70 Tahun Syaiful W. Harahap
Sepanjang Karir Menggeluti Berita HIV/AIDS
Oleh: Syaiful W. Harahap
Penerbit: Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD)
Bagian I – Epidemi HIV/AIDS
(1) Kapan, Sih, Awal Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia?
*Renungan Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2012
Biarpun sebelum tahun 1987 sudah ada kasus kematian terkait dengan HIV/AIDS di Indonesia, tapi pemerintah bersikukuh bahwa kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia adalah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 1987. Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 31/5-2012, melaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia periode 1987 sampai 30 Juni 2012 sebesar 118.865 yang terdiri atas 86.762 HIV dan 32.103 AIDS dengan 5.623 kematian
Penetapan pemerintah ini bermuatan politis dan normatif, sekaligus mengukuhkan mitos (anggapan yang salah), yaitu: AIDS penyakit bule, AIDS dibawa dari luar negeri, dan AIDS penyakit homoseksual. Mitos ini diperkuat lagi dengan pernyataan pejabat di awal-awal epidemi sehingga menjadi pegangan banyak orang sampai sekarang
Celakanya, sampai sekarang cara-cara menanggapi dan mengomentari HIV/AIDS nyaris tidak berubah sejak awal epidemi. Bahkan, rkesan mundur karena memberikan komentar dan pernyataan yang tidak akurat karena hanya bertopang pada norma, moral dan agama, seperti mengaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, dll. yang tidak terkait langsung dengan penularan HIV/AIDS
Tahun 1983 dr. Zubairi Djoerban, staf Sub-Bagian Hematologi-Penyakit Dalam FK UI, meneliti kalangan homoseksual dan Waria di Jakarta terkait leukemia. Hasil penelitian dr Zubairi ada tiga Waria yang menunjukkan gejala mirip AIDS. Tapi, karena ketika itu definisi AIDS masih kabur maka gejala itu, lemas-lemas seperti yang dikeluhkan ketiga Waria itu, disebut sebagai AIDS related complex (ARC)
Tahun 1986 seorang perempuan berusia 25 tahun meninggal dunia di RSCM Jakarta. Tes darahnya memastikan bahwa dia terinfeksi HTLV-III, dan dengan gejala klinis yang menunjukkan AIDS. Kasus ini tidak dilaporkan oleh Depkes
Pada tahun yang sama Direktur RS Islam Jakarta, dr H Sugiat, melaporkan kasus pasien yang mati di rumah sakit itu (7/1-1986) karena AIDS melalui surat kepada Menkes melalui Kanwil Depkes DKI Jakarta.Ditemukan virus HTLV III dalam darah pasien melalui tes darah metode ELISA.Contoh darah pasien tsb. dites dengan Western blot di RS Walter Reed, AS, hasilnya negatif. Belakangan kematian pasien itu disebut-sebut sebagai ARC
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes, Prof Dr AA Loedin kembali menegaskan bahwa saat ini penderita AIDS belum ada di Indonesia, tetapi penderita gejala ringan AIDS yang disebut AIDS Related Complex (ARC), sudah cukup banyak. “Jumlah penderita ARC kalau dihitung mencapai ratusan.” (Harian “Suara Karya”, 9/4-1986)
Diingatkan UNAIDS
Biar pun sudah ada kasus yang erat kaitannya dengan AIDS, tapi pemerintah, dalam hal ini Depkes RI, baru mau mengakui AIDS sudah ada di Indonesia melalui kematian EGH, 44 tahun, seorang turis asal Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 5 April 1987 karena penyakit terkait AIDS. EGH tiba di Denpasar tanggal 26 Maret 1987
Kasus ini membuat Indonesia masuk dalam daftar Badan Kesehatan Sedunia (WHO) sebagai negara ke-13 di benua Asia yang melaporkan ada kasus AIDS. Indonesia menetapkan HIV/AIDS resmi sebagai penyakit menular yang dikuatkan dengan Instruksi Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Inst/II tanggal 11 Februari 1988
Ketika Indonesia ‘geger’ karena kematian ‘bule’ di Denpasar itu, di rumah sakit yang sama justru seorang WNI, pria asli Indonesia, 35 tahun, meninggal dunia juga karena penyakit terkait AIDS di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 23 Juni 1988. Tes darah pria ini dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. Sekretaris Panitia Penanggulangan AIDS Depkes, dr Suriadi Gunawan, MPH, membenarkan hal itu. Tes dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. (Harian “Kompas”, 22/7-1988).
Jika disimak matriks di atas WNI yang meninggal di Denpasar (1988) kemungkinan tertular HIV antara tahun 1973 dan 1983 dengan perhitungan rentang waktu mencapai masa AIDS antara 5 dan 15 tahun. Ini jauh sebelum EGH tiba di Bali
Bahkan, tahun 1987 Depkes RI melaporkan 5 kasus HIV dan 2 kasus AIDS. Ini menunjukkan 2 kasus AIDS tertular antara tahun 1972 dan 1982. Maka, kalau ada asumsi atau anggapan bahwa AIDS dibawa orang ‘bule’ dari luar negeri maka fakta ini memupus asumsi tsb
Di tahun 1984 Kepala Divisi Transfusi Darah PMI, Dr. Masri Rustam, mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir AIDS menyerang penerima transfusi darah pencegahan dilakukan dengan melarang kaum homoseksual atau Waria menjadi donor darah
Padahal, tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono Suryaningrat, mengatakan bahwa belum pernah ditemukan orang yang betul-betul terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan, Menkes komentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.
Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, termasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi darah dan transplantasi organ tubuh.Apakah orang yang tidak bertaqwa otomatis tertular HIV? Lalu, apa ukuran taqwa yang bisa mencegah penularan HIV, seperti melalui transfusi darah? Kemudian, apa alat ukur dan siapa yang berhak mengukur ketaqwaan seseorang terkait dengan pencegahan HIV?Begitu pula dengan pernyataan Ketua PMI yang mengesankan HIV/AIDS hanya ada di kalangan Waria dan homoseksual. Ini pun menyuburkan mitos yang sampai sekarang sangat sulit dihapuskan dari memori sebagian orang Indonesia
Tahun 1986 ada usulan dari kalangan dokter di RSCM Jakarta untuk melakukan surveilans tes HIV terhadap kalangan yang dianggap berisiko tinggi tertular HIV, al. pekerja seks dan homoseksual. Usul ini muncul karena di banyak negara kasus HIV/AIDS mulai bermunculan, sedangkan di Indonesia sama sekali tidak ada kegiatan mendeteksi HIV/AIDS. Hal ini dikemukakan oleh dr Zubairi Djoerban, Kasub Hematologi, Bag. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSTM
Sebuah tim dari Hematologi FKUI/RSTM melakukan pemeriksaan HIV dengan ELISA terhadap 7.464 orang dari kalangan risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klinis AIDS pada kurun waktu April-September 1986. Hasilnya? Reaksi positif pada tes pertama 47, tes ulang tinggal 18 yang reaksi positif. Dari 18 ini hanya 8 yang mau melanjutkan pemeriksaan. Hasilnya, 4 terdeteksi imunitas seluler dan 4 terdapat antigen HIV.Tahun 1987 dilaporkan ada tiga penduduk Indonesia yang ‘terjangkit’ AIDS. Menanggapi fakta ini, Kabalitbang Depkes RI, waktu itu Prof. Dr. AA Loedin, mengatakan: “Jangan Ikut-ikutan Panik Terhadap AIDS.”
Disebutkan pula, kasus AIDS masih relatif tertanggulangi di Indonesia.Jadi, penyakit ini tidak usah dijadikan persoalan nasional. Ketua IDI Cab. Denpasar, waktu itu, Dr. Agus Bagiada “Biar saja bangsa Barat kalang kabut, tapi jangan impor keresahan mereka ke sini. Sebab berbeda dengan bangsa Indonesia, umumnya bangsa Barat tidak berpengalaman menanggulangi kasus penyakit menular, sehingga mereka menjadi sangat panik.” (Harian “Suara Pembaruan”, 21/9-1987).
Pada tahun 1989 dilaporkan ada lima orang yang ’diduga’ mengidap penyakit terkait AIDS secara rutin konsultasi ke Kelompok Studi Khusus AIDS (Pokdisus AIDS) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pada tahun ini juga dilaporkan ada WNI yang meninggal di RS dr. Soetomo, Surabaya. Dikabarkan, ‘teman kencan’ laki-laki ini cemas. Celakanya, kalangan rumah sakit justru panik menghadapi kasus ini.
Kalau saja sejak ditemukan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan langkah-langkah penanggulangan yang konkret tentulah akan lain hasilnya. Tapi, karena yang terjadi hanya sanggahan dan penyangkalah, maka jangan heran kalau sekarang. kasus HIV dan AIDS terdeteksi terus-menerus di semua daerah. Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di Asia, setelah Cina dan India yang tinggi percepatan laju infeksi baru HIV, khususnya di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik yang bergantian.
Peringatan terhadap Indonesia sudah juga dikumandangkan oleh Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB untuk AIDS). Dalam pidato pembukaan, Dr Piot secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik berganti-ganti di Indonesia. Di Indonesia sendiri kasus kumulatif HIV/AIDS sampai 30 Juni 2001, seperti dilaporkan Ditjen PPM & PL Depkes RI, tercatat 2.150. Dari jumlah ini tercatat 415 pengguna narkoba yang terdiri atas 309 HIV dan 106 AIDS.
Estimasi UNAIDS/WHO kasus HIV/AIDS di Indonesia 52.000, sedangkan Depkes RI memperkirakan 120.000 kasus. Jumlah ini bertambah drastis karena diperkirakan ada 60.000 – 80.000 pengguna narkoba suntikan (Syaiful W. Harahap, AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Harian “SUARA PEMBARUAN”, Jakarta, 6 Oktober 2001)
Debat Kusir
Di tahun 1985 dr. Zubairi mengatakan bila penyakit AIDS sampai menyerang masyarakat akan sulit dicegah. Begitu pula dengan Dr A. Harryanto Reksodiputro, ketika itu Kepala Bagian Penyakit Dalam FK UI, mengingatkan masyarakat perlu memperoleh penjelasan tentang AIDS tapi tidak menimbulkan kepanikan. Kepada KOMPAS Dr Haryanto mengingatkan bahwa akan ada konsekuensi yang besar jika AIDS sudah ada di Indonesia. Biaya yang mahal akan dikeluarkan untuk skrining darah untuk transfusi. Biaya yang besar juga diperlukan untuk memeriksa antibodi HIV pada orang-orang yang diduga tertular HIV. Sub-Bagian Hematologi Penyakit Dalam FKUI mendeteksi antibodi HIV dengan ELISA. Ketika itu harga reagent-nya Rp 10.000. (Harian “Kompas”, 10/8-1985).
