KMAC H-11 Redundant 10: Reflection

Redundant 10: Reflection

Oleh Erry Yulia Siahaan

“Pekerjaan apa yang menurut anda paling sulit dan mengapa?” tanya seorang tutor online kepada muridnya. Dia meninggalkan kelas sebentar untuk memberikan waktu bagi peserta pembelajaran memikirkan jawaban sebaik-baiknya.

Tutor kembali beberapa menit kemudian. Karena waktu terbatas, tidak semua murid berkesempatan mengutarakan pendapatnya di depan kamera. Berbagai jawaban muncul. Dari pekerjaan yang menguras tenaga sampai profesi yang membutuhkan keahlian otak.

Ada seorang peserta, seorang ibu, yang menjawab, “Menurut saya, pekerjaan tersulit adalah menjadi orang lain.”

“Mengapa,” tanya tutor. Yang lain tak kalah ingin tahunya.

“Karena menjadi orang lain itu bikin capek. Benar-benar menguras tenaga,” jelas si ibu.

Saya sungguh terkesima dengan jawaban ibu tersebut. Saya setuju. ‘Menjadi orang lain’ bisa membuat kita terjebak pada usaha untuk selalu menyenangkan orang lain atau untuk bisa disukai oleh orang lain, untuk hidup dalam kepalsuan, sehingga justru bisa menghambat pengembangan potensi kita sebagai diri sendiri secara maksimal. Juga melelahkan. Waktu dan energi kita terbuang percuma, tapi itu untuk apa.

Menarik, pikir saya. Begitu kelas usai, saya tidak lagi terlalu memikirkannya dan langsung berbenah untuk tidur.

Reflection

Besoknya, Sabtu (28 Februari 2023) pagi, dalam ibadah, saya terkesan dengan Firman dan renungan yang teragenda. Matius 28 ayat 18-20 mengingatkan saya tentang penyertaan Tuhan, yang tak putus-putus untuk menyanggupkan kita hidup secara maksimal dan melampaui keterbatasan diri kita. Betapa Allah adalah pribadi yang bertanggungjawab. Tidak akan pernah Ia menyuruh kita untuk mengerjakan apapun atau mengijinkan sesuatu terjadi, tanpa Ia sendiri menolong kita.

Usai ibadah, seperti biasa saya menyetel lagu-lagu. Setelah mendengarkan lagu rohani, saya mencari-cari lagu lain di kanal YouTube, tanpa mengetahui mau lagu apa atau penyanyinya siapa. Saya hanya asal membuka. Mana saja yang ketemu dan yang menurut saya enak, begitu pikir saya.

Entah kenapa, di tengah keinginan mendengarkan lagu-lagu dari YouTube itu, seperti ada yang bilang “Christina, Christina”. Pikiran saya langsung tertuju pada Christina Aguilera,  penyanyi cantik bersuara tinggi yang menjadi juri The Voice di AS dan belakangan terkenal dengan lagu “Say Something”.

Saya sempat “menolak”. Saya berpikir untuk mencari saja lagu-lagu dari Adelle. Saya mulai mencoba mengingat-ingat apa ya judul lagu Adelle yang enak dan yang saya suka. Tidak tahu bagaimana persisnya, setelah saya masuk ke kotak pencarian di YouTube, saya justru mengetik nama “Christina” dan muncullah sederetan nama pada riwayat pencarian dan saya langsung mengklik “Christina Aguilera”. Muncul pula deretan videonya. Di nomor dua ada lagu berjudul Reflection. Lagu ini saya sempat kenal, khususnya sewaktu saya bergabung dengan salah satu paduan suara. Itu yang kemudian saya klik.

Pesan moral dalam lagu ini adalah: “Apakah kita harus memakai topeng, untuk menutupi rahasia atau kekurangan kita? Apakah kita selama ini memakai topeng, berpura-pura menjadi orang lain, menjadi bukan diri kita yang sebenarnya, hanya untuk merasa ‘aman dan nyaman’? Tidakkah kita lebih baik menjadi diri kita yang sebenarnya, untuk dicintai ‘apa adanya’, bukan karena ‘ada apanya’?”

