Terbit Langsung 3 Buku

Terbaru, YPTD173 Dilihat
Bersama Pak Thamrin Dahlan dan Mas Ahsin di Kantor Kompas Gramedia tahun 2011 (Foto by : Thamrin dahlan)
Bersama Pak Thamrin Dahlan dan Mas Ahsin di Kantor Kompas Gramedia tahun 2011 (Foto by : Thamrin dahlan)

Kompasiana menjadi jembatan shilaturahim pertama saya bertemu dengan para penulis hebat yang saya kenal. Di blog kroyokan ini, saya bisa berkenalan dengan Om Prayitno Ramelan yang sering hadir di televisi nasional menjadi pembicara perihal tentang bidang dunia intelejen negara, beliau pernah memberikan hadiah buku ke saya lewat Mbak Linda Djalil yang juga aktif di Kompasiana dan pernah menjadi wartawan senior di Tempo dengan bukunya yang berjudul “Intelejen Bertawaf” saat di Mesir. Saya juga dikenalkan dengan Ibu Pipiet Senja yang menjadi novelis terkenal tanah air. Berkat kompasiana, saya juga bertemu bukan hanya lewat tulisan kepada Om Pepih Nugraha yang waktu itu menjadi founder awal kompasiana bersama dengan Mas Iskandar yang akrab disapa dengan Mas Isjet. Saya juga bertemu dengan Mas Nurul yang saat ini menjadi CEO Kompasiana.

 

Masih banyak lagi tokoh-tokoh besar lain yang saya temui sejak bergabungnya saya di kompasiana pada tanggal 26 Oktober 2009 hampir sepuluh tahun lalu. Pada bulan Maret 2011, saat Mesir telah mengalami revolusi, saya pulang ke Indonesia dan mampir di Jakarta. Teman-teman Kompasiana mengetahui kepulangan saya lewat beberapa artikel yang saya tulis di sana. Mulailah Om Babeh Helmi yang aktif di dunia teater dan waktu itu termasuk salah satu artisnya kompasiana menghubungi saya untuk diajak ketemuan dengan para kompasianer yang ada di Jakarta. Mereka mengajak saya untuk bertemu di Taman Ismail Marzuki. Di sana hadir beberapa kompasianer yang namanya tidak asing bagi saya, diantaranya Om Dian Kelana yang aktif sekali menulis catatan hariannya, juga hadir om Edi yang juga aktif sekali, bertemu Bang Syem yang suka menulis di kompasiana tentang bidang pertanian, juga almarhum Om Erwin yang akrab dipanggil Om Gentong yang sering menulis tentang inspirasi. Sebelum sampai di Jakarat, saat transit di Dubai, saya menyempatkan diri untuk keluar bandara dan menemui Mas Mukti Ali yang waktu itu masih bekerja di Dubai, saya berjalan-jalan bersama beliau keliling Dubai, termasuk makan malam di bawah bangunan Burj Khalifa yang menjadi Gedung tertinggi di Dunia hingga pukul 2 dinihari.

 

Esoknya, saya dihubungi oleh Pak Thamrin dahlan, beliau merupakan pensiunan dari Kepolisian Republik Indonesia dengan pangkat terakhir yang saya tau adalah Komisaris Besar. Saya janjian dengan Pak Tamrin Dahlan yang akrab dipanggil Pak TD di Kompasiana di Mall Tamini yang berada di dekat TMII Jakarta Timur. Beliau pada waktu menjemput saya dengan memakai mobil Toyota kijang kapsul LGX. Bersama beliau, saya mendatangi undangan yang berikan oleh Kang Pepih Nugraha dan Mas Isjet di kantornya Kompas Gramedia bagian Kompasiana. Saat di Kantor Kompas, kami disambut oleh oleh para penggerak dibalik layar Kompasiana, diantara yang saya kenal adalah Kang Pepih, Mas Isjet, Mas Nurul, dan Mas Wisnu Nugraha yang beberapa bukunya pada masa SBY dan Pak JK sangatlah viral di jagat raya Indonesia.

 

Bersama Pak Thamrin Dahlan dan Mas Ahsin di Kantor Kompas Gramedia tahun 2011 (Foto by : Thamrin dahlan)

Bersama Pak Thamrin Dahlan dan Mas Ahsin di Kantor Kompas Gramedia tahun 2011 (Foto by : Thamrin dahlan)

Saya banyak ditanyai perihal kondisi Mesir tahun 2011 waktu itu yang menghebohkan dunia. Tahun 2011 sebelum saya pulang, saya juga pernah menulis satu artikel yang menjadikan saya diwawancarai oleh media televisi nasional, diantaranya oleh TV One, Kompas TV, Trans 7, hingga Metro TV. Waktu itu saya menjadi korban tangkap militer beberapa jam dan dinterogasi gara-gara dianggap ikut pergerakan untuk menggulingkan Presiden Hosni Mubarok. Salah satu cataatan yang saya tulis waktu itu adalah berjudul “Cairo Oh Cairo”. Saat pulang dari kantor Kompas Gramedia, malamnya Pak Thamrin Dahlan langsung membuatkan artikel dari hasil pertemuan kami bersama dengan para pembesar kompasiana tadi, artikel itu berjudul “Pemuda itu bernama Bisyri Ichwan”.

