KMAC H-37 Redundant 32: “Di Rumah Duka, Aku Mengerti Segala Sesuatu”

Redundant 32:

“Di Rumah Duka, Aku Mengerti Segala Sesuatu”

Oleh Erry Yulia Siahaan

Pengantar:

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan saya yang berjudul “Redundant 4: Redundansi Kematiandan beberapa ekspresi lainnya mengenai hidup sebagai sebuah ziarah. Coretan ini merupakan kondensasi dari layatan ke sebuah rumah duka selama dua hari berturut-turut pekan ini.

Death (Sumber: Pixabay)

Selasa malam aku bersama teman-teman satu kompleks melayat. Adik bungsu seorang teman wafat. Kami menjenguk dulu anak bungsu dari teman itu, yang dirawat di rumah sakit di mana rumah duka itu terletak.

Tidak banyak yang hadir ketika kami sampai. Mungkin sudah pada berbalik. Terdengar berbagai perbincangan tentang begitu-begini di sana-sini. Putri dan ibu almarhum menangis sejadi-jadinya. Sang ayah memandang lesu ke jenazah. Istrinya pasrah, lemah, di kursi roda.

Dia mati muda. Stroke. Dua hari di ruang perawatan intensif.

Terdengar perbincangan lumayan ramai seputar rencana ibadah. Juga, soal acara adat yang bakal digelar malam itu dan besok.

Seorang wanita menangis di peti jenazah (Sumber: Dreamstime)

Lebih Baik di Rumah Duka

Seorang ibu sudah sampai di ruang duka besok paginya. Dia menyaksikan satu demi satu acara adat. Air matanya bolak-balik jatuh dan diusap. Dia berusaha menutupi kesedihannya dengan buru-buru menyeka air matanya. Jangan sampai ada yang sampai melihat, maksudnya.

Tak nyana, air matanya mengucur makin deras saat pendeta berkata, “lebih baik di rumah duka daripada di ruang pesta, karena di rumah duka kita mengerti segala sesuatu”.

Ibu itu terisak-isak. Tidak salah keputusannya untuk datang lagi hari itu, meski cuma sendiri. Dia dan ibu-ayah almarhum adalah satu paguyuban di kelompok lanjut usia (lansia) gereja. Teman-temannya sudah hadir kemarin siang. Yang hari itu dilihatnya hanya satu orang.

Semalam, dia bertanya di WhatsApp grup, apakah hari itu paguyuban akan hadir lagi dan mengadakan penghiburan. Tidak ada yang merespon. Ibu itu hanya memandang Tuhan. Ada niatannya yang baik sejak semalam. Itu tentu dipahami oleh Tuhan. Tidak lagi bertimbang. Langkahnya ringan, dia datang, bertemu ibu-ayah almarhum untuk memberikan dukungan. Untuk memberitahukan bahwa mereka tidak sendiri. Dia ada untuk mereka. Bergabung bersama barisan yang lain, buat menguatkan.

Lansia itu tersedu-sedu. Diingatnya rasa kehilangan beberapa bulan lalu. Giliran suaminya yang berada di peti mati kala itu. Berdirinya tetap kokoh, hatinya kuat, ketika handai-taulan dan teman ada bersamanya pada hari-hari persemayaman. Hingga pemakaman. Hingga hari-hari setelahnya. Mereka datang bergantian, memberikan penghiburan. Bahkan, hingga sekarang, ibu itu tidak merasa ditinggalkan. Dia berbahagia karena dia mempunyai Tuhan dan kerabat yang penyayang.

(Sumber: Istockphoto)

Ia Rela

Lansia itu mengamati semua yang terjadi. Ia memperhatikan jenazah di peti mati. Sebuah badan tanpa nyawa, yang tidak lagi meminta ini atau itu. Yang pasrah pada apa yang ada, pada apapun yang dikenakan padanya, pada yang diisikan ke dalam peti matinya, pada suara-suara yang diperdengarkan di ruangan di mana dia dipersemayamkan, pada rumor-rumor di sana-sini oleh pelayat mengenai dirinya, juga tentang keluarganya.

