Aku terbangun dari mimpi yang membuatku bermandikan keringat dingin dan begitu gelisah. Seseorang yang aku sayangi, begitu berarti dalam hidupku, cintanya ibuku, akan pergi untuk selamanya. Aku bermimpi ayah meninggal. Tak mau berlama-lama dalam gelisah segera kulangkahkan kaki, sigap aku berwudlu. Aku ingin menyapa Tuhan, merayunya agar Tuhan berbaik hati memanjangkan usia ayah dan menghapus semua mimpi burukku tentang ayah.
Aku baru menyadari sudah hampir tiga tahun ayah tidak pulang ke rumah. Hanya karena kecanggihan teknologilah yang akhirnya membuat jarak yang berlipat-lipat itu terasa begitu dekat. Ayah di Jepang dan aku di sini, di sebuah kampung di pelosok Banten.
“Faniiiii…, ya ampun jam segini masih tidur. Bangun! Nanti kesiangan. Sudah sholat shubuh belum?”
Suara ibu mengejutkanku, rasanya baru tadi aku terbangun dari mimpi buruk. Ternyata aku tertidur masih lengkap dengan mukena yang kupakai qiyamu lail malam tadi. Bergegas aku ke kamar mandi membersihkan diri. Hari ini Bahasa Inggris pelajaran jam pertama, gurunya killer setengah mampus dan aku tidak ingin berurusan dengannya. Aku sudah letih dengan mimpiku semalam.
***
”Braakkkkk!”
“Aduuuh saakiiit”
Ya Tuhan kemana saja aku ini sampai tidak sadar kalau bertubrukan. Buru-buru kupunguti buku yang tergeletak dan menyerahkannya kepada pemiliknya sekaligus meminta maaf.
“Maaf… maaf… lain kali hati-hati kalau jalan”
Aku kenal suara seperti pintu berdecit itu tapi sungguh aku tak peduli, hati dan pikiranku masih dikuasai mimpi burukku semalam. Aku bahkan tidak mendengar bahwa orang yang kutabrak menghukumku dengan tugas membuat review text dari film yang sedang tayang di bioskop minggu ini kalau saja Alimah tidak memberitahuku. Bayangkan bagaimana tidak killer, aku harus mereview film yang tayang di bioskop. Dari rumahku ke bioskop terdekat di kota kami jaraknya kurang lebih dua jam. Pulang pergi empat jam. Belum lagi kendaraan dari rumahku cukup sulit. Kepalaku rasanya mau pecah.
Sepanjang sekolah tak ada satupun pelajaran yang dapat kuserap dengan baik, pikiranku tertuju hanya pada ayah dan ayah. Aku ingin sekali bergegas menghubunginya, mendengar suaranya, menatap wajahnya, matanya yang selalu teduh dan menenangkan meski hanya kulihat melalui layar hp atau laptop. Tapi sungguh entah kenapa seolah semuanya seperti tak memihak kepadaku. Beberapa hari yang lalu hpku terjatuh entah di mana dan sampai saat ini aku belum bisa menemukannya. Hp milik ibu tidak mendukung, masih hp lama yang layarnya saja masih monochrome. Sementara itu sudah hampir sebulan sinyal internet di kampung kami mati total entah karena apa dan tak ada satu orang pun yang sepertinya peduli juga dengan hal ini. Bisa saja sih aku ke kota menghabiskan waktu empat jam pulang pergi tapi entah kenapa aku malas sekali mengingat waktu menunggu datangnya bis yang akan membawaku ke kota jauh lebih lama dibanding waktu tempuh menuju kota itu sendiri.
***
“Ayaaaaaah…”
Aku berteriak sekuatku saat melihat ayah terjerembab jatuh ke dalam jurang di depan mataku, jurang yang mata saja tak dapat menembus kedalamannya. Selain gelap oleh ketebalan dedaunan. Mungkin di sana banyak binatang buas yang berharap ada yang jatuh di jurang hari ini untuk disantap. Aku sendiri tersangkut pada akar pohon. Aku bingung. Entah bagaimana mulanya tiba-tiba aku bisa berada di sini bersama ayah. Di hutan yang entah di mana. Dicekam rasa takut yang entah pada apa. Berlari dengan ketakutan dari kejaran entah siapa. Sungguh, aku bingung pada entah, pada kenapa. Semua campur aduk di kepala. Aku pusing. Aku tak kuat lagi Tuhan.
