Menulis tidak Dinikmati Sendiri

Menulis tidak Dinikmati Sendiri

Sampai hari kedelapan, saya masih menulis tanpa Inspirasi, tetap menulis mengalir seperti air. Menulis memang tidak harus menunggu inspirasi, tapi setidaknya harus memberikan inspirasi.

Menulis bukanlah untuk dinikmati sendiri, tapi untuk berbagi. Sebagai bagian dari kerja seni, menulis bukanlah untuk kebutuhan diri sendiri. Sebagai karya seni dalam istilah Perancis, bukanlah L’art pour L’art (seni untuk seni), tapi untuk berbagi dan dinikmati pembaca.

Istilah itu lahir pada abad ke 19 di Perancis, di abad 21 sekarang ini sudah tidak berlaku lagi, seni tidak lagi untuk seni, karya seni menjadi inspirasi untuk banyak orang, semakin menginspirasi maka semakin memberikan manfaat.

Makanya buku ini berjudul, “Menulis Tanpa Inspirasi,” melainkan memberikan inspirasi. Dari hari ke hari apa yang disajikan berusaha untuk memotivasi dan memberikan inspirasi.

Bagi saya menulis itu tidak asyik dengan diri sendiri, meskipun setiap tulisan itu mempunyai takdirnya sendiri, namun motivasinya tetap untuk berbagi manfaat dan inspirasi.

Menulis itu memang mengasyikkan, sehingga kadang kita menjadi asyik dengan diri sendiri, dan lupa untuk berbagi. Saya sangat iri dengan Maestro Penulis Indonesia Pramoedya Ananta Toer, yang karya-karyanya mendunia, dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa.

Bisa jadi semasa hidupnya Pramoedya tidak pernah berpikir kalau karyanya akan seperti itu, seperti itulah takdir sebuah tulisan. Jangan juga berkecil hati kalau apa yang dituliskan sepi pembaca, karena setiap tulisan itu mempunyai pembacanya sendiri.

Kalau ada yang bilang bahwa dia menulis untuk dinikmati sendiri, saya yakin sesungguhnya tidaklah seperti itu sebenarnya. Penulis mana sih yang tidak ingin karyanya diapresiasi pembaca?

Memang saya tidak menutup mata, bahwa sekian banyak buku yang saya terbitkan tidaklah terjual semuanya.

Dengan sebuah keyakinan untuk terus memotivasi diri sendiri, saya yakin suatu saat karya-karya saya tersebut akan menemukan takdirnya, tidak pun sekarang, mungkin setelah saya mati. Itulah cara saya terus memotivasi diri saya untuk terus menulis.

Setidaknya, kalau pun saya sudah mati, tapi karya saya akan abadi, tidak akan hilang dari sejarah dan peradaban, seperti yang pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer, bahwa menulis itu untuk keabadian, agar tidak hilang dari sejarah dan peradaban.

Ketika kita sudah memulainya untuk menulis, maka hanya kitalah yang tahu kapan mengakhirinya. Orang lain tidak tahu apa yang kita pikirkan, dan dalamnya pemikiran kita, kecuali semua itu kita tuliskan. Itulah pentingnya menulis, agar orang lain tahu gagasan kita, dan seperti apa kita memikirkan dan mewujudkan pemikiran tersebut.

Saya teringat apa yang dikatakan Virginia Woolf, terkait tujuan dan motivasi awal menulis, dengan sangat ekstrim dia menganalogikan menulis itu seperti dibawah ini:

. “Menulis itu seperti seks. Pertama kamu melakukannya demi cinta, lalu kamu melakukannya untuk temanmu, dan kamu lalu melakukannya untuk uang”.

Tidak salah analogi Virginia tersebut, pada tujuan akhirnya secara umum memang seperti itu. Sebuah karya tulis itu dibeli, dan dibayarkan dengan uang adalah bentuk dari apresiasi terhadap karya kita.

Tidak perlu munafik menerima kenyataan tersebut. Itu sebuah realitas yang tidak bisa dielakkan. Produk seni adalah juga komoditi, meskipun tidak berorientasi seperti itu pada awalnya, namun pada akhirnya akan bermuara kesitu.

Ajinatha

Tinggalkan Balasan