Terkait dengan informasi HIV/AIDS melalui media massa yang tidak komprehensif sudak disuarakan oleh Prof. Dr AA Loeddin, ketika itu Kalitbang Depkes RI, yang menilai bahwa media massa di Indonesia belum banyak membantu dalam upaya menyadarkan masyarakat mengenai masalah AIDS. Media massa nilainya lebih banyak membuat sensasi dan hal itu justru telah membuat masyarakat gelisah. (Tajuk Rencana, Harian “Suara Pembaruan”, 22/6-1987).
Kalangan pejabat juga ada yang menuding media massa menyebar ’kabar bohong’ tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia. Terkait dengan hal ini Ketua Umum IDI Pusat, dr. Kartono Mohamad, mengatakan:.Ribut-ribut tentang AIDS.Pilihan kita dalam hal ini memang tidak dapat lain, kecuali mengumumkan jika memang benar ada kasus AIDS di Indonesia, karena hanya masyarakatlah yang dapat mencegah penyebarannya. Bukan pemerintah dan bukan pula dokter. Ribut-ribut saling bantah justru makin membingungkan. Kalau memang berita pers tidak benar, maka perlu ditunjukkan di mana letak kebohongan berita itu. (Harian “Kompas”, 9/4-1986).
Pernyataan pakar-pakar ternyata hanya bagaikan ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’ karena dibantah oleh pejabat dan pemuka masyarakat yang justru didengar rakyat walaupun yang mereka sampaikan hanya mitos.
Lihatlah pernyataan dr Adhyatma, ketika itu Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2MPLP), Depkes RI, “ …. mengakui sulit mencegah masuknya AIDS ke Indonesia, karena Indonesia adalah negara terbuka. “Apalagi di sana sini banyak praktek pelacuran dan kebiasaan kumpul kebo pun mulai masuk ke Indonesia. Jadi AIDS sulit dicegah masuk. Tapi sebenarnya memberantasnya tidak sulit.Caranya, berantas saja perzinahan dan kemesuman. Dan ini tentu bukan tugas Depkes saja.” (Harian “Kompas”, 4/9-1985).
Pernyataan-pernyataan yang tidak akurat terus bermunculan dengan muatan norma, moral dan agama. Coba simak berita ini: Boyke Dian Nugraha: Korban AIDS bisa Berubah Mirip Monster. Ada nasihat dari pakar seks, Prof. Dr. Boyke Dian Nugraha, SOG, untuk siswa SMU tentang bahaya HIV Aids. Seseorang yang terkena Aids, dalam5 tahun wajahnya akan berubah mirip monster. Tidak peduli apakah wanita itu cantik dan lelaki ganteng. Semuanya akan berubah menjadi monster. Hal itu dikemukakan, Boyke Dian Nugraha, saat berbicara dalam seminar yang dihadiri pelajar SMU di Surabaya (29/5). (Harian “Bali Post”, 30/5-2000).
Mengumbar mitos terus terjadi, seperti yang diberitakan Harian “Pos Metro Balikpapan” (30/5-2009) ini: Pada kesempatan itu, dr Boyke juga memaparkan bahaya atau dampak yang ditimbulkan dari selingkuh berupa, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit kelamin diantaranya AIDS dan perceraian. “AIDS itu ‘kan anunya itu dimasukan sembarangan, jadi kalau enggak mau kena AIDS jangan berselingkuh,” tegasnya yang lagi-lagi disambut tawa kaum ibu. Untuk menginspirasi agar orang tidak berselingkuh, kemarin, ia pun memperdengarkan salah satu lagu dari album Bunga Jantungku.
Kalangan artis pun ikut pula nimbrung menyuburkan mitos. Pada acara Redaktur Heboh (ANTEVE, 21/4-2000), Nurul Arifin mengatakan selingkuh sebagai salah satu faktor risiko penularan HIV (Newsletter HindarAIDSNo. 46, 5 Juni 2000).
Pernyataan yang tidak komprehensif tentang HIV/AIDS terus berlanjut. Ini judul berita di Harian “Fajar”, Makassar, 2/12-2005: JK (Wakil Presiden Jusuf Kalla-pen.): Mau Tetap Berdosa, Pakai Kondom. Dalam berita disebutkan JK mengatakan: “Yang harus kita katakan adalah melakukan hubungan seks tidak dengan istri itu adalah dosa. Tetapi, kalau Anda memang tetap ingin berdosa ya, pakailah kondom agar tidak mengorbankan keluarga dan diri sendiri.”
Ini masih pernyataan Wapres Jusuf Kalla: “Anak-anak yang ditinggalkan akan memiliki gen yang lebih baik dan dapat menjadi pemain sinetron.” Itulah pernyataan Wapres Jusuf Kalla pada promosi pariwisata tentang turis Timur Tengah datang ke Puncak, Jawa Barat, untuk mencari janda atau melakukan pernikahan singkat (Harian ”KOMPAS”, 1/7-2006).
Maka, tidak mengherankan kalau sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS yang menjalar ke penanggulangan epidemi HIV. Lihat saja pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV di 40-an Perda Penanggulangan AIDS di Indonesia. Tidak satu pun pasal di perda-perda itu yang menawarkan cara pencegahan yang konkret.
Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka, penanggulangan dan pencegahannya pun dapat pula dilakukan secara medis.
Tampaknya, sebagian dari kita memilih ‘debat kusir’ soal penanggulangan epidemi HIV dengan membenturkan norma, moral dan agama kepada fakta medis. Jika paradigma kita tidak berubah, maka kita tinggal menunggu pengalaman Thailand terjadi di Indonesia.
Dua dekade yang lalu pemerintah Thailand sudah diingatkan oleh pakar epidemiologi agar menanggulangi epidemi HIV dengan serius. Tapi, pemerintah Negeri Gajah Putih itu menampik dengan alasan masyarakatnya berbudaya dan beragama. Satu dekade kemudian dilaporkan kasus HIV/AIDS mendekati angka 1.000.0000. Devisa dari pariwisata hanya bisa menyumbang 2/3 kepada biaya penanggulangan HIV/AIDS di sana.
Untunglah biksu di Thailand membuka pintu vihara lebar-lebar bagi penderita AIDS yang tidak tertampung di rumah sakit. Jerih payah tanpa pamrih bhiku ini menghasilkan Hadiah Ramon Magsaysay. Sebuah penghargaan internasional.
Indonesia juga ‘beruntung’ karena ada donor asing yang mendanai penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, mulai dari penanggulangan sampai pengobatan, al. pembelian obat antiretroviral (ARV). Tapi, jika kelak donor hengkang, maka: Apakah dana dari APBN dan APBD cukup untuk biaya penanganan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dan penanggulangan epidemi HIV?
Jika penolakan terhadap Odha terus berlanjut, maka: Apakah kelak pintu rumah-rumah ibadah di negeri ini terbuka lebar bagi Odha?
Sejarah akan mencatat langkah pemerintah dalam menanggulangi epidemi HIV/AIDS di negeri ini. (Kompasiana, 2 Desember 2014). *
(2) Menelusuri Akar Kasus HIV/AIDS Pertama di Indonesia
Pemerintah menetapkan kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia yaitu HIV/AIDS yang terdeteksi pada turis gay Belanda di RS Sanglah Denpasar tahun 1987
Penetapan pemerintah tentang kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia yaitu yang terdeteksi pada seorang turis asal Belanda, seorang laki-laki gay, EGH, 44 tahun, yang meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, tahun 1987, justru mengukuhkan mitos (anggapan yang salah), yaitu: AIDS penyakit bule, AIDS dibawa dari luar negeri, dan AIDS penyakit homoseksual.
Dengan kasus yang diakui pemerintah itu Indonesia masuk dalam daftar WHO sebagai negara ke-13 di Asia yang melaporkan kasus AIDS. Indonesia menetapkan HIV/AIDS resmi sebagai penyakit menular yang dikuatkan dengan Instruksi Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Inst/II tanggal 11 Februari 1988.
Bule Gay
Mitos kian kental ketika pada November 1983, Menteri Kesehatan RI, waktu itu Dr Soewardjono Soerjaningrat, mengatakan pencegahan AIDS terbaik adalah tidak ikut-ikutan jadi homoseks …. dan mencegah turis-turis asing membawa masuk penyakit itu.
Pada tahun 1983 dr Zubairi Djoerban, staf Sub-Bagian Hematologi-Penyakit Dalam FK UI, meneliti kalangan homoseksual dan Waria di Jakarta terkait leukemia. Hasil penelitian dr Zubairi ada tiga Waria yang menunjukkan gejala mirip AIDS. Tapi, karena ketika itu definisi AIDS masih kabur maka gejala itu, lemas-lemas seperti yang dikeluhkan ketiga Waria itu, disebut sebagai AIDS related complex (ARC).
Sekarang jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS mendekati setengah juta, sedangkan estimasi pada tahun 2016 mencapai 640.000 dengan tambahan 48.000 kasus HIV baru setiap tahun. Laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 27 Agustus 2019, melaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia periode 1987 sampai 30 Juni 2019 sebanyak 466.859 yang terdiri atas 349.882 HIV dan 116.977 AIDS.
Penetapan pemerintah tentang kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia itu bermuatan politis dan moralistis. Mitos ini diperkuat lagi dengan pernyataan pejabat di awal-awal epidemi sehingga menjadi pegangan banyak orang sampai sekarang.