Ia hanya sebuah jasad yang dihampiri pelayat, yang begitu beranjak dari petinya melepas pro-kontra soal eksistensinya sebagai seorang umat dan sebagai bagian dari komunitas adat. Ia hanya tubuh mati yang ikhlas menerima saja kavling kuburan yang mana yang dipilihkan untuknya. Merangkul saja prosesi apapun di sekitarnya, sampai akhirnya ia dimasukkan ke liang lahat, lalu ditinggalkan dalam dingin, sunyi, dan gelap.

Ia pun rela oleh siapa ia akan diusung dari rumah duka ke ambulans, ke makam, dan akhirnya ke lubang. Ia tidak bertanya siapa nanti yang berziarah ke peristirahatannya, menaburkan bunga, mengurus nisan betonnya.
Ia pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak bisa mengerti mengapa orang-orang menangisi dirinya. Ia mendengar tangisan tetapi tidak bisa lagi merasakan kepiluan. Ia mendengar tetapi tidak bisa lagi memberikan penjelasan. Ia mendengar pertanyaan tetapi tidak bisa lagi menjawab. Ia mendengar rumor tetapi tidak bisa lagi meluruskan.

Ia tahu ada satu-dua ibu yang sungguh-sungguh menangis untuknya. Satu-dua anak yang meratapinya dengan rasa kehilangan mendalam. Satu-dua umat yang datang sungguh-sungguh untuk memberikan penghiburan dan penguatan kepada keluarganya yang ditinggalkan.

Ia melihat airmata mana yang benar-benar mengalir untuknya, untuk keluarganya. Ia mendengarkan bahwa rohnya sudah menjadi urusan Tuhan. Bukan lagi urusan orang per orang. Ia heran, mengapa untuk itu ada yang masih memperdebatkan, bahkan bersikeras melihat persoalannya sebagai kalah-menang.

Ia tertidur, dalam tidur yang dalam dan abadi. Tidur yang tenang dan menyenangkan, yang membuatnya tidak ingin dibangunkan lagi.

Mata lansia dengan kebijaksanaan yang dalam dan pengalaman yang kaya. (Sumber: Istockphoto)

Irisan dalam Pergumulan

Ia melihat pergumulan seorang ibu. Yang tidak mengerti bagaimana dunia ini bekerja. Yang bertanya, mengapa hidup ini tidak ada rumus matematikanya. Mengapa masih ada yang flexing hari-hari ini, bahkan di rumah duka ini. Bukankah sudah ramai diberitakan, seorang anak pejabat flexing, pamer kekayaan, dan “kena batunya”.

Sementara pada hari yang sama, ibu itu melihat cukup banyak unggahan tentang kesulitan hidup. Di antaranya ada teriakan kepiluan dari seorang teman dengan uang tersisa cuma beberapa ribu rupiah. Beras tidak ada dan itu membuat temannya gelisah. Harus pergi kerja berboncengan motor dengan suami, padahal dia sehari-hari di kursi roda. Hujan dari pagi, gelisah temannya pun bertambah.

Ia melihat, satu-dua ibu mengecek dagangan yang diunggah di media sosial. Ibu-ibu yang memerlukan tambahan untuk belanja bulanan. Sudah tiga bulan ini, mereka membuka lapak online. Menawarkan paket-paket sembako. Membagikan info barang kepada yang diharapkan mau menjadi pelanggan. Dibaca. Tapi, tidak ada respon. Mereka sama bertanya, mengapa tentang itu tidak ada rumusnya.

Ia hanyalah jasad, yang melihat seorang ibu, seorang bapak, seorang warga, seorang anak muda, seorang anak, menjajakan dagangannya kepada teman, saudara, dan kenalannya. Bukan untuk meminta-minta. Tapi menawarkan mereka untuk pindah belanja sekitar 100ribu rupiah, sehingga untung bisa didapatkan walau tak seberapa. Kalau saja ada lebih dari 10 orang, pikir mereka, tiap bulan ada beberapa puluh ribu rupiah yang mengalir ke dapur, sementara yang membeli tidak dirugikan karena tetap mendapatkan barang yang dibutuhkan.

