MEMBIDIK STATUS ANAK SEKOLAH KURANG GIZI

Terbaru34 Dilihat

Mengapa Anak Usia Sekolah?

Salah satu agenda besar yang harus dipacu oleh pemerintah Indonesia adalah menanggulangi masalah kurang gizi, utamanya pada anak-anak. Masalah kekurangan zat gizi makro seperti protein dan karbohidrat belum lagi tuntas diatasi, sudah muncul kekurangan zat gizi mikro diantaranya vitmin A, zat besi, iodium, zinc dan sebagainya. Bukan hanya itu data menunjukkan masalah berat badan berlebihan atau yang dikenal dengan obesitas mulai merambat naik pada usia muda. Dengan demikian Indonesia menghadapi masalah gizi yang berganda.
Usia muda dalam siklus kehidupan manusia (life cycle) merupakan salah satu kelompok rentan. Kelompok ini memiliki kebutuhan dan risiko, jika kebutuhan tidak terpenuhi maka timbul risiko. Jika terjadi risiko akan sulit diperbaiki kembali. Sejak janin dalam kandungan sampai mencapai usia 2 (dua) tahun merupakan periode emas. Disebut periode emas karena memang dalam masa kehamilan selama 270 hari sampai anak berusia 2 (dua) tahun atau 730 hari, organ tubuh seperti otak bertumbuh dan berkembang sangat pesat. Bahkan sampai mencapai usia 5 (lima) tahun otak anak akan mencapai 80 persen kapasitas orang dewasa.
Program penanganan siklus 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) suatu konsep yang diperkenalkan oleh prof. David Barker selama ini cukup intensif. Namun tidak cukup hanya berhenti selama 1.000 HPK saja. Faktanya anak masih terus bertumbuh dan berkembang selama siklus 8.000 HPK yaitu sampai anak mencapai usia lebih kurang 21 tahun. Program penanganan tumbuh kembang anak setelah 1.000 HPK masih sangat terbatas. Di era yang lalu dikenal program Usaha Kesehatan Anak Sekolah (UKS) dan Program Dokter Kecil. Namun kemudian tidak lagi diterapkan atau kalau pun ada hanya di sekolah-sekolah tertentu.
Peningkatan kesehatan dan gizi anak melalui Pemberian makanan bergizi kepada anak sekolah merupakan hal penting. Sebab hal ini dapat membantu anak dalam pertumbuhan dan perkembangan mereka. Terutama menyediakan makanan bergizi guna memenuhi dan melengkapi kecukupan gizi juga dapat membantu anak untuk mencapai prestasi belajar yang tinggi.

Kondisi Gizi Anak Sekolah

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi hasil Survei Sosial Ekonomi Nasioinal 2022, menunjukkan gambaran anak sekolah di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) masing-masing 3,02 juta, 1,07 juta, dan 1,38 juta (disitir analisis Jurnalisme Data Jarian Kompas). Kondisi ini ditemukan pada anak-anak yang berasal dari keluarga miskin. Kondisi pada anak sekolah seperti ini bukan baru sekarang ditemukan. Pada tahun 1990an pemerintah sudah mencoba mengatasi permasalah kurang gizi pada anak sekolah ini. Program makanan tambahan untuk anak sekolah pun dikembangkan, meskipun jenis makanan yang disediakan berupa makanan jajanan atau kudapan untuk anak-anak sekolah dasar di desa tertinggal dan berpenduduk miskin. Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) di Indonesia dilatar belakangi fakta lapangan di suatu desa terpencil di NTT. Peristiwa yang mendorong dicetuskannya program tersebut adalah hasil kunjungan pejabat Bappenas kala itu (Soekirman dan Fasli Jalal) yang menemukan sekelompok anak di satu sekolah dasar yang tertidur dalam kelas saat belajar. Informasi yang diperoleh dari guru pengajar anak-anak-anak itu berangkat dari rumah sejak subuh tanpa sarapan. Hal ini ternyata banyak ditemukan di banyak desa di NTT dan desa-desa di daerah lain yang terpencil dan berpenduduk miskin. Berdasarkan temuan lapangan ini digagas upaya menyediakan makanan agar anak-anak dapat sarapan ketika tiba di sekolah. Dengan demikian mereka dapat belajar tanpa perut kosong sama sekali yang menyebabkan mereka tidak dapat berkonsentrasi mengikuti pelajaran. Maka dikemaslah program Pemberiaan Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS).

