Pada artikel sebelumnya, kita telah berkenalan dengan restitusi (bagi yang belum baca silakan klik Mengenal Restitusi). Di artikel sekarang, isinya akan lebih berfokus pada contoh nyata melaksanakan restitusi.
Dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, (2001), Diane Gossen telah merancang tahapan untuk memudahkan guru maupun orang tua dalam menyiapkan anaknya melakukan restitusi. Tahapan tersebut dikenal dengan istilah Segitiga Restitusi.
Segitiga restitusi adalah suatu proses dialog yang dijalankan oleh guru atau orang tua agar dapat menghasilkan murid yang mandiri dan bertanggung jawab. Proses dialog ini digambarkan pada ketiga sisi pada segitiga restitusi.
Agar dapat memahami segitiga restitusi, mari kita cermati contoh dari setiap poinnya. Misal, ada anak yang bertengkar dengan temannya karena difitnah mencuri penggaris.
Pada tahap stabilkan identitas, seorang guru bisa memberi ruang kepada murid untuk bercerita terlebih dahulu. Contoh :
Murid : “Aku kan cuma pinjem doang, Pak. Masa dikira nyuri? Ya aku kesel, lah!”
Guru : “Iya, kamu pasti marah dan kesal karena dikatakan mencuri. Bapak juga mungkin akan kesal bila ada yang memfitnah Bapak.”
Setelah menstabilkan identitas, kita bisa melakukan validasi tindakan yang salah, misal dengan bertanya :
Guru : “Lalu apa yang kamu lakukan?”
Murid : “Ya aku marah-marah depan dia. Akhirnya aku pukul keras-keras penggarisnya ke meja sampai patah jadi dua.”
Di tahap ini, kita mulai bisa mengajak murid untuk berpikir dan menganalisis kesalahannya.
Guru : “Wah, sampai begitu, ya. Kamu melakukan itu karena alasan tertentu kan?”
Murid : “Ya iyalah Pak, saya nggak terima dibilang mencuri. Orang cuma pinjem, kok!”
Guru : “Baik. Mempertahankan harga diri itu memang penting. Lalu apa sebelumnya kamu meminta izin terlebih dahulu terkait penggaris itu?”
Murid : “Ya gak bilang secara langsung, sih Pak. Tapi dia lihat aku ngambil penggarisnya. Kan gak harus nyampe bilang aku nyuri juga!”
Ketika murid sudah mulai menyadari kesalahannya, kita bisa tanyakan keyakinan padanya (tahap ketiga dari segitiga restitusi). Lalu memberi ruang pada siswa untuk memikirkan solusi terbaik. Misal :
Guru : “Baik, coba diingat lagi. Ketika kamu mengambil barang orang lain tanpa izin lalu marah-marah sampai merusak barang orang lain, apakah itu sesuai dengan prinsip yang kamu pegang?”
Murid : “Ya nggak sih, Pak. Tiap orang kan harus menghargai orang lain.”
Guru : “Betul. Penting bagi setiap orang untuk mampu menghagai orang lain. Ini keyakinan kita. Lalu, kira-kira solusi apa yang kamu punya untuk menyelesaikan masalah ini?”
Murid : “……”
Nah pembaca setia, dalam restitusi, solusi hadir dari siswa. Tugas guru/orang tua adalah membimbing anak-anak untuk memperbaiki kesalahannya. Bila harus meminta maaf atau mengganti barang yang rusak, biarkan ide itu muncul dari anak. Ini untuk memberi hak pada anak agar mampu belajar dari kesalahan.
Jangan lagi segera berkata “Ayo, minta maaf!” atau justru menghukum “Kamu tidak boleh istirahat!”. Karena sungguh, di balik setiap tindakan ada kebutuhan dasar yang ingin dipenuhi. Melalui komunikasi yang baik, kita bisa mengetahui kebutuhan dasar apa yang sedang anak-anak coba penuhi.
Apa sajakah kebutuhan dasar yang melandasi seseorang dalam bersikap? Insya Allah dibahas pada postingan berikutnya, ya.
Salam, refleksi.