MENEBAR OPTIMISME DI TENGAH PANDEMI COVID-19
Oleh: Nanang M. Safa
Pandemi Corona (Covid-19) benar-benar telah memutarbalikkan segala tatanan kehidupan. Berbagai tananan yang selama ini sudah mapan dan menjadi kebiasaan menjadi amburadul dan kacau-balau. Bukan hanya yang bersifat anjuran, namun juga yang bersifat kewajiban. Rutinitas yang bagi sebagian besar orang sudah menjadi hal yang memberikan kenyamanan, terpaksa atau dipaksa ditiadakan, entah sampai kapan. Di sebagian masjid jami’ (di wilayah perkotaan) shalat Jum’at juga ditiadakan sementara. Dan kelanjutannya pada bulan Ramadhan yang lalu shalat Tarawih juga ditiadakan, termasuk shalat Idul Fitri. Semua ibadah yang mestinya bisa dilaksanakan bersama-sama dengan khusu’ dan penuh keikhlasan terpaksa harus dilaksanakan di rumah.
Covid-19 hingga hari ini belum juga dapat dipastikan kapan akan bisa ditaklukkan. Vaksin yang disebut-sebut akan menjadi penawar paling ampuh juga masih terus mendatangkan pro dan kontra. Hari demi hari korban berjatuhan, terutama dari pihak garda paling depan (dokter dan perawat) yang setiap hari memang harus bersentuhan langsung dengan virus misterius ini. Prediksi demi prediksi terus dimentahkan dengan banyaknya kasus baru korban Covid-19. Rencana masuk sekolah dan masuk kerja berulang kali harus diundur dalam rentang waktu yang tidak pasti. Beberapa waktu lalu (di era new normal), memang sempat berhembus angin segar (khususnya di Trenggalek) dengan dilonggarkannya beberapa pembatasan sosial (social distancing), termasuk kegiatan hajatan, pasar, tempat wisata, sekolah dan perkantoran. Namun justru setelah itu, penyebaran Covid-19 semakin tak terkendali.
Covid-19 benar-benar telah menebar teror. Manusia benar-benar dibuat tidak berdaya. Perekonomian lumpuh, tatanan sosial porak poranda, kehidupan beragama ikut-ikutan kacau. Langkah taktis yang diambil pemerintah juga belum memberikan hasil maksimal. Bahkan beberapa formula dan kebijakan justru menciptakan blunder. Para penjahat sosial yang mendapatkan kebebasan atas nama kemanusiaan, ternyata justru tak kenal kata taubat. Mereka kembali membuat ulah di tengah teror Covid-19. Mereka tak segan-segan melukai dan membunuh korbannya dengan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Di sisi lain, warga masyarakat yang memang sudah lelah diteror ketakutan, juga tak segan-segan melakukan penghakiman massa terhadap para bromocorah kambuhan ini. Maka yang berlaku adalah hukum rimba. Lagi-lagi karena Covid-19.
Tebarkan Optimisme
Covid-19 benar-benar telah menguji rasa optimisme kita semua. Hampir satu tahun berlalu belum juga ada kepastian tentang akhir masa pageblug akibat Covid-19. Setiap orang dibuat kalang-kabut dan diteror dalam kekhawatiran dan ketakutan. Semua orang diposisikan dalam sebuah dilema, antara menjalani kehidupan normal dengan kehidupan baru yang beberapa bulan terakhir disebut sebagai era kenormalan baru (new normal). Mungkin bagi sebagian orang, kehidupan new normal hampir tidak berbeda dengan kehidupan normal yang telah biasa mereka jalani, semisal harus jaga jarak, harus pakai masker, harus di rumah, dan tidak berkerumun. Namun bagi mayoritas orang Indonesia (apalagi Jawa) tentu pola kehidupan new normal semacam ini sungguh tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Kehidupan era new normal (akibat Covid-19) menjadi kehidupan baru yang asing (baca: aneh) bagi mereka. Berbagai kebiasaan yang sudah menjadi adat kebiasaan turun-temurun, tiba-tiba terpaksa atau dipaksa harus ditinggalkan karena adanya pembatasan sosial (social distancing). Belum lagi masalah kebutuhan hidup sehari-hari. Adanya pembatasan