Rupanya dia benar-benar serius. Mungkin merasa diremehkan dengan ejekan saya. Setelah melalui proses akhirnya dia diterima di perguruan tinggi dengan jurusan yang diminatinya.
Saya ayah tiga anak. Semuanya laki-laki. Anak sulung saya baru masuk pada tahun pertama di perguruan tinggi. Anak ke 2 baru duduk di kelas 5 sekolah dasar. Sedangkan bocah bungsu baru empat tahun dan sedang menikmati keceriaan taman bermain pada PAUD di kampung.
Saya memiliki visi bahwa anak-anak saya harus masuk pesantren. Saya bukanlah orang yang merasa religius walaupun saya selalu menjalankan kewajiban saya sebagai umat beragama. Sebagian besar orang tua yang berorientasi religius biasanya memiliki kesadaran yang sama bahwa anak-anak harus dibekali ilmu agama dan akhlak yang mulia. Akhlak itu tentu saja tidak sekadar terkait dengan akhlak secara vertikal tetapi juga akhlak kepada sesama dan lingkungannya. Hal ini dilatarbelakangi oleh dinamika pergaulan genarasi muda yang terus berkembang. Anak anak tidak saja berinteraksi dalam dunia realitas nyata tetapi juga dalam area kehidupan dengan jangkauan tanpa batas melalui jaringan dunia virtual. Kondisi ini sedikit banyak akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak-anak.
Lulus dari madrasah tsanawiyah, saya mengirimkan si sulung ke pesantren dengan pendekatan yang lumayan kaku. Harus masuk pesantren. Sementara dia sangat berambisi masuk sekolah umum. Dalam perjalanan waktu ternyata dia tidak kerasan dengan lingkungan pesasntren. Salah satu penyebabnya karena sifatnya yang penyendiri. Sementara kehidupan pesantren mengharuskannya berinteraksi secara masif tanpa memiliki kesempatan untuk bersenyap sendiri.
Kondisi itu membuatnya sering pulang dan minta pindah. Saya melihat gejala tidak sehat jika terus memaksanya bertahan di pesantren. Akhirnya, saya mengalah. Anak pendiam itu pindah sekolah ke sebuah madrasah aliyah yang lokasinya di pusat kecamatan. Sebuah sekolah swasta yang tidak begitu populis bagi anak-anak setempat. Untuk pindah ke sekolah sekolah negeri jelas tidak mungkin. Apalagi ke sekolah seperti SMA negeri yang melakukan seleksi yang konon cukup ketat. Untungnya dia memiliki cara berfikir yang berbeda dari anak-anak dan orang kebanyakan. Dia memiliki argumen sendiri.
“Sekolah dengan status bergengsi, populer, dan berkelas tidak menjamin semua siswanya berkelas. Hal terpenting adalah belajar,’ demikian kurang lebih penggalan argumen yang disampaikan kepada saya.
Rupanya saat duduk di kelas 2 dia tidak konsisten dengan argumennya sendiri. Setiap hari memang dia selalu masuk sekolah. Tetapi saya tidak melihat keseriusannya dalam belajar di luar jam sekolah. Seharian dia memelototkan matanya ke arah gawai sebagaimana anak-anak remaja laki-laki pada umumnya. Game.
Malam hari dia selalu tidur terlambat. Saban malam saya mendengar suara histerisnya di kamarnya saat mengalami konflik dalam game onlinenya. Saban malam pula dia bergumam sendiri ketika permainan gamenya harus tunduk di bawah lawan mainnya. Entahlah saya tidak tahu dia dan temannya main game model apa.
Setahun lalu dia lulus dari madrasah aliyah. Ambisinya untuk masuk ke perguruan tinggi negeri menjulang. Menjelang UTBK-SMBPTN 2021 yang lalu, dia mempersiapkan diri secara maksimal. Beberapa fasilitas pendukung ambisinya saya penuhi. Dia minta kuota untuk berselancar mencari informasi dan materi persiapan UTBK-SMBPTN. Dia juga minta buku kumpulan soal-soal persiapan masuk PTN. Andai dia minta biaya bimbel masuk PTN juga saya akan usahakan. Dengan kondisi keuangan yang timbul tenggelam, untungnya point ini dia abaikan.
Kali ini saya tidak mengarahkannya untuk memilih jurusan tertentu. Saya memberinya kebebasan untuk memilih. Rupanya dia tertarik dengan bahasa Inggris. Saya tidak ingin bertanya lebih jauh untuk menggali argumen yang membuat pilihannya jatuh ke dalam pelukan bahasa. Dia memiliki cara berfikir sendiri. Jadi saya memberikan dukungan sejauh itu positif dan membuatnya merasa nyaman. Hanya pernah sekali dengan nada mengejek saya memintanya mencari perguruan tinggi yang menyediakan program studi game online. Belakangan saya baru tahu bahwa di sini ada beberapa perguruan tinggi yang menyediakan jurusan game. Untuk informasi ini saya benar-benar kurang update. Saat membaca informasinya saya malah mentertawakan diri sendiri begitu tahu bahwa ada perguruan tinggi yang membuka jurusan game.
Rupanya dia benar-benar serius. Mungkin merasa diremehkan dengan ejekan saya. Setelah melalui proses akhirnya dia diterima di perguruan tinggi dengan jurusan yang diminatinya. Satu semester dia mengikuti perkuliahan secara daring. Saban malam saya tidak lagi mendengar suara histerisnya yang kalah main game. Semua suara itu berubah menjadi berbagai dialog dengan bahasa Inggris yang tidak pernah saya mengerti. Suara itu dikombinasi dengan dialog lain dari YouTube yang menyediakan serakan tutorial tentang percakapan bahasa Inggris.
Keterampilan dan pengetahuan bahasa Inggris seadanya yang diterimanya di madrasah mungkin membuatnya terpacu untuk belajar. Ini indikator utama bahwa dia merasa nyaman dengan pilihannya. Indikator lainnya saat melihat perolehan IPnya pada semester awal tergolong sangat memuaskan. Walau banyak asumsi bahwa IP bukan satu-satunya gambaran tentang masa depan, saya melihat dia mempunyai visi. Saya berharap dia konsisten dengan pilihannya.
Lombok Timur, 17 Maret 2022
Sumber gambar