Celakanya, sampai sekarang cara-cara menanggapi dan mengomentari HIV/AIDS nyaris tidak berubah sejak awal epidemi. Bahkan, terkesan mundur karena memberikan komentar dan pernyataan yang tidak akurat karena hanya bertopang pada norma, moral dan agama, seperti mengaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, seks bebas, jajan, selingkuh, dll. yang tidak terkait langsung dengan penularan HIV/AIDS.
Tahun 1986 seorang perempuan berusia 25 tahun meninggal dunia di RSCM Jakarta. Tes darahnya memastikan bahwa dia terinfeksi HTLV-III, dan dengan gejala klinis yang menunjukkan AIDS. Kasus ini tidak dilaporkan oleh Depkes.
Kematian WNI
Pada tahun yang sama Direktur RS Islam Jakarta, dr H Sugiat, melaporkan kasus pasien yang mati di rumah sakit itu (7/1-1986) karena AIDS melalui surat kepada Menkes melalui Kanwil Depkes DKI Jakarta.Ditemukan virus HTLV III dalam darah pasien melalui tes darah metode ELISA. Contoh darah pasien tsb. dites dengan Western blot di RS Walter Reed, AS, hasilnya negatif. Belakangan kematian pasien itu disebut-sebut sebagai ARC.
Biar pun sudah ada kasus yang erat kaitannya dengan AIDS sebelum tahun 1987, tapi pemerintah, dalam hal ini Depkes RI, baru mau mengakui AIDS melalui kematian EGH, di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 1987, karena penyakit terkait AIDS. EGH tiba di Denpasar tanggal 26 Maret 1987.
Setahun kemudian, 1988, di rumah sakit yang sama justru seorang WNI, priaasli Indonesia, 35 tahun, meninggal dunia juga karena penyakit terkait AIDS, 23 Juni 1988. Tes darah pria ini dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. Jika disimak matriks di atas WNI yang meninggal di Denpasar (1988) kemungkinan tertular HIV antara tahun 1973 dan 1983 dengan perhitungan rentang waktu mencapai masa AIDS antara 5 dan 15 tahun. Itu artinya pria WNI itu sudah tertular HIV/AIDS jauh sebelum EGH tiba di Bali.
Tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono Suryaningrat, berkomentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.” Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, termasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi darah dan transplantasi organ tubuh.
Apakah orang yang tidak bertaqwa otomatis tertular HIV? Lalu, apa ukuran taqwa yang bisa mencegah penularan HIV, seperti melalui transfusi darah? Kemudian, apa alat ukur dan siapa yang berhak menakar ketaqwaan seseorang terkait dengan pencegahan HIV?
Tahun 1986 ada usulan dari kalangan dokter di RSCM Jakarta untuk melakukan surveilans tes HIV terhadap kalangan yang dianggap berisiko tinggi tertular HIV, al. pekerja seks dan homoseksual. Usul ini muncul karena di banyak negara kasus HIV/AIDS mulai bermunculan, sedangkan di Indonesia sama sekali tidak ada kegiatan mendeteksi HIV/AIDS. Hal ini dikemukakan oleh dr Zubairi Djoerban, Kasub Hematologi, Bag. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSTM.
Masyarakat
Sebuah tim dari Hematologi FKUI/RSTM melakukan pemeriksaan HIV dengan ELISA terhadap 7.464 orang dari kalangan risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klinis AIDS pada kurun waktu April-September 1986. Hasilnya? Reaksi positif pada tes pertama 47, tes ulang tinggal 18 yang reaksi positif. Dari 18 ini hanya 8 yang mau melanjutkan pemeriksaan. Hasilnya, 4 terdeteksi imunitas seluler dan 4 terdapat antigen HIV.
Di tahun 1985 dr. Zubairi mengatakan bila penyakit AIDS sampai menyerang masyarakat akan sulit dicegah. Begitu pula dengan Dr A. Harryanto Reksodiputro, ketika itu Kepala Bagian Penyakit Dalam FK UI, mengingatkan masyarakat perlu memperoleh penjelasan tentang AIDS tapi tidak menimbulkan kepanikan. Dr Haryanto mengingatkan bahwa akan ada konsekuensi yang besar jika AIDS sudah ada di Indonesia. Biaya yang mahal akan dikeluarkan untuk skrining darah untuk transfusi. Biaya yang besar juga diperlukan untuk memeriksa antibodi HIV pada orang-orang yang diduga tertular HIV.
Di tahun 1987 ada yang menilai bahwa media massa di Indonesia belum banyak membantu dalam upaya menyadarkan masyarakat mengenai masalah AIDS. Media massa nilainya lebih banyak membuat sensasi dan hal itu justru telah membuat masyarakat gelisah.
Kalangan pejabat juga ada yang menuding media massa menyebar ’kabar bohong’ tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia. Terkait dengan hal ini Ketua Umum IDI Pusat, (waktu itu) dr Kartono Mohamad, mengatakan tidak ada pilihan lain selain mengumumkan kasus AIDS di Indonesia karena yang bisa mencegah penyebaran HIV/AIDS adalah masyarakat bukan pemerintah dan bukan pula dokter. Pernyataan dr Kartono ini jadi relevan dengan teman Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2019 yaitu: Communities make the difference (Masyarakat membuat perbedaan).
Pernyataan pakar dan pejabat juga menyuburkan mitos, seperti ini: …. Memberantasnya (HIV/AIDS-pen.) tidak sulit. Caranya, berantas saja perzinahan dan kemesuman. Prof Dr Boyke Dian Nugraha, SOG, dalam sebuah pernyataan (2009), mengatakan: AIDS itu adalah singkatan dari ‘Anunya Itu Dimasukkan Sembarangan’.
Maka, tidak mengherankan kalau sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka, penanggulangan dan pencegahannya pun dapat pula dilakukan secara medis.
Sejarah akan mencatat seperti apa langkah pemerintah dalam menanggulangi epidemi HIV/AIDS di negeri ini. (Tagar.id, 4 Desember 2019). *
(3) Menyoal (Kapan) ‘Kasus AIDS Pertama’ di Indonesia
Pemerintah selalu mendengung-dengungkan kasus AIDS pertama di Indonesia adalah kasus AIDS yang terdeteksi pada seorang wisatawan Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 1987. Pengakuan ini bermuatan politis, sekaligus mengukuhkan mitos (anggapan yang salah), yaitu: AIDS penyakit bule, AIDS dibawa dari luar negeri, dan AIDS penyakit homoseksual. Mitos ini diperkuat lagi dengan pernyataan pejabat di awal-awal epidemic sehingga menjadi pegangan banyak orang sampai sekarang.
Celakanya, sampai sekarang cara-cara menanggapi dan mengomentari HIV/AIDS nyaris tidak berubah sejak awal epidemi. Bahkan, terkesan mundur karena memberikan komentar dan pernyataan yang tidak akurat karena hanya bertopang pada norma, moral dan agama, seperti penyebutan ‘seks bebas’, selingkuh, dll. yang tidak terkait langsung dengan HIV/AIDS sebagai fakta medis.
Tahun 1983 dr. Zubairi Djoerban, staf Sub-Bagian Hematologi-Penyakit Dalam FK UI, meneliti kalangan homoseksual dan Waria di Jakarta terkait leukemia. Hasil penelitian dr Zubairi ada tiga Waria di Jakarta yang menunjukkan gejala mirip AIDS. Tapi, karena ketika itu definisi AIDS masih kabur maka gejala itu, lemas-lemas seperti yan dikeluhkan ketiga Waria itu, disebut sebagai AIDS related complex (ARC).
Tahun 1986 seorang perempuan berusia 25 tahun meninggal dunia di RSCM Jakarta. Tes darahnya memastikan bahwa dia terinfeksi HTLV-III, dan dengan gejala klinis yang menunjukkan AIDS. Kasus ini tidak dilaporkan oleh Depkes.
Pada tahun yang sama Direktur RS Islam Jakarta, dr H Sugiat, melaporkan kasus pasien yang mati di rumah sakit itu (7/1-1986) karena penyakit terkait AIDS melalui surat kepada Menkes melalui Kanwil Depkes DKI Jakarta. Ditemukan virus HTLV III dalam darah pasien melalui tes darah metode ELISA. Contoh darah pasien tersebut dites dengan Western blot di RS Walter Reed, AS, hasilnya negatif. Belakangan kematian pasien itu disebut-sebut sebagai ARC.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes, Prof Dr AA Loedin, kembali menegaskan bahwa saat ini penderita AIDS belum ada di Indonesia, tetapi penderita gejala ringan AIDS yang disebut AIDS Related Complex (ARC), sudah cukup banyak. “Jumlah penderita ARC kalau dihitung mencapai ratusan.” (Suara Karya, 9/4-1986).
Peringatan Dunia
Biar pun sudah ada kasus yang erat kaitannya dengan AIDS, tapi pemerintah, dalam hal ini Depkes RI, baru mau mengakui AIDS sudah ada di Indonesia setelah kematian EGH, 44 tahun, seorang turis asal Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali, tanggal 5 April 1987 karena penyakit terkait AIDS. Laporan Imigrasi menyebutkan EGH tiba di Denpasar tanggal 26 Maret 1987.
Kasus ini membuat Indonesia masuk dalam daftar Badan Kesehatan Sedunia (WHO) sebagai negara ke-13 di benua Asia yang melaporkan ada kasus AIDS.
Indonesia kemudian menetapkan HIV/AIDS resmi sebagai penyakit menular yang dikuatkan dengan Instruksi Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Inst/II tanggal 11 Februari 1988.
Ketika Indonesia ‘geger’ karena kematian ‘bule’ di Denpasar itu, di rumah sakit yang sama justru seorang WNI, pria asli Indonesia, 35 tahun, meninggal dunia juga karena penyakit terkait AIDS di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 23 Juni 1988.
Tes darah pria ini dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. Sekretaris Panitia Penanggulangan AIDS Depkes, dr Suriadi Gunawan, MPH, membenarkan hal itu. Tes dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. (Kompas, 22/7-1988).
Merunut AIDS di Indonesia
Jika disimak diagram di atas WNI yang meninggal di Denpasar (1988) kemungkinan tertular HIV antara tahun 1973 dan 1983 dengan perhitungan rentang waktu mencapai masa AIDS antara 5 dan 15 tahun. Ini jauh sebelum EGH tiba di Bali.
