KMAB-H7-Cerpen 2-Taman Cinta di Rumah Tua-Part 2

Cerpen29 Dilihat
Rumah Joglo
Rumah Joglo Hardjono’s Familly (dok:yis)

Aku pun masuk dan menggelar sajadahku di kamar. Larut aku dalam sujudku. Hampir subuh. Kutambah dzikir sambil menanti adzan berkumandang. Tak lama kemudian suara khas Bapak terdengar merdu melalui toa masjid.

Satu jam kemudian aku sudah terpaku di depan berkas skripsiku. Coretan tinta warna-warni pada lembar kerja siswa data penelitianku kuamati satu per satu. Skor kuhitung dan kucatat dalam tabel peningkatan keterampilan menulis siswa pada setiap siklusnya. Kusandingkan data satu sama lain hingga memenuhi meja kerjaku. Terlalu serius bercengkrama dengan angka hingga tak mendengar Bapak beberapa kali memanggil namaku. Kudengar suara ketukan di pintu kamarku.

“Sri, Bapak tidur dulu. Semalam belum sempat tidur. Jangan lupa mematikan lampu di sudut sudut pendopo,” Pintanya sambil melongok ke kamarku.

“Nggih Pak. Nanti sebelum berangkat ke sekolah Sri bangunkan.”

Mendapat kesempatan mengajar di sebuah madrasah bahkan sebelum aku lulus kuliah adalah sebuah anugerah. Kuabdikan diri menimba ilmu sekaligus menyampaikan ilmu. Aku senang melihat siswa-siswaku semangat merangkai mimpi menggapai pelangi. Aku bahagia bila mereka berhasil memeluk piala menjuarai lomba. Pagi mengajar, sore bimbingan skripsi. Jarak jauh tak mampu membuatku mengeluh. Aku belajar dari rumput liar yang akan tetap tegar meski keadaan membuatku terlantar dan terkapar.

Rasanya tidak akan selesai kukerjakan sekarang analisis dataku, sedangkan Sabtu aku punya jam mengajar pagi di madrasah. Kubiarkan data penelitianku masih berjajar di meja. Kuambil handuk berniat segera mandi. Kudengar kakakku masih asyik beraktivitas di kamar sebelah. Berarti kamar mandi kosong. Bergegas aku masuk ke kamar mandi, meletakkan handuk dan pakaian gantiku. Kuintip ruang sebelah, lalu ke arah bak yang hampir habis airnya. Kuambil ember lantas kuisi bak itu hingga penuh.

Aku pun masuk ke ruangan itu dan hendak mengunci pintu ketika tiba-tiba saja aku merasa seolah diayun. Ah, mungkin karena aku kurang hati-hati, hingga hampir jatuh. Kemudian guncangan dasyat mulai menderaku. Aku menjerit tak mengerti. Ketika menyadari bahwa bumi berguncang demikian dasyat aku berlari keluar kamar mandi, kulihat atap rumahku meliuk-liuk dasyat, bagian rumah sebelah barat sudah runtuh. aku mendapati bahwa aku telah terkepung dan tak bisa berlari. aku berfikir cepat. berlari ke arah kolam ikan lele di barat sumur, lega mendapati ada longkangan yang tak beratap. Aku tak bisa mengendalikan tubuhku. Seketika aku berpegang pada bibir kolam dan meringkuk.

Allaahuakbar!!” Kuteriakkan takbir dan dzikir yang sempat hinggap dalam otakku, sekenanya, seingatnya. Aku mencoba mendongak dan mendapati air seolah tumpah ruah di atasku. Tsunami! pikirku kalut. Aku tak mungkin lagi berlari dan hanya pasrah pada takdirNya.

Bumi mendadak membisu. Aku masih terpaku seolah beku. Merunduk ketakutan dengan tangan masih mencengkeram bibir kolam dan mata rapat terpejam. Lantas kuberanikan diri menatap sekelilingku, rata dengan tanah. Aku terpana tak berdaya, rumah tuaku tinggal puing-puing yang berserakan. Kugerakkan tangan dan kakiku. Aku tidak terluka sedikit pun. Mukjizat! Aku dikepung reruntuhan rumahku, namun tak satu benda pun melukaiku.

“Sriiii!!” Kudengar sebuah lengkingan histeris di luar sana. Itu suara mas Pardi. Tertatih aku mencoba berdiri.

“Aku tidak apa-apa!” Teriakku.

