SEPEREMPAT ABAD HIDUP NORMAL BERSAMA DIABET

Terbaru437 Dilihat

Ciut juga nyali ini ketika disodori hasil pemeriksaan laboratorium ketika dirawat di rumah sakit selama dua minggu. Itu tahun 2000, dua puluh lima tahun yang lalu. Terpaksa dirawat di rumah sakit pasalnya diserang si kecil mungil Salmonella Typhi alias bakteri penyebab tipes. Demam tinggi selama 5 hari tanpa menunjukkan tanda-tanda melandai. Putusan akhir opname. Tetapi yang mengejutkan bukan masalah tipesnya. Hasil lab itu menunjukkan juga kadar guya darah yang angkanya tak banyak lagi menjangkau angka 400 mg/dl.

Sebagai seorang yang belajar ilmu gizi saya sadar betul apa artinya angka itu. Jelas pankreas pusat penghasil insulin bermasalah. Naluri angkat bicara, mesin otak mulai bekerja menelisik sebab musab munculnya masalah. Tak dapat dipungkiri tentu pola makan yang tak teratur jadi terdakwa pertama. Betapa tidak seusai pendidikan di Akademi Gizi sebagian besar waktu bekerja dihabiskan di lapangan bersama masyarakat desa. Tentu saja jauh dari keluarga dan jarang menemukan masakan orang rumah. Waktu makan pun tidak teratur bahkan sering makan jika memang bertemu denga apa yang bisa di makan.

Pola makan diperburuk pula oleh fasilitas yang diberikan hotel dalam lemari es di kamar yang penuh dengan ”soft drink” disediakan sebagai ”compliment” gratis karena menyewa kamar dalam waktu lama. Minuman-minuman bersoda dan tinggi gula ini jadi konsumsi sehari-hari, apa lagi setelah diterpa teriknya matahari dan gerahnya udara luar, minuman dingin terasa begitu menyejukkan.

Tetapi sudahlah itu memang kondisi di lapangan yang harus dihadapi yang membawa resiko yang harus ditanggung. Mulai terbayang hari-hari yang akan datang pasti akan penuh dengan perjuangan. Pikiran mulai dibayang-bayangi oleh berbagai risiko dari Penyakit Diabetes Melitus ini yang memang dikenal sebagai ”ibu segala penyakit”. Karena komplikasinya dapat menerpa berbagai organ dalam tubuh, bahkan menyebabkan penderita tak dapat menghindar dari tindakan amputasi, hilangnya ektrimitas tubuh bagian bawah. Bukan cuma itu gejala kebas mulai merajalela pertanda neuropati kondisi di mana saraf tepi (saraf yang menghubungkan sistem saraf pusat dengan anggota tubuh) mengalami kerusakan atau gangguan, menimbulkan berbagai gejala seperti nyeri, kesemutan, kelemahan, atau mati rasa.

Kondisi ini suatu beban mental sekali gus tantangan bagi saya yang belajar ilmu gizi karena publik mengenalnya sebagai seseorang penyandang gelar Ahli Gizi. Jika salah-salah masalah ini disikapi, bisa jadi tak terkendali lagi. Akibatnya ”sang ibu” ini bukan tidak mungkin beranak pinak atau mengundang konco-konco penyakit lainnya.
Kini saatnya membuktikan mampukah menyadarkan dan mendisiplinkan diri sendiri bukan hanya orang lain. Sadar akan risiko yang akan dihadapi, instruksi pertama pada diri sendiri dan ini saya yakini sebagai yang utama adalah ”Come on this is not the end of the world” ini bukanlah akhir dari kehidupan di dunia ini. Meski berat memang karena tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan berbekal kebulatan tekad dan keyakinan mental untuk mulai menerapkan semboyan ”Hidup Normal Bersama Diabetes” dimulailah perjalanan panjang meniti hari-hari yang dihadapi.

Tak terasa seperempat abadkini sudah dilalui, mengarungi masa dengan menyandang gelar “Diabetesi”. Latihan pernapasan pun mulai saya lakukan untuk membantu dan meningkatkan konsentrasi dan ketengangan diri. Pola 4-7-8 saya acu, dengan melakukan tarikan napas melalui hidung dalam hitungan 4. Kemudian menahannya dalam perut selama 7 hitungan dan menghembuskan napas secara perlahan selam 8 hitungan. Ini saya lakukan setiap pagi bangun tidur, dan sebelum mandi di sore hari. Walhasil jika dites dapat menahan napas selama 60 detik atau 1 menit. Dengan seringnya melakukan latihan ini pikiran dan perasaan merasa tenang dan lega, Ini modal menjalani hari-hari penuh tantangan mengatasi godaan selera makan yang terkadang sulit dikendalikan.

Langkah berikut mulai melirik berat badan yang memang cukup “berbobot” kala itu. Ketika menginjakkan kaki pada alat timbang, jarum timbangan menunjukkan angka 86 kg. Cara yang lazim dilakukan meningkatkan aktivitas tubuh lewat olah raga. Semula bergabung dengan pusat kebugaran. Hasilnya timbangan hanya sedikit bergeser, namun dibarengi dengan mengencangnya otot-otot hampir disekujur tubuh. Meski obat dokter terus dipaksakan, tetapi gula darah tetap bertahan di atas angka 200an dengan nilai HbA1C yaitu pemeriksaan darah untuk mengukur kadar gula darah rata-rata dalam 2–3 bulan.masih berkisar antara 8-9%,(81mmol/mol) cukup tinggi memang dari rentang nilai rujukan yang hanya sekitar 5.7%.

Seiring dengan berjalannya waktu pusat kebugaran perlahan mulai saya tinggalkan. Berganti dengan olah raga jalan kaki pagi hari. Bergemingnya angka kadar gula darah yang tinggi, ternyata tidak terpisahkan dari pola kerja yang dijalani selama ini. Acara yang sering diselenggarakan dari hotel ke hotel, menyuguhkan beragam menu maknan kekinian. Celakanya jenis makanan-makanan itu ternyata bersahabat dengan lidah yang difasilitasi oleh selera.

Akhirnya kiat baru mulai saya terapkan. Saya ijinkan lidah ini menikmati cita rasa makanan yang disajikan, namun dengan syarat ketat mulai mengendalikan ”isi piringku”. Turunkan ukuran piring dari yang besar dan lebar, menjadi ukuran paling kecil yang biasanya tersedia untuk mengambil buah dan mulailah dengan menyantap buah terlebih dahulu dalam jumlah yang cukup bebas. Baru kemudian mengisi piring kecil itu dengan menu-menu lain sesuai yang diinginkan. Batasanya boleh menambah satu kali saja. Awal-awalnya memang masih berjuang menekan hasrat untuk mencicipi berbagai masakan lezat yang dihidangkan. Namun akhirnya terbiasa juga, dan bahkan banyak ditiru oleh kawan-kawan terutama yang ibu-ibu. Benar kata pepatah :Alah Bisa Karena Biasa” dan ”Kebiasaan baik adalah investasi untuk masa depan”.

Perjuangan menurunkan berat badan boleh dikatakan cukup sukses, meski masih di atas ambang batas berat ideal yang secara teori dihitung dengan cara: tinggi badan-100. Jadi 171 cm-100=71 kg, Itulah berat badan ideal saya. Tetapi saat itu berat badan saya bertahan diangka 74-75 Kg dalam waktu yang cukup lama meski pagi dan sore ditambah dengan ”Shadow boxing” sebelum mandi selama 15 menit.

Tentu saja itu belum memuaskan meski pada dasarnya tidak menimbulkan masalah. Ketika membaca berbagai teori menurunkan berat badan, tergelitik juga hasrat untuk mencoba suatu cara yang dikenal dengan istilah”Intermitten Diet” atau ”Intermitten Fasting” yaitu pola makan yang mengatur waktu makan dengan cara berpuasa. Puasa dimulai dari pukul 20.00 sampai dengan pukul 12.00 keesokan harinya. Waktu makan yang hanya berkisar 8 jam, memang cukup bebas untuk mengonsumsi makanan. Tetapi dianjurkan tetap membatasi jumlah dan pilihan bahan makanan yang tepat tanpa meninggalkan konsep gizi seimbang. Walhasil dalam waktu lebih kurang dua bulan berat badan menyusut menjadi hampuir 68 kg. Tetapi sedikit berdampak pada pergerakan tubuh, ketika berjalan terasa “melayang” bahkan sering sempoyongan.

Hikmah yang didapat selama ditemani “Diabetes” ini antara lain, kemampuan mengendalikan lidah dan menahan selera meningkat, tak lagi memberikan peluang bagi keduanya untuk merajalela. Lidah menjadi lebih terbiasa menerima minuman tanpa gula atau tak lagi menuntut minuman-minuman manis. Jenis bahan makanan sumber karbohidrat dipilih lebih variatif bukan hanya beras atau nasi, bahan makanan berserat pun jadi syarat mutlak hadir dalam menu sehari-hari, dan jumlahnya sesuai dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Meski sedikit btermakan iklan, jenis ”suger blocker” penahan terjadinya ”Suger spike” atau lonjakan gula darah sesudah makan juga digunakan dua kali sehari sebelum makan. Berat badan kini stabil pada angka rata-rata 70 kg. Hari demi hari pun dapat diisi dengan berbagai aktivitas sehingga terhindar dari sifat para lanjut usia yang sudah susah ingat dan cepat lupa. (Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom)

Tinggalkan Balasan