KMAB-H23-Cerpen 11-Jangan Berpaling-Part 3

Ilustrasi Cerpen ‘Jangan Berpaling’ (Dok: yis)

Setibanya di rumah, Sila dikejutkan dengan sebuah percakapan antara ibu dengan seseorang. Ia urungkan untuk mengucapkan salam. Tangannya terhenti ketika hendak mengetuk pintu. Ibunya mengobrol dengan siapa? Pikirnya. Tidak ada kendaraan di halaman depan rumah mereka. Siapa tamunya? Tetangga dekat rumah atau orang itu naik kendaraan umum?

“Mas tidak pernah memerdulikan kami. Bukankah bagi Mas, kami ini sudah mati?!” Teriak ibu menghardik orang yang disebut ‘Mas’ itu membuat Sila  tertegun. Perasaannya campur aduk antara senang dan marah yang teramat sangat. Itu pasti Ayahnya. Sang ayah yang ketika ibunya sakit meregang nyawa dan mereka nyaris kelaparan tak jua datang memberi kabar. Sang ayah yang tak bertanggung jawab. Amarah Sila memuncak. Ia hampir saja menggebrak pintu ketika ia mendengar suara berat itu berbicara.

“Sri… Kini aku peduli. Kini aku pulang untuk kalian. Kau tahu? Aku berjuang memendam kerinduan yang mendalam untuk kalian dan berjanji tidak akan menyapa kalian sebelum aku sukses dan bisa memberikan kebahagiaan untuk kalian….” Ucapnya dengan suara bergetar.

“Aku hampir mati, Mas. Kau tahu? Aku ambruk tak mampu lagi bekerja hingga kami kelaparan dan bertahan dengan harta warisan ibu yang tinggal sedikit. Bagaimana jika kau datang dan ternyata aku sudah tak ada lagi. Tidakkah itu kau pikirkan?” Sila tergetar mendengar jawaban ibunya.

Ia paham apa yang dirasakan ibunya saat itu. Ibu begitu kehilangan ayah hingga membuatnya terpuruk. Tapi tidak untuk Sila. Sila hanya tak tahu hendak memutuskan bekerja atau tetap melajutkan sekolahnya. Syukurlah, keputusannya untuk tetap sekolah sudah tepat. Kini ayahnya pulang untuk mereka. Akankah mereka mengusirnya hanya demi sebuah gengsi dan arogansi? Sila pikir lebih baik jujur dengan perasaan masing-masing. Sila yakin Ibunya masih mencintai ayahnya. Mereka membutuhkan satu sama lain untuk bisa saling menopang. Sila harus mampu memaafkan ayahnya dan menyatukan mereka kembali. Masih ada harapan. Semua akan kembali indah pada waktunya jika masing-masing bertahan dan tak berpaling dari kebenaran.

“Aku pun di belahan bumi yang berbeda, menahan lapar setiap hari demi mengumpulkan rupiah untuk modal membuka usaha. Hingga suatu saat aku bertemu dengan anak muda yang mengajakku berlari mengikuti perkembangan dunia bisnis dan IT, hingga akhirnya usahaku berhasil meraih omset besar, Sri. Kita punya gudang sekarang. Rumah kecil ini akan kita renovasi. Aku berjanji akan membahagiakan kalian,” Air mata Sila membuncah tumpah ruah mendengar penjelasan sang Ayah. Hatinya mengharu biru merasakan perjuangan ayah ibunya dalam bertahan hidup untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Tanpa mengetuk pintu, ia pun melangkah masuk.

“Selamat datang kembali, Ayah.” Ujar Sila yang mengejutkan mereka berdua. Sang Ayah tertegun melihat putri semata wayangnya tumbuh menjadi gadis belia nan jelita berdiri di hadapannya dengan seragam biru putih.

“Sila…” Sang ayah mendekat. Sila melihat sosok pria yang dulu sering menggendongnya sembari menyenandungkan lagu-lagu Jawa itu mendekat. Parasnya yang rupawan masih tampak di sana meski telah berhiaskan beberapa kerutan di dahi dan garis bibirnya. Lengan bajunya yang tergulung itu menampakkan tangan kekarnya dengan otot menonjol yang menjadi jejak kerja kerasnya. Dulu ayahnya karyawan perusahaan, namun semenjak perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, sang ayah rela bekerja di bangunan demi menyambung hidup. Lalu tetiba ia menghilang tanpa kabar, hingga saat ini tiba.

“Jangan berpaling lagi, Ayah. Semua akan indah pada waktunya. Kami masih mencintai Ayah dan berharap Ayah pun demikian. Tidak ada orang lain, hanya ada kami dalam kehidupan Ayah, baik dulu maupun ke depannya. Jangan kecewakan Ibu lagi, Ayah. Ayah janji?” Kata Sila. Ibunya tersedu kemudian beranjak untuk memeluk gadis kecilnya.

Sila tahu perasaan ibunya. Ia takut dikecewakan lagi. Ia takut ayahnya pergi karena ada orang lain. Namun sepertinya ketakutan ibu ini tidak terbukti. Ayahnya pergi karena malu tidak bisa membahagiakan mereka. Kini ia kembali menawarkan kebahagiaan, sungguh tak pantas apabila mereka mengelak dan berpaling.

“Ayah janji, Sayang. Aku janji, Sri. Sungguh hanya ada kalian dalam angan dan jiwaku. Aku datang menawarkan segalanya yang kini kumiliki untuk kalian. Aku mencintai kalian lebih dari yang kalian kira…” Ayahnya berupaya mencari kata-kata yang tepat untuk mengutarakan segala rasa. Sang Ibu telah berlari ke pelukannya. Mereka tersedu, Sila beranjak masuk ke kamarnya. Memberikan kesempatan pada Ayah dan Ibunya untuk saling melepas rindu. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan