Sang Bunga Surga

Terbaru39 Dilihat

Pada pucuk senja, relungku menjadi melankolis mengingat  sebuah kisah yang memetik langit kesedihan. Sebuah kisah tentang sang bunga surga yang syahid di telan bencana.

Pagi itu, di sekoahku tepatnya 18 Desember 2020, adalah waktu pembagian rapot. Sorak gembira sahutan para siswa menjemput hari libur dan tahun baru. Sebuah kesenangan menjadi siluet kenangan yang bertenggar untuk keabadian.

Ruang kantor dipenuhi riak obrolan  para guru. Canda gurau yang  dijambak kesibukan mengurutkan peringkat menjadi pengantar cerita di hari itu. Akhirnya para wali kelas bergegas pergi menuju kelas masing-masing. Iringan senyum para wali murid membingkai sapaan hangat seperti hangatnya secangkir kopi di pagi hari.

“Assalamualaikum Bapak Ibu” Sapaku dari pintu kelas.

“Waalaikumsalam” Jawab para wali murid serentak.

Setelah memaparkan seluruh informasi, akhirnya pembagian rapot itu dimulai. Anak-anak kelasku menonton dari bilik jendela sembari berceloteh riuh. Sedikit bising, namun ini adalah momen yang amat  mendebarkan dari mereka, apakah dapat rangking, ataukah dapat nilai merah? Sekelumit pertanyaan itu berkawin dalam perasaan mereka.

“Baiklah Bapak Ibu, sekarang akan saya umumkan yang mendapat peringkat 3 Besar. Bagi yang saya sebutkan namanya, dimohon anak dan orangtuanya berdiri di depan kelas” Ujarku.

Seringkas tatapan harap-harap cemas dari wali murid mengisi relung kelas. Ada yang tak sabar, ada yang nampak begitu cemas.

“Bismillahirrahmanirrahim, Peringkat Ketiga  diraih oleh Ananda Sitti Mayasari peringkat kedua, diraih oleh Ananda Nur Cahya Nandini, dan Peringkat pertama di raih oleh Ananda Tian Aditia Gunawan” paparku.

Di luar, gemuruh tepuk tangan membersamai irama kebahagiaan untuk ketiga jagoan kelasku. Dengan langkah bahagia, ketiga siswaku berjejer di depan kelas di dampingi orangtuanya. Aku pun mengalungi medali sebagai bentuk motivasi agar terus berprestasi.

“Selamat ya Sitti, Nur, Tian pertahankan prestasinya” pungkasku.

“Terimakasih bu” balas Tian sambil mencium tanganku sebanyak 3 kali. Nampak rona bahagia terpancar lewat senyum tipis si hitam manis.

Setelah bagi rapot selesai, aku dan anak-anak kelasku berswa foto dengan riang, ada yang senang ada yang sedih menghadapi libur. Barisan pun mulai bubar, aku berjalan menuju kantor dengan manaiki anak tangga. Tiba-tiba dibelakang  ada suara memanggilku. Setelah ku tengok, ternyata ia adalah si pemilik senyum manis.

“Bu, sekali lagi, terimakasih ya. Tian pamit Pulang” Ujarnya sambil menyalamiku untuk yang ke empat kalinya.

“Hati-hati ya Nak” balasku. Seperti ada rasa sedih yang menyibak hati ketika Tian melangkah pergi.

Ku perhatikan dengan lekat derap langkahnya yang seperti berat, dua meter kemudian ia menengok ke belakang sembari melemparkan senyum manis. Tak seperti biasanya pemandangan yang kudapati di hari itu. Karena Tian adalah si manis yang pendiam, tak banyak bicara, dan tak sering bersenda gurau.

***

Episode libur pun dimulai, dua minggu berlalu ku tanggalkan profesi sebagai pengajar si putih biru. Cuaca yang extrim di penghujung tahun dengan curah hujan yang tinggi membuat kumpulan hari-hari menjadi lebih terisi dengan aktivitas di rumah. Berjibun dalam mengurus rumah dan dapur menjadi serangkai hiasan dalam balutan kesibukan.

Penghujung tahun pun tiba, biasanya manusia bak penonton yang merindukan tawa dan hiburan. Namun kali ini nampak berbeda, cuaca yang diguyur hujan tanpa henti seakan memberi isyarat untuk tunduk dalam do’a lekat dalam dzikir. Tak ada hingar bingar suara petasan, tak ada suara terompet, semua penduduk luruh dalam balutan hujan yang resah.

1 Januari 2020, menjadi kenangan paling mencekam selama hidupku. Hujan seperti tiada lagi membawa lengkungan pelangi, ia seperti nanar dengan membawa air bah yang menenggelamkan desa. Jeritan suara bersahutan menggambarkan hati yang gemetar.

Kisah panjang ini dimulai, tentang dia si pemilik senyum manis. Siswaku yang pandai nan pemalu yang ku panggil ia sebagai Tian. Jika waktu bisa diputar, ingin rasanya aku kumpulkan kekuatan untuk menolongnya yang terjebak dalam longsoran tanah.