Bahkan, tahun 1987 Depkes RI melaporkan 5 kasus HIV dan 2 kasus AIDS. Ini menunjukkan 2 kasus AIDS tertular antara tahun 1972 dan 1982. Maka, kalau ada asumsi atau anggapan bahwa AIDS dibawa orang ‘bule’ dari luar negeri maka fakta ini memupus asumsi tsb.
Di tahun 1984 Kepala Divisi Transfusi Darah PMI, Dr. Masri Rustam, mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir AIDS menyerang penerima transfusi darah pencegahan dilakukan dengan melarang kaum homoseksual atau Waria menjadi donor darah.
Padahal, tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono Suryaningrat, mengatakan bahwa belum pernah ditemukan orang yang betul-betul terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan, Menkes komentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.”
Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, termasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi darah, jarum suntik, dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya dan transplantasi organ tubuh.
Apakah orang yang tidak bertaqwa otomatis tertular HIV? Lalu, apa ukuran taqwa yang bisa mencegah penularan HIV, seperti melalui transfusi darah? Kemudian, apa alat ukur dan siapa yang berhak menakar ketaqwaan seseorang terkait dengan pencegahan HIV?
Begitu pula dengan pernyataan Ketua PMI yang mengesankan HIV/AIDS hanya ada di kalangan Waria dan homoseksual. Ini pun menyuburkan mitos yang sampai sekarang sangat sulit dihapuskan dari memori sebagian orang Indonesia.
Tahun 1986 ada usulan dari kalangan dokter di RSCM Jakarta untuk melakukan surveilan tes HIV terhadap kalangan yang dianggap berisiko tinggi tertular HIV, al. pekerja seks dan homoseksual. Usul ini muncul karena di banyak negara kasus HIV/AIDS mulai bermunculan, sedangkan di Indonesia sama sekali tidak ada kegiatan mendeteksi HIV/AIDS. Hal ini dikemukakan oleh dr Zubairi Djoerban, Kasub Hematologi, Bag. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSTM.
Sebuah tim dari Hematologi FKUI/RCTM melakukan pemeriksaan HIV dengan ELISA terhadap 7.464 orang dari kalangan risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klinis AIDS pada kurun waktu April-September 1986.
Hasilnya?
Reaksi positif pada tes pertama 47, tes ulang tinggal 18 yang reaksi positif. Dari 18 ini hanya 8 yang mau melanjutkan pemeriksaan. Hasilnya, 4 terdeteksi imunitas seluler dan 4 terdapat antigen HIV.
Tahun 1987 dilaporkan ada tiga penduduk Indonesia yang ‘terjangkit’ AIDS. Menanggapi fakta ini, Kabalitbang Depkes RI, waktu itu Prof. Dr. AA Loedin, mengatakan: “Jangan Ikut-ikutan Panik Terhadap AIDS.”
Disebutkan pula, kasus AIDS masih relatif tertanggulangi di Indonesia. Jadi, penyakit ini tidak usah dijadikan persoalan nasional. Ketua IDI Cab. Denpasar, waktu itu, Dr. Agus Bagiada: “Biar saja bangsa Barat kalang kabut, tapi jangan impor keresahan mereka ke sini. Sebab berbeda dengan bangsa Indonesia, umumnya bangsa Barat tidak berpengalaman menanggulangi kasus penyakit menular, sehingga mereka menjadi sangat panik.” (Suara Pembaruan, 21/9-1987).
Pada tahun 1989 dilaporkan ada lima orang yang ’diduga’ mengidap penyakit terkait AIDS secara rutin konsultasi ke Kelompok Studi Khusus AIDS (Pokdisus AIDS) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pada tahun ini juga dilaporkan ada WNI yang meninggal di RS dr. Soetomo, Surabaya. Dikabarkan, ‘teman kencan’ laki-laki ini cemas. Celakanya, kalangan rumah sakit justru panik menghadapi kasus ini.
Kalau saja sejak ditemukan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan langkah-langkah penanggulangan yang konkret tentulah akan lain hasilnya.
Tapi, karena yang terjadi hanya sanggahan dan penyangkalan, maka jangan heran kalau sekarang. kasus HIV/AIDS terdeteksi terus-menerus di semua daerah. Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di Asia, setelah China dan India yang tinggi percepatan laju infeksi baru HIV, khususnya di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik yang bergantian.
Peringatan terhadap Indonesia sudah dikuandangkan oleh Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB untuk AIDS). Dalam pidato pembukaan Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP), Melbourne, 2001, Dr Piot secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik berganti-ganti di Indonesia.
Di Indonesia sendiri kasus kumulatif HIV/AIDS sampai 30 Juni 2001, seperti dilaporkan Ditjen PPM & PL Depkes RI, tercatat 2.150. Dari jumlah ini tercatat 415 pengguna narkoba yang terdiri atas 309 HIV dan 106 AIDS. Estimasi UNAIDS/WHO kasus HIV/AIDS di Indonesia 52.000, sedangkan Depkes RI memperkirakan 120.000 kasus. Jumlah ini bertambah drastis karena diperkirakan ada 60.000 – 80.000 pengguna narkoba suntikan (Syaiful W. Harahap, AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Harian “SUARA PEMBARUAN”, Jakarta, 6 Oktober 2001).
Debat Kusir
Di tahun 1985 dr. Zubairi mengatakan bila penyakit AIDS sampai menyerang masyarakat akan sulit dicegah. Begitu pula dengan Dr A. Harryanto Reksodiputro, ketika itu Kepala Bagian Penyakit Dalam FK UI, mengingatkan masyarakat perlu memperoleh penjelasan tentang AIDS tapi tidak menimbulkan kepanikan.
Kepada “Kompas” Dr Haryanto mengingatkan bahwa akan ada konsekuensi yang besar jika AIDS sudah ada di Indonesia. Biaya yang mahal akan dikeluarkan untuk skrining darah untuk transfusi. Biaya yang besar juga diperlukan untuk memeriksa antibodi HIV pada orang-orang yang diduga tertular HIV. Sub-Bagian Hematologi Penyakit Dalam FKUI mendeteksi antibodi dengan ELISA. Ketika itu harga reagent-nya Rp 10.000. (Kompas, 10/8-1985).
Terkait dengan informasi HIV/AIDS melalui media massa yang tidak komprehensif sudah disuarakan oleh Prof. Dr A A Loeddin, ketika itu Kalitbang Depkes RI, yang menilai bahwa media massa di Indonesia belum banyak membantu dalam upaya menyadarkan masyarakat mengenai masalah AIDS. Media massa nilainya lebih banyak membuat sensasi dan hal itu justru telah membuat masyarakat gelisah. (Tajuk Rencana, Suara Pembaruan, 22/6-1987).
Kalangan pejabat juga ada yang menuding media massa menyebar ’kabar bohong’ tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia. Terkait dengan hal ini Ketua Umum IDI Pusat, dr. Kartono Mohamad, mengatakan: Ribut-ribut tentang AIDS. Pilihan kita dalam hal ini memang tidak dapat lain, kecuali mengumumkan jika memang benar ada kasus AIDS di Indonesia, karena hanya masyarakatlah yang dapat mencegah penyebarannya. Bukan pemerintah dan bukan pula dokter. Ribut-ribut saling bantah justru makin membingungkan. Kalau memang berita pers tidak benar, maka perlu ditunjukkan di mana letak kebohongan berita itu. (Kompas, 9/4-1986).
Pernyataan pakar-pakar tentang HIV/AIDS di Indonesia ternyata hanya bagaikan ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’ karena dibantah oleh pejabat dan pemuka masyarakat yang justru didengar rakyat walaupun yang mereka sampaikan hanya mitos.
Lihatlah pernyataan dr Adhyatma, ketika itu Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2MPLP), Depkes RI, “ …. mengakui sulit mencegah masuknya AIDS ke Indonesia, karena Indonesia adalah negara terbuka. “Apalagi di sana sini banyak praktek pelacuran dan kebiasaan kumpul kebo pun mulai masuk ke Indonesia. Jadi AIDS sulit dicegah masuk. Tapi sebenarnya memberantasnya tidak sulit. Caranya, berantas saja perzinahan dan kemesuman. Dan ini tentu bukan tugas Depkes saja.” (Kompas, 4/9-1985).
Pernyataan-pernyataan yang tidak akurat terus bermunculan dengan muatan norma, moral dan agama. Coba simak beita ini: Boyke Dian Nugraha: Korban AIDS bisa Berubah Mirip Monster. Ada nasihat dari pakar seks, Prof. Dr. Boyke Dian Nugraha, SOG, untuk siswa SMU tentang bahaya HIV Aids. Seseorang yang terkena Aids, dalam 5 tahun wajahnya akan berubah mirip monster. Tidak peduli apakah wanita itu cantik dan lelaki ganteng. Semuanya akan berubah menjadi monster. Hal itu dikemukakan, Boyke Dian Nugraha, saat berbicara dalam seminar yang dihadiri pelajar SMU di Surabaya (29/5). (Harian “Bali Post”, 30/5-2000).
Mengumbar mitos terus terjadi, seperti yang diberitakan Harian “Pos Metro Balikpapan” (30/5-2009) ini: Pada kesematan itu, dr Boyke juga memaparkan bahaya atau dampak yang ditimbulkan dari selingkuh berupa, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit kelamin diantaranya AIDS dan perceraian. “AIDS itu ‘kan anunya itu dimasukan sembarangan, jadi kalau enggak mau kena AIDS jangan berselingkuh,” tegasnya yang lagi-lagi disambut tawa kaum ibu. Untuk menginspirasi agar orang tidak berselingkuh, kemarin, ia pun memperdengarkan salah satu lagu dari album Bunga Jantungku.
Kalangan artis pun ikut pula nimbrung menyuburkan mitos. Pada acara Redaktur Hebooh (ANTEVE, 21/4-2000), Nurul Arifin mengatakan selingkuh sebagai salah satu faktor risiko penularan HIV (Newsletter HindarAIDS No. 46, 5 Juni 2000).