***
“Fani, bangun nak. Sudah sore, nih ibu buatkan bubur kacang kesukaanmu”
Sayup-sayup kudengar suara ibu yang terasa begitu jauh. Mata ini terasa berat sekali. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Aku bisa melihat ibu tersenyum ke arahku, lalu berjalan pelan ke arah pintu kamarku. Sampai pintu kamar tertutup aku masih terlentang tak berdaya di kasurku yang empuk dan hangat. Aku bisa melihat diriku sendiri, melihat diriku yang begitu lelah. Tak berdaya dengan kangen yang membuncah pada Ayah. Aku melihat diriku menangis, sesenggukkan sampai merah dan bengkak mataku. Terdiam lalu kembali menangis. Begitu terus berulang, hingga pagi. Hingga Ibu kembali ke kamar membangunkanku. Aku hanya menggeleng ketika ibu menyuruhku mandi. Ibu cemas menatapku dirabanya keningku, diciumnya aku berkali-kali.
“Istirahat saja tak usah sekolah, biar ibu antarkan surat izin sakit ke sekolah.”
Ibu berkata lirih dengan senyum tipis menutupi kesedihannya, tangannya sibuk meraih kening dan menyuapiku. Aku melihatnya disini. Tapi bukan di dalam tubuhku.
***
“Ayaaaaaah…”
Aku kembali berteriak, Tuhan jangan terjadi lagi. Jangan biarkan ayah terjatuh untuk yang kedua kalinya. Tetap saja yang terjadi sebaliknya ayah terjungkal ke dalam jurang berkali-kali, kulihat ayah sempat tersangkut tetapi entah kekuatan apa yang selalu mendorongnya hingga terus melesat ke dasar jurang. Dan aku masih di tempat yang sama seperti di mimpiku sebelumnya. Masih tersangkut pada akar pohon yang menjuntai-juntai. Setelah berlari dari kejaran ketakutan yang entah pada apa. Aku tidak tahu. Aku bingung. Ini Apa. Berkali-kali aku mengalami kejadian serupa. Makin lama, makin membingungkan. Selalu bermula dari arah lari yang tak jelas kemudian tiba di depan jurang yang menganga lebar dan seperti ada kekuatan besar yang menyedot ayah masuk kedalamnya sedang aku jadi penonton yang setia menikmati jeritan ketakutanku sendiri. Lelah, sungguh.
***
“Fani, minum obat dulu nak”
Aku melihat ibu meminumkan obat untukku, aku di sana terbaring lemas dengan lingkaran hitam di sekitar mataku. Rambut yang kusut dan tubuh yang mulai menyusut. Ibu tampak begitu tegar meski aku tahu jauh di dalam hatinya tangisnya pecah berantakan. Sedang aku tak pernah berbicara lagi, karena aku masih di sini entah di mana.
***
“Sejak malam itu Fani tak pernah berbicara, badannya panas. Sering mengigau, berteriak memanggil ayahnya. Tatapannya kosong. Aku bahkan merasa Fani sangat asing, dia jauh entah di mana, tidak disini bersamaku, Dar”.
Begitu kata Ibu yang kudengar ketika berbicara pada adiknya. Tante Dar hanya mengangguk. Merasa iba dengan apa yang terjadi pada kehidupan kakaknya.
***
Laki-laki beralis tebal dengan langkah tegap dan lebar bergegas ke arah belalai yang disediakan untuk menaiki tangga pesawat. Entah kenapa pagi ini dia merasa sangat terburu-buru dan tentu saja ingin segera sampai pada tujuan. Sudah hampir empat tahun dia tidak pulang, menemui perempuan setia yang dicintainya juga putrinya yang jelita pemilik mata penuh binar. Dua perempuan ini yang selalu menyita pikirannya dihari-hari terakhir dia di Jepang. Apalagi sebulan ini tak ada kabar dari keduanya. Entah kenapa tak ada satupun yang bisa dihubungi. Tak ada satupun pesannya yang terbalas, dicobanya mengirim pesan pada kerabat di kota tetap saja nihil tak ada kabar.
Matanya mulai mencari nomor kursi miliknya, lalu menyimpan bawaannya di kabin. Tak lama dia terlelap begitu mudah. Bahkan jauh sebelum pesawat mengangkasa. Dia bahkan tidak mendengar jerit panik, pecah tangis dan aroma kematian yang mencekik semua penumpang sebelum pesawat itu meledak hancur berkeping-keping.