Sebagaimana disampaikan pada paparan sebelumnya bahwa pada umumnya penduduk kota Palu dan sekitarnya menggunakan bahasa daerah Kaili sebagai bahasa asli (native language) Mereka mendiami kota Palu yang terdiri dari delapan kecamatan dan beberapa kabupaten lainnya yang terdapat di wilayah lembah Palu.
Kota Palu sebagai ibukota provinsi Sulawesi Tengah sesungguhnya sangat indah dan strategis dari sudut pandang destinasi wisata. Frame three in one bisa jadi salah satu daya tariknya. Betapa tidak, view pantai, pegunungan, dan laut hadir secara bersamaan dalam sekali pandang. Amazing khususnya di malam hari.
Garis katulistiwa yang selalu setia menemani tidak menjadi sesuatu yang ekstrim lagi. Segala aktivitas masih bisa dilakukan secara normal dalam kondisi suhu udara yang cukup tinggi. Dengan kata lain kondisi geografis dan penduduknya sudah saling beradaptasi.
Goncangan gempa, likuifaksi plus tsunami 2018 silam seakan membuka mata kami. Inilah kota Palu dengan segala keberadaanya. Menurut riset kota Palu dilalui ‘lempeng Palu Koro” Itulah kondisi yang ada dimana masyarakat Palu harus terbiasa dengan segala resiko alam yang tidak bisa diprediksi secara sempurna.
Bencana dahsyat tanggal 28 September 2018 telah mengajarkan banyak hal, terutama pesan moral kehidupan yang sesungguhnya. Hidup adalah milikNYA. Manusia hanya lakon yang telah dibekali dengan skenario kehudupan itu sendiri. Cermin diri yang seutuhnya telah diperlihatkan lewat peringatan dahsyat tersebut.
Terlepas dari itu semua, tentu tidak ada salahnya bila irama, riak, dan gaung kehidupan sehari-hari yang selama ini berlaku dalam kehidupan masyarakat Kaili sehari hari dipaparkan secara sederhana dalam bentuk tulisan, baik dalam bentuk buku maupun digital. Mungkin besok atau lusa bagi siapa yang butuh informasi meski sedikit akan terbantu dengan isi tulisan ini. Saya bukan antropologist, saya hanyalah salah satu dari ribuan generasi tanah Kaili yang baru tersadar akan pentingnya ‘budaya tulis’ meski hampir di penghujung waktu.
Kota Palu bukanlah tergolong kota yang perubahannya sangat cepat bila dibandingkan dengan kota kota lainnya misalnya kota kota di pulau Jawa.
Masih segar di ingatan saya sekitar dua puluh tahun yang lalu yakni pada akhir tahun 1998, ada keluarga yang datang setelah puluhan tahun baru berkunjung lagi ke Palu mengatakan bahwa semua bangunan yang dia tinggalkan kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu belum banyak berubah, masih tetap di tempatnya. Wah, tidak bakalan kesasar kalau begitu.
Sebagai orang Palu, penulis sesungguhnya merasa nyaman dengan keadaan seperti yang digambarkan di atas.
Betapa tidak? Polusi lingkungan masih sangat kurang. Air yang mengalir di got yang berasal dari pematang sawah, masih bisa digunakan penduduk untuk mencuci. Banjir karena got penuh dengan sampah tidak pernah terjadi. Sungai masih jernih dan dalam karena tidak ada penduduk yang membuang sampah di sana. Polusi udara karena asap kendaraan hampir tidak ada. Kemacetan tidak ada sama sekali. Trotoar masih di hiasi dengan para pejalan kaki meski di Palu suhu udaranya rata rata 33 sampai 36 derajat Celcius setiap hari
Akan tetapi di sisi lain hidup haruslah dinamis, seiring perubahan zaman di era global yang terasa sangat cepat. Jika tidak menyesuaikan mungkin kita akan terlindas oleh zaman.
Saat ini pembangunan infrastruktur di kota Palu semakin pesat. Giat perekonomian juga mulai berkembang. Banyak pendatang dari kota lain yang mencoba mengais kehidupan di Palu disebabkan peluang untuk berusaha yang masih besar. Kondisi ini berpengaruh terhadap kondisi sehari hari yang ada.
Kemacetan selalu terjadi terutama di lampu merah pada saat jam orang berangkat kerja pagi hari dan pulang kerja di sore hari. Sebagai pertanda kota Palu sudah mengalami perubahan dan perkembangan.