Ia memandangku takjub. Tangisku pecah. Tak sabar aku ingin menuju ke arahnya. Aku berdiri di atas bibir kolam. Tanpa pikir panjang aku memanjat atap rumah yang runtuh. Terlalu rapuh hingga kakiku terperosok ke dalamnya. Darah segar mengalir karena tergores paku. Sakit pun tak kurasa. Aku merangkak di atas reruntuhan atap dan melompat turun. Mas Pardi memelukku erat. Rasa syukur kami meluap atas keselamatan hidup kami.

“Dimana bapak, Sri?” Tanya mas Pardi tiba-tiba. Bagai kilat yang menyambar, kemungkinan itu membuatku beku.

“Bapak… Ya Allah… bapak tadi tidur mas!” Jelasku kalut.

Mas Pardi seketika berlari ke kamar bapak. Ia berteriak-teriak histeris memanggilnya. Aku terduduk lemas melihat kamar bapak kini telah rata dengan tanah, sedang bapak tidur di dalamnya. Tidak! Bapak harus tetap hidup. Oh Tuhan selamatkanlah ia.

“Bapak!!… Bapak!!” Tak henti mas Pardi memanggil sembari mengangkat reruntuhan dinding dengan hati-hati.

“Uhuuk..uhuuk!” terdengar suara bapak terbatuk lemah.

“Sri… bapak masih hidup! Tolong bantu! Cepaat!” Teriak mas Pardi.

Sambil terus melafalkan doa, perlahan-lahan kuraup reruntuhan di atas kamar bapak. Hingga nampaklah bapak yang tertidur di atas ranjang yang dipenuhi reruntuhan diding. Kepalanya berdarah sedang dadanya tertimpa pecahan dinding yang cukup besar.

“Ya Allah…. Bapak… bertahanlah!” ucapku gemetar.

Kamu bersihkan sisa puing-puing itu, aku akan ke jalan meminta bantuan. Bapak harus dibawa ke rumah sakit, Sri. Kulihat mata mas Pardi memerah sebelum ia berlari sekuat tenaga menuju jalan raya.

Dengan tangan gemetar kusingkirkan reruntuhan dari badan bapak. Aku tersedu. Aku tak ingin kehilangan untuk yang kedua kali. Kuseka wajah bapak yang putih berdebu. Darah segar masih terus mengalir dari dahi dan bibirnya.

“Bapak akan baik-baik saja. Mas Pardi sudah mencari bantuan,” bisikku di telinga bapak yang tetap tak bergeming. Nafasnya begitu lemah.

Bantuan pun datang bersama beberapa orang tetangga. Bersama-sama mereka mengangkat bongkahan besar yang menindih kaki bapak dan mengangkat bapak ke atas pick up yang berhasil mas Pardi dapatkan dari relawan di jalan.

“Sri, aku akan membawa bapak ke rumah sakit. Kamu tetaplah di sini dan kumpulkan beberapa barang yang masih bisa terselamatkan, mungkin nanti akan kita butuhkan,” Aku hanya mengangguk sambil tersedu menatap sosok tua itu semakin rapuh.

Ya Tuhan, gempa yang terjadi demikian hebatnya. Pertanda apakah ini? Kini di mana kami hendak berteduh? Sedang rumah kami runtuh. Aku berjalan menuju ke selatan rumah, taman ibu. Taman ibu tidak rusak, karena joglo masih bisa menopang rumah bagian selatan meski miring ke arah selatan. Jika ada gempa susulan yang agak keras, ada kemungkinan bisa runtuh juga. Setelah mengumpulkan beberapa barang dan pakaian, aku duduk terpaku di atas batu dekat deretan bunga kembang kertas. Eluh kembali membanjiri pipiku. Rumah tua ini kini hancur. Kenangan indah masa kecilku seolah ikut terkubur.

“Ibu… kini bapak terbaring lemah tak berdaya. Akan tiba giliranku menjaga taman ini untukmu,” bisikku di antara sedu sedanku.

Raungan suara motor yang tiba-tiba berhenti di samping taman itu mengusikku. Pak Rahmat? Apakah ia butuh bantuan? Keluarganya selamatkah?

“Nok!… Sri!.. Sri!” Teriaknya sambil tergopoh-gopoh ke arahku.

“Pak Rahmat? Syukurlah Bapak selamat? Keluarga bagaimana?” Tanyaku ingin tahu. Yang ditanya justru menggeleng-gelengkan kepala.

