Karena Menulis aku ada, seandainya aku tidak pernah menulis , siapakah yang mengenal diriku, seandainya aku hanya membaca dan tak pernah berpikir untuk belajar menulis, bagaimana mungkin bisa menciptakan puisi, artikel, opini, reportase ringan tentang kehidupan di sekitar.
Untuk itulah aku bersyukur belajar menulis di samping kebiasaan membaca yang sudah aku lakukan sejak kecil.
Menulis adalah sebuah repetisi, dengan menulis aku bisa menengok ruang berpikir jauh sebelum terbiasa merangkai kata. Dengan menulis aku terbantu mengingat –ingat peristiwa masa lalu, mengingat saat-saat jatuh cinta, saat-jiwa tengah dahaga oleh kerinduan pada cinta, kasih sayang, dan kekagumanku pada alam semesta.
Menulis dan Mengingat Lintasan Sejarah
Dengan menulis aku menjadi ingat lintasan sejarah demokrasi dan carut-marut politik tanah air dari waktu ke waktu. Tanpa aku sadari menulis adalah bagian dari perjalanan sejarah kehidupan yang tidak akan pernah hilang.
Aku bisa melihat catatan masa lalu itu dari goresan-goresan tinta di buku diari, pun dari jejak kliping yang sengaja dikoleksi untuk menandai jejak karya yang pernah tertera di media cetak. Aku kumpulkan kertas-kertas yang mulai menguning, lihat dan membacanya kembali. Oh ternyata sudah puluhan tahun menekuni kehidupan sebagai seseorang yang bergaul akrab dengan tinta, mesin ketik manual, dan baru mengenal komputer jinjing belakangan ini.
Merangkai Kata Terinspirasi Tokoh Sastrawan
Aku ingat ketika menuliskan sebaris puisi di kertas bekas bungkusan makanan. Waktu itu tiba-tiba muncul hasrat menulis puisi, saat melihat senyuman manis gadis remaja malu-malu berjalan sambil menjinjing dagangannya. Wajah manis itu mengingatkanku untuk kembali membaca puisi liris Sapardi Joko Damono, Iwan Simatupang, atau puisi-puisi humanis Dhorotea Rosa Herliani.
Aku merasa dekat dengan penyair itu tapi susah menangkap kata yang cocok untuk menggambarkan kehidupan cinta. Bahkan aku harus kembali membuka-buka sekumpulan puisi yang sengaja aku gunting dari Kompas Minggu. Dulu aku selalu melirik karya syair-syair dari Endang Susanti Rustamadji, Dorothea Rosa, Gus TF, Sapardi Djoko Damono, Sunaryono Basuki KS.Hingga Joko Pinurbo.
Dari mereka aku mencoba merangkai kata meski bagiku syairku terasa masih jauh dibandingkan mereka yang bisa mencipta puisi dengan kedalaman makna.
Pada senyummu tergambar perjuangan
Di detak jantungku kutangkap langkahmu
Kau seperti tersenyum
Meski malu harus menutup rasa
Karena kau harus berjualan untuk menadapatkan asamu
Aku kagum padamu gadis
Tidak banyak yang sekuat dirimu
Yang ada banyaklah gadis manja, yang hanya bisa bersolek
Tanpa tahu bahwa keringat membanjiri kebaya ibunya
Mencari sesuap nasi untuk cita-cita anak gadisnya
Meski mereka hanya tahu lipstick apa yang terbaik untuk bibirnya.
(karanganku di secarik kertas kumal)
Kalau saya tidak pernah belajar menulis tidak akan pernah bisa menciptakan syair yang indah. Maka betul jika dikatakan karena menulis maka aku ada.Aku di antara orang-orang yang mempunyai hobi yang sama, belajar bareng saling memberi masukan, saling memberi inspirasi karena setiap tulisan yang tampil dan terpublikasi itu unik. Setiap penulis punya kekhasannya sendiri. tidak ada yang sama.
