“Met, ibu berangkat dulu,” suara ibunya terdengar diikuti suara pintu tertutup.
Kembali angan Slamet tak menentu. Dia ingin memiliki sepeda motor seperti teman-
temannya. Ingin sekolah tinggi. Bisa menjadi pegawai. Banyak uang bisa membeli mobillayaknya orang yang dilihat di jalanan. Keinginannya itu berjubel di otaknya. Hilang lalu
kembali lagi.
Sampai ibunya kembali dari Surau pun dia masih meringkuk di amben. Amben
bambu di ruang tamu. Sarung sarung masih menyelimuti tubuh mungil Slamet.
“Apakah kamu sakit?”
Tak ada jawaban sama sekali. Slamet bergerakpun tidak. Tangan kasar emaknya
memegang kening sang anak. Lalu duduk di dekat anak semata wayang itu.
“Tadi malam dapat berkatanan. Saya gorengkan. Kamu bangun, salat, sarapan,
lalu pergi ke kendang. Emak mau bekerja di ladang Pak Yanu.”
Bu Yumaida sudah mengira anaknya sekarang libur sekolah. Seperti hari minggu biasa,
tapi yang membuat beda kali ini Slamet tak jamaah subuh.