PMT-AS bertujuan antara lain: (1) Memperbaiki asupan gizi; (2) Memperbaiki ketahanan fisik; (3) Meningkatkan kehadiran dan minat belajar; (4) Meningkatkan kesukaan akan makanan daerah yang bergizi; (5) Memperbaiki perilaku bersih dan sehat, termasuk kebiasaan makan yang sehat; (6) Meningkatkan partisipasi masyarakat; (7) Menambah pendapatan masyarakat melalui peningkatan penggunaan produksi setempat.
Namun program ini tidak berlanjut. Evaluasi menunjukkan berbagai kendala dihadapi baik dari aspek petunjuk teknis yang tidak merata dan menyeluruh dimiliki oleh pelaksana yang terlibat. Data telaah kuantitatif menunjukkan pengelolaan dan pemantauan program yang meliputi kurangnya koordinasi program antar jenjang, pemantauan dan pelaporan, dan jaminan mutu, terutama karena kurangnya dana yang secara khusus diperuntukkan keperluan ini. Selain itu aspek dministrative juga menunjukkan Keterlambatan dalam penyerapan dana menyebabkan administrasi program menjadi tidak memadai. Pemberian obat cacing juga tidak efektif karena banyak sekolah yang tidak menerimanya. Hasil telaah atas nilai gizi makanan tambahan di sekolah sampel menunjukkan bahwa nilai gizi makanan tambahan PMT-AS dalam hal kalori, protein, kalsium, dan zat besi masih jauh di bawah standar rekomendasi PMT-AS. Rata-rata lebih dari 74 persen makanan tambahan di sekolah sampel memiliki jumlah kalori lebih rendah daripada standar yang telah ditetapkan untuk program tersebut, dan makanan tambahan yang disediakan di lebih dari 62 persen sekolah sampel memiliki jumlah rata-rata protein di bawah standar 5 gram. Baik kandungan kalsium dan zat besi jauh di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG). Banyak lagi faktor yang mempengaruhi seperti, Frekuensi Pembagian Makanan Tambahan Ketidakhadiran, Motivasi, dan Rentang Perhatian terhadap Pembelajaran dan sebagainya. Namun hasil telaah data kualitatif memerlihatkan adanya perbaikan karena jumlah anak berberat badan kurang menurun.

Makanan Bergizi Gratis Anak Sekolah (MBGAS)

Indonesia akan menyusul banyak negara berkembang dan maju dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dininya dari balita sampai usia sekolah. Program unggulan presiden Prabowo Subianto “Makan Bergizi Gratis Anak Sekolah” (MBGAS) telah digulirkan. Gagasan meluncurkan program Makan Bergizi Gratis nampaknya tidak sontak dilontarkan begitu saja. Inisiatif ini bertumpu pada pengalaman di tatar internasional yang dilaksanakan oleh lebih kurang 93 negara di dunia dan telah berlangsung sejak tahun 1940-an. Program makan di sekolah (School Feeding) yang diterapkan bertujuan untuk mengatasi masalah gizi dan mengurangi kemiskinan. Upaya yang dilakukan melalui penyediaan makanan yang sehat, seimbang, dan memenuhi sebahagian dari kecukupan gizi anak yang dianjurkan.
Berbagai negara seperti Amerika, Brazil, India dan sebagainya telah memiliki pengalaman menerapkannya. Pengalaman beberapa negara, program pemberian makanan pada anak sekolah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Semisal India yang memiliki program pemberian makanan bagi anak sekolah terbesar di dunia. Hasil penelitian menunjukkan anak perempuan yang pernah mengikuti program pemberian makanan di sekolah menunjukkan mereka melahirkan bayi-bayi yang sehat.
Brasilpun setidaknya telah mengeluarkan 1,3 miliar dollar AS per tahun untuk program gizi siswa nasionalnya, yang dikenal sebagai “Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE)”. Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 1954 melayani 40 juta anak di hampir 250.000 sekolah di seluruh negeri setiap hari. Tak hanya memperbaiki kualitas gizi anak, program ini juga meningkatkan ekonomi rumah tangga petani dengan mewajibkan minimal 30 persen anggaran untuk membeli bahan pangan dari petani lokal.

