Hempasan Lautan Asa karya Afrianti (bagian 2)

Hempasan Lautan Asa (bagian 2)

Terkenang kala pertama Aku menginjakkan kaki di sekolah dasar negeri yang bernama “Ibu Resilien” beberapa tahun lalu. Langkah pasti, dengan penuh kepercayaan diri, semata-mata untuk melaksanakan tugas yang diamanatkan kepada diri. Dengan keyakinan tinggi, aku memarkirkan kendaraan di samping tempat parkir, tepat di depan rumah penjaga sekolah. Tak seorang pun terlihat di sekitar tempat itu.

Sebelum mematikan mesin kendaraan, tak lupa kaca diturunkan satu centimeter agar terik matahari tidak menyebabkan kaca pecah, sebab tidak satupun pelindung yang menaungi tempat itu. Apa benar terik matahari bisa membuat kaca pecah? Entahlah… Selepas itu, tangan kiri meraih tas yang terletak di belakang jok samping. Tas kecil berwarna hitam, bertali panjang. Sebenarnya tas tersebut jarang sekali dipakai, khusus pada saat pergi hajatan saja. Biasanya tas ransel berwarna coklat yang selalu tersandang di punggung, berisi laptop dan lainnya.

Kubuka pintu dan perlahan menurunkan kaki kanan, sembari mengucap Bismillahirohmanirrohiim. Aku mulai menapakkan kaki di tanah. Ini adalah kali pertama bagiku menginjakkan kaki di sekolah ini, posisi sekolah tempat di puncak Kilometer enam. Sebuah tempat di mana dua buah kecamatan hanya dipisahkan oleh jalan depan sekolah.

Saat menapak, ” Innalilahi wa innailaihi rojiun” ucapku dalam hati. Sedikit insiden terjadi, tumit sepatu yang tujuh centimeter terinjak kerikil dan hampir saja terjatuh, beruntung tangan kanan sigap meraih badan mobil, hanya kontak mobil yang terlempar tak jauh dariku. Waktu itu semua guru berada di dalam kelas. Aku mendengar beberapa guru sedang menjelaskan materi pelajaran.

Aku mulai melangkahkan kaki menuju ruang kepala sekolah. Sebetulnya, aku tidak tahu di mana tempatnya, tetapi karena dua bangunan terpisah dan modelnya sama, salah satunya rumah penjaga sekolah dan yang satunya kuyakini itulah ruang kepala sekolah. Aku tidak menemukan satu orang pun guru, siswa, atau penjaga sekolah.

Kaki terus melangkah, batin berkata, “Semoga Alloh paring keamanan, keselamatan, kelancaran dan kebarokahan.”

Di depan ruang kepala sekolah, seorang guru muda menyambutku dengan senyuman manis yang menghias wajahnya. Guru muda tersebut berkata, ” Selamat datang Bu Kepala, mari masuk Bu!” seraya mempersilakan aku masuk.

“Bu Afri, silakan duduk! Kita tunggu pengawas dan Pak Kordik sebentar, mereka sedang di perjalanan” suara Kepala Sekolah itu terdengar dari dalam ruangannya.
“Oh, ya” jawabku.
“Izin Bu, saya tinggal sebentar” kata guru muda.
Aku menjawab dengan anggukan dan seulas senyum.
Kulayangkan pandangan ke arah halaman, tak lama kemudian mobil Pak Kordik terlihat memasuki halaman sekolah dan parkir di bawah pohon pelindung.

Kulihat Pak Kordik dan pengawas berjalan menuju ruang kepala sekolah, aku pun berjalan ke arah pintu. Kepala sekolah pun bergegas ke luar ruangan dan menyambut Pak Kordik serta pengawasan. Aku mengikuti mereka. Tas hitam kecil tak lepas dari pundakku.

Kepala sekolah langsung membawa Pak Kordik dan pengawas menuju ruang guru yang berada di sebelah kiri ruang kepala sekolah. Sampai di sana, ternyata seluruh guru dan tenaga kependidikan telah berkumpul semua. Guru muda mempersilakan tamu menempati kursi yang telah disediakan. Aku duduk di sebelah kiri, pengawas, Pak Kordik, dan paling kanan Kepala Sekolah.

Pak Kordik membuka acara, dilanjutkan pengarahan dari pengawas, kata sambutan dari kepala sekolah lama, dan sepatah kata dariku sebagai tanda perkenalan. Kordik menyerahkan berkas yang harus ditandatangani oleh kepala sekolah dan aku, sebagai saksi adalah pengawas.
Serah terima jabatan antara Kepala Sekolah lama kepadaku telah selesai. Ditutup dengan do’a.

Pak Kordik, pengawas dan kepala sekolah, pamitan meninggalkan sekolah. Seluruh guru menyalamiku sebelum mereka ke luar ruangan. Kuhela nafas panjang, saat membaca dua judul dokumen yang diberikan oleh Kepala Sekolah kepadaku. “Hmm, profil sekolah tahun 2014 dan 2015.”

Bersambung…

Tinggalkan Balasan