Sanggupkah masyarakat kota Palu mengatur langkah dan beradaptasi dengan semua itu? Mungkinkah terjadi pergeseran pergeseran nilai sebagai resiko dari perubahan dan tuntutan hidup yang semakin mendesak?
“Budaya Lisan dalam Kepemilikan Tanah”
Kepemilikan tanah atau lahan di kota Palu pada zaman orang tua kami dahulu terutama di era tahun 60-an ke bawah masih sangat longgar. Banyak lahan yang dibiarkan tanpa adanya pagar atau batas yang jelas. Terlebih lagi legalitas tanah berupa sertifikat, hanya sebagian kecil masyarakat yang memilikinya. (terutama mereka yang sudah lebih paham akan hukum kepemilikan tanah).
Mengapa masyarakat pada umumnya bersikap demikian? Karena mereka beranggapan bahwa tanah itu adalah milik pribadi yang diturunkan langsung dari orang tua mereka dahulu. Siapa yang berani mengambil? Kalaupun ada anggota keluarga yang butuh untuk berkebun atau menempati, silahkan. Toh hanya antara kita juga sesama saudara.
Tanah diwakafkan untuk kepentingan desa tanpa disertai surat atau tanda terima itu sah sah saja kala itu. Sistem kepercayaan dan pegang janji sangat dijunjung tinggi. Trust atau rasa saling percaya ternyata berjalan maksimal di zaman peradaban yang masih belum berkembang pesat. Suatu tanda bahwa nilai karakter sangat dijunjung tinggi kala itu.
Bagaimana potret kehidupan saat ini? Adakah orang yang rela memberikan dan menerima tanah tanpa tanda terima? Mungkin tidak ada, karena semuanya sudah diatur oleh hukum yang berlaku agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan di masa mendatang.
Terdapat banyak contoh kasus perebutan tanah atau lahan yang tidak memiliki tanda penyerahan resmi atau tertulis terjadi di masyarakat tanah Kaili.
Lahan luas yang sudah diserahkan oleh totua (orang tua/kakek/buyut) untuk kepentingan umum di desa, diperkarakan oleh anak ccunya. Mereka berusaha mendapatkan kembali tanah itu dan memenangkan perkaranya.
Sebuah lembaga pendidikan harus ditutup untuk beberapa waktu, karena pemilik tanah mengclaim tanah tersebut adalah milik mereka.
Pertengkaran hebat antar saudara satu turunan terjadi karena mereka menempati sebuah lahan hanya atas dasar ‘permisi atau izin lisan’ dari kakek/nenek buyutnya.
“Kalau ingin tetap tinggal, maka ganti rugi harga lahan harus ada. Bila tidak, resikonya berarti meninggalkan tempat meski bangunan sudah berdiri kokoh selama puluhan tahun di tempat itu”.
Sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu terjadi bila buktti penyerahan resmi ada. Itulah contoh pergeseran nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya yang tidak bisa dihindari. Namun di sudut hati yang dalam muncul persaan sedih bila mengingat ketulusan hati para pendahulu . Semuanya punah begitu saja karena derasnya tuntutan hidup, yang memaksa anak cucunya harus mengingkari apa yang telah mereka berikan untuk kepentingan orang banyak.
Inilah fakta lemahnya hukum pada masa dahulu yang hanya berdasarkan rasa kepercayaan atau lisan, Sehingga sering memunculkan masalah baru yang sebenarnya tidak perlu ada.
Apa yang diuraikan dalam tulisan ini merupakan fakta yang ada dalam masyarakat khususnya suku Kaili. Mungkin pada masyarakat adat di tempat lain, hal yang serupa juga terjadi. Kiranya kita bisa mengambil hikmah dari semua ini.
Siapa pun kita, darimana pun kita berasal, kebijakan dalam tautan persaudaraan itulah yang harus dijunjung. Bukankah kita semua adalah pewaris dari rangkaian panjang proses yang telah dirintis oleh para pendahulu (totua)? Mereka telah berjuang untuk anak cucunya, yakni kita semua . Semoga nilai persaudaraan di tanah Kaili tidak akan pernah pupus oleh waktu dalam roda zaman yang terus melaju.
Kiranya kebersamaan dalam bingkai rasa saling menyayangi satu dengan yang lain akan tetap terpelihara hingga di ujung waktu. Jangan lupa pesan orang tua (totua) berikut ini :
Masintuvu kita maroso morambanga kita marisi “Berdiri sejajar kita akan kuat berdampingan kita akan kokoh”. Norambanga Nosabatutu “Hidup berdampingan sebagai satu turunan”
Wasallam. Semoga bermanfaat.