Lingkaran Setan Yang Belum Terputuskan

Dipahami gizi pada dasarnya memang terkait dengan bahan makanan dan makanan. Banyak aspek yang berhubungan secara luas. Karena itu masalah gizi yang dihadapi menjadi kompleks. Meskipun pada hakikatnya masalah gizi kurang misalnya yang merupakan masalah kekurangan zat-zat gizi yang dikandung bahan makanan, penanggulangannya tidak semata-mata berupa peningkatan produksi atau penyediaan pangan. Selain itu juga masalah gizi merupakan sindrom kemiskinan. Namun penanggulangannya dapat dilakukan tanpa harus menunggu terjadinya perbaikan ekonomi yang pada umumnya memakan waktu. Memang masih banyak orang berpendapat bahwa masalah gizi otomatis akan teratasi jika ekonomi negara meningkat dan membaik. Dasar teori ini adalah hukum Engel. Intinya makin tinggi pendapatan, prosentase pengeluaran atau belanja untuk makan makin turun. Angka-angka statistik Survey Sosial Ekonomi Sosial (Susenas) Indonesia juga memperkuat hal ini. Terlebih data statisti FAO yang menyatakan makin tinggi pendapatan nasional (GNP) makin baik susunan gizi makanan penduduknya. Pada tingkat pendapatan yang tinggi ditunjukkan bahan makanan sumber-sumber protein akan naik, sedangkan bahan makanan sumber karbohidrat akan berkurang.
Nampaknya pernyataan-pernyataan di atas sulit untuk disangkal. Tetapi ada hal lain juga yang ditunjukkan yaitu kondisi seperti disebutkan di atas baru akan nyata pengaruhnya terhadap perbaikan gizi yang berkisar pada angka $600 per kapita per tahun. Gizi yang berlebih pun bukan tidak jadi masalah. Berat badan yang berlebihan dikenal sebagai obesitas banyak berujung pada penyakit-penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes dan sebagainya. Keterkaitan berbagai aspek ini memerlukan keterpaduan untuk menerapkan berbagai program gizi dalam Pembangunan nasional.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1960 melancarkan program yang disebut “Dekade Pembangunan”. Memasuki dekade ke dua di tahun 1970an, timbul kekecewaan diantara para ahli pembangunan internasional. Hal ini didasarkan pada situasi di berbagai negara yag sedang berkembang, meskipun tidak dapat dimungkiri secara statistik menunjukkan kemajuan dalam perkembangan ekonominya, namun dalam kenyataannya masih juga dijumpai sejumlah besar masyarakatnya hidup dalam cengkraman kemiskinan yang sering tidak diangkat kepermukaan dan ditonjolkan oleh angka-angka statistik. Kekurangan gizi, kematian bayi dan ibu melahirkan yang tinggi, pengangguran, buta huruf masih merupakan lingkaran setan terkait bidang kesehatan, pendidikan dan sosial ekonomi yang belum sepenuhnya terputuskan. Tak heran jika Presiden Bank Dunia Robert McNamara menyatakan ”Jikalau pembangunan tidak mampu mengubah situasi ini, maka pembangunan ini telah gagal”. Bentuk kekecewaannya ini dinyatakan dalam bukunya ”One Hundred Countries. Two Billion People: The Dimention of Development” (Praeger Publisher, New York 1973).

Investasi Sumber Daya Manusia Dini

Sejatinya upaya pemberian makanan di sekolah yang intensif dan dan sistematik bagi anak sekolah menjadi salah satu kunci keberhasilan membentuk kualitas sumber daya manusia di masa depan. Program Makanan Bergizi Gratis Anak Sekolah yang diluncurkan berupaya memberikan kontribusi setidaknya dapat memenuhi 25 persen dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi anak-anak sekolah. Karenanya penting untuk mengawal persentase pemenuhan angka kecukupan gizi ini agar benar-benar sampai pada sasaran. Penting untuk memastikan penyediaan dan pengelolaan makanan yang memenuhi syarat gizi seimbang bagi anak sekolah. Namun tak kalah pentingnya juga melakukan pemantauan dan evaluasi tergadap dampak pemberian makanan. Kondisi awal anak perlu dicatat agar diperoleh data berat badan normal, kurang atau bahkan berlebih, kemudian pertambahan berat badan dipantau secara terus menerus atau berkala.

Progrsam pemberian makanan di sekolah pasca Covid-19 di banyak negara semakin berkembang. Data terbaru menunjukkan jumlah anak yang menerima makanan sekolah di seluruh dunia bertambah sejak tahun 2020 di dukung dana domestik sebagai sumber pendanaan utama di semua negara. Meskipun ruang fiskal sangat ketat, negara-negara berpenghasilan rendah telah berusaha untuk meningkatkan sumber dana domestik mereka untuk makanan sekolah. Dukungan donor di negara-negara telah menurun baik secara proporsional maupun secara riil. Pendanaan domestik dari 98 persen porsi pendanaan untuk program pemberian makanan anak sekolah secara global antara tahun 2020 dan 2022 terus meningkat. Investasi global untuk makanan sekolah meningkat sebesar US$ 5 miliar dari US$ 43 miliar menjadi US$ 48 miliar). ( https://publications.wfp.org/2022/state-of-school-feeding/)
Negara yang memperkuat dan memperluas kebijakan dan kerangka hukum yang mengatur program makanan sekolah mereka juga bertambah. Ini suatu hal positif yang menegaskan makanan sekolah oleh pemerintah berpenghasilan rendah semakin diprioritaskan. Pemberian makanan pada anak sekolah disadari merupakan investrasi sumber daya manusia dini yang memberikan hasil signifikan bagi kualitas generasi masa depan.

Tinggalkan Balasan