Norman bergegas menuju kediaman Habib. Hari itu Ramadhan bilangan ke 24 berbuka puasa bersama di lingkungan perumahan ustazd. Jam ditangan menunjukkan pukul 17.07 perjalanan ke rumah shahibul bayt berkisar 8 menit. Norman memeriksa saku baju koko. Di sana terdapat 4 lembar uang kertas rupiah.
Niat hati Norman ingin bershadaqoh dengan rincian : lembaran merah hadiah untuk Habib sang shahibul hajad. Sedangkan 3 lembaran lainnya yang berwarna hijau dan biru serta coklat untuk sahabat siapa saja nanti. Walaupun sudah pensiun bolehlah dikatakan Haji Norman seorang dermawan pada kelas kecil kecilan. Kedermawanan itu semakin terlihat setelah menunakan ibadah haji 3 kali seperti juga Haji Muhidin yang di tipi itu.
Ketika melewati musholla di depan rumah bersua dengan Pak Mostufa, “Ayo kita ke rumah Habib”. Norman menjawil untuk bersama bareng ikutan bukber. “Maaf pak haji ane giliran azan magrib neh.” Tergerak hati Norman sedekah. Maka berpindahlah uang kertas warna biru kesaku Pak Mostufa.
Dari kejauhan terdengar suara tahlilan. Acara bukber nampaknya sudah dimulai. Langkah semakin dipercepat. Terhenti sejenak ketika sampai di tanjakan dan beriinsut mendaki meniti satu demi satu anak tangga.
Bersua jamaah lain beriringan tergopoh gopoh karena hampir azan maghrib, Dari jauh sudah terlihat Haji Widodo Ketua Pantia Bukber berdiri di depan rumah Habib. Kami bersalaman sesama tetangga. Habib berada ditengah puluhan jamaah mengatur tempat duduk bersila.
Haji Norman hari itu mengenakan kopiah haji dan kain sarung putih serta baju koko baru di belikan istri. Bersebab tampilan seperti Kiayi maka Haji Norman mendapat kehormatan dan dipersilahkan duduk ditempat berkumpulnya para ustad. Terniat mau menyerahkan hadiah si lembar merah ke Shahibul Bayt namun tertunda karena banyak jamaah yang baru saja tiba berebutan mencium tangan Habib.
Nanti saja ketika pulang saja hadiah diserahkan untuk Ulama Kharisma ini pikir Norman. Jamaah berdatangan semakin banyak. Halaman rumah Habib sudah penuh anak anak yatim. 5 menit menjelang ifthor di bacakan doa oleh Sahabat Habib.
Hidangan ifthor kali ini nasi kebuli betawi. Senampan bertiga menikmati aroma khas gulai kambing. Alhamdulillah sungguh nikmat hidangan buka puasa sore itu apalagi bisa makan senampan dengan para ulama.
Bada shalat maghrib Haji Norman bergegas mencari Habib. Niat utama menyampaikan hadiah lembaran merah. Namun apa daya shahibul bayt sedang menjamu tamu khusus di dalam rumah. Nampaknya Silembar merah berubah peruntukan bukan untuk Habib lagi.
Ketika dalam perjalanan pulang Norman melewati rumah si Mbah. Si Mbah sepuh acap bertemu di lingkungan perumahan. Tanpa memperhatikan uang akan diberikan, langsung saja sedeqah itu milik sang nenek.
Melewati kali cipinang berpapasan pula dengan “langganan” seorang pemuda yang acap menyampaikan ucapan ” Assalamualaikum” di depan rumah. Sambil bersalaman perpisahan disimpang jalan dengan sobat seperjalanan Bang Zainuri tergerak hati Norman bersedeqah. Dirogohlah saku ditengah kegelapan. Sang pemuda menerima satu lembaran.
Ketika tiba didalam rumah Norman baru sadar sewaktu melihat isi saku hanya tinggal selembar uang lima ribuan. Tidak jelas uang kertas seratus ribu itu diberikan ke si mbah atau si pemuda.
Ya inilah perjalanan takdir sang uang kertas. Ternyata Allah Swt telah mengatur rezeki setiap mahluk di muka bumi ini. Haji Norman boleh berniat sedeqah kepada seseorang namun Allah Swt yang “membantu” kemana uang itu layak dan berguna di terima umat yang lebih membutuhkan.
Catatan
Ternyata benar setiap lembaran uang kertas itu memiliki takdir tersendiri. Kemana perjalanan panjang yang akan di lalui, siapa yang tahu. Masih bersih dan licin uang kertas yang baru di cetak memuiai pengembaraannnya dari Bank Indonesia.
Pecahan seratus ribu, lima puluh ribu, dua puluh ribu, sepuluh ribu , lima ribu, dua ribuaan dan terakhir seribu rupiah. Si uang kertas berpindah dari satu tangan ke tangan lain ketika terjadi transaksi jual beli.
Perpindahan tangan itu bisa juga terjadi bersebab menerima gaji. Selain itu bisa pula uang kertas bermutasi dalam bentuk sedekah dari dermawan kepada dhuafa.
Dalam perjalanan nasib uang kertas tentu berbeda, lembaran seratus ribu dan lima puluh ribu lebih banyak beredar di kalangan orang berpunya. Sedangkan uang kertas recehan apa boleh buat beredar di pasar pasar tardisionel dan angkot.
Satu hal yang sama uang kertas itu lambat laun menjadi jelek, kumal dan kotor atau bahkan robek. Maklum saja perpindahan yang sangat cepat sudah pasti mencederai di lembaran yang hanya berbentuk kertas tipis.
Akhirnya uang itu walaupun masih meniliki nilai jual dan nilai beli terpaksa kembali ke pangkuan Bank Indonesia. Si jelek dan kumal harus di musnahkan atau dihanguskan kemudian di ganti dengan lembaran kertas baru yang bersih dan licin serta memiliki aroma khas duit.
Takdir lembaran uang kertas berkelana sesuai dengan kehendak sang pemilik. Nilai uang kertas itu akan terasa bermakna ketika dia di fungsikan untuk saling berbagi. Dari si kaya ke si miskin bukan beredar di kalangan konglomerat saja.
Subhanallah
Salam Literasi
BHp 15 Juni 2021
YPTD