“Sudah, keluarga bapak tidak usah dibahas! Sekarang ayo Bapak bonceng ke rumah sakit!’ ujarnya sambil menggandeng tanganku. Badanku seolah beku. Bayangan wajah bapak yang berlumur debu dengan darah segar mengalir dari bibirnya membayangiku.

“Ada apa, Pak? Bapak saya sudah aman bersama mas Pardi ke rumah sakit. Saya diminta menunggu barang-barang di rumah.” ucapku panik.

“Barang-barangmu akan aman di sini. Anakku Sapto nanti biar ke sini. Bapakmu kritis, Sri! Ayo cepat!” Pandanganku kosong. Hatiku seolah ditikam sembilu. Aku membisu menurut saja kemana Pak Rahmat membawaku.

Pemandangan yang disajikan di pinggir jalan sepanjang rumah sakit sungguh mengiris hati. Banyak orang terkapar dengan darah mengucur di kaki dan tangan mereka. Anak-anak menangis mencari keluarganya yang terkubur di rumah mereka. Rumah-rumah indah itu kini rata dengan tanah. Memasuki pelataran rumah sakit, banyak korban gempa tidur tanpa alas di lantai dengan infus diikat pada paku di sana-sini. Aroma darah tercium kuat. Petugas medis tanpa peralatan lengkap lalu lalang menenangkan para korban, memberi pertolongan seadanya.

“Ayo Sri, Bapakmu beruntung bisa masuk ke dalam ruang.” Pak Rahmat terus menarik tanganku menuju kamar Bapak. Jantungku semakin bertalu.

Kulihat mas Pardi di ambang pintu bangsal mawar, ia tersedu. Memukul dan mencakar diding bisu tanpa malu. Tidak! Tidak mungkin! Bapak pasti baik-baik saja. Aku terus menggeleng-gelengkan kepala menyangkal segala bayangan yang hinggap di kepala. Langkah pak Rahmat terhenti. Lengannya melingkar di bahuku. Kakiku beku, kaku. Mas Pardi berpaling, menatapku. Bibirku gemetar, tak mampu berujar. Aku bagaikan daun kering di musim gugur yang terbang tertiup angin, tak berdaya melawan takdir.

“Sri!” Lengan kuat mas Pardi mendekapku erat seolah tak ingin kehilanganku. Bahunya terguncang. Mengabarkan bahwa takdir telah membawa bapak pergi. Pergi membawa ribuan mimpi yang belum sempat kubagi. Pergi meninggalkan janji yang belum ditepati. Eluh membanjiri pipiku namun wajahku kaku, hingga tangan kokoh itu merangkum wajahku dan memaksaku menatap wajahnya. Satu-satunya keluarga yang kini tersisa.

‘Sri ingin melihat bapak Mas,” ucapku lemah.

Pak Rahmat bersama mas Pardi menuntunku memasuki ruangan itu. Aku terpaku di depan pintu. Ada berberapa tubuh tak bernyawa berselimut kain putih sepanjang badan. Mereka menuntunku menuju salah satunya. Aku tak percaya ini terjadi padaku. Masih terngiang obrolan dengan Bapak tadi pagi di taman ibu. Masih terngiang lantunan merdu suara adzan bapak tadi pagi yang mendamaikan hati. Bapak berpamitan untuk pergi tidur tadi pagi. Rupanya, kini bapak akan tertidur selamanya.

Kain putih itu kini tersingkap. Menampakkan wajah bersih Bapak yang tak bersuhu. Pandanganku kabur. Air mataku tak terbendung. Tanganku terulur gemetar menyentuh wajah yang damai itu. Kubisikkan namanya. Kulafalkan surah Al Fatihah di telinganya. Kukecup keningnya, dan pecahlah tangisku sembari memeluk tubuhnya yang kaku untuk yang terakhir kalinya.

“Bapak… Maafkan Sri, Pak. Jika Bapak di sana bertemu ibu, sampaikan padanya Sri akan menjaga wasiatnya, wasiat bapak juga. Sri ikhlas, Pak.”

Tubuhku ditarik menjauh. Beberapa petugas medis meminta ijin untuk mengkhafani jenazah Bapak. Terdengar beberapa kesepakatan antara mas Pardi dan pihak rumah sakit. Jenazah bapak akan diantar ke rumah siang itu juga. Pak Rahmat pamit pulang untuk mempersiapkan segala sesuatunya. ,

***

(BERSAMBUNG)

Tinggalkan Balasan