sosial sudah pasti berpengaruh besar terhadap penghasilan mereka. Maka sangat wajar jika pada akhrinya mereka dicekam kepanikan, kebingungan, dan kegalauan dalam menjalani hidup di era new normal ini. Dampak lanjutannya bisa saja memunculkan rasa pesimis dan putus asa. Jika saja boleh memilih tentu banyak orang akan memilih berada pada kehidupan normal dari pada kehidupan new normal, biarpun dari sisi istilah terdengar lebih keren yang kedua (new normal). Maka tidak bijak juga ketika ada orang yang dengan entengnya menyalahkan mereka yang tetap keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah sebagai orang yang tidak mematuhi pemerintah, orang yang mau menentang maut, orang yang sombong dan sebutan sejenisnya. Bagi mereka kelaparan justru lebih menakutkan daripada ketakutan mereka terhadap Covid-19 yang tidak jelas jluntrungnya. Dan ini jelas terpampang di depan mata kita sekarang ini. Banyak orang seakan sudah jenuh dengan pembatasan-pembatasan, banyak orang tidak mau lagi memakai masker, banyak orang cuek dan tidak perduli lagi dengan bahaya Covid-19. Semua ini merupakan wujud dari pesimisme mereka terhadap ketidakpastian pandemi Covid-19.
Maka yang harus kita lakukan sekarang adalah tanamkan rasa optimisme dalam diri kita bahwa pandemi Covid-19 bukan akhir dari dunia, bahwa pandemi Covid-19 hanyalah satu bentuk ujian Allah SWT terhadap pentingnya kebersamaan. Lalu kita tebarkan benih-benih optimisme itu kepada orang-orang di sekitar kita. Ajaklah dan yakinkan mereka untuk melakukan hal yang sama. Inilah bentuk nyata berbakti di masa pendemi Covid-19 sebagai ikhtiar bersama.
Waspadai Euforia
Pada fase menghadapi bencana, secara otomatis akan terjadi komitmen untuk bersinergi dalam menghadapi bencana tersebut. Demi keselamatan dan kemaslahatan bersama, manusia dengan kesadarannya melakukan berbagai ikhtiar agar segera terbebas dari bencana tersebut, dalam hal ini Covid-19. Hiruk-pikuk perpolitikan yang hampir tiada henti mewarnai negeri ini, suaranya juga hampir tak terdengar lagi. Hujat-menghujat dengan mengatasnamakan agama, juga hampir tak terdengar lagi. Kalaupun ada hanya riak-riak kecil saja yang mencoba memancing di air keruh. Semua itu menandakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki keinginan dan kebutuhan dasar yang sama untuk hidup aman dan damai. Justru dampak sepeninggal Covid-19 itulah yang harus diwaspadai.
Pasca bencana merupakan fase paling mengkhawatirkan. Fase ini merupakan ujian berat bagi terbentuknya kembali tatanan yang baik. Sudah sering terjadi bahwa pasca terjadinya hal yang tidak menyenangkan, yang memaksa manusia untuk dikekang (isolasi, karantina, stay at home, work from home, social distancing, pysichal distancing, lockdown, PSBB atau apapun namanya) pada akhirnya akan memunculkan uforia. Sikap ini muncul akibat dari timbulnya rasa rindu kebebasan dari keterpaksaan dan keterkungkungan. Nah, di sisi inilah yang harus menjadi perhatian kita semua. Sikap uforia tersebut acapkali diwujudkan dalam tindakan-tindakan negatif yang justru tidak mencerminkan rasa syukur kita kepada Allah SWT. Jika ini yang terjadi maka ancaman akan datangnya bencana lebih besar akan mengintai kita. Bukankah Allah SWT sudah memaklumatkan dalam surat Ibrahim ayat 7 bahwa jika kita bersyukur maka Allah akan menambah nikmat yang diberikannya kepada kita, dan sebaliknya jika kita ingkar maka azab Allah yang akan ditimpakan kepada kita sangatlah pedih. Na’udzubillah min dzalik. Semoga pasca hengkangnya Covid-19 nanti kita benar-benar menjadi manusia-manusia yang bisa bersyukur, bukan manusia-manusia yang hanyut dalam arus euforia.
#KMAA#1