Cerita dari Chairil Anwar akan berbeda dengan cerita dari WS Rendra. Karangan Triyanto Triwikromo tetap beda dengan Iwan Kurniawan. Begitu Juga dengan pengalaman Ernest Hemingway, akan beda dengan Karl May atau Paulo Cuelho. Semua pengarang yang aku sebut itu selalu istimewa di hati pembacanya karena telah menciptakan keunikan masing-masing yang tidak bisa disamakan antara satu dengan lainnya.
Kalau boleh aku memberi kesamaan adalah karena mereka mencintai dunianya dan memberi ruang untuk menulis hingga tercatat dalam sejarah,dan akan selalu dikenang karena karya-karya tulisnya.
Menulis itu seperti sebuah jawaban dari kegelisahan-kegelisahan bathin yang tak terkatakan. Gelisah oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar, cemas oleh ketimpangan-ketimpangan sosial yang melahirkan kriminalitas, pelacuran, pembunuhan dan jutaan masalah yang melingkupi manusia. Keprihatinan akan termanifestasikan dengan indah di tangan penyair, penulis, novelis , sastrawan.
Simak saja tulisan Pramoedya Ananta Toer yang gelisah melihat dampak dari penjajahan, suasana feodalisme yang masih kuat tertanam dalam diri priyayi-priyayi Jawa. Ia gelisah melihat ketidakadilan yang menimpa dirinya yang terasingkan dari sebuah negara yang berlandaskan Pancasila tetapi di mana mana terjadi praktik fundamentasme agama, hukum yang tumpul dan kegelisahan karena aparat pemerintah masih sering abai dengan keadilan sosial, pemerintah masih mengabaikan hak-hak asasi manusia terhadap tahanan politik dan eks tapol.
Sebelum Blog marak dan mengubah kiblat menulisku, aku masih menyimpan majalah-majalah menggugah hasrat menulis seperti MATABACA yang sekarang mungkin sudah susah dicari di kolong-kolong buku bekas di sekitar Pasar Senen atau tempat legendaris semacam Kwitang yang relatif bersih dari hiruk pikuk manusia yang asyik membalik-balik buku tua.
Sekarang manusia sudah amat lengket dengan gadget, pun pada blog-blog yang bebas menampilkan umpatan dan makian. Sastra santun hanya semacam nostalgia, meskipun kadang kadang kutemukan barisan karya indah pada penulis-penulis blog yang berbakat seperti Fitri Manalu, Desol, S Aji dan sederet penulis lainnya yang aku percaya mereka adalah pembaca, penikmat satra sejati yang harus hidup di alam nyata era canggih internet.
Pengarang mesti bisa memanfaatkan wattpad di samping tidak lupa tetap mengirimkan ke Rubrik Cerpen Koran Minggu seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia dan media mainstream lainnya yang susah ditembus oleh penulis dengan nafas pas-pasan seperti aku yang gampang putus asa saat tulisan gagal menembus relung dewan redaksi media konvensional. Kini media media yang berjaya di masa lalu dengan melahirkan satrawan berkualitas mulai limbung karena kalah bersaing dengan media online dan platform blog yang marak dan banyak menyediakan konten-konten sesuai hasrat pembacanya.
Aku hanya mengikuti alur sejarah dan kata itu muncul ketika aku telah banyak membaca, melihat dan merasakan. Akhirnya membaca menjadi ladang persemaian hasrat dalam mengungkapkan kegelisahan lewat kata dengan menulis.
Sampai akhirnya muncul Blog, Platform blog dan konten konten lain yang bisa memuaskan dahaga penulis untuk tetap menulis dan selalu menulis. Jangan lelah melahirkan kata, karena engkau sedang merangkai sejarah yang kelak akan abadi terpatri di hati anak cucu.
Catatan:
Tulisan ini sudah pernah saya tayangkan di Kompasiana tanggal 16 Mei 2017. temanya pas dengan KMAA maka saya taruh di tulisan ke 20 saya…ternyata saya pernah menulis judul yang hampir sama meskipun aslinya berjudul Karena Dengan Menulis Aku Ada. Ada perbaikan kecil menyangkut penambahan sub tema dan paragraf. lainnya masih asli. Saya rasa tulisan saya masih relevan dan cocok untuk dijadikan artikel penyerta calon buku yang bertema KMAA.
Padat berisai sarat makna
Suka membacanya