Pagi itu matahari malu untuk terbit, hujan membasahi atap rumah Tian. Ia bersama kedua adiknya menikmati kartun penyambut pagi ‘Masha and the Bear’ adalah totonan yang digemari adiknya yang berumur 4 tahun. Dengan gayanya yang penyayang, Tian membersamai kedua adiknya diruang TV. Ibunya dengan santai membuat kudapan di daur, dan ayahnya menyeruput secangkir kopi hitam di teras rumah sambil menatap hujan.

Di ruang TV terdengar celoteh Tian dan adiknya yang saling tertawa menonton jalannya cerita Masha and the Bear.  Nampak hangat sekali suasana rumah tersebut, candaan mereka menjadi bingkai kasih sayang. Sosok Tian yang penyayang dan penyabar akan menjadi gambaran persaudaraan yang menawan di masa tua. Namun, semua itu berbeda cerita Tian, Ibu, dan sang adiknya menjadi sebuah keabadian.

Hujan yang deras, melumpuhkan batuan dan tanah yang menjadi pondasi rumah Tian. Secepat kilat rumahnya terbawa arus longsor. Ayah Tian yang berposisi di teras meloncat hebat menyelamatkan diri. Tian, ibu dan kedua adiknya terjebak dalam puing rumahnya. Rumahnya merosot mengikuti arus longsor, begitupun dengan Tian beserta ibu dan adiknya. Mereka terjebak dalam lautan lumpur yang dalam, sesak dan gemetar, suara yang tak terdengar serta tubuh yang ditelan lumpur membuat mereka tak nampak di permukaan. Terbayang betapa perihnya situasi ini, pengap kehabisan udara, gelap terjerambab adalah suasana Tian dalam timbunan lumpur yang dalam.

Tak satupun warga yang menolong, kepanikan menghentikan urat kemanusiaan mereka. Ayah Tian hanya berteriak tanpa berbalas, menjerit tanpa di dengar lunglai tanpa tau cara bangun. Kehilangan istri tercinta dan ketiga anaknya membuat ia menjadi sedikit gila.

Semua warga menjadi abai, mereka takut bencana menelan nyawanya. Mereka berlri mendaki hutan, dalam hujan yang resah. Mereka berlari seperti berkejaran dengan maut. Logika menjadi mati seketika, hati mereka seperti gusar seakan tak memiliki harapan untuk hidup lagi. Akhirnya semua warga abai dengan keluarga Tian.

Hari berselang, suasana masih mencekam, hujan seperti lupa untuk reda. Para warga gelisah untuk bertahan, sulit untuk berkabar sinyal terputus karena pohon dan tiang listriknya ikut tumbang. Satu dan dua hari mereka berlindung di dalam hutan, tanpa makanan, tanpa minuman yang ditelan adalah kedinginan.

Empat hari berselang akhirnya bantuan datang, laskar Bencana dan FPI mulai  mengevakuasi korban. Di sinilah pencarian Tian dilakukan. Mereka menggali kubangan lumpur yang begitu dalam. Entah berapa meter hingga Tian bisa di temukan.

Qadarullah, maha besar Allah setelah sekian jam dalam penggalian setelah cucuran keringat membanjiri tubuh para laskar, akhirnya Tian beserta ketiga adiknya ditemukan. Aku begitu emosional melihat vidoe penggalian Tian. Air mata mengucur deras membayangkan senyum manisnya yang ditelan bumi. Betapa tidak, Tian dan kedua adiknya di temukan dalam keadaan saling berpelukan. Sesak rasanya melihat keadaan itu.

Ibunya masih terkubur dalam dari posisi Tian. Dengan sekuat tenaga para laskar menggali hingga ibunya Tian pun ditemukan dalam keadaan duduk yang bersujud. Evakuasi ini merangakai sajak paling mengharukan, ke empat jasad itu, kemudian di mandikan.

Ayah Tian gemetar melihat tubuh mungil ketiga anaknya. Mereka berbalut kain kafan yang lusuh. Dengan deraian air mata serta lututnya yang gemetar ia berusaha bangkit untuk men shalati mereka bersama ke delapan para tim evakuasi. Hatinya menjerit seiring cucuran air matanya.

Pilu dan sesak mengiringi langkahnya untuk mengantarkan sang istri dan ketiga anaknya menuju liang kubur. Satu persatu ia adzani liang kubur mereka dengan suara serak yang gemetar. Seandainya ia adalah seorang perempuan, maka ia takan sanggup bertahan sampai liang lahat. Bumi seperti menghukum dirinya, memberi kesedihan yang dalam di hatinya. Ia ingin berteriak pada yang kuasa, namun inilah takdir, tiada yang bisa di perbuat jika Tuhan sudah berkehendak.

Maha suci Allah jadikanlah mereka para bunga-bunga surga yang kebaikannya berbalas pahala di akhirat. Aamiin. Untukmu sang pemilik  senyum manis, aku bangga pernah mendidikmu. Meski mengenalmu hanya sekejap tapi engkau mengajariku bahwa kebaikanmu menjadikmu sahid. Aku bangga karena Allah memilihmu sebagai Bunga Surga.

Sekian.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

4 komentar