Sore itu, Sri menyirami tanaman cabai, terong, sawi yang mulai lebat. Ia berdendang. Menikmati hasil dari perjuangannya selama satu tahun ini untuk mewujudkan mimpinya memiliki warung hidup dan apotik hidup di taman depan rumahnya. Warna hijau dan beberapa buah atau sayur yang bergelantungan di taman menjadikan hari-hari Sri semakin berwarna.
Tumbuhlah subur, anak-anakku, gumam Sri puas. Ya, Sri bahkan menganggap tanaman-tanaman itu bagaikan anak-anaknya sendiri yang harus diberi makan dan minum, juga harus dirawat dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan.
“Bapak Ibu, tersenyumlah bahagia di sana, Sri bisa menjaga amanahmu. Taman ini kini menjadi taman surganya Sri. Banyak cinta kalian kutemukan di sini,” bisik Sri sembari membuai dedaunan. Senyumnya mengembang.
Lamunannya terusik oleh suara bising kendaraan bermotor yang terdengar semakin dekat. Benar saja, motor itu berhenti di depan Joglo. Dahi Sri mengerut. Siapa mereka. Dua orang pemuda itu tampak mengamati sekeliling mereka dengan antusias.
“Wah, kalau ini jadi milik kita, kita jadi punya tempat untuk beristirahat yang nyaman, Jo.” celoteh salah satu pemuda itu sembari tertawa.
Apa maksud ucapan pemuda itu? Jantung Sri berdegup kencang membayangkan berbagai kemungkinan. Mereka tentu datang bukan tanpa sebab. Mas Pardi…. ah pasti ini karena mas Pardi. Kini apalagi yang dilakukan mas Pardi? Sri tahu mas Pardi begitu terpukul dan labil sejak kepergian bapak, namun tidak terpikir olehnya mas Pardi bakal melakukan hal yang nekat.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” Sapa Sri lantang dengan tatapan tajam ke arah dua pemuda itu. Mereka terkejut lantas terpaku menatap Sri. Salah satu di antaranya justru menatap Sri tanpa berkedip.
Seorang pemuda yang tadi dipanggil Jo mendekat. Ia menatap Sri penuh minat. Sri bergidik, namun ia tetap berkeras. Ia yakin bisa mengatasi masalah ini.
“Benar ini rumah Pardi?” Tanya pemuda itu.
Mendengar nama Pardi disebut, Sri merasa sesak. Benar dugaannya. Mas Pardi agaknya membuat masalah. “Ya, benar. Anda ingin bertemu dengannya? Ia sedang tidak ada di rumah.” jawab Sri ketus. Pemuda itu menyeringai.
“Hey… kalem saja. Kau pastilah Sri, adiknya Pardi?”
Seringai pemuda itu mulai membuat Sri muak. Entah apa yang dipikirkan mas Pardi sehingga cerita tentangnya pada pemuda ini. “Ya, benar. Ada apa ya?” jawab Sri dingin.
“Mas Pardimu itu punya hutang sama saya,” jelasnya.
Berita itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Otak Sri berputar keras. Seberapa besar hutang mas Pardi sehingga pemuda ini menginginkan rumah tua ini. Bagaimana dengan taman ibu? Hati Sri hancur. Ia marah dan muak pada sikap mas Pardi yang tak berperasaan. Mas Pardi tentu ingin menggadaikan atau menjual rumah ini. Tak sabar Sri ingin segera mendengar penjelasan kakaknya satu-satunya itu.
“Oh. Berapa hutang mas Pardi pada anda?” Tanya Sri ketus.
“Tak banyak sih, hanya 50 juta. Kebetulan sertifikat rumah ini sudah ada pada saya. Jika tidak bisa membayar, tentu saja rumah ini akan saya lelang untuk membayar hutangnya. Oh ya, saya beri waktu satu bulan ya, Dek Sri.” Jelas pemuda itu menyeringai sebelum pergi meninggalkan Sri yang berdiri kaku tak bergeming.
Setelah suara motor itu berlalu, Sri tersungkur lunglai tak berdaya di taman itu. Tangannya mencengkeram rumput liar dan tergugu. Cobaan apalagi ini. Di tengah kebahagiaannya memiliki taman wasiat orang tuanya ini, seseorang hendak merampasnya.
“Mas Pardi Jahaat!!” Pekiknya. Wajah bahagia ibunya di taman itu, wajah damai ayahnya ketika memandangi taman itu terlintas di benaknya. Ia kembali tergugu.
“Bapak…. ibuk… Maafkan, Sri tidak bisa menjaga amanah kalian. Ya Tuhaan, apa yang harus saya lakukan?” Pekiknya. Ia tak menyadari seseorang yang sedari tadi mendengar dan menyaksikan peristiwa itu.
“Nduk…” Sapanya hati-hati.
Sri terkejut. Ia cepat menghapus air matanya dan bangkit berdiri. Ia tahu siapa pemilik suara itu. “Sejak kapan Pak Rahmat berdiri di situ?” Tanya Sri masih memunggungi pak Rahmat.
“Bapak tahu semuanya. Bapak mendengar semuanya. Maafkan, Bapak tak bisa menahan diri. Bapak turut prihatin. Bapak bisa merasakan kesedihanmu saat ini,” ujarnya.
Sri berpaling. Ia kembali tak kuasa membendung tangisnya. Ingin rasanya ia bersandar di bahu pak Rahmat yang sudah ia anggap sebagai bapak sendiri itu.
“Darimana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu, Pak Rahmat? Saya tidak ingin rumah dan taman ini dijual. Bapak tahu kan? Taman ini segalanya bagi Sri.” ungkapnya.
“Sri, Bapak punya dua ekor sapi. Bisa bapak pinjamkan dan dijual untuk membantu membayar hutang Pardi, meski masih kurang cukup banyak. Sungguh, Bapak Ikhlas,” jelas Pak Rahmat tulus. Sri terisak. Hatinya mengharu biru mendengar niat tulus pak Rakmat.
“Alhamdulillah…. terimakasih, Pak Rahmat, jawab Sri bersyukur atas kebaikan Pak Rahmat.
(BERSAMBUNG)