Akhir Sebuah Penantian

satu

Akhir Sebuah Penantian

 

Kerja keras dan doa yang selalu aku panjatkan selama ini akhirnya berbuah manis. Alhamdulillah tahun 1994 aku lulus dari SMA. Tak lupa aku sampaikan kabar gembira ini ke ibuku tercinta yang tak pernah lelah turut berjuang demi asa anaknya. Ibuku yang tak pernah sepi dari doa demi keberhasilan anak-anaknya. Rasa bahagia membuncah saat itu. Aku pun segera pulang ke rumah menemui ibuku tersayang.

Sesaat setelah acara di sekolah berakhir, aku pun bersama teman-teman yang sama-sama satu desa pulang bersama. Seperti biasa aku dan teman-teman dengan sabar menunggu bus. Beberapa menit kemudian aku dan teman-temanku pun melihat bus dan segera berebut masuk agar mendapat tempat duduk.

Sepanjang jalan aku dan teman-temanku tak henti-hentinya bercengkrama hingga tanpa disadari bus hampir sampai tempat tujuan. Alhamdulillah penumpang saat itu tidak terlalu banyak sehingga tidak perlu berdesak-desakan seperti hari-hari sebelumnya. Akhirnya sampailah aku di tempat tujuan.

Alhamdulillah dengan keringat yang masih bercucuran sampailah aku di rumah.

“Assalamualaikum..”, salamku pada orang rumah.

“Waalaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh”, jawab ibuku dengan lembut.

“Ibu, lihat ini apa yang aku bawa? Sebuah ijasah yang sudah kunanti selama ini”

“Oh ya..alhamdulillah usaha keras dan doa ibu selama ini tidak sia-sia.”,kata ibuku penuh bahagia dan haru seraya memelukku dengan erat.

“Ya sudah..cepatlah engkau ganti baju setelah itu ambil air wudhu dan sholat.”, kata ibuku.

“Ya, Bu. Terimakasih atas semua perhatian dan doa tulusmu ya, Bu..”, jawabku.

“Ya, Nak. Memang sudah jadi kewajiban seorang ibu harus selalu mendoakan untuk kebaikan anak-anak..”, kata ibuku.

Hari demi hari kulalui dengan ketidakpastian. Anganku melayang. Harapanku untuk bisa melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi seolah bagai mimpi di siang bolong. Betapa tidak? Apalah dayaku yang hanya sebatas anak seorang janda yang tak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup. Bagaimana mungkin aku bisa mewujudkan semua itu. Mustahil rasanya. Jangankan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi, buat makan dan mencukupi kebutuhan sehari-hari saja kami kesulitan. Ibuku hanya mengandalkan gaji almarhum ayahku. Tanpa terasa air mataku pun tak bisa kubendung lagi. Berat rasanya aku jalani hari.

Hingga suatu hari aku beranikan diri sampaikan ke ibuku tentang keinginanku menimba ilmu di bangku kuliah nanti. Apapun jawaban ibu selama itu untuk kebaikan akan aku terima dengan lapang dada.

“Bu, bolehkah aku melanjutkan belajar lagi selepas SMA? Aku ingin mengubah nasib.”, kataku saat itu.

“Nak, boleh-boleh saja melanjutkan sekolah asalkan kamu tanya dulu ke kakak-kakakmu kira-kira sanggup apa tidak membiayai kuliahmu. Kamu tahu sendiri khan keadaan ibu saat ini bagaimana. Jangankan untuk bayar kuliah, untuk makan dan  kebutuhan sehari-hari saja kadang tidak mencukupi..”, jawab ibuku saat itu.

“Terimakasih, Bu..atas segala perhatian dan sarannya”, jawabku dengan nada sedih.

Meski sedikit berat tapi aku akan mencoba mendiskusikan pada beberapa kakakku yang sudah bekerja dan mau membantu beban adiknya. Kadang aku berkhayal andaikan aku berasal dari keluarga mampu tentu akan dengan mudah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yang aku suka. Tentu tanpa berpikir biaya yang harus dikeluarkan mau sedikit atau banyak tak menjadi soal. Pikiran-pikiran itulah yang terus menggelayuti hidupku saat ini. Mampukah aku mewujudkan segala impianku?

Sore itu aku coba hubungi kakakku via telepon. Maklum kakak-kakakku sudah berkeluarga dan berada jauh di perantauan. Demi mengais rejeki mereka harus berpisah dengan orangtua di desa.

 

“Tut..tut..tut….”

“Assalamualaikum..”, ucapku.

“Waalaikumussalam. Dek Tiwi ya?”, jawab kakakku.

“Ya, Mba Nina. Mba Nina, gimana kabarnya? Sehat khan?”,tanyaku beruntun.

“Alhamdulillah, Dek..kakak di sini sehat. Gimana dengan keadaan Dek Tiwi di Jawa? Semoga juga Dek Tiwi bersama Ibu di rumah juga selalu sehat ya..”, jawab mba Nina.

“Alhamdulillah Dek Tiwi dan Ibu di Jawa sehat semua,” jawabku saat itu.

“Syukur alhamdulillah kalau semua sehat. Mba Nina turut senang dengarnya.” Kata Mba Nina dengan penuh semangat.

“Oh, ya…gimana sekolahmu? Mau lanjut kuliah khan?” tanya Mba Nina beruntun. “Penginnya sih gitu…tapi entahlah Dek Tiwi sebetulnya masih ragu apa mungkin bisa melanjutkan kuliah atau bekerja saja.” Jawabku menggantung.

“Kalau boleh Mba Nina ikut kasih saran selagi masih ada kesempatan lebih baik melanjutkan kuliah saja dulu…”kata Mba Nina penuh semangat.

“Benar sekali itu, Mba. Tapi bagaimana dengan biaya kuliah? Tentu harus siap khan? Jangan sampai nantinya kuliah putus di tengah jalan.”  Jawabnya.

“Ya sudah…Dek Tiwi ga usah risau tentang hal itu. Semua akan Mba Nina pikirkan. Yang penting sekarang persiapkan segala sesuatunya agar pada saatnya nanti akan ada hasilnya,”terang Mba Nina dengan penuh optimis.

“Ya sudah kalau begitu Dek Tiwi pamit dulu. Kapan-kapan lanjut lagi ngobrolnya. Makasih buat semua perhatian dan bantuannya. Wassalamualaikum.” Telepon ditutupnya.

Sejak obrolan tersebut aku menjadi lebih semangat mempersiapkan diri untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Memang dari dulu Mba Nina ibarat tameng hidupku. Meski telah berkeluarga namun tidak mengurangi perhatian kepada adik-adiknya, termasuk aku. Baginya kebahagiaan seorang kakak adalah ketika melihat adik-adiknya bisa tersenyum ceria. Sejak bekerja hampir tiap bulan selalu menyempatkan untuk mentransfer uang untuk biaya sekolah adik-adiknya dan memenuhi sebagian kebutuhan ibunya. Kami semua bangga dengan kesucian hatinya. Meski sebelumnya ia pun tertatih-tatih hidup di rantau orang. Bayangkan saja sejak SD ia tinggal bersama Mba Wahyu, kakaknya juga. Bahkan hingga melanjutkan ke SMEA ia pun masih harus prihatin ikut kakaknya. Semua itu tentu tidak mungkin tanpa alasan. Berawal dari kakak beradik yang usianya terpaut hanya beberapa bulan saja akhirnya mengharuskan dia ikut kakaknya yang telah berkeluarga. Merawat dua anak dengan usia yang terlalu dekat jaraknya tentu sangat merepotkan. Makanya salah satu harus mau dititipkan agar beban ibunya berkurang. Pernah suatu ketika saat aku masih kecil terselip seribu tanya. Sebetulnya dia itu siapa. Kuberanikan diri bertanya ke ibu yang waktu itu masih terlihat sehat dan sering silaturahmi ke mana-mana.

“Bu,  Mba Nina itu putranya Mba Wahyu ya…,”tanyaku ingin tahu.

“Kok jarang ke rumah kita. Ke rumah paling saat ada libur saja.”lanjutnya.

“De, Mba Nina itu sebetulnya kakakmu. Dia ibu titipkan ke Mba Wahyu karena ibu kerepotan mengurus dua anak yang masih kecil-kecil. Tapi bukan berarti Ibu tidak mau bertanggung jawab. Justru karena ibu takut kalau dia terlantar akhirnya Ibu titipkan saja ke tempat Mba Wahyu. Ibu pikir Mba Wahyu adalah orang yang paling tepat untuk dimintai pertolongan saat itu. Meskipun sebetulnya sangat berat melepas kepergiannya saat itu mengingat dia masih kecil, baru lulus SD. Tetapi apa mau di kata. Semua harus dilakukan demi kebaikan bersama,”terangnya dengan lembut.

“Oh…begitu.Ternyata Mba Nina adalah kakakku yang terpisah cukup lama. Aku baru paham saat itu,”jawabku.

 

Pada dasarnya tidak ada orang tua di mana pun berada yang ingin menjerumuskan anak-anaknya ke jurang kenistaan. Apalagi yang notabene ‘anak kandung’ pasti rasa sayangnya jauh lebih besar. Semua orang tua pasti juga ingin memberikan apa yang sekiranya terbaik untuk anak-anaknya. Tidak hanya saat anak-anak masih kecil bahkan ketika anak-anaknya sudah beranjak dewasa pun perlakuannya masih sama. Seperti peribahasa “Kasih sayang ibu sepanjang jalan, kasih sayang anak sepanjang galah.” Tentu semua sependapat khan?

Meskipun Mba Nina dititipkan ke Mba Wahyu tetap tidak menyurutkan semangat belajarnya. Bahkan prestasi yang diraihnya tidak perlu diragukan lagi. Dia selalu jadi bintang kelas sehingga teman-temannya pun sangat senang berteman dengannya. Saat masih duduk di bangku SMEA pernah mendapat beasiswa karena prestasi yang disandangnya. Meski jadi siswa yang sarat prestasi dia tidak pernah tinggi hati. Baginya otak encernya merupakan anugerah yang selalu ia syukuri dan tidak membuatnya sombong. Justru ketika melihat ada temannya yang kesulitan dalam belajar ia pun tak segan untuk segera turun tangan. Jiwa sosialnya cukup tinggi. Hal inilah yang membuat ia sangat disenangi dalam pergaulan. Tentu hal ini bisa jadi suri tauladan adik-adiknya yang masih ngumpul bersama orang tuanya. Kami semua bangga memiliki kakak yang tidak hanya pintar, tetapi juga baik hatinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

1 komentar