MASA KECILKU

 


Masa kecilku
Foto Masa kecilku

Aku dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana di Kampung Gajrug, Desa Bintangresmi, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Tepatnya hari Jumat, tanggal 12 Agustus 1988 dari seorang ayah yang bernama Nurdin dan seorang ibu bernama Urnas. Ayah biasa dipanggil dengan sebutan Bapak Nunung, sedangkan ibu biasa dipanggil dengan sebutan Mak Uung.

Ayah bekerja sebagai tukang service elektronik seperti tv atau radio kala itu. Sempat juga satu-satunya bengkel yang menerima setrum aki. Sedangkan ibu seorang penjual gorengan keliling selama kurang lebih 25 tahun lamanya.

Aku mempunyai 3 saudara kandung dan 1 Kakak sambung, 2 kakak laki-laki dan 2 kakak perempuan. Kakak pertamaku laki-laki atau dipanggil Kak Agus. Sedangkan Kakak sambungku bernama Kak Arif. Jadi, saat ayah menikah dengan ibu, ayah sudah membawa anak pertamanya yaitu Kak Arif.

Di Lebak, karena mayoritas masih Suku Sunda, untuk panggilan Kakak perempuan disebut teteh atau disingkat menjadi Teh. Teh Nur adalah kakak Perempuanku, anak kedua setelah Kak Agus.Teh Ncih adalah anak ke-3 sedangkan aku adalah anak ke-4 atau si bungsu.

Saat ini aku terpaku menatap sebuah fotret keluarga. Di dalam foto itu aku duduk dipangkuan ayah ditemani Teh Nur dan Teh Ncih. Ada juga Erna sepupuku dan Kak Datuk, anak dari Kakak ibuku. Memang foto ini adalah foto ulang tahunku yang ke-6 yang dirayakan saat itu.

Foto itu aku bersihkan dari banyaknya debu yang menempel di pigura. Namun, sayang. Fotonya sudah menempel pada kaca bingkainya yang di dalamnya juga tersemat foto pernikahan Kak Agus bersama istrinya, Teh Ene. Karena foto ini sudah usang, jadi tidak bisa dilepaskan dan sudah melekat seperti lem. Dari pada nanti rusak semua, akhirnya aku hanya bisa memajangnya kembali setelah pigura tersebut dibersihkan.

Aku kembali mengenang masa kecilku. Masa ketika memiliki keluarga lengkap dengan almarhum kakek yang bernama Jamhari dan almarhumah nenek yang bernama Amnah. Awalnya keduanya tinggal di Kampung Sampaleun 1 atau biasa disebut Kp. Nyarengseng. Aku terbiasa menginap satu minggu sekali hanya untuk bisa liburan di sana.

Nenek dan kakek biasa bertani. Dulu, kakek biasanya menanam kacang tanah atau kacang panjang. Kadang juga jagung dan tanaman yang lainnya. Masih ingat betul saat musim panen tiba, aku membantu merabut kacang tanah. Rasanya sangat asyik sekali. Meski baju kotor tapi pengalaman itu sangat berharga dan terkesan dalam hati.

Tidak hanya kakek dan nenek yang pandai bertani. Ayah pun demikian. Ayah sering menanam singkong atau ubi. Masih ingat ketika panen, aku dan semua saudara panen ubi di kebun. Pernah juga ayah menanam kangkung, mentimun, juga tanaman lainnya.

Tak jarang pula ayah sesekali membeli bibit ikan nila untuk dimasukkan ke dalam empang. Saat panen tiba, aku, kakak, beserta ibu, terjun ke empang untuk menangkap ikan. Meski baju terkena lumpur dan bau empang, semuanya tak jadi hambatan, asalkan hati senang. Setelah menangkap ikan di empang, biasanya ada ritual bakar-bakar ikan dan makan nasi liwet bersama keluarga.

Beralih ke masa kecil bersama ibu, aku kerap kali membantu ibu berjualan gorengan. Aku suka menemani ibu sambil menjinjing termos es teh yang dijual Rp. 500, an. Ibu biasanya menjual aneka gorengan seperti bakwan, tempe, donat pisang, buras, bahkan nasi uduk. Kadang kala, ibu juga suka berjualan cilok.

Mak Uung, itulah panggilan nama ibuku ketika berjualan keliling. Selama kurang lebih 25 tahun berjualan keliling, selama itu pula ibu berjualan di pondok pesantren almarhum H. Saiman. Ibu sempat bercerita, dulu jualan secara sembunyi-sembunyi karena takut dimarahi apa. Namun, lama kelamaan akhirnya ibu diperhatikan dan dibolehkan berjualan di pesantren. Ibu ke pondok dua kali dalam sehari. Pertama, pagi-pagi menyimpan dagangan. Kedua, malam hari setelah isya, mengambil dagangan. Saat di pondok libur, rumahku pasti dipenuhi para santri yang liburan menonton serial tv drama kolosal seperti Angling Darma, Tutur Tinular, atau serial tv lainnya.

Setiap santri yang mondok di Kp. Gajrug, mayoritas kenal dengan ibuku. Bahkan pernah suatu ketika ikut bersama almarhum apa Haji Saiman undangan ke Kp. Citorek, Lebak, Banten, ibu pulang dibekali beras yang begitu banyak.

Hal itu karena saat ibu menyimpan dagangan di pondok, Ibu tak pernah menghitung berapa banyak dagangan yang keluar, berapa untung, berapa rugi, atau berapa hutang para santri. Ibu hanya berpesan, bagi yang mengambil dagangan, uangnya simpan ke bawah koran di dalam baskom yang berisi gorengan. Ibu juga berpesan yang tidak punya uang boleh ambil dagangannya, hutang hitung sendiri, kalau sudah ada rezeki baru membayar.

Mungkin inilah yang membuat ibu sangat dikenal dikenang kalangan santri pada masanya. Ibu dikenal para santri dengan sebutan Uyum. Siapa yang kenal Uyum, itulah dia ibuku.

Setiap orang, pasti memiliki masa kecil yang sangat berharga. Saya bahagia memiliki masa kecil dengan keluarga yang sangat harmonis. Ini kisah masa kecilku untuk menjawab tantangan KMAC (Karena Menulis Aku Ceria) hari pertama.

Flyer Wajib KMAC YPTD
Flyer Wajib KMAC YPTD

Salam blogger inspiratif
Aam Nurhasanah

#Day1
#Sabtu,11Februari2023
#KMAC
#KarenaMenulisAkuCeria

Tinggalkan Balasan

3 komentar