KMAB-H30-Cerpen 13-Gadis Pantai-Part 2

Ilustrasi Cerpen Gadis Pantai. (Dok:yis)

Beberapa hari berlalu, entah mengapa wajah putus asa gadis itu tak jua bisa lepas dari ingatannya. Rino menyesal tak sempat menanyai diri pribadi gadis itu. Paling tidak agar dia tahu siapa namanya dan di mana ia tinggal. Rino nyengir. Kalau dipikir-pikir, saat itu otaknya juga entah lari ke mana. Ia hanya bertindak menurut perasaannya saja. Ia sedang duduk di warung pak tua itu, lalu tiba-tiba melihat gadis itu berjalan menantang ombak. Tampak tidak memerdulikan ombak besar datang dari jauh. Yang ada di kepalanya saat itu hanya ingin menyelamatkan gadis itu. Ia sama sekali tak berpikir bagaimana jadinya jika malah justru mereka berdua tenggelam. Bukankah sama saja ia mengantarkan nyawa. Sebutan sok pahlawan gadis itu benar adanya. Tapi ia tak menyesal melakukannya. Kalau gadis itu sadar, tentu ia akan kembali ke rumah dan memikirkan semuanya. Tapi bagaimana jika gadis itu tetap bunuh diri? Tak banyak orang saat itu di sana.

“Ah, sial! Sekarang gadis pantai itu memenuhi otakku.” Umpat Rino

Rio membulatkan tekadnya, menyingkirkan bayangan gadis itu dari benaknya. Ia mulai ke cerpen-cerpen hasil penelitian karya siswa MTsN 2 yang harus ia baca dan ia koreksi. Dosennya memberikan padanya kamarin. Besok harus sudah dapat ia serahkan pada anak-anak untuk tahapan menyunting.

Rino berpikir keras, berusaha tetap fokus pada cerpen-cerpen itu. Ah, dasyat juga cerpen yang dibuat oleh anak-anak ini. Di usia yang semuda ini sudah mampu berkarya. Sementara ia dulu, nihil. Tak terasa ia sudah mulai mengantuk. Ia masukkan cerpen-cerpen itu dalam stopmap. Ia matikan lampu belajar karena ibu kos menganjurkan untuk irit listrik. Ia mengantinya dengan lampu tidur yang remang-remang. Kompleks kos-kosan Karang Malang itu sudah sepi. Ia melihat jam tangannya. Pantas, sudah jam satu malam, pikirnya. Rino langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur. Wajah sedih itu kembali melintas dalam angannya. Tak lama kemudian ia sudah pulas.

 

Rino menaiki sepedanya pagi itu. Hari ini ia ikut tim seminar menulis cerpen yang digelar di Fakultas. Ia senang bergabung dengan tim dosen, meski tentu menjadi sibuk luar biasa. Tetapi meliat anak-anak sekolah belajar dan berkarya membuatnya bersemangat. Tampak dari beberapa arah, peserta seminar sudah mulai berdatangan dan measuki ruang seminar. Segera ia memarkir sepedanya. Ia berjalan menuju ruangan, meraih tasnya. Mencari-cari stopmap cerpen-cerpen itu. Tidak ada. Sejenak ia panik dan berpikir keras.

“Ah sial! Tertinggal di garasi.”

Ia berlari cepat ke arah parkiran. Ia menyapa cepat rekannya dan menyampaikan hendak mengambil cerpen-cerpen untuk ditunjukkan pada Bu Ari Kusmiatun, dosen pembimbing skripsinya. Rino mengayuh sepedanya kembali ke kosnya. Saat di persimpangan jalan, Rino terkejut melihat wajah yang ada di ujung jalan itu. Wajah gadis pantai itu. Ia masih hidup. Gadis itu tidak lanjut bunuh diri. Senyumnya mengembang, yang terpenting ia kuliah di kampus ini. Satu fakultaskah? Ah, dunia ini memang penuh dengan kebetulan.

“Hei!” Teriak Rino. Gadis itu tetap berjalan melenggang. Rino merasa diabaikan. Tapi sepertinya gadis itu tidak mendengar teriakannya. Ia mengayuh sepedanya makin cepat. Sayang gadis itu belok dan lenyap di balik gedung bertingkat itu. Wajah cantik gadis itu masih terlihat muram. Rino berniat mengejar dan menanyai gadis itu. Tapi deringan telepon genggamnya menghentikannya. Ia berhenti, mengangkat telepon.

“Ya, Bu?” Sahut Rino.

“Cepat datang ke sini ya, Rino. Bawa cerpen-cerpen itu.” Ucap suara dari seberang. Rino melihat jam tangannya, lalu merengut. Ah, iya. Sudah terlambat lama.

“Ya. Segera, Bu.” Jawabnya mantab.

Rino pun kembali mengayuh sepedanya sekuat tenaga dan berusaha menepis wajah sayu itu. Rino berlari dari tempat parkir menuju ruangan. Sudah terdengar celoteh-celoteh anak-anak yang pembinaan cerpen itu. Luar biasa. Mereka semangat belajar menulis meski masih berusia jauh di bawahnya.

“Rino, sudah kamu bawa kan?” Sapa Bu Ari di belakangnya.

Ia berbalik dan tersenyum. “Pagi, Bu. Ini dia cerpen-cerpen dasyat yang saya ceritakan semalam,” Rino meraih tasnya, lalu mengulurkan stopmap itu ke dosennya.

Dari sudut matanya ia seperti kembali melihat gadis itu. Rino gelagapan  menengok kesana-kemari, namun nihil. Gadis itu ternyata tidak ada. Mungkinkah kini ia berhalusinasi akan gadis itu? Ini konyol! Umpatnya dalam hati.

“Ayo, masuk ruang seminar, anak-anak sudah menunggu kita!” Ajak Bu Ari.

Rino tersenyum manis. Ia pun masuk dan tersenyum pada wajah-wajah polos itu. Untuk kesekian kalian ia berusaha menepis wajah itu. Masih banyak waktu, pikirnya. Jika ia kuliah di kampus ini, pasti ia akan kembali bertemu dengannya. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan