Mendidik dan Mengajar, Menjadi Manusia Secara Utuh

Terbaru666 Dilihat

 

Sekolah dan Pendidikan merupakan bekal bagi anak didik kita dalam meraih masa depan. Berbagai hal dapat kita lakukan setiap hari di ruang kelas maupun di luar ruang kelas, untuk memberi bekal bagi siswa. Ibarat smartphone, maka kita, bapak dan ibu guru menjadi charger pengisi daya agar tidak lobet. Lantas, bagaimana bisa kita “Mengisi daya” pada siswa, jika smartphone dan charger tidak sinkron?.

Pemahaman tentang pengertian pendidikan dan pengajaran yang digabungkan, malah dapat mengaburkan pengertian yang sesungguhnya. Pengajaran adalah suatu cara menyampaikan ilmu atau manfaat bagi hidup anak-anak secara lahir maupun batin. Sehingga, pengajaran merupakan salah bagian dari pendidikan. Sementara pendidikan adalah tempat menaburkan benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat, sekaligus sebagai instrumen tumbuhnya unsur peradaban.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak didik. Dengan demikian, mendidik adalah menuntun segala kodrat yang ada pada murid, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Anak didik tercipta sebagai makhluk yang memiliki kodrat  untuk mereka hidup dan tumbuh. Artinya, guru sebagai pendidik tidak dapat menentukan dan berkehendak akan hidup tumbuhnya siswa sesuai kemauan guru.

Maka, yang dapat kita lakukan sebagai pendidik adalah menuntun tumbuh atau hidupnya potensi yang dimiliki siswa. Guru dapat mengerahkan segala daya dan upaya yang dimiliki agar siswa tumbuh kembang siswa secara maksimal. Namun jangan lupa, ada juga siswa yang tidak dapat tumbuh dan berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh yang membatasinya.

Sebagai guru, kita dapat berupaya membangun dan menjaga agar suasana lingkungan kondusif, sehingga setiap anak didik dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratnya. Jika kita mampu menuntun siswa, maka akal budi mereka akan berkembang, sehingga terciptalah kebudayaan bangsa. Kelak, kebudayaan bangsa yang tercipta akan menjadi ciri khas dan dasar perubahan zaman, yang membedakan bangs akita dari bangsa-bangsa lainnya.

Bagaimana caranya agar budaya bangsa tidak tergerus oleh zaman?. Jawabannya terletak pada peran guru yang dengan memberikan praktik pembelajaran yang mengembangkan kerjasama, empati, menghargai sesama dan berkontribusi sosial kepada sesama. Dengan demikian, maka budaya bangsa tetap terjaga, terawat, tidak akan hilang digerus zaman, karena anak didik kita akan memiliki akar budaya yang kuat. Kelak, anak didik kita akan dewasa, maka tiba masanya mereka akan terbantu dalam menghadapi berbagai tantangan.

 

 

 

B. Pendidikan Selama Satu Abad

Ternyata, sistem pendidikan kolonial terwariskan hingga saat ini, maka masih ditemukan kasus kekerasan pada anak didik. Siswa yang tidak mengerjakan tugas, akan mendapat hukuman atau sanksi dari guru. Sebaliknya, penghargaan (Rewards) yang diberikan pada siswa, lebih berorientasi pada kecakapan kognitif. Dengan berpatokan pada hasil ujian, maka abai pada sisi perkembangan kecakapan sosial emosional. Jika siswa tidak mencapai batas ketuntasan minimal, maka guru menganggap siswa tersebut telah gagal dalam belajar.

Juga ternyata, sistem pendidikan kolonial didasarkan atas diskriminasi, yaitu perbedaan perlakuan terhadap anak pribumi dalam mendapatkan pendidikan. Sistem Pendidikan kolonial masih bersifat materialistis, individualistis, dan intelektualitas. Maka hadirlah Ki Hajar Dewantara untuk memberi perlawanan, dengan memunculkan konsep sistem Pendidikan yang humanis dan transformatif, yang dapat memelihara kedamaian dunia.

Ki Hajar Dewantara memperkenalkan “Sistem among”, yaitu Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani. Seorang guru harus memberi contoh yang baik bagi anak didiknya, harus membangkitkan/menguatkan semangat, bukan melemahkan, serta harus mendorong supaya siswanya mandiri. Inilah esensi sebenarnya dari merdeka belajar. Ruh dari Tut wuri handayani adalah memerdekakan anak didik.

Pendidikan yang sesuai dengan bangsa kita adalah pendidikan yang humanis, kerakyatan, dan kebangsaan (Ki Hajar Dewantara). Buah pemikiran beliau hingga saat ini masih tetap eksis, dan melampaui zamannya. Ki Hajar Dewantara mengemukakan gagasan tersebut pada abad ke-19, dan masih relevan hingga kini. Sebagai pendidik, kita dapat mewujudkan cita-cita Ki Hajar Dewantara, yaitu dengan cara memberi hak dan kesempatan belajar sesuai dengan keinginan dan bakat anak didik. Guru harus memberikan daya upaya terbaik dalam mendidik murid.

 

C. Menjadi Manusia Secara Utuh

Ada dua kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan lahir (Jasmani) dan batin (Rohani). Manusia diberi akal yang digunakan untuk berpikir, merasa, dan berkarya. Jika pikiran, perasaan, dan kehendak berpadu, maka timbullah daya dan budi pekerti, sebagai ciri khas manusia merdeka. Manusia merdeka adalah manusia yang dapat memerintah dan menguasai dirinya secara mandiri, dan inilah yang disebut dengan kodrat sebagai manusia.

Bagaimana cara agar siswa dapat mengetahui kebutuhan lahir dan batinnya sendiri, maka pendidik berperan membantu memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuannya adalah agar tercapai keseimbangan dalam menjalani kehidupan, tidak berat sebelah. Untuk itulah maka pendidikan seyogyanya mampu memberi “Didikan lahir” maupun “Didikan batin”. Kebudayaan merupakan hasil budi manusia secara lahir dan batin. Pengembangan budi pekerti berupa pikiran/olah cipta, karakter/olah rasa, kemauan/olah karsa, dan jasmani/olahraga.

Sebagai pendidik, kita harus memandang siswa sebagai manusia secara utuh dalam mendampingi mereka menentukan tujuan belajarnya. Guru harus menentukan rencana pembelajaran sesuai kebutuhan anak didik, yang akan membantu mereka untuk mengembangkan kekuatan lahir dan batin. Guru tidak cukup hanya membantu memberikan Pendidikan yang berorientasi pada kemampuan kognitif, tetapi juga sisi kekuatan batinnya, yaitu sosial, empati, emosi, dan lainnya.

Seyogyanya, siswa dilatih untuk mengembangkan kebutuhan batin untuk menentukan tujuan belajarnya.mengembangkan kerjasama, empati, menghargai sesame, refleksi untuk mengembangkan diri, serta berkontribusi di lingkungan sosial. Apakah kita sudah menjadikan anak didik manusia seutuhnya?, apakah kita sudah membantu memberi nutrisi bagi kebutuhan lahir dan batinnya?. Bagaimana cara kita mendampingi untuk mengasah keterampilan bernalar siswa dengan sebaik-baiknya?.

Jika ternyata menjadi guru, sebagai pendidik dan pengajar sudah menjadi pilihan hidup, maka bersyukurlah. Sebab kita berada di garda terdepan untuk mengawal generasi pemilik negeri, yang meneruskan perjuangan kita di masa depan. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.

 

 

Tinggalkan Balasan