Pernyataan yang tidak komprehensif tentang HIV/AIDS terus berlanjut. Ini judul berita di Harian “Fajar”, Makassar, 2/12-2005: JK (Wakil Presiden Jusuf Kalla-pen.): Mau Tetap Berdosa, Pakai Kondom. Dalam berita disebutkan JK mengatakan: “Yang harus kita katakan adalah melakukan hubungan seks tidak dengan istri itu adalah dosa. Tetapi, kalau Anda memang tetap ingin berdosa ya, pakailah kondom agar tidak mengorbankan keluarga dan diri sendiri.”
Ini masih pernyataan Wapres Jusuf Kalla: “Anak-anak yang ditinggalkan akan memiliki gen yang lebih baik dan dapat menjadi pemain sinetron.” Itulah pernyataan Wapres Jusuf Kalla pada promosi pariwisata tentang turis Timur Tengah datang ke Puncak, Jawa Barat, untuk mencari janda atau melakukan pernikahan singkat (Harian ”Kompas”, 1/7-2006).
Maka, tidak mengherankan kalau sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS yang menjalar ke penanggulangan epidemi HIV. Lihat saja pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV di puluhan Perda Penanggulangan AIDS di Indonesia. Tidak satu pun pasal di perda-perda itu yang menawarkan cara pencegahan yang konkret.
Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka, penanggulangan dan pencegahannya pun dapat pula dilakukan secara medis.
Tampaknya, sebagian dari kita memilih ‘debat kusir’ soal penanggulangan epidemi HIV dengan membenturkan norma, moral dan agama kepada fakta medis. Jika paradigma kita tidak berubah, maka kita tinggal menunggu pengalaman Thailand terjadi di Indonesia.
Dua dekade yang lalu pemerintah Thailand sudah diingatkan oleh pakar epidemiologi agar menanggulangi epidemi HIV dengan serius. Tapi, pemerintah Negeri Gajah Putih itu menampik dengan alasan masyarakatnya berbudaya dan beragama. Satu dekade kemudian dilaporkan kasus HIV/AIDS mendekati angka 1.000.0000. Devisa dari pariwisata hanya bisa menyumbang 2/3 kepada biaya penanggulangan HIV/AIDS di sana.
Untunglah biksu di Thailand membuka pintu vihara lebar-lebar bagi penderita AIDS yang tidak tertampung di rumah sakit. Jerih payah tanpa pamrih bhiku ini menghasilkan Hadiah Ramon Magsaysay. Sebuah penghargaan internasional.
Indonesia juga ‘beruntung’ karena ada donor asing yang mendanai penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, jika kelak donor hengkang: maka APBN dan APBD akan ‘digerogoti’ untuk biaya penanggulangan epidemi HIV?
Apakah pintu rumah-rumah ibadah di negeri ini juga terbuka lebar bagi Odha?
Sejarah akan mencatat tanggapan dan sikap sebagian orang di negeri ini terhadap epidemi HIV dan perlakuan terhadap Odha. (Kompasiana, 3 Januari 2011). *
(4) AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan
PENGANTAR. KONGRES Internasional AIDS Asia Pasifik VI (The Sixth International Congress on AIDS in Asia and the Pacific/ICAAP) dibuka Jum’at (5/10), di Royal Exhibition Buildings, Carlton, Melbourne, Australia. Kongres akan berlangsung sampai 10 Oktober 2001 yang diikuti lebih 3.500 peserta dari seluruh dunia. Sebagai peserta yang mendapat bea siswa dari Ford Foundation, Syaiful W. Harahap, yang mengkhususkan diri pada penulisan HIV/AIDS, mengirimkan laporannya. Redaksi
MELBOURNE – Kalau di beberapa kawasan, seperti Eropa Barat, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru serta Afrika angka infeksi HIV baru di kalangan penduduk dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yang mendatar sejak awal 1990-an, tetapi di kawasan Asia Pasifik yang terjadi justru sebaliknya. Angka infeksi baru di kalangan penduduk dewasa terus bertambah.
Penurunan kasus infeksi HIV baru tersebut bukan karena sudah ada obat AIDS atau vaksin HIV, tetapi masyarakat di kawasan tersebut sudah menerapkan cara-cara pencegahan HIV yang realistis yaitu menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV.
Dari 34,3 juta kasus HIV/AIDS secara global 6,4 juta tercatat di kawasan Asia Pasifik. Namun, karena penduduk di Asia Pasifik lebih dari separuh populasi dunia sehingga penyebaran HIV di kawasan ini sangat potensial menjadi ledakan epidemi.
Itulah salah satu alasan yang mendorong pelaksanaan kongres AIDS di kawasan Asia Pasifik setiap dua tahun di antara pelaksanaan konferensi AIDS sedunia untuk mendapatkan gambaran tentang berbagai hal dan menjadi ajang pembelajaran serta saling tukar pengalaman. Kongres pertama tahun 1991 di Canberra, Australia, kemudian di New Delhi, India (1993), Chiang Mai, Thailand (1995), Manila, Filipina (1997), Kuala Lumpur, Malaysia (1999).
Biar pun prevalensi (persentase HIV positif) di kalangan penduduk dewasa yang berumur antara 15-49 di beberapa negara di kawasan Asia dan Pasifik di bawah satu persen (di beberapa negara, seperti Kamboja, Myanmar dan Thailand prevalensinya tinggi) dalam masyarakat tetapi epidemi HIV bisa menjadi dahsyat.
Maka, kalau hanya berpatokan pada prevalensi di masyarakat (jumlah kasus yang tercatat dibagi jumlah penduduk) akan bisa menimbulkan perhitungan yang meleset terhadap epidemi HIV. Soalnya di Malaysia, Nepal, Vietnam dan beberapa provinsi di Cina angka infeksi HIV di kalangan pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik (injecting drug user/IDU) sangat tinggi.
Dalam pidato pembukaan Dr Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS, secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan IDU di Indonesia. Di Indonesia sendiri kasus komulatif HIV/AIDS sampai 30 Juni 2001, seperti dilaporkan Ditjen PPM & PL Depkes, tercatat 2.150. Dari jumlah ini tercatat 415 IDU yang terdiri atas 309 HIV dan 106 AIDS. Estimasi UNAIDS/WHO kasus HIV/AIDS di Indonesia 52.000, sedangkan Depkes memperkirakan 120.000 kasus. Jumlah ini bertambah drastis karena diperkirakan ada 60.000 – 80.000 pengguna narkoba suntikan.
Isu dan tantangan yang berbeda-beda muncul ketika aspek politik bergandengan dengan masalah sosial dan budaya sehingga mempengaruhi pembuat kebijakan. Selain pembicara utama akan dibahas pula 243 makalah utama dari berbagai aspek, antara lain terapi dan perawatan, pencegahan, sosial dan ekonomi, gender dan seksualitas. Dari Indonesia tercatat 7 makalah. Yang terbanyak dari India yaitu 66 dan Thailand 47.
Estimasi
Beberapa estimasi menunjukkan di Cina ada tiga juta IDU, 45 persen di antara mereka menggunakan jarum suntik dan semprit secara bergantian. Sudah dilaporkan infeksi HIV di kalangan IDU dari 25 provinsi di Cina. Di Cina dan Vietnam 65 – 70 persen kasus infeksi HIV terjadi di kalangan IDU. Saat ini diperkirakan 122.350 penduduk Vietnam terinfeksi HIV. Survei tahun 1999 menunjukkan 56% IDU dan 47% pekerja seks di Myanmar tertular HIV.
Pada tahun 2005 diperkirakan setiap tahun 800.000 penduduk di kawasan Asia Pasifik akan meninggal karena AIDS. Di Thailand saja dengan 800.000 kasus HIV/AIDS mulai taun 2006 diperkirakan setiap tahun 50.000 penduduk negeri itu akan meninggal karena AIDS. Di Vietnam akan ada kematian 11.000 penduduk setiap tahun mulai tahun 2005. Secara global setiap menit setiap hari 11 penduduk dunia terinfeksi HIV. Satu dari sepuluh penduduk yang terinfeksi itu berusia di bawah 15 tahun.
Epidemi HIV akan menjadi beban besar bagi negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik. Thailand, misalnya, sampai tahun 2000 sudah mengeluarkan dana untuk biaya langsung dan tidak langsung terhadap epidemi HIV sebesar 8,7 miliar dolar AS (setara dengan Rp 78,3 triliun). Untuk tes HIV dengan ELISA di Indonesia saat ini Rp 47.000 dan tes konfirmasi dengan Western blot Rp 522.000. Harga obat antiretroviral (obat untuk menekan pertumbuhan HIV di dalam darah) sekitar Rp 5 juta per bulan. Jumlah ini belum termasuk jasa dokter atau obat-obat lain.
Biar pun prevalensi HIV di Cina dan India rendah, tetapi dengan jumlah penduduk 36% dari populasi dunia di dua negara ini HIV mulai menjadi masalah. Di India, misalnya, walaupun hanya 7 dari 1.000 penduduk dewasa yang HIV-positif tetapi di negara ini 3,7 juta penduduk hidup dengan HIV/AIDS. Pada pertengahan tahun 1990-an seperempat pekerja seks di perkotaan, seperti di New Delhi, Hyderabad, Pune, Tirupati dan di Vellore HIV-positif. (Sumber: Harian “SUARA PEMBARUAN”, 6 Oktober 2001). *
(5) Langkah Mundur, Ruang Perawatan Khusus AIDS
Saya sependapat dengan Ibu Lia (Rosalia Sciortino, MA, PhD) yang kini di Ford Foundation Manila, Filipina tentang HIV/AIDS, “Masalah HIV/AIDS ini cukup dibicarakan lima menit,” katanya berulang kali kepada saya. Tetapi, karena HIV/AIDS dikaitkan dengan mitos dan ada pula kalangan yang membalut dirinya dengan agama dan moral jika berbicara perihal HIV/AIDS, maka persoalan HIV/AIDS pun tidak akan selesai dalam lima dasawarsa, bahkan bisa lebih.
