Kecerdasan emosi saja tidaklah cukup, khususnya yang berdimensi keTuhanan. Kecerdasan emosi lebih berpusat pada rekonstruksi hubungan yang bersifat horizontal (sosial). Sementara itu ada dimensi lain yang tidak kalah pentingnya bagi kehidupan umat manusia, yaitu hubungan vertikal. Kemampuan dalam membangun hubungan yang bersifat vertikal ini sering disebut dengan istilah kecerdasan spiritual/spiritual quotient (SQ).
Menurut Marsha Sinetar yang terkenal sebagai pendidik, penasehat, pengusaha, dan penulis buku-buku best seller, mengatakan kecerdasan spiritual adalah cahaya yang membangunkan keindahan tidur kita.
Kecerdasan spiritual melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam, yang berarti mewujudkan hal terbaik, utuh dan paling manusiawi dalam batin. Gagasan, energi, nilai, visi, dorongan, dan arah panggilan hidup mengalir dari dalam dari suatu kesadaran hidup bersama cinta.
Menurut Ary Ginanjar Agustian, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran integralistik serta berprinsip hanya kepada Allah.
Ia juga mencoba menggabungkan dua kecerdasan emosi dan spiritual tersebut dengan menyinergikan keduanya. Penggabungan kedua energi tersebut digunakan untuk menemukan pengetahuan yang benar dan hakiki sehingga dapat menyeimbangkan kehidupan yang bersifat vertikal dan horizontal.
Penanaman kecerdasan emosional dan spiritual sejak dini menjadi salah satu solusi dalam menanggulangi kenakalan-kenakalan anak dan masalah-masalah anak yang dewasa ini keluar dari batas kewajaran. Jika ditinjau lebih jauh banyak fenomena yang terjadi pada anak sangat memprihatinkan, seperti banyak kasus bunuh diri anak, kriminalitas anak, dan pergaulan anak yang semakin bebas, pertengkaran antar pelajar, demo mahasiswa yang berakibat kerusuhan, korupsi di lingkungan para pejabat Indonesia.
Menurut Danim, fenomena kerusakan moral anak didik yang ditandai dengan berbagai perilaku negatif bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi sudah menjadi fenomena umum yang terjadi hampir di semua negara. Dengan demikian lembaga pendidikan di negara manapun menghadapi tantangan yang hampir sama. Ia memandang bahwa perbaikan moral para pelajar merupakan salah satu agenda pokok dalam pembaharuan pendidikan.
Dunia pendidikan di Indonesia, mayoritas lembaga pendidikan masih menitikberatkan pada pengembangan kecerdasan intelektual (IQ), wawasan dan psikomotorik semata. Padahal IQ yang tinggi tidak menjamin bahwa anak akan sukses dalam menjalani kehidupannya.
Akan tetapi akhir-akhir ini telah banyak bermunculan lembaga pendidikan bercirikan Islam yang sistem pembelajarannya bertujuan untuk menanamkan dan mengembangkan berbagai macam kecerdasan termasuk kecerdasan emosional dan spiritual.
Dominasi dan hegemoni kehidupan materialistik dan positivistik telah mengantarkan manusia pada penghancuran dimensi hidup yang lain. yakni dimensi spiritual sebagai dimensi yang berada di luar lingkaran kultural materialistik dan positivistik. Tempat manusia menghubungkan diri dengan The Higher Consciousness atau The Source. Keputusan dalam The Higher Consciousness ini menyebabkan manusia mengalami krisis multidimensi karena mereka sudah sangat tergantung kepada sesuatu yang bersifat eksternal.
Orang-orang terutama di Barat memisahkan agama dari ilmu pengetahuan, lalu berkembanglah gerakan menghidupkan ilmu pengetahuan berdasarkan pada sekularisme, bahkan berdasarkan prinsip-prinsip yang menentang agama, tetapi kita tidak harus mengambilnya dari ajaran-ajaran agama.
Sebaliknya, kita harus menjadikannya berdiri sendiri yang diambil dari suara hati masyarakat, atau dari sumber apapun asalkan bukan agama. Pemikiran moral masih tersisa tetapi tidak dengan label agama
Dalam konteks inilah keberadaan “spiritualitas” menjadi sangat penting bagi kehidupan manusia untuk mulai dilihat kembali sebagai bagian integral kehidupannya. Kepuasan hidup, kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan batin adalah tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Semua itu tidak bisa diselesaikan semata-mata hanya dengan pemenuhan kebutuhan material saja, tetapi lebih jauh adalah kebutuhan ‘jiwa’ dan atau batin.
Untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi, manusia dituntut untuk kreatif mengubah penderitaan menjadi semangat (motivasi) hidup yang tinggi sehingga penderitaan berubah menjadi kebahagiaan hidup. Untuk kepentingan ini, manusia memerlukan satu bentuk kecerdasan lain selain IQ dan EQ, yakni kecerdasan spiritual (SQ; Spiritual Quetient).
Di akhir abad ke-20 (1990-an) Danah Zohar dan Ian Marshal melalui penelitian ilmiahnya menemukan jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan ketiga (third intelligence), yakni disebut-sebut sebagai The Ultimate Intelligence). Bagi Zohar dan Marshall, komputer memiliki IQ yang tinggi. Hewan-hewan banyak yang memiliki EQ yang tinggi
Keduanya tidak pernah memiliki ‘kegelisahan’ dan tidak pernah berpikir tentang dirinya, tentang orang lain dan tentang hidup secara umum. Padahal, berpikir inilah sebenarnya esensi dari kemanusiaan manusia.
Ibnu Khaldum menyebut kesempurnaan berpikir manusia sebagai “kualitas manusia yang khusus” (a special quality of human being). Karena berpikir, kata beliau, maka manusia berbeda dengan makhluk lain.
Berkat EQ manusia dapat mengobati dirinya sendiri, akibat krisis multidimensi yang melanda manusia modern saat ini seperti krisis eksistensi, (eksistesial crisis), krisis spiritual (spiritual crisis), dan atau krisis makna. SQ adalah jenis kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna atau nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Salam Blogger Persahabatan
Jumiyati, S.Pd.I, M.Pd.