Mengenal Pantun
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya dan tradisi, salah satunya adalah pantun. Pantun ditetapkan sebagai warisan dunia tak benda oleh UNESCO tanggal 17 Desember tahun 2020 pada sesi ke-15 Intergovernmental Committee for the Saveguarding of the Intangible Cultural Hertitage di kantor pusat UNESCO di Paris, Prancis.
Pantun menurut Renward Branstetter (Suseno, 2006; Setyadiharja, 2018; Setyadiharja, 2020) berasal dari kata “PAN” yang merujuk kepada sifat Sopan dan kata “TUN” yang merujuk pada sifat Santun, Teratur, Lurus, Baik. Kata “TUN” dapat diartikan juga sebagai pepatah dan peribahasa (Hussain, 2019).
Banyak sekali karya sastra yang lahir dan berkembang di Indonesia. Dibandingkan karya sastra lainnya, pantun adalah karya satra yang mampu menisbikan batas antara orang-orang yang berada pada great tradition dan little tradition (Andriani, 2012). Tidak ada aturan bahwa orang yang boleh berpantun hanya pejabat dan kalangan menengah atas. Pantun merupakan bahasa universal untuk mengungkapkan isi hati dan pikiran. Pantun merupakan media untuk pengajaran dan membentuk jati diri seseorang.
Sosok Ayah TD
Untuk membranding diri bisa menggunakan pantun. Salah satu tokoh Melayu yang identik dengan pantun adalah ayah Thamrin Dahlan. Sekitar bulan Agustus tahun 2021, seorang sahabat juga guru menulis, teh Aam Nurhasanah mengajak saya untuk bergabung bersama grup WA “Penerbit Buku YPTD Ikhlas”. Senang dan bangga rasanya, lewat pantun dan grup WA tersebut berhasil mempertemukan saya dengan sosok ayah TD.
Lewat grup WA tersebut, ide-ide untuk menulis pantun mengalir begitu saja. Ayah TD selalu memancing kami dengan pantun pembuka setiap pagi. Tanpa ragu, kami membalas pantun beliau. Dari kebiasaan berpantun itulah tepat bulan Oktober 2021 buku tunggal pertama berjudul “Menjaga Tradisi di Masa Pandemi, kumpulan pantun dengan berbagai tema” lahir. Semua berkat ayah TD, dan penerbit YPTD tentunya.
Tidak hanya berhenti sampai di situ saja, kisah tentang pantun pun masih berlanjut. Gayung bersambut, tepat tanggal 14 Desember 2021 handphone berdering tanda ada panggilan masuk. Setelah saya amati dengan seksama yang menelepon adalah ayah TD. Tanpa berlama-lama segera saya jawab panggilan beliau. Awalnya saya sempat takut dan ragu untuk mengangkat. Mungkin salah sambung, pikir saya. Ternyata, beliau mengajak saya untuk bergabung dalam acara “YPTD Berbalas pantun akhir tahun”. Alamak, mimpi aku apa semalam? Hingga mendapat tawaran acara yang super keren bersama orang-orang hebat. Tanpa berpikir panjang, saya pun menyetujui tawaran beliau.
Agak canggung dan kaku, itulah yang saya rasakan malam itu. Satu panggung bersama Ayah TD, Ayah Rasyid Nur yang juga pemantun hebat dari Kepulauan Riau, Elok Dewi yang tidak diragukan lagi kehebatan berpantunnya. Kekakuan akhirnya bisa dicairkan oleh bunda Chrisma yang didapuk sebagai pembawa acara. Keseruan acara berbalas pantun dapat disimak pada link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=n-kQw7Ung6I
Berbalas Pantun
Keseruan berbalas pantun bersama ayah TD tidak berakhir dalam acara tersebut. Kami pegiat literasi khususnya pantun, masih tetap intens berbalas pantun di WA grup. Entah itu untuk menanyakan kabar, memperingati momen tertentu atau hal menarik lain yang bisa diekspresikan lewat pantun. Berikut adalah beberapa cuplikan berbalas pantun lewat WA grup.
Pohon beringin tumbuh di huma,
Melompat ke atas si anak tupai,
Selamat buka puasa bersama,
Nikmati juada lamang tapai. (Elok Dewi)
Dua sejoli sumpah setia,
Rumah tangga keluarga muda,
Hari ke-14 Ramadan mulia,
Sanak saudara buka bersama. (Ayah TD)
Duduk melunjur kaki dilipat,
Tangan sebelah letak di bahu,
Mari berlibur di hari Ahad,
Melepas lelah sepekan lalu. (Ayah TD)
Pokok nyiur berdaun empat,
Terbang rendah burung tekukur,
Meski hari libur tetap semangat,
Perbanyak ibadah selalu bersyukur. (Mas Miftah)
Hari Ahad setelah Jumat,
Bersyukur untuk memulai pagi,
Semua hari bisa keramat,
Ketika ibadah niat di hati. (Bunda Emmy)
Rapi busana bergantung bahan,
Semakin anggung makin wibawa,
Kini tiba 16 bulan Ramadan,
Sucikan hati teguhkan jiwa. (Ayah TD)
Harum melati mekarlah kekwa,
Bertangkai empat dipetik jari,
Sucikan hati teguhkan jiwa,
Semoga mendapat ridho Illahi. (Mas Miftah)
Tinggi sekali pohon kelapa,
Berjejer rapi di Pantai Kuta,
Senyum santun juga sapa,
Semoga melekat di diri kita. (Ayah TD)
Tegak berdiri pokok kelapa,
Dahan palas hinggap tekukur,
Biasakan diri senyum dan sapa,
Selalu ikhlas tanda bersyukur. (Mas Miftah)
Pohon kelapa si pohon gambir,
Buah yang tua dimasak rendang,
Senyum sapa tanpa ketar ketir,
Semoga tak jemu dalam berjuang. (Bunda Chrisma)
Gulai kemumu siap terhidang,
Bersama ketupat berlauk tumpi,
Jangalah semu untuk berjuang,
Terus semangat meraih mimpi. (Mas Miftah)
Tidak akan ada habisnya jika berbalas pantun, ibarat makan sambal meskipun terasa pedas di lidah, akan dicoba terus dan terus. Sosok ayah TD lah yang menyatukan kami. Meskipun berbeda asal daerah, dan belum pernah berjumpa di dunia nyata, tetapi berhasil disatukan lewat pantun. Di momen Milad yang ke 70 tahun, semoga ayah TD senantiasa diberikan nikmat kesehatan sehingga dapat terus menginspirasi dan memacu kami untuk melestarikan budaya pantun.
Kacang panjang si kacang mede,
Tanam kemangi petiklah daun,
Sehat dan berkah ayah TD,
Semangati kami lestarikan pantun.
Kain katun berhias permata,
Jadikan kebaya dipakai puteri,
Berbalas pantun merangkai kata,
Lestari budaya marwah negeri.