Jadi, sebagai awam di bidang medis saya pun hanya bisa mengurut dada melihat sikap dokter di RS. Dr. Soetomo Surabaya yang membuat ruang khusus bagi Odha. Kalau pun pasien AIDS dapat menularkan HIV tentulah tidak semudah penyebaran basil TB, virus hepatitis B dan C, serta penyakit lain yang dapat menular melalui media udara dan keringat. Maka, bagi saya sebagai awam amatlah janggal kalau kalangan medis yang jauh lebih mahfum soal HIV/AIDS harus memakai baju ala astronot dalam merawat Odha.
Di sektor medis dikenal kewaspadaan umum. Dengan menerapkan ini saja sudah merupakan satu langkah yang sangat berarti. Itulah yang sering disebutkan pengamat tinju Syamsul Anwar Harahap, “Bisa mengelak saja sudah merupakan separo dari kemampuan bertinju.” Nah, seorang petinju yang baik pukulannya pun kalau tidak bisa mengelak tentu akan dikalahkan petinju yang bisa mengelak dengan baik dan memukul dengan setengah baik.
Maka, kalau tenaga medis dan nonmedis di rumah sakit tidak menerapkan kewaspadaan umum, tentu terhadap semua aspek, tentulah mereka sudah kehilangan separuh dari kemampuannya. Maka, saya sangat menghargai permintaan seorang wakil direktur sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta agar tidak menulis fakta seputar penularan virus hepatitis B. Menurut dia, di ruang perawatan pasien ada risiko penularan virus hepatitis B terhadap tenaga medis, nonmedis dan pengunjung. Begitu pula ketika saya masih di Medan, seorang ibu teman yang berobat ke Puskesmas pulang ke rumah justru membawa penyakit (ketika itu disebut penyakit kuning).Itu menunjukkan separo dari kewaspadaan umum tidak dijalankan. Jika seorang anggota keluarga sakit mata, mengapa hampir semua sakit mata? Penyakit itu tidak menular melalui udara. Tentu saja karena mencuci tangan setelah memegang sesuatu yang mungkin menjadi media penularan virus, kuman atau bakteri tidak dibiasakan sebagai bagian dari kewaspadaan umum.
Karena sebagai virus, HIV tidak menular melalui pergaulan sosial dan media udara tentulah amat janggal kalau ada perawat atau dokter yang memeriksa pasien AIDS memakai baju astronot. Ruang perawatan AIDS pun pun menjadi panggung hiburan bagi karyawan, pasien dan pengunjung rumah sakit karena ada astronot yang mendarat di sana. Kondisi itu pun kembali mengukuhkan mitos seputar HIV/AIDS. Orang akan melihat AIDS (baca: Odha) sebagai makhluk yang harus dijauhi.
Mengapa RS Dr Soetomo tidak belajar dari Prof Dr dr Zubairi Djoerban, DSPD dan Prof Dr dr Syamsurizal Djauzi, DSPD dalam menangani pasien AIDS? Atau, bertanya ke rumah-rumah sakit di luar negeri? Tentu tidak perlu terbang ke sana karena ada jaringan internet.
Ruang khusus itu pun, apalagi dengan papan nama, akan menjadi pusat perhatian. Soalnya, seperti yang pernah dikemukakan oleh dr. Boyke Dian Nugraha, SOG, dalam satu seminar (Bali Post, 30/5-2000) orang-orang yang terinfeksi HIV dalam waktu lima tahun wajahnya akan berubah menjadi monster. Biar pun dia seorang wanita cantik atau pemuda yang ganteng. Ini akan memicu masyarakat berduyun-duyun melihat “monster” di ruang perawatan khusus AIDS.
Tindakan khusus bagi pasien Odha bukan dengan membuat jarak secara fisik, seperti yang dikemukakan oleh dr. Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana (YKB) Jakarta. Tindakan khusus yang dimaksud adalah tindakan-tindakan yang menghindarkan penularan HIV melalui cara-cara yang dikenal dalam dunia medis yaitu kewaspadaan umum. Ruang perawatan khusus itu pun akan membuat jarak fisik dan psikologis dengan pasien lain. Ini pun akan menyuburkan mitos pula karena mereka melihat hal itu sebagai salah satu cara mengkarantina Odha. Pada gilirannya orang pun melihat AIDS (baca: HIV) menular melalui udara dan pergaulan sosial sehingga pasien AIDS harus diisolasi secara fisik dan psikologis.
Saya mengikuti berita-berita di Jawa Pos dan Surabaya Post seputar masalah AIDS di Surabaya, termasuk pernyataan dari RS. Dr. Soetomo. Bagaimana kita bisa memupus mitos dan stigma kalau pernyataan pakar dari rumah sakit dan petinggi di KPAD justru menguatkan mitos. Berita di Surabaya Post, misalnya, menyebutkan RS. Dr. Soetomo berhasil menyembuhkan pasien AIDS. Wakil Ketua KPAD mengatakan AIDS berkembang karena seks bebas, dan lain-lain pernyataan yang semuanya tidak mendukung kepedulian terhadap upaya-upaya melindungi diri sendiri agar tidak tertular HIV.
Bahkan, dalam catatan saya (berdasarkan kliping berita-berita media cetak nasional yang saya kumpulkan sejak tahun 1981) persoalan HIV yang paling heboh justru berawal dari Surabaya. Misalnya, ada Camat yang menyamar menjadi intel hanya untuk mengetahui dengan pasti siapa pekerja seks yang disebut HIV-positif.
Untuk apa pula Pak Camat ini ingin memastikan pekerja seks yang HIV-positif itu? (Sumber: Newsletter ”WartaAIDS” Nomor 78, 16 Oktober 2000). *
(6) Indonesia Termasuk Negara Yang Tertinggal Dalam “Perang” Melawan AIDS
“Indonesia termasuk negara yang dianggap tertinggal dalam kemajuan melawan HIV.” Ini ada di dalam siaran pers (press release) UNAIDS: UNAIDS report shows that 19 million of the 35 million people living with HIV today do not know that they have the virus (17/7-2014).
Kesimpulan yang dilansir UNAIDS tersebut menunjukkan bukti konkret terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Sejak awal epidemi, ditandai dengan keputusan pemerintah tentang kasus HIV/AIDS pertama yaitu pada laki-laki gay WN Belanda yang meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, pada tahun 1987 dengan indikasi penyakit terkait HIV/AIDS.
Mitos AIDS
Sebelum pemerintah menetapkan kasus ini sebagai kasus pertama di Indonesia, sudah ada beberapa kasus yang mengarah ke HIV/AIDS, tapi pemerintah menolak mengakuinya karena ketika itu dan sampai sekarang pun pemerintah selalu mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan ‘penyimpangan seksual’, khususnya homoseksual, luar negeri, dan bule.
Maka, kloplah sudah “definisi” AIDS yang disebut pemerintah dengan kasus WN Belanda tsb. sehingga pemerintah pun sambil menepuk dada mengumumkan bahwa kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia adalah kasus karena penyimpangan seksual, laki-laki gay, homoseksual, bule dan luar negeri.
Itulah sebabnya kampanye penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia hanya mengedepankan aspek-aspek moral yang hanya sebatas retorika.
Tahun berjalan kasus terus terdeteksi. Celakanya lagi-lagi pemerintah menepuk dada karena jumlah kasus yang terdeteksi sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan kalau dibandingkan dengan jumlah kasus di negara lain.
Dalam bahasa lain yang dikumandangkan pemerintah dalam menanggulangi HIV/AIDS hanya sebatas mitos (anggapan yang salah), al. (diolah dari berbagai brosur, bahan ceramah, buku, dll. oleh penulis):
- HIV/AIDS adalah penyakit bule (maka banyak orang yang tidak merasa berisiko karena dia bukan bule dan tidak kontak dengan bule).
- HIV/AIDS menular melalui zina atau di luar nikah (maka muncul wacana melakukan nikah mut’ah di pelacuran, di hotel tertentu juga dilakukan nikah mut’ah sebelum transaksi seks).
- HIV/AIDS menular pada hubungan seksual sebelum nikah (maka orang-orang yang sudah menikah merasa aman dengan melakukan hubungan seksual berisiko).
- HIV/AIDS menular melalui ‘penyimpangan seks’ (maka orang-orang yang tidak merasa dirinya melakukan hubungan seksual yang menyimpang yaitu homoseksual merasa aman melakukan hubungan seksual yang berisiko).
- HIV/AIDS menular di lokalisasi pelacuran (maka pemerintah pun menutup lokalisasi pelacuran, tapi tidak bisa mengontrol pelacuran di berbagai tempat).
- HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual yang tidak sehat (jargon moral yang tidak akurat karena semua hubungan seksual adalah sehat).
- HIV/AIDS menular karena tidak ada ketahanan keluarga (maka orang-orang yang merasa diri dan keluarganya mempunyai ketahanan merasa aman melakukan hubungan seksual berisiko).
Laki-laki Pembeli Seks
Mitos itulah yang membuat penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia runyam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya berisiko tertular HIV al. karena tidak terkait dengan 7 hal di atas.
Sampai tahun 2006 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia di bawah 10.000 dengan jumlah penduduk 180 juta jiwa. Sedangkan sampai 31 Maret 2014 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 188.273 yang terdiri atas 134,042 HIV dan 54,231 AIDS dengan 9,615 kematian (spiritia.or.id).
Di bagian lain siaran pers UNAIDS itu disebutkan pula bahwa “Indonesia bersama lima negara lain (Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Nigeria, Rusia, dan Sudan Selatan) menghadapi tiga ancaman, yaitu (a) beban HIV yang berat, (b) cakupan pengobatan yang rendah, dan (c) tingkat penurunan infeksi HIV yang sangat rendah.”
Untuk (a) tidak terasa berat karena sampai sekarang pemerintah menyediakan obat antiretroviral (ARV) gratis. Padahal, harga obat ini Rp 360.000 per paket/bulan. Untuk pengobatan lain yang muncul terkait dengan infeksi HIV ditanggung pemerintah melalui program kartu miskin. Tentu akan lain kondisinya kalau kelak pemerintah tidak lagi menyediakan obat ARV gratis karena akan banyak pengidap HIV/AIDS yang tidak bisa membeli obat ARV yang akhirnya berdampak pada tingkat kematian yang tinggi pada pengidap HIV/AIDS.
