduk berhadapan menikmati menu kenangan.  Sesekali mereka berpandangan dan melempar senyum. Senyum yang berpuluh tahun hilang di telan jalan hidup.
Hamparan pepohonan hijau sejauh memandang. Membalut bukit yang menjulang.  Awan putih menari di angkasa biru. Bercekerama dengan burung-burung kecil yang mengepakan sayap. Meluncur gembira menikmati alam. Dikejauhan terlihat  air waduk. Mengkilap memantulkan cahaya mentari. Bercerita  tetang sepasang kekasih yang sering menemaninya berpuluh tahun lalu. Kala pepohonan belum manpu merindanginya. Angin berhembus kencang bersama sinar terik Mentari setiap siang.
“Zui. Lihatlah pemandangan itu.  Indah. Masih sama  seperti saat kita ke sini dulu. Bahkan sekarang pepohonan itu lebih rimbun,” kata lelaki itu.
 

 

 

Tinggalkan Balasan