Mengenal TBLA dari Guru Model

“Seorang guru itu adalah orang yang berani mengajar dengan tidak berhenti belajar.” (Anonim)

Salah satu keuntungan mengikuti asosiasi profesi bagi seorang guru adalah bisa terus belajar untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi dirinya. Sejak masuk  ke dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA di Kabupaten Subang, saya sungguh bahagia. Mengapa? Karena banyak orang-orang hebat yang begitu menginspirasi saya untuk terus belajar dan belajar.

Jumat, 10 Februari 2023, saya mengikuti kegiatan MGMP khusus untuk pengurus. Pasca pandemi, kegiatan memang lebih difokuskan di komisariat. Jadi, kegiatan di kabupaten biasanya dihadiri oleh pengurus saja. Nantinya, setiap pengurus memiliki tanggung jawab untuk mendiseminasikan ilmu yang didapat kepada rekan-rekan di komisariat masing-masing.

Komisariat dibagi berdasarkan wilayah. Dari enam komisariat, sekolah saya masuk ke Komisariat Kalijati. Lima lainnya adalah Komisariat Subang, Jalancagak, Ciasem, Pagaden, dan Pamanukan. Yah, jika MGMP diibaratkan suatu negara, maka komisariat adalah provinsinya. Hehe.

Kegiatan MGMP kedua di tahun 2023 ini bisa dikatakan adalah sebuah diseminasi dari Bu Pipit, Guru IPA SMPN 1 Subang. Beliau berkesempatan mengikuti pelatihan untuk guru-guru ASIA yang di antara penyelenggaranya adalah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) bekerja sama dengan Universitas Nagoya, Jepang.

Pelatihan tersebut melibatkan sekitar 16 guru dari seluruh Indonesia. Mereka bersama-sama belajar tentang model terbaru lesson study yaitu Transcript Based Lesson Analysis (TBLA) lalu mencoba menerapkannya di sekolah masing-masing.

Bu Pipit sedang menjelaskan tentang TBLA (foto: Fera)

Di awal pertemuan, Bu Pipit bercerita bagaimana beliau berproses sebagai guru model dalam TBLA yang dilakukan dalam empat siklus. Meski menggunakan kata siklus, namun siklus dalam TBLA bisa menggunakan strategi yang berbeda. Inilah yang membedakan siklus TBLA dengan siklus pada Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

Inti dari TBLA adalah proses pembelajaran yang ditranskripkan. Oleh karena itu, para observer akan mencatat apa saja yang diucapkan guru dan bagaimana respon murid, setiap waktu. Lesson study dengan model TBLA akan lebih efektif bila divideokan atau menggunakan voice recorder. Nantinya rekaman suara/video tersebut akan diubah menjadi transkip agar bisa dianalisis.

Skema TBLA menurut penejelasan Bu Pipit  ada empat, yaitu:

  1. Plan. Pada tahap ini, para guru berkolaborasi menyiapkan pembelajaran bersama-sama. Tidak lagi dibebankan hanya kepada guru model.
  2. Do. Pada tahap ini guru model akan melakukan pembelajaran dan diobservasi oleh rekan-rekan guru lainnya (open class).
  3. See. Di tahap ketiga pasca-open class, para guru akan sama-sama berdiskusi dan melakukan refleksi atas pembelajaran yang telah ditampilkan. Rekaman video/audio juga akan ditranskripkan sehingga analisis dialog guru-siswa dapat menjadi bahan evaluasi apakah pembelajaran yang direncanakan sudah sesuai atau belum.
  4. Redesign. Jika pada siklus pertama masih terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki, maka pembelajaran akan didesain ulang.

Saya dan teman-teman MGMP baru melaksanakan tahapan Plan. Kami berkolaborasi dalam kelompok menyiapkan hal-hal yang diperlukan untuk proses pembelajaran. Pembelajaran yang akan dicontohkan nanti memuat unsur-unsur pembelajaran diferensiasi, sesuai dengan kurikulum merdeka yang saat ini berjalan.

Total ada tujuh tim dalam tahap plan, yaitu Tim Asesmen Diagnostik, Bahan Tayang, Lembar Kerja, Media, Refleksi, Post Test, dan Tim Observer. Saya masuk ke kelompok Tim Post Test. Setelah bekerja sama dalam tim, kami melakukan presentasi. Tim saya diwakili oleh Pak Arif dari SMPN 2 Pagaden.

Minggu depan, para pengurus yang telah hadir di MGMP TBLA harus mendiseminasikan di komisariat masing-masing. Open class tingkat kebupaten akan dilaksanakan bulan Maret menyusul kemudian di tiap komisariat. Bismillah, semoga segala sesuatunya lancar.

Tinggalkan Balasan