 

Sejak saya bergabung di Kompasiana, sudah ada 306 artikel yang saya tulis, dimana dari 306 itu, 104 diantaranya pernah muncul sebagai headline. Sehingga pada pertengahan tahun 2012, saya memiliki inisiatif untuk mengumpulkan artikel-artikel itu dan rencananya saya tawarkan ke beberapa penerbit ternama di Indonesia untuk bisa ditebitkan. Beberapa penerbit saya hubungi dan diantara mereka meminta saya untuk mengirimkan naskah-naskah itu. Namun, dari semua penerbit yang saya kirimi naskah, tidak ada satupun yang akhirnya menerimanya dan mau menerbitkan. Beberapa alasan diutarakan. Diantara alasan itu yang pernah saya rekam, yang paling banyak adalah apa yang saya tulis terlalu sederhana, catatan-catatan yang saya tulis selama hampir 3 tahun hanya catatan biasa yang dianggap tidak  marketable. Bahasa kasarnya adalah terasa membosankan, ini adalah kesimpulan saya sendiri jika boleh menggunakan bahasa yang agak kasar.

 

Dari sinilah, sejak pertengahan 2012 berimbas pada semangat saya untuk menulis kembali catatan harian. Sehingga sejak pertengahan 2012 saya tidak pernah menulis lagi dan absen bahkan hilang dari peredaran dunia kepenulisan, termasuk di Kompasiana. Perjalanan saya pulang dari Mesir pada tahun 2013, hingga saya menempuh S2 di Jember dan melakukan beberapa bisnis saat di Indonesia, tidak ada catatannya sama sekali dan hanya tersimpan di memori otak saya saja. Hingga akhirnya saat saya menempuh pendidikan S3 di Malang yang disponsori oleh LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang berada di bawah beberapa kementrian, termasuk diantaranya Kementrian Keuangan yang dinahkodai oleh Ibu Sri Mulyani, saya mulai tertarik untuk menulis lagi di Kompasiana.

 

Saat saya mencoba untuk login di akun kompasiana, saya selalu gagal. Saya lupa email yang pernah saya gunakan. Sudah sekitar 8 tahun saya absen menulis, bahkan sekedar membuka blog kompasiana saya juga tidak pernah. Sempat beberapa kali saya mengirim surat di email resmi Kompasiana, jawabannya hanya formalitas saja dan tidak memberikan solusi yang kongkrit. Hingga akhirnya, saya mencoba jalur belakang. Kebetulan saya berteman di Facebook dengan CEOnya kompasiana saat ini; Mas Nurul. Saya mencoba mengirimkan inbox di Facebooknya. Saya mengatakan secara jujur untuk rindu ingin menulis lagi di kompasiana dan menemui kendala yang tidak bisa saya selesaikan, saya juga mengatakan bahwa saya sudah menghubungi CS di email kompasiana resmi dan tidak menemukan solusi yang berarti.

 

Gayung bersambut, tidak lama kemudian Mas Nurul langsung menjawab keluhan saya dengan mengirimkan email yang pernah saya gunakan untuk mendaftar di Kompasiana, saya lansung mencoba menggunakan email itu untuk login, alhamdulillah berhasil. Tepat tanggal 16 Oktober tahun 2019, saya mulai menulis catatan kembali, saya menulis catatan dari perjalanan saya kuliyah S3 di UIN Malang, beberepa tulisan saya kirimkan, dari 10 tulisan yang sudah saya tulis di Kompasiana, ada satu yang masuk headline, yakni catatan yang berjudul “Ada Sufi di KPK”. Namun, lagi-lagi saya tidak lagi menulis catatan sejak terakhir mengirimkan catatan di tanggal 2 November 2019. Itu adalah catatan saya yang terakhir. Alasanya selalu klasik; malas.