Redundansi

Tidak ada yang namanya kebetulan. Puji Tuhan. Semua Tuhan ijjinkan terjadi. Saya makin kagum pada bagaimana Tuhan bekerja dan menyatakan keagungan-Nya.

Adanya jawaban si ibu dalam kelas online waktu malam dan bertemunya saya dengan lagu Reflection besok paginya, merupakan redundansi pesan yang sama. Namun, sekali lagi menyangkal prinsip semantik, redundansi ini ternyata penting dan tidak mesti ditiadakan. Redundansi ini bersambut juga dengan pesan dalam nats dan renungan dalam ibadah pada pagi itu. Bahwa, penyertaan Tuhan tidak pernah berhenti. Tuhan mampu menyanggupkan kita untuk hidup maksimal, bahkan melampaui keterbatasan diri kita. Betapa Allah adalah pribadi yang bertanggungjawab. Tidak akan pernah Ia menyuruh kita untuk mengerjakan apapun atau mengijinkan sesuatu terjadi, tanpa Ia sendiri menolong kita.

Saya jadi teringat tulisan Bapak Thamrin Dahlan di situs ini, yang link-nya saya terima melalui WhatsApp Sabtu pagi itu juga. Tulisan berjudul “Rezeki Bertaut – Taut (Catatan Thamrin Dahlan)” itu saya baca. Luar biasa pemikirannya.

Pak Thamrin mengalami kendala ketika ingin menulis. Komputernya error. Dia memanggil Mas Mardi, teknisi komputer langganannya. Untuk itu Pak Thamrin tentu harus menyediakan uang untuk membayar jasa Mas Mardi. Pak Thamrin berpikir positif. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini diketahui dan dikendalikan oleh Sang Pencipta. Oleh sebab itu, tulis Pak Thamrin, kita perlu berprasangka baik. Dengan kejadian itu, sang teknisi menerima rezeki halal sebagai imbalan jasanya dan uang yang diperolehnya bisa membantu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya atau keperluan lain.

Terkesan dengan tulisan Pak Thamrin, saya segera meneruskan pesan tulisan itu ke WA grup keluarga. Pesan itu saya susulkan dengan tulisan mengenai Reflection, yang sebenarnya sudah selesai dari pagi tapi sempat saya tahan karena belum berkeinginan untuk membagikannya di WA grup keluarga.

Seperti Tanah Liat

Saya percaya, semua manusia diciptakan untuk rencana yang baik. Kita patut bersyukur menerima kodrat kita dan tidak perlu malu. Kita bersyukur untuk setiap kejadian dalam hidup kita. Kita tidak perlu menyangkalnya, tapi tetap berusaha melakukan yang terbaik. Tidak hidup dengan bersandiwara, seolah-olah kekurangan itu bukan milik kita, seolah-olah masalah itu tidak ada. Tidak hidup dalam kepalsuan. Tidak mencari pelarian. Mantap menjadi diri sendiri, dengan segala kekurangan yang ada, dengan masalah yang ada, dengan tetap mengandalkan Tuhan.

Meskipun misalnya kita memiliki kekurangan dari segi fisik, ekonomi morat-marit, atau kita mengalami realita pahit, kita harus yakin, itu semua atas seijin Tuhan dan Tuhan selalu menyertai kita. Penyertaan Tuhan membuat kita mampu mengatasi semua kekurangan, kepahitan, dan kesulitan dalam hidup. Ketika Tuhan mengijinkan sesuatu yang kita rasakan pahit itu terjadi, kita yakin, Tuhan tidak akan meninggalkan kita dalam menjalani hidup selanjutnya. Selalu ada hikmah di baliknya. Kita tidak perlu menjadi orang lain sebagai solusinya.

Dengan menjadi diri sendiri dan bersandar pada Tuhan, kita akan lentur seperti tanah liat yang siap dan mudah dibentuk oleh Tuhan Yang Maha Baik. Mau membuka diri dan terus belajar menjadi pribadi yang lebih baik, bersama Tuhan, dalam Tuhan, dan untuk Tuhan. Juga tetap mengingat, bahwa ketika yang terjadi adalah sesuatu yang menyukakan kita, itu semua juga atas seijin Tuhan dan karena kemurahan-Nya, bukan karena kehebatan kita. ***

 

 

Tinggalkan Balasan

1 komentar