SERPIHAN CERMIN RETAK 18

Fiksiana32 Dilihat

 

 

 

 

 

SERPIHAN CERMIN RETAK 18

Tung Widut

“Yuan, Yuan,” panggil tante Lindri.

Yuandra pun tak mendengar  panggilan tante Lindri.. Pandangannya tetap. Memandang laut  di jauh sana. Pandangan kosong yang tanpa batas.

“Yuan,” panggil pak Carlos.

Spontan Yuandra terperanjat. Dia sangat terkejut. Lalu memandangi tante Lindri dengan senyum di paksakan.

“Maaf saya izin turun dulu,” kata Yuandra sambil melangkah kaki menuju pantai. Dia berjalan menyusuri pantai ke arah timur. Kaki-kakinya menginjak pasir putih yang membekas do  sepanjang panyai. Kadang kakinya terendam ombak yang datang. Angin dingin yang mengibarkan hijabnya sungguh memberi kedamaian baginya. Tak terasa jalannya sudah jauh,  hampir di ujung pantai.

“Tet, tet, tet…,” suara klason yang tiba-tiba saja terdengar disampingnya.

“Yuan, ayo kembali. Udah jauh tuh kamu jalannya,” sura pak Carlos berteiak padanya.

“Bapak duluan saja,  aku jalan kaki,”

Pak Carlos pun tetap mengikuti jalan Yuandra dari belakang.  ATV yang dikendalikan dijalankannya perlahan

“Ayolah naik sini asyyik loh,”

“Byur,” sebuah ombak besar menghantam mereka. Pak Carlos segera memeluk Yuandra. Hampir saja mereka terseret ombak yang kembali ke laut,  tapi syukurlah berkat Pak Carlos. Walaupun mereka berdua harus rela basah kuyup. Keduanya berpandangan. Saling tertawa bersamaaan. Rasanya pak Carlos  sangat gembira kalau melihat Yuandra sedang tertawa lepas tak ada beban.

 

Rembulan malam itu yang dipuja semua orang. Cahaya indah samar memberi kesan sendiri bagi yang menikmati.  Apalagi bila  bintang bertaburan menemaninya. Sungguh keindahan alam yang luar biasa.  Kin Yuandra menikmatinya di lobi ruang atas.  Dengan melipat tangan di dadanya,  memandang jauh ke awang-awang. Seakan dia menari di antara bintang.  Sambil mencurahkan isi hatinya kepada mereka yang selalu menemani setial Langkah. Kini kedua matanya mulai basah. bulir bening jatuh satu demi satu. saat dia mengingat keluarganya dulu bergelimang harta. Hanya dalam waktu satu tahun semuanya sirna. Ayahnya meninggal,  satu persatu perusahaan berpindah tangan. Dua tahun kemudian mamanya dipanggil Allah.

“Aku  harus ikhlas menjalani hidup ini. Aku harus tegar,” katanya lirih. Dipejamkan  matanya, diehelanya  nafas panjang mengusir  untuk mengusir semua yang ada pada benaknya.