 

Tanggal 19 September 2019, baru beberapa hari yang lalu, seperti biasanya saya suka membaca status teman-teman yang ada di beranda facebook. Di sana saya melihat postingan Om Mukti Ali yang sedang mengirimkan foto buku yang bulan agustus kemarin diterbitkan, saya juga disuguhi postingan Om Dian Kelana yang memperlihatkan buku yang baru diterbitkan juga. Saya juga melihat beberapa postingan Pak TD yang juga memiliki model yang sama yakni menunjukkan buku-buku yang beliau terbitkan. Saya tiba-tiba penasaran dengan postingan-postingan beliau itu, saya lihat dan saya baca postingan beliau-beliau itu. Ternyata mereka semua berasal dari rumpun penerbit yang sama yakni YPTD, kepanjangan dari Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan.

 

Yayasan ini adalah wakaf dari keluarga besar Pak Thamrin Dahlan yang visinya adalah meningkatkan literasi masyarakat Indonesia dengan cara memfasilitasi para penulis yang ingin menerbitkan karyanya secara gratis. Saya langsung tertarik untuk ikut serta mewujudkan visi dari Yayasan keluarga besar Pak TD ini. Hari itu juga saya menghubungi nomor whatsapp yang tertera di beranda Pak TD. Saya menyapa beliau, menanyakan kabarnya selama ini dan langsung to the point  menyampaikan keinginan saya untuk ikut serta menerbitkan buku lewat Yayasan beliau. Hanya berselang beberapa detik, Pak TD langsung menjawab pesan saya. Alhamdulillah beliau masih tidak lupa dengan keberadaan saya, padahal kami hanya pernah bertemu satu kali saja saat dulu beliau mengantarkan saya ke kantornya Kompas Gramedia 8 tahun lalu.

 

Pak TD langsung menyuruh saya untuk mempersiapkan naskah buku yang hendak dicetak. Saya katakan bahwa saya sudah mempersiapkan 3 naskah yang pernah saya kumpulkan dari catatan-catatan yang ada di Kompasiana dulu. Pak TD tidak mempermasalahkan hal itu. Catatan baru ataupun lama tidak ada masalah. Saya semakin bersemangat untuk mengedit kembali catatan itu. Setelah obrolan kami selesai, Pak TD memasukkan saya ke dalam group whatsapp khusus yang berisi para penulis yang sudah menerbitkan bukunya di YPTD dan para penulis yang masih proses untuk menerbitkan di YPTD seperti saya. Ternyata di sana, saya bertemu kembali dengan Om Wijaya Kusumah yang akrab dipanggil Om Jay. Saya salut dengan beliau, Om Jay masih aktif menulis hingga saat ini dan sudah menerbitkan beberapa buku, termasuk sedang mempersiakan penerbitan buku dari catatan para guru di PGRI saat belajar di China.

 

Lewat group ini, saya juga akhirnya mengetahui bahwa Pak TD sudah menerbitkan 30 buku, bahkan target beliau dalam beberapa tahun ke depan, beliau bisa menerbitkan 40 buku. Saya salut luar biasa atas produktif beliau di umur yang tidak muda lagi, semangat beliau untuk menulis lebih muda dari saya yang masih berumur kepala tiga. Tanpa berfikir panjang, setelah naskah catatan selesai saya edit, semuanya saya kirimkan ke Pak TD. Pak TD memberikan catatan kepada saya untuk melengkapi naskah buku itu dengan Judul, Kata Pengantar, dan Daftar Isi. Semalaman saya melembur kembali untuk menyelesaikan tugas dari Pak TD dan mengirimkan tiga naskah itu kembali kepada beliau.

 

Semakin intens saya berkomunikasi dengan Pak TD. Siang tadi, Pak TD mengirimkan kabar bahwa nomor ISBN (International Standard Book Number) dari salah satu buku saya sudah keluar. Saya diminta untuk mempersiapkan mengirimkan cover bukunya. Penerbit akan menitipkan logo YPTD dan kata pengantar penerbit yang dipasang di buku yang diterbitkan. Sengaja saya langsung meminta tolong kepada Pak TD untuk menerbitkan semua naskah buku yang saya siapkan. Saya meminta izin kepada Pak TD untuk menerbitkan sekaligus 3 naskah buku itu. Alhamdulillah Pak TD menyanggupi keinginan saya. Walaupun pada prakteknya, untuk teknisnya, pihak YPTD akan mengirimkan permintaan nomor ISBN dari 3 naskah buku secara bertahap, biar teman-teman penulis lain juga kebagian. Untuk teknisnya saya mengikuti saja yang dilakukan oleh Pak TD. Alhamdulillah 1 ISBN bukunya sudah keluar dan saya menunggu ISBN dari dua buku selanjutnya.

