Suaka Margakata
Bagaimana Menentukan Kata Arkais?
Oleh: Erry Yulia Siahaan
“Apakah Nujum Termasuk Kata Arkais?” Demikian judul sebuah tulisan yang saya temukan pada waktu menelusuri kata-kata arkais. Karena tertarik, saya mampir ke blog sang penulis. Sayang sekali, pertanyaan yang dilontarkan tanggal 3 Januari 2019 itu tidak berlanjut dengan satupun kata yang terkoneksi dengan judul. Badan tulisan memang mengangkat tema kata arkais, tetapi tidak satu pun yang menjelaskan soal “nujum” apakah termasuk keluarga arkais atau tidak. Tulisan itu juga tampaknya hasil salin-tempel tulisan tertanggal 30 September 2014, entah kreasi si empunya blog atau dari mana.
Ketertarikan saya tentang pertanyaan itu adalah karena ingin mengetahui bagaimana si pencetus pertanyaan menyelesaikan tulisannya. Bukankah kata “nujum” masih sering kita dengar? Lalu, mengapa dipertanyakan arkais atau bukan? Ataukah saya yang justru tertinggal dalam penggunaan kosakata? Kira-kira begitu pertanyaan yang muncul dalam benak saya.
Kebuntuan dalam blog bukan akhir dari keingintahuan saya. Hal itu justru membersitkan pertanyaan baru, yang menurut saya tidak kalah penting: “Bagaimana kita menentukan suatu kata termasuk keluarga arkais atau bukan?” (Meskipun sejujurnya, saya sudah menyusun hipotesis sendiri tentang ini).
Blog tadi saya tinggalkan. Pencarian baru saya lakukan. Maklum, saya merasa teori saya kurang untuk soal ini. Seingat saya, topik arkais tidak ada dalam pelajaran Bahasa Indonesia sewaktu saya masih bersekolah, dari sekolah dasar hingga lulus dari sekolah menengah atas tahun 1980-an. Ataukah, saya yang lupa?
Dari pencarian saya dengan kata kunci “menentukan kata arkais” keluarlah 11.200 hasil, tetapi sepanjang yang telah saya telusuri, tidak ada satupun yang menjawab pertanyaan saya. Ada satu situs yang ber-tag “menentukan kata arkais”. Saya buka. Ternyata itupun tidak menjawab pertanyaan saya. Blog itu membahas pengertian hikayat, yang salah satu cirinya adalah menggunakan kata-kata dari keluarga arkais. Demikianlah, dari sejumlah situs lainnya, saya belum juga menemukan jawaban.
Hipotesis: Relatif
Pikiran saya kembali ke hipotesis saya di awal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arkais adalah “berhubungan dengan masa dahulu atau berciri kuno, tua”. Menurut Wikipedia, arkais berarti “dari sebuah masa yang lebih awal dan tidak dipakai lagi atau sesuatu hal yang memiliki ciri khas kuno atau antik.” Sementara pada situs glosarium, kita bisa menemukan definisi arkaik sebagai “yang memiliki makna kuno, sudah ketinggalan zaman, sudah tidak lazim dipakai lagi”.
Semisal kita petik kata “kuno” atau “tua” untuk mewakili ciri kata arkais, kita akan mendapatkan kesamaan pengertian bahwa yang dimaksud adalah diksi untuk mendeskripsikan sesuatu yang sudah lama, kolot, tidak modern, dan sejenisnya. Sejalan dengan itu, ada ciri lain yakni “sudah tidak dipakai”. Tampak bahwa dasar dari pengertian arkais menjadi sesuatu yang sangat relatif. Artinya, tidak bisa atau sulit sekali mematok berapa tahun suatu kata sudah tidak digunakan untuk menyatakan kata itu sebagai sesuatu yang arkais. Juga ukuran kuantitatif lainnya, misalnya seberapa sering ia dipakai untuk melepaskannya dari keluarga arkais, dan sebagainya.
Dalam karya-karya Benny Arnas dan Guntur Alam dalam tulisan saya di blog ini satu-dua hari yang lalu, terdapat penggunaan kata-kata arkais, seperti melur, kumpar, sungkup, pejuh, kuar, buncah, terakan, limas, trap, lucum, ngili-ngili, sempal, ranak, jurai, balam, dan sebagainya. Kedua pegiat sastra itu masih eksis sekarang ini. Karya-karya mereka menunjukkan bukti bahwa kata-kata arkais masih digunakan, walaupun jarang. Oleh sebab itu, hal ini menggugurkan definisi yang menyebutkan arkais sebagai sesuatu yang “tidak dipakai lagi”. Memakai atau tidak memakai sebuah kata itu adalah keputusan penulis. Hal itu tidak menjadikan suatu kata menjadi kehilangan eksistensinya dalam kosakata suatu bahasa. Yang mungkin ada antara lain kosakata pasif dan kosakata aktif. Pasif dalam artian jarang dipakai, aktif berarti sering dipakai.
Sesuatu yang jarang muncul bisa saja dilupakan. Demikian pula kata-kata arkais. Padahal mungkin kata-kata yang jarang dilirik itu jauh lebih efektif jika digunakan untuk melukiskan sesuatu. Menjadi tugas kita untuk melestarikan kata-kata arkais agar dapat dikenali kembali dan digunakan demi meramaikan iklim literasi di Tanah Air. ***
#Lomba Blog PGRI Bulan Februari 2021
#Hari ke-4, Kamis, 4 Februari 2021