Sedangkan untuk (b) juga tidak jadi masalah berat bagi pemerintah karena banyak orang yang mengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi sehingga mereka tidak membutuhkan obat ARV. Bahkan, kematian mereka pun tidak pula terdeteksi terkait dengan HIV/AIDS karena meninggal di luar rumah sakit.
Yang jadi masalah besar adalah (c) karena erat kaitannya dengan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Insiden infeksi HIV baru terus terjadi karena hubungan seksual berisiko al. dilakukan oleh laki-laki, sebagian besar beristri, dengan pekerja seks komersial (PSK) tanpa kondom. Jumlah laki-laki yang gemar ngeseks tanpa kondom dengan PSK mencapai 10 persen dari populasi laki-laki dengan rentang usia 15-65 tahun. Jumlahnya mencapai 6,7 juta (tempo.co, 25/4-2014).
Di sisi lain tes HIV terhadap 100.926 perempuan hamil pada tahun 2013 menghasilkan 3.135 dari mereka tertular HIV. Sayang, hanya 1.544 yang mau menjalani program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Akibatnya, ada 106 anak yang dilahirkan dengan HIV/AIDS (tempo.co, 25/4-2014).
Yang bisa dilakukan pemerintan hanyalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki pada hubungan seksual dengan PSK. Ini hanya bisa dilakukan jika pelacuran atau PSK dilokalisir yaitu melakukan intervensi terhadap laki-laki berupa pemaksaan agar mereka memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Celakanya, pelacuran di Indonesia tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dijangkau untuk menjalankan program kondom. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS”. (AIDS Watch Indonesia, Juli 2014). *
(7) Kawin-kontrak Bisa Jadi Mata Rantai Penyebaran AIDS
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai Juni 2019 dilaporkan 466.859, insiden infeksi HIV baru terus terjadi al. melalui kawin-kontrak
“MUI Kabupaten Bogor Sebut Kawin Kontrak Tetap Zina”. Ini judul berita di Tagar.id (24 Desember 2019). Pernyataan MUI ini sehubungan dengan praktik kawin-kontrak yang kian marak di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kawin-kontrak adalah ‘nikah’ dalam hitungan waktu tertentu yang juga disebut sebagai nikah mut’ah.
Terlepas dari sifat kawin-kontrak yang disebut MUI sebagai zina, dari aspek epidemiologi penyakit menular seksual kawin-kontrak erat kaitannya dengan infeksi menular seksual (IMS) yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, seperti kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), virus hepatitis B, virus kanker serviks, klamidia, dll. serta HIV/AIDS.
Pelaku kawin-kontrak baik laki-laki maupun perempuan merupakan orang-orang dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. Risiko itu terjadi karena bisa saja salah satu dari pasangan yang berganti-ganti mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia adalah 466.859 yang terdiri atas 349.882 HIV dan 116.977 AIDS.
Yang perlu diingat angka-angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang dilaporkan (466.859) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Yang jadi masalah besar adalah banyak orang yang merasa perilaku seksual pada kawin-kontrak tidak berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS karena seks mereka lakukan dalam ikatan pernikahan. Ini terjadi karena sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia, 1987, banyak informasi tentang HIV/AIDS yang merupakan mitos (anggapan yang salah). Mulai dari menteri kesehatan, kalangan medis, agamawan, tokoh sampai aktivis AIDS sendiri selalu membumbui informasi tentang HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama.
Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa dibuktikan di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Tapi, karena kepanikan menghadapi kasus HIV/AIDS yang terus terdeteksi muncullah pernyataan-pernyataan tentang HIV/AIDS yang tidak akurat.
Salah satu mitos yang menyesatkan adalah mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan sifat hubungan seksual, seperti di luar nikah, seks pranikah, selingkuh, zina, pelacuran, dll. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam atau di luar nikah karena penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual.
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta.
Tapi, karena sejak awal informasi HIV/AIDS sudah merupakan mitos akibatnya banyak orang yang merasa tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.
Perempuan-perempuan yang terlibat dalam praktik kawin-kontrak adalah perempuan dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena mereka melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Mereka ini sama saja dengan PSK, tapi tidak kasat mata yang disebut PSK tidak langsung. Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga perempuan pelaku kawin-kontrak berisiko pula tertular HIV/AIDS.
Upaya mencegah kawin-kontrak akan jauh lebih efektif jika dikaitkan dengan risiko penularan IMS dan HIV/AIDS daripada hanya dari aspek agama dan hukum (polisional). Soalnya, kalau dari aspek agama banyak penafsiran tentang kawin-kontrak atau nikah mut’ah. Sedangkan tindakan polisional terjadi setelah kegiatan seksual sehingga biar pun ditangkap penularan IMS atau HIV/AIDS sudah terjadi.
Laki-laki pelaku kawin-kontrak yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang beristri akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Laporan Kemenkes menyebutkan 16.854 ibu rumah tangga terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Ini jadi indikator terkait perilaku seksual suami, al. terlibat dalam kawin-cerai.
Pemerintah tidak akan bisa mencegah kawin-kontrak karena berlangsung di bawah tanah yang melibatkan banyak pihak karena terkait dengan uang yang jumlahnya besar. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi melalui hubungan seksual pada kawin-kontrak yang pada akhirnya akan masuk ke populasi dan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. (Tagar.id, 20 Desember 2019). *
(8) Menyoal Peran Aktif Pers Nasional Menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia
*Renungan jelang Hari Pers Nasionan (HPN) 9 Februari 2023 di Kota Medan, Sumut
Setiap tanggal 9 Februari insan pers nasional memperingati Hari Pers, di saat epidemi HIV/AIDS mendekati ‘Afrika Kedua’ peran pers sangat kecil
Tahun ini Hari Pers Nasional (HPN) diperingati di Banjarbaru, Kalimantan Selatan dengan tema “Pers Menggelorakan Kal-Sel sebagai Gerban Ibukota Negara.” Sayang, tahun berganti tahun dunia pers nasional (media massa dan media online) mengabaikan peran pers dalam penanggulangan HIV/AIDS. Kalau saja insan pers nasional berkaca ke Thailand tentulah penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru.
Salah satu kunci keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS di beberapa negara, seperti di Thailand, berkat dukungan media massa (media cetak dan media elektronik) insiden infeksi HIV baru di Negeri Gajah Putih itu ditekan sehingga kasus baru setiap tahun turun drastis (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thammarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000).
Berbeda dengan Indonesia peran media massa, sekarang ada media online, sangat kecil sehingga insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang pada gilirannya menyebar di masyarakat.
Dengan jumlah kasus HIV/AIDS mendekati angka 1 juta di awal tahun 1990-an di Thailand, negeri itu berhasil memangkas jumlah insiden infeksi HIV baru sehingga kasus sekarang 480.000 dengan infeksi HIV baru 6.400/tahun. Yang mendapat pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV) 75% (aidsdatahub.org).
Bandingkan dengan Indonesia dengan jumlah kasus kumulatif berdasarkan estimasi 640.000, dengan infeksi HIV baru 48.000/tahun dan kematian 46.000. Yang mendapatkan pengobatan ARV 17% (aidsdatahub.org). Sedangkan yang terdeteksi per 30 Juni 2019 sebanyak 466.859 (Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019). Fakta lain menunjukkan Indonesia ada di peringkat keempat setelah China, India dan Rusia dalam jumlah insiden infeksi HIV baru (aidsmap.com).
- Peran Media Massa dan Media Online untuk Mendukung Penanggulangan HIV/AIDS
Ketika banyak negara kewalahan menghadapi epidemi HIV/AIDS, Thailand justru sebaliknya malah berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Salah satu indikatornya adalah jumlah calon taruna militer yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS terus turun.
Ternyata, Thailand menjalankan lima program penanggulangan yang realistis secara serentak dengan skala nasional. Di urutan pertama adalah memanfaatkan media massa sebagai media pembelajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thammarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000).
Celakanya, di Indonesia sebagian besar media massa, belakangan juga media online, menjadikan isu HIV/AIDS sebagai berita yang sensasional, terutama yang menyangkut aspek norma, moral dan agama. Tanggal 9 Februari diperingati sebagai ‘Hari Pers Nasional’ yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur peran pers nasional dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Celakanya, di Indonesia sebagian besar media massa juga media online menjadikan isu HIV/AIDS sebagai berita yang sensasional, terutama yang menyangkut aspek norma, moral dan agama. Tanggal 9 Februari diperingati sebagai ‘Hari Pers Nasional’ yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur peran pers nasional dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Soalnya, sejak pemerintah mengakui kasus HIV/AIDS pertama pada April 1987 cara-cara pemberitaan sebagian besar media massa nasional hanya berkutat di seputar moral. Pengakuan kasus pertama itu pun dinilai banyak kalangan tidak objektif karena didorong oleh aspek moral yang menguatkan anggapan, ketika itu bahkan sampai sekarang, bahwa HIV/AIDS adalah penyakit homoseksual, penyakit orang bule, dll.
Lihat saja judul berita ini: 1.330 Gay Berkeliaran di Bogor (di sebuah harian di Bogor, Jawa Barat, 18 Desember 2017). Judul ini sensasional dan sama sekali tidak memberikan pencerahan kepada pembaca (masyarakat). Yang terjadi justru mendorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi terhaap gay. Padahal, yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat justru laki-laki heteroseksual pengidap HIV/AIDS.
Yang lebih konyol lagi jumlah 1.330 itu ternyata hasil penjumlahan gay dan Waria. Padahal, gay bukan Waria atau sebaliknya. Dalam kaitan ini wartawan dan redaktur media itu memakai ‘baju moral’ mereka dalam memahami orientasi seksual sehingga hasilnya hanya mitos (anggapan yang salah). Dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS cara-cara itu jadi kontra produktif.
Judul lain: LGBT Gaya Hidup yang Potensial Menyebarkan Penyakit HIV/AIDS (sebuah media online Jakarta, 23 Januari 2018). Ini mendorong masyarakat benci terhadap kalangan LGBT, padahal fakta menunjukkan faktor risiko penularan terbanyak kasus AIDS di Indonesia periode 1987 – 30 Juni 2019 melalui hubungan seksual berisiko pada heteroseksual mencapai 70,2%, penggunaan alat suntik tidak steril 8,2%, homoseksual 7%, dan penularan melalui perinatal 2,9% (Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 27 Agustus 2019).
