Pengalaman dari Universitas Kehidupan

Terbaru317 Dilihat

 

 

 

Seseorang pernah bertanya kepada saya,
Adakah pelajaran hidup terbesar yang bisa dipelajari orang lain dari hidupmu?

Satu quote yang selalu saya tanamkan pada diri saya dan juga sering saya sampaikan kepada siapapun yang mengobrol dengan saya tentang pendidikan adalah: ILMU ITU TIDAK TERLETAK DI SEKOLAH, TAPI PADA KEMAUAN BELAJAR!

Kenapa Quote ini saya tanamkan pada diri saya dan saya sampaikan kepada mereka yang ngobrol dengan saya? Ini tidak terlepas dari pengalaman hidup yang saya jalani.

Saya lahir dalam keadaan yatim, karena ayah saya meninggal saat saya berusia 7 bulan dalam kandungan ibu. Ibu meninggal saat saya berusia 4 tahun. Memasuki usia sekolah saya dimasukkan ke Panti Asuhan.

Saya hanyalah tamatan Sekolah Dasar. Saya DO saat memasuki bulan ke-5 ketika saya sekolah di PGAN tahun 1970. PGAN saat itu setingkat dengan Tsanawiyah saat ini atau setara SMP.

Berhenti sekolah bukan berarti berhenti belajar. Alhamdulillah saya diberi Allah rasa ingin tahu yang besar terhadap apapun yang saya temui. Pepatah lama yang berbunyi “Alam terkembang jadi guru” benar-benar saya manfaatkan. Saya bisa membaca surat kabar atau majalah serta buku-buku berjam-jam tanpa istirahat. Dari ketiga media itulah ilmu saya berkembang, sehingga suatu saat seorang teman sempat bercanda kalau saya itu ensiklopedia berjalan, khususnya tentang pengetahuan umum. Karena, bila satu saat dia mendengar berita yang bersileweran, dia sering menanyakan tentang berita tersebut kepada saya, dan saya menjawabnya lebih dari cukup dari apa yang dimintanya. Tapi saya juga akan mengatakan tidak tahu kalau yang ditanyakan itu memang belum saya ketahui.

Satu lagi pedoman hidup yang saya ambil dari kitab suci Al-Qur’an adalah: Allah tidak akan mengubah nasib kamu, bila kamu sendiri tak berusaha untuk mengubahnya.

Jadi 90 persen ilmu saya adalah ilmu yang dipelajari secara otodidak. 4 tahun magang di suratkabar, saya belajar mengetik gratis di kantor redaksi hingga akhirnya bercita-cita jadi wartawan. Dalam masa 4 tahun itu juga saya belajar bagaimana proses terbitnya sebuah surat kabar, mulai dari mengumpulkan berita, mengetik dan mengedit ulang hingga layak diterbitkan. Dalam masa itu pula saya mempelajari dunia percetakan melalui percetakan yang masih berada dalam satu komplek dengan kantor redaksi dan tatausaha. Menyusun huruf satu demi satu untuk kepala berita, menatanya di rangka besi seukuran kertas koran sesuai dengan komposisisi yang sudah diatur bagian layout.

Ilmu fotografi juga saya pelajari secara otodidak, mulai sejak memotret dengan kamera pinjaman hingga akhirnya memiliki kamera sendiri yang masih memakai film seluloid, hingga kemudian berlanjut dengan kamera digital DSLR.

Saya memang gagal jadi wartawan karena masalah pendidikan, karena yang saya punyai hanya ijazah SD, mana ada media yang mau menerima lamaran saya 🙂

Ilmu fotografilah yang akhirnya menjadi penopang hidup saya, walau sebelumnya sempat juga membuka service peralatan elektronik dan kemudian jadi tehnisi komputer.

Melalui fotografi yang saya jalani sebagai freelance, saya sempat dikontrak sebuah perusahaan asing dunia perminyakan selama tiga tahun. Begitu kontrak habis akhirnya membuka studio foto sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan