Thong-thong Lek, Kesenian Pemersatu Masyarakat Rembang

 

Oleh: Selvia Indrayani

Apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata “Thong-thong Lek?” Mungkin bisa saja kesenian yang satu ini terdapat di daerah lain, tetapi hadir dengan nuansa yang berbeda.

Bagi masyarakat Rembang-Jawa Tengah, rasanya sudah tidak asing mendengar kata thong-thong lek. Thong-thong lek merupakan salah satu kesenian tradisional yang selalu menghiasi bulan Ramadhan. Masyarakat Rembang sangat antusias terhadap kesenian yang dipentaskan secara massal dan hadir hanya setahun sekali ini.

Istilah thong-thong lek sendiri berasal dari kata kentongan dan melek. Kentongan merupakan sepotong bambu (berukuran kurang lebih 60 cm) dan dilubangi memanjang sealur dengan bambu. Sementara kata “melek” berasal dari bahasa Jawa yang berarti terbangun.

 

Sejarah Thong-thong Lek

Berdasarkan sejarah yang beredar, kesenian Thong-thong lek ini berasal dari acara membangunkan sahur saat bulan Ramadhan. Masyarakat berkeliling kompleks dengan menggunakan kentongan sambil meneriakkan, “Sahur…sahur….”

Lambat laun, alat musik yang digunakan bukan hanya kentongan saja. Terdapat beberapa alat lain yang dapat dijadikan musik dan dijadikan sarana membangunkan saat sahur.

Kentongan yang selama ini hanya berfungsi sebagai alat ronda, akhirnya bisa menjelma menjadi kesenian tradisional yang menjadi ikon kota Rembang. Hal ini mendapat tanggapan baik dari pemerintah Kabupaten Rembang.

Pada tahun 1975, pemerintah Kabupaten Rembang memutuskan untuk mengadakan Festival Thong-thong lek. Acara ini biasanya dilakukan kurang lebih satu minggu sebelum Idulfitri.

Festival Thong-thong lek diikuti secara berkelompok dengan jumlah peserta yang ditentukan panitia. Peserta yang ikut terdiri dari pemain musik (pemukul kentongan dan berbagai alat musik lain) dan juga penyanyi. Selain itu, ada juga crew yang membantu selama latihan hingga festival dilaksanakan.

Seiring dengan perkembangan zaman, alat musik yang digunakan dalam Thong-thong lek mengalami perkembangan. Dari yang semula hanya kentongan dan beberapa alat musik ritmis, akhirnya ada pula alat musik elektrik yang digunakan saat pementasan.

Festival Thong-thong Lek

Festival Thong-thong lek merupakan salah satu bentuk apresiasi pemerintah Kabupaten Rembang terhadap kreativitas masyarakat. Festival ini sebagai bentuk ajang mengasah kreativitas dan memupuk kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebelum festival dilaksanakan, setiap kelompok yang akan mendaftarkan diri menjadi peserta Thong-thong lek melakukan latihan. Tentunya hal ini membutuhkan tenaga, waktu, dan dana. Latihan ini biasanya dilakukan setelah salat tarawih.

Festival Thong-thong lek ini membutuhkan dana tidak sedikit. Setidaknya ada dua mobil yang digunakan untuk mengangkut perlengkapan, alat-alat musik, dan beberapa peserta.

 

Dengan sukarela, masyarakat rela untuk berbagi dan menyumbang kepada kelompok Thong-thong lek yang mewakili desa mereka. Ada yang menyumbang dana, makanan, dan ada pula yang memberikan pinjaman alat musik atau kendaraan. Kesadaran dan sikap saling menolong seperti inilah yang patut dipertahankan. Melalui kesenian, persatuan dan jiwa gotong royong dapat tetap terbentuk.

Jumlah peserta festival tiap tahun mengalami perubahan. Hal ini bergantung pada animo masyarakat. Mengutip dari laman Rembangkab.go.id, pada tahun 2019, terdapat 26 grup Thong-thong lek yang menjadi peserta  festival.

Festival tahunan ini dilakukan dengan cara jalan berkeliling kota Rembang sesuai rute yang ditetapkan panitia. Biasanya, acara dimulai dan dibuka dari depan alun-alun kota Rembang dan diakhiri di Stadion Krida Rembang.

Ajang perlombaan ini sebenarnya terdiri dari dua bagian, yaitu babak penyisihan dan babak final. Babak penyisihan diikuti oleh seluruh kelompok Thong-thong lek yang mendaftar dan dilakukan dengan cara berkeliling kota Rembang. Adapun babak final ini dilakukan di alun-alun kota Rembang untuk menentukan juara 1, 2, 3, harapan 1, harapan 2, dan harapan 3.

Pada hari perlombaan, peserta akan berkumpul di tempat yang telah ditentukan sebagai garis start. Setiap kelompok berjalan sesuai nomor urutan melewati jalan-jalan besar yang telah ditetapkan panitia hingga ke garis finish.

Setiap grup berusaha tampil prima di depan masyarakat dan juri. Mereka mengemas lagu, tata panggung, tata lampu, dan kostum sebaik mungkin. Terdapat satu atau dua mobil yang dijadikan panggung berjalan. Di mobil tersebut diberi tata lampu yang menarik, speaker, mesin diesel, dan berbagai alat musik yang digunakan. Peserta yang memainkan musik ada yang berada di atas mobil dan ada pula yang berjalan di belakang mobil.

Panitia biasanya memberikan lagu wajib yang harus dimainkan pada tiap festival dan disesuaikan dengan tema yang diusung tahun tersebut. Adapun lagu lain yang dibawakan biasanya lagu religi bernapas Islam. Lagu daerah, dan beberapa lagu yang diubah liriknya.

Saat festival Thong-thong lek berlangsung, masyarakat kota Rembang menyambut dengan sangat antusias. Mereka memadati pinggir jalan yang dilewati oleh arak-arakan Thong-thong lek.  Jika rumah mereka dilewati arak-arakan, biasanya mereka menyiapkan kursi di depan rumahnya. Sebagian besar masyarakat menggelar tikar atau koran sebagai alas duduk di pinggir jalan. Walaupun tidak saling megenal, masyarakat dapat bercengkerama dengan akrab berkat adanya kesenian ini.

Acara tahunan ini menyedot perhatian masyarakat dari luar kota Rembang. Terbukti pada saat festival berlangsung, terdapat beberapa plat nomor kendaraan dari kota lain yang memenuhi parkiran dan sepanjang jalan yang dilalui arak-arakkan.

Festival ini mendatangkan berkah bagi beberapa orang, misalnya para pedagang keliling. Mereka bisa menjajakan dagangannya di sepanjang jalan sambil menikmati acara. Beberapa orang memilih menjadi tukang parkir dadakan karena banyak masyarakat yang menitipkan sepeda, motor, atau mobil  mereka agar bisa melihat kesenian khas Rembang ini.

Durasi pelaksanaan festival ini bergantung dari jumlah peserta. Rata-rata, acara ini berlangsung dari pukul 9 malam hingga pukul 2 dini hari. Walaupun demikian, masyarakat kota Rembang tetap antusias menanti kehadiran dan penampilan dari tiap peserta festival.

Pada zaman dahulu, pemenang lomba thong-thong lek ini mendapatkan hadiah berupa kambing. Seiring dengan perkembangan zaman, hadiah uang tunai juga menyertai para pemenang lomba ini.

Mengutip dari laman Rembangkab.go.id, pada tahun 2019 para pemenang mendapatkan uang pembinaan sebagai berikut:

  • Juara 1= sebesar 3,5 juta rupiah
  • Juara 2= sebesar 3 juta rupiah
  • Juara 3 = sebesar 2,5 juta rupiah
  • Juara harapan 1- juara harapan 3 = sebesar 1,5 juta rupiah

Jika masyarakat kota Rembang hanya melihat nominal hadiah yang diperoleh, pastilah tidak seimbang dengan dana yang dikeluarkan. Jika dirinci, biaya untuk sewa mobil, membeli bahan bakar, kostum, dan operasional selama latihan tidak sesuai dengan yang diperoleh. Akan tetapi, masyarakat kota Rembang lebih menekankan pada makna kebersamaan melalui kesenian Thong-thong lek.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kesenian ini menjadi pemersatu masyarakat Rembang. Berbagai latar belakang (pekerjaan, suku, agama, pendidikan, dll) ada di sana. Dengan adanya Thong-thong lek, masyarakat bisa saling bekerjasama. Hadirnya kesenian ini mengajarkan kerukunan dengan berbagai latar belakang.

Sumber:

https://rembangkab.go.id/berita/ubah-konsep-tong-tong-klek-tetap-menarik-pemenangnya/

https://inibaru.id/tradisinesia/menyelamatkan-thong-thong-lek-lewat-festival-di-rembang

 

Tinggalkan Balasan

1 komentar