Biarkan Celoteh Rindu Berkelana
Oleh: Sri Sugiastuti
Sebagai obat hati yang gulita
Jangan berhenti untuk bercerita
Agar hati tak bersimbah air mata
Kuawali goresan pena ini untuk mengenang usianya yang ke 60 tahun genap pada 1 Oktober 2022. Adindaku Sri Subiantari. Aku belum memulai kisah hidupnya dan kebersamaan ku dengannya.
Namun, dadaku sudah sesak menahan tangis. Kami kakak beradik yang hanya terpaut usia 1 tahun lebih. Aku lahir tahun 1961 di bulan April, sementara tanggal lahir adindaku 1 Oktober 1962.
Sudah 55 tahun lebih kebersamaan itu baik suka mau pun duka. Sejak masa kecil, remaja, dewasa, sampai akhirnya kami menemukan jodoh masing-masing. Aku tinggal di Solo, dan dia tinggal di Jakarta.
Lakon hidup dan takdir kami pun berbeda. Dalam goresan pena ini, ingin kuungkapkan semua rasa rindu, rasa terima kasih dan doa panjang untukmu y ang sudah berbaring tenang di alam kubur. Memang kami menua bersama, dan banyak sekali rencana indah yang kami kemas.
Kami merenda harapan apabila masa pensiun tiba, kami bisa ke taman surga bersama. Duduk manis di taklim, mengkaji tafsir al quran atau memperbaiki bacaan Al quran kami yang masih grotal-gratul kata orang solo. Kami juga punya cita-cita travelling ke Indonesia Bagian Timur. Kami memang punya banyak sahabat di Nusantara dan gemar silahturahmi.
Yaa Allah, aku jadi teringat betapa banyak tempat yang kami singgah bersama. Tentu saja yang paling mengesankan saat aku melaksanakan ibadah haji di tahun 2006. Ibadah haji bersama Ibunda, adindaku dan adik ipar, merupakan perjalanan haji umroh yang luar biasa.
Aku merasa mendapatkan kemudahan di saat usia masih 45 tahun. Full semangat dan siap siaga mendampingi ibunda yang pasca stroke. Sedangkan Adindaku cukup menguasai medan, karena ibadah hajinya kali ini yang ke 3.
Kebersamaan lain yang masih ku ingat saat kami ke pantai selatan daerah Gunungkidul. Menikmati suasana sore, malam dan pagi hari dengan menginap di salah satu hotel di sekitar pantai sangat mengesankan. Sarapan pagi di tepi pantai, menghirup udara bersih sambil memandang laut lepas, diiringi suara gemuruh ombak memecah karang menjadi satu kenangan indah bersamamu.
Tadabur alam yang sering kita lakukan selalu menguatkan batin kami. Sering kami ngobrol dan membahas banyak hal, khususnya bagaimana kami berlomba dalam kebaikan termasuk menguatkan iman dan mempertebal rasa syukur.
Allah maha baik. Itu kalimat yang sering kau ucapkan, saat hatimu galau, atau ada yang mendzalimi dirimu. Sementara aku hanya menghibur dan memintamu
untuk selalu bersabar. Dalam hal rezeki, ku akui Allah limpahkan begitu banyak, semua itu karena kasih sayang-Nya. Alhamdulillah harta yang Allah berikan kau manfaatkan di jalan-Nya.
Hasil belajar mengaji dan jiwa sosialmu membuatku iri. Tetapi aku imbangi dengan kemampuan yang kumiliki. Karena pada dasarnya semua orang sudah punya rezeki dan takdirnya masing-masing. Dengan potensi yang kami miliki, kami sering berbagi.
Kini semua tinggal kenangan. Aku harus meniti sisa hidupku tanpa mu. Allah begitu sayang kepadamu. Takdirmu sampai di usia 58 tahun. Civid-19 hanya sebagai perantara sebelum malaikat datang menjemputmu.
Aku masih teringat saat kau pamit ke RS dan ada sedekah yang kau titipkan untuk anak pondok yang biasa kau santuni. Begitu juga harapanmu bila masih diberi umur, agar aku bisa mencarikan seorang anak yatim dan ibunya yang akan hidup bersama denganmu.
Rasanya aku tak sanggup lagi mendaur banyak kenangan bersamamu. Janjiku padamu, aku akan selalu memelukmu dalam doa.
Ikut merasakan kehilangan.
Terima kasih telah berbagi narasi indah tentang adik Ibu.