Lagi pula dalam konteks LGBT sendiri belum ada kasus penularan HIV dengan faktor risiko lesbian. Selain itu yang justru lebih potensial menyebarkan HIV adalah biseksual karena secara seksual tertarik dengan perempuan sekaligus dengan laki-laki juga.
- Berita Jadi Salah Satu Pemicu Stigma Terhadap Odha
Pernyataan-pernyataan yang mengait-ngaitkan penularan HIV dengan LGBT akhirnya jadi ledakan kemarahan masyarakat bahkan sudah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar LGBT dipidana. Sekarang isu itu bergulir di DPR terkait dengan revisi KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Masyarakat digiring media massa dan media online, belakangan media sosial juga ikut-ikutan, untuk membenci LGBT. Padahal, sebagai orientasi seksual LGBT adalah di alam pikiran sehingga tidak bisa dipidana.
Hiruk-pikuk tentang LGBT yang jadi korban adalah kaum Waria karena dalam konteks LGBT hanya transgender (Waria) yang kasat mata, sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dikenali dari fisik mereka.
Stigma terhadap pengidap HIV/AIDS terus didorong melalui pernyataan-pernyataan yang tidak akurat. Seperti ini: Dokter Inong: Agar Tak Tertular HIV/AIDS, Jangan Berzina (media online keagamaan, 14/1-2018). Padahal, risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, seks pranikah, selingkuh, melacur, seks anal, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.
Beban fisik dan psikologis Odha (Orang dengan HIV/AIDS) pun kian berat karena di sarana kesehatan sendiri terjadi perlakuan yang diskriminatif yang justru dilakukan oleh kalangan medis. Ini tidak masuk akal karena mereka tahu persis cara-cara penularan dan pencegahan HIV.
Berita-berita yang mengandung mitos tidak mencerahkan masyarakat karena cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis tenggelam karena berita dibumbui dengan norma, moral dan agama. Penulis melakukan content analysis berita-berita di media massa nasional dari tahun 1987-2000. Hasilnya, banyak berita yang hanya berisi mitos sehingga menggelapkan fakta medis tentang HIV/AIDS (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Penerbit Sinar Harapan/The Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Judul berita di sebuah harian yang terbit di Kota Padang, Sumbar (8 Februari 2018) ini juga mendorong stigma: 2017, 5 Kasus HIV di Payakumbuh Berasal dari LSL. Celakanya, dalam berita tidak dijelaskan siapa saja LSL itu sehingga membingungkan. Dalam berita LSL disebutkan Lelaki Seks dengan Lelaki yang akhirnya menggiring opini ke kalangan gay padahal di sana ada biseksual dan Waria.
Ini judul berita di sebuah media online (30 November 2019): Kenali Gejala dan Ciri-ciri HIV serta Tahapannya Menjadi AIDS, Apakah Sudah Ada Obatnya? Ada fakta yang tidak muncul dalam berita ini, yaitu: apapun gejala atau ciri-ciri HIV/AIDS yang disebutkan tidak ada kaitannya dengan HIV/AIDS jika orang yang menunjukkan gejala-gejala atau ciri-ciri HIV/AID tsb. terkait dengan HIV/AIDS jika orang tsb. tidak pernah atau tidak sering melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. Jika tidak pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS, maka gejala-gejala atau ciri-ciri HIV/AIDS tsb. yang ada pada seseorang sama sekali tidak terkait dengan HIV/AIDS.
Melalui hubungan seksual risiko tertular HIV/AIDS adalah jika hubungan seksual dilakukan tanpa kondom, di dalam nikah atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan. Risiko tertular HIV melalui transfusi darah jika pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV. Risiko melalui jarum suntik terutama terjadi pada penyalahguna narkoba jika dilakukan bersama-sama dengan memakai jarum secara berganti-ganti. Sedangkan risiko melalui air susu ibu (ASI) jika menyusui kepada perempuan yang mengidap HIV/AIDS.
- Penanggulangan di HIV/AIDS di Indonesia Dilakukan di Hilir
Penanggulangan HIV/AIDS yang bergulir di hilir yaitu tes HIV terhadap ibu-ibu hamil dan orang-orang dengan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Ada suami ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menolak tes HIV. Akibatnya, suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Penanggulangan dengan program tes HIV itu artinya ada pembiaran sehingga warga tertular HIV. Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu, al. menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK). Program yang dilakukan, seperti di Thailand dengan hasil yang memuaskan, adalah memaksa laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Celakanya intervensi tidak bisa dilakukan karena praktek PSK tidak dilokalisir.
Yang tidak masuk akal penanggulangan didukung dengan peraturan daerah (Perda), tapi perda-perda itu justru hanya mencangkok ekor program Thailand dengan cara yang tidak komprehensif. Paling tidak sudah ada 140-an Perda AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
Program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK hanya bisa dijalankan dengan efektif kalau praktek PSK dilokalisir. Sedangkan di Indonesia praktek PSK terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat sehingga tidak bisa dilakukan intervensi.
Lagi pula di Thailand sanksi hukum bagi yang tidak menjalankan ‘wajib kondom 100 persen’ diterapkan terhadap germo, tapi di Indonesia yang dihukum justru PSK. Ini sama saja dengan ‘menggantang asap’ karena 1 PSK dihukum nun di luar sana ada puluhan bahkan ratusan PSK pengganti.
Selain itu PSK tidak bisa menolak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak mau memakai kondom karena dipaksa germo, tapi kalau yang kena sanksi germo tentulah germo akan berpihak pada PSK dalam menghadapi laki-laki yang tidak mau pakai kondom.
Tanpa dukungan media massa dan media online, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang merupakan ‘bom waktu’ pada epidemi HIV yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. (Tagar.id, 1 Februari 2023). *
(9) Tanggulangi HIV/AIDS Jadi PR Menkes Kabinet Jokowi Jilid II
Kasus HIV/AIDS baru terus terdeteksi di Indonesia, tapi tidak ada program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Ini jadi tugas Menkes baru.
Pemerintah mengakui epidemi HIV/AIDS ada di Indonesia sejak tahun 1987. Tepatnya, ketika seorang turis bule WN Belanda EGH, 44 tahun, yang meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, pada tanggal 5 April 1987 karena penyakit terkait AIDS. Inilah yang dipakai pemerintah sebagai awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia.
Celakanya, biar pun sudah ada kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada warga tapi banyak kalangan dari berbagai pihak yang mengabaikan epidemi HIV/AIDS di Indonesia. Tidak ada kaitan langsung antara EGH dengan epidemi HIV/AIDS di Indonesia karena sudah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada penduduk, tapi tidak diakui oleh pemerintah.
Dari tahun ke tahun kasus-kasus HIV/AIDS baru terdeteksi di beberapa daerah di Indonesia. Ini terjadi karena sejak tahun 1986 Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) merekomendasi reagen yang dipakai untuk tes HIV.
Data terakhir yang dilaporkan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019, menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 1987 – 30 Juni 2019 adalah 466,859 yang terdiri atas 349,882 HIV dan 116,977 AIDS. Kasus ini tersebar di 34 provinsi.
Estimasi kasus kumulatif HIV/AIDS sebanyak 640.443 tapi yang terdeteksi baru 349.882 (60,7%). Itu artinya ada 290.561 (39,3%) kasus HIV/AIDS di masyarakat yang tidak terdeteksi. Jika kasus ini tidak terdeteksi, maka warga yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.Warga pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
Menteri kesehatan di Kabinet Kerja Jilid II punya tugas berat yaitu membuat program yang riil untuk mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS yang tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar hak asasi manusia (HAM).
Program yang ada saat ini adalah anjuran tes HIV kepada ibu-ibu hamil dan PICT (provider initiated testing and counseling) yaitu inisiatif petugas kesehatan menganjurkan pasien untuk tes HIV dengan konseling berdasarkan diagnosis penyakit pasien.
Kelemahan tes HIV kepada ibu hamil adalah suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi HIV-positif tidak diwajibkan melakukan tes HIV. Akibatnya, suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Selain itu tes HIV kepada ibu hamil hanya anjuran atau opsi sehingga tidak ada kewajiban. Ini bisa saja membuat ibu-ibu hamil menolak tes HIV.
Untuk itulah diperlukan regulasi yang mempunyai kekuatan hukum, seperti peraturan daerah (Perda), agar tes HIV diwajibkan kepada ibu hamil dengan langkah pertama konseling pasangan (suami-istri). Jika istri HIV-positif, maka suami juga wajib tes HIV. Agar tidak melawan hukum dan melanggar HAM kewajiban ditujukan kepada ibu hamil yang berobat ke sarana kesehatan pemerintah.
Persoalan lain adalah jumlah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Kasus infeksi HIV baru Indonesia setiap tahun 46.000 (aidsdatahub.org). Jumlah ini menambah kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.
Untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual perlu langkah konkret berupa intervensi dengan mewajibkan laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini hanya bisa dilakukan jika transaksi seks dengan PSK dilokalisir. Celakanya, sejak reformasi semua lokalisasi pelacuran ditutup.
Itu artinya menteri kesehatan baru harus merancang mekanisme yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat. Jika tidak ada program konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS baru dan mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat, maka akan terjadi ‘ledakan AIDS’ di Indonesia. (Tagar.id, 1/12-2021). *
(10) Hari AIDS Sedunia: Kelahiran Jutaan Bayi di Indonesia Dihantui AIDS dan “Stunting”
Survei tahun 2012 menunjukkan 4,9 juta perempuan di Indonesia mempunyai suami yang jadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK). Dilaporkan 6,7 juta laki-laki jadi pelanggan PSK. Sedangkan jumlah sindrom stunting (perawakan pendek karena kegagalan pertumbuhan akibat kekurangan nutrisi) pada anak-anak Indonesia mencapai 8,9 juta. Hari ini, 1 Desember 2017, secara internasional diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia (World AIDS Day).
Sayang, di Indonesia Hari AIDS Sedunia hanya bagian dari kegiatan seremonial yang tidak bermakna karena tidak berