Kasus korupsi dari hari ke hari menjadi berita di media masa yang sangat biasa. Seakan korupsi lazim sudah terjadi. Di negara dengan sistem demokrasi ini, tersedia potensi pejabat melakukan kecurangan terhadap harta rakyat. Salah satunya adalah dana desa yang merupakan lahan basah buat korupsi.
Sejak UU Desa diterapkan pada 2015, kecenderungan naiknya kasus korupsi oleh perangkat desa makin konsisten. Mengapa kasus korupsi menjalar dari pejabat tinggi hingga perangkat desa?
Lahan Basah
Melansir dari Tirto.id (30-6-2023), Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia, Abdul Halim Iskandar menegaskan bahwa dana desa diperuntukkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia. Ia mengaku telah membuat sejumlah sistem sehingga tingkat transparansi penggunaan dana desa paling baik dibandingkan semua pendanaan di level pemerintahan. Menurutnya, distribusi dana desa sudah tepat sasaran. Bahkan, ia berani menjamin tidak akan ada pembangunan mangkrak di seluruh desa di Indonesia.
Namun, klaim tersebut tak sesuai realitas, mengingat kasus korupsi masih marak terjadi dimana pelakunya para kepala desa. Dana yang diperuntukkan buat pembangunan desa yang dipimpinnya, ďijadikan sebagai lahan basah guna mendulang kekayaan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang 2022, kasus korupsi di sektor desa merupakan kasus yang ditangani oleh aparat penegak hukum dengan jumlah terbanyak. Bahkan, sejak UU nomor 6/2014 yang mengatur desa diterbitkan, ada kecenderungan kenaikan kasus secara ajeg.
Dari 155 kasus korupsi desa yang terjadi di 2022, terdapat 133 kasus berkaitan dana desa. Korupsi tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp381 miliar dari dana desa. Berdasarkan pelakunya, kepala desa menempati posisi ketiga yang paling banyak terjerat kasus, sedangkan posisi pertama dan kedua adalah pegawai pemerintahan daerah dan swasta. (Katadata, 8-4-2023).
Korupsi di negeri telah menggurita dimana tentakelnya semakin menjerat segala lini. Dana desa yang sedianya diperuntukkan untuk membangun desa, malah diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Alokasi dana yang diajukan terus meningkat, sayangnya minim manfaat bagi rakyat.
Mencari Akar Masalah
Menelusuri akar masalah korupsi dan polemik dana desa kita akan menemukan penyebabnya yaitu sistem demokrasi kapitalisme yang ada. Sistem produk akal manusia inilah yang menjadi biang keroknya. Sebab dalam sistem ini, aturan dan UU bisa direvisi sesuai kepentingan, minim pengawasan. Ditambah dengan penindakan hukum yang kurang tegas terhadap koruptor. Alhasil, korupsi makin menjadi dari tingkat pusat hingga desa. Sistem demokrasi sendirilah yang membuka angka kasus korupsi makin menganga. Jadilah korupsi sebuah keniscayaan dalam sistem yang rusak ini.
Dalam sistem demokrasi, korupsi dana desa cenderung tumbuh subur. Hal itu terjadi karena beberapa situasi berikut:
Pertama, pelaksanaan pemilihan kades rentan dengan money politic, tak beda dengan pemilu pilkada.Telah menjadi rahasia umum bahwa terpilihnya seseorang di alam demokrasi, kebanyakan bukan karena kapabilitas calon. Mereka menang lebih karena citra yang dimunculkan sepanjang kompetisi dan kampanye. Untuk pencitraan pasti diberlukan dana Di sini politik uang bermain untuk membeli suara dengan pemberian sembako atau amplop.
Kedua, posisi terhormat dan iming-iming gaji bagi kades terpilih Meski nominal gajinya tidak terlalu besar, tetap saja keinginan mendapat gaji layak menjadi fitrah bagi setiap manusia, apalagi di tengah problem ekonomi yang serba sulit. Alhasil, mereka yang berhasrat menjadi calon kades selanjutnya akan membangun citra yang baik di mata masyarakat desa.
Ketiga, latar belakang pendidikan dan kemampuan di bidang manajemen keuangan bisa memicu masalah baru. Kades yang tidak memiliki basis pengetahuan dasar perihal pengelolaan dana desa dengan jumlah miliaran akan kesulitan mengatur dana sebanyak itu. Potensi dana desa tidak tepat sasaran akan terjadi. Begitu pula penyalahgunaan dana desa juga riskan terjadi.
Ke empat, dominannya asaz manfaat. Dengan model pemilihan Kades yang mengacu pada sistem demokrasi, membutuhkan dana kampanye yang besar. Cara paling efektif untuk mengembalikan dana kampanye ialah dengan melakukan korupsi. Azaz manfaat mengalahkan prinsip halal dan haram hingga dana yang bukan haknya pun diembat. Itulah sebabnya kasus korupsi tidak pernah kelar untuk diberantas.
Solusi Islam
Dalam pemerintahan islam, setiap penguasa yang berada di bawah komando kepala negara (khalifah) akan dipilih secara langsungnya, seperti wali (setingkat gubernur), amil (setingkat kab/kota), dan mudir (setingkat desa). Tak ada pemilihan kepala wilayah sebagaimana praktik pemilu di sistem demokrasi. Selain untuk efisiensi dan efektivitas waktu, hal itu mencegah terjadinya politik uang maupun korupsi.
Adapun terkait kasus korupsi, Islam memiliki tata cara memberantas korupsi dengan tuntas dengan mekanisme berikut.
Pertama, membangun integritas kepemimpinan di semua level pemerintahan. Integritas itu berupa ketakwaan pada setiap individu. Dalam sistem Islam, loyalitas kepemimpinan bersandar pada ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan asas kepentingan kelompok, golongan. Para pemimpin di tingkat pusat hingga desa menjalankan tugas dan amanah yang diberikan untuk memenuhi kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya.
Nabi saw. bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin.” (HR Al-Bukhâri, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Amr).
Kedua, memfungsikan Badan Pengawas Keuangan secara optimal. Maraknya kasus korupsi salah satu pemyebabnya adalah karena minimnya pengawasan dari negara. Dalam sistem Islam terdapat Badan Pemeriksa Keuangan yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat negara. Dengan diterapkannya aturan dan perundang-undangan yang lahir dari hukum Islam, tertutuplah celah untuk praktik jual beli hukum karena hukum Islam. Pejabat dan rakyat taat hukum karena keyakinan dan kesadaran akan pososi hamba di hadapan sang pencipta.
Ketiga, tegaknya sistem sanksi Islam yang mampu memberikan efek jera dan pelajaran bagi mereka yang memiliki niat untuk bertindak kriminal, termasuk korupsi. Hukumannya tergantung wewenang khalifah, yaitu takzir dengan pemberian sanksi sesuai kadar kejahatannya. Bisa berupa penjara, pengasingan, hingga hukuman mati.
Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, korupsi bisa terselesaikan secara tuntas tanpa berlarut-larut. Untuk membabat habis korupsi, haruslah dengan membuang akar masalahnya, yaitu keberadaan sistem demokrasi kapitalisme. Allah telah menyiapkan penggantinya dengan sistem shahih yang cocok buat manusia di komunitas dan level manapun. Itulah sistem Islam yang hendaknya diambil sebagai solusi satu-satunya dalam menyelesaikan problematik kehidupan manusia.