RASA LEBIH DARI KATA 2

Cerpen, Fiksiana72 Dilihat

RASA LEBIH DARI KATA 2
Tung Widut

Zuria  berdiri. Dia sekaramg persis di samping laki-laki itu. Dia ikut menikmati pemandangan. Tak banyak pembicaraan mereka. Keduanya kini diam menghadap ke belakang gazebo.  Sesekali lelaki itu menghela nafas panjang. Pandangnya menerawang jauh ke alam tak terbatas.
Zuria melirik ke arah lelaki tegap yang berada disampingnya.  Lelaki yang tigapuluh tahun lalu pernah mengisi hatinya. Masih saja gagah seperti dahulu. Kulitnya makin bersih. Hanya terlihat guratan di beberapa bagian wajah.

“Ardiansyah,” Ucapnya dalam hati. Tiba-tiba hatinya berdebar.
“Mas” suaranya berhenti. Seakan tenggorokanya tercekik  menyebut kata itu.        Kata itu merupakan panggilan sayangnya kepada Ardiansyah.  Masih  adakah hak untuk memanggilnya mas? Setelah mereka sama-sama berkeluarga.  Tapi terlanjur dia mengucapakan itu agak keras. Kembali keduanya berpandangan agak lama. Mata Ardiansyah memandang wajah Zuria dalam-dalam. Perasaan mereka saling berkecamuk.  Mengembara di  dunia lamunan. Akhirnya Zuria menunduk.
Ardiansyah mencoba meraih tangan Zuria. Tapi Zuria berhasil menghindar.  Dia segera kembali ke kursi dan menikmati air kelapa muda.

“Zui,” ucapan Ardiansyah pun terpenggal.
“Mas. Tentu ada hal penting yang ingin mas sampaikan?”
“Terimakasih kamu masih menghargaiku.”

Kali ini Zuria betul-betul tak bisa menghindar. Kedua tanganya didekap Ardiansyah. Dengan pelan di tariknya, tapi pegangan Ardiansyah lebih kuat.
“Istri dan anak-anaku sudah menganggapku mesin. Aku bekerja dari pagi            sampai malam. Tak pernah tahu matahari menyinari rumah kami atau tidak.          Pulang sudah gelap lagi. Semua gajiku ku serahkan padanya. Semuanya.           Semuanya.  Hidupku hanya untuk mereka. Tapi mereka tak pernah      menggangapku manusia. Aku tak pernah diajak berunding.  Membeli apapun           tak pernah diajak bicara. Membeli tanah,   perabot, renovasi rumah bahkan             membeli mobil tak pernah bicara dulu denganku. Aku kepala keluarga Zui. Aku yang berhak menentukan,” Ceritanya terhenti sebentar.  Helaan nafas panjang    dengan mata berkaca-kaca.

“Istriku terlalu memanjakan anak-anak. Akibatnya,  sampai dia menikahpun        masih merepotkan orang tua. Kerja sengsara sedikit tak betah. Keluar begitu saja.            Tak bisa berfikir dewasa sedikitpun, apalagi mandiri. Jauh. Jauh Zui,”  Suaranya makin meninggi.