“Ongkos kirim gratis, barang sampai di tempat” tak cukup untuk mengoyak hati yang mendengar atau membacanya. Bahkan, hati saudaranya sendiri.

Pada hari-hari yang sama, yang flexing, yang mengunggah dagangan, yang menumpahkan perasaan, kadang bertemu pada sebuah irisan. Saling membuka, membaca, melihat, menyimak. Tetapi, irisan itu sekadar diagram dalam angan-angan matematika. Tetap tidak ada rumusnya. Satu-dua tanda jempol, kata “nice“, tanda love, tidak berubah menjadi uang. Flexing terus terjadi, dengan mobil baru, jam tangan mahal, kalung emas-berlian, gelang berbaris-baris di pergelangan. Curahan kepiluan juga terus terjadi, dibaca, tapi tetap dalam sunyi.

Seorang wanita bersedih di depan makam yang sunyi. (Sumber: Dreamstime)

Ia Tidak Mengerti

Ia cuma jasad beku, mengeras, berformalin, makin hitam dalam hitungan jam. Ia tidak peduli mengapa peti matinya harus ditukar dengan yang lebih besar. Ia tidak mengerti mengapa ia dipakaikan jas hitam, diberi ulos, ataupun jika orang memilihkan tenun ikat atau cuma sarung buatnya. Ia tidak mengerti mengapa banyak kata “kalau saja” untuknya, untuk keluarganya, untuk kehidupannya. Ia tidak paham mengapa orang membicarakannya tentang bagaimana perilakunya dulu, tentang agamanya, tentang relasinya dengan isteri pertamanya hingga bercerai.

Ia tidak mengerti mengapa ada orang yang “menjauh” dari orangtuanya, dari anaknya, dari isteri keduanya, hanya karena tidak jelas dulu hidupnya untuk gereja yang mana.

Ia tidak mengerti mengapa juga masih ada yang datang dan peduli untuk memperhatikan masa depan keterhubungan adat untuk keluarganya. Atau, yang bertahan dalam ruangan untuk tetap mengikuti ibadah, bahkan dengan air mata ketulusan dari beberapa orang. Ia tidak mengerti mengapa masih ada yang mengantarnya ke pemakaman meski diguyur hujan dan harus berkutat dengan tanah liat sebagai pijakan.

Ia tidak mengerti mengapa ada seorang lansia yang bertahan dua hari di sana padahal dia cuma kenalan baru ibu-ayahnya. Ia tidak mengerti mengapa anak tertuanya berteriak “bangun, Bapak, bangun” dengan mata yang kian lembam dan bengkak. Ia tidak mengerti mengapa ia harus berada di sebuah ruang berpendingin, ruangan yang besoknya diperlebar menjadi dua kavling.

Ia tidak mengerti mengapa ada keluarga di luar sana yang usai pemakaman harus berurusan dengan hutang, untuk membayar biaya jutaan rupiah untuk berbagai keperluan, termasuk untuk mengganti biaya makanan. Ia tidak bisa memahami arti uang sewa untuk rumah duka ataupun soal pajak kubur. Ketika pun nanti yang tersisa darinya hanya tulang dan harus digusur, ia tidak mengerti dan tidak lagi peduli.

“Aku Mengerti Segala Sesuatu”

Ia cuma jasad di peti mati. Tubuh yang beku, yang tidak mengerti satupun. Yang menjadi heran, mengapa harus ada perdebatan, pertikaian, saling membenci tentangnya, karenanya, dan perihal lainnya, bahkan setelah ia tertidur dalam bumi.

“…tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” (Sumber: scripture-images)

Pendeta, kerabat, teman, tetangga, mengantarkannya sampai bertimbun tanah dan berhiaskan bunga-bunga.

Aku pun pulang, menangisi diri sendiri, ingat kata-kata Tuhan tatkala disalibkan. “Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!”

Begitulah segala sesuatu. Terjadi setiap hari dalam hidup. Aku tidak mengerti mengapa, sebab tidak menemukan rumus matematikanya. Tetapi dalam rumah duka, seperti yang dikatakan oleh pendeta, “aku mengerti segala sesuatu”. ***

 

Tinggalkan Balasan