 

3 naskah buku yang akan saya terbitkan, masing-masing buku berisi catatan perjalanan yang berbeda. Buku pertama saya beri judul “926 Cairo”, di buku pertama ini saya mencantumkan hampir 50 artikel yang berisi catatan perjalanan saya saat pertama datang ke Mesir pada akhir tahun 2009 hingga akhir 2010 sebelum Mesir mengalami revolusi. Awalnya saya pernah membuat catatan perjalanan yang membahas tentang politik, namun saya langsung ditegur oleh Om Pray untuk fokus menulis hal-hal yang berbau sosial budaya dan wisata saja, jangan menulis sesuatu yang berbau politik, karena Mesir masih dipimpin oleh Presiden otoriter Hosni Mubarok. Tebal buku pertama ini sekitar 272 halaman belum termasuk kata pengatar.

 

Di buku kedua saya memberikan judul “Cairo Oh Cairo”. Saya mencantumkan juga hampir 50 artikel yang berisi catatan perjalanan saya sejak 2011 pada saat Mesir mengalami revolusi, ada banyak yang berubah dari kondisi Mesir saat itu. Termasuk beberepa catatan detail proses penangkapan dan penggeledahan rumah tempat tinggal saya waktu di Mesir yang dilakukan oleh para militer dengan senjata laras panjang lengkap dengan beberapa kompi pasukan. Di buku kedua ini saya juga mencamkan puluhan artikel mengenai kisah perjalalanan saya keliling kota-kota yang ada di Mesir, termasuk diantaranya saat berada di kotanya fir’aun di Luxor Aswan dan kota wisata yang menjadi Balinya Mesir di Sarm Syeikh. Tebal buku ini sekitar 270 halaman.

 

Selanjutnya di buku ketiga saya beri judul “Umroh Koboy. saya mengumpulkan sekitar 52 artikel yang menceritakan tentang Mesir pasca revolusi pada tahun 2012 pada saat Mesir dipimpin oleh Presiden di masa transisi oleh Adli Mansour hingga Mesir dipimpin oleh kalangan sipil dari golongan Ikhwanul Muslimin oleh Presiden Mohammed Morsi. Pada tahun transisi ini, yang bukan hanya terjadi di negara Mesir, tapi juga di beberapa negara arab lain setelah peristiwa Arab Spring, saya bersama teman-teman Al-Azhar melakukan perjalanan umroh melewati jalur darat. Kami berangkat dari Cairo menuju Thaba, sebuat kota kecil yang berbatasan lansung dengan Israel dan Yordania, juga dekat dengan negara Sudan. Kami menyeberangi lautan menuju Yordania hingga sampai Saudi Arabia. Perjalanan ini tidaklah mulus, ada banyak sekali cerita untuk sampai ke Makkah dan Madinah. Saya bersama teman-teman di Saudi mulai awal romadlon hingga pertengahan syawal, jika dihitung hampir dua bulan lamanya, padahal visa yang kami punya hanya satu bulan. Di sanalah banyak cerita perjalanannya dan semuanya saya tuliskan di buku yang ketiga yang tebalnya sekitar 313 halaman.

 

Saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh team dari kompasiana, lewat kompasianalah saya mulai belajar menulis dan bisa mengenal teman-teman penulis yang luar biasa. Lewat media blog kroyokan ini akhirnya setelah menunggu beberapa tahun, saya disambungkan kembali shilaturahimnya kepada kompasiner juga. Terimakasih kepada Pak Thamrin Dahlan yang telah membantu mewujudkan keinginan penerbitan ketiga buku saya sekaligus. Saat ini saya sedang proses menulis buku yang ke empat yang berjudul “Ngofi (Ngobrol Sufi), buku ini berisi catatan perjalanan saya dari kajian tasawwuf yang saya lakukan bersama teman-teman MATAN (Mahasiswa Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyah) di Banyuwangi, saya sudah menuliskan beberapa artikel dan baru dapat 100 lembar. Saya juga sedang menulis buku ke 5 saya yang berisi tentang catatan perjalanan saya satu tahun ini saat menempuh S3 di UIN Malang lewat sponsor LPDP. Saya baru menuliskan 80 lembar.

 

Semoga ini menjadi awal yang baik untuk konsisten kembali menulis. Seperti yang menjadi motto YPTD yang dinahkodai oleh Pak Thamrin Dahlan, bahwa mahkota yang ditinggalkan oleh seorang manusia itu adalah buku yang pernah dituliskannya. Umur manusia terbatas, tapi buku yang ditulis oleh manusia akan abadi. Semoga kita selalu diberikan keistiqomahan untuk selalu menghasilkan karya dalam sebuah tulisan yang berharap bisa bermanfaat dan keberkahan untuk para pembaca hingga generasi selanjutnya sampai hari kiamat kelak. Aamin. Terimakasih semuanya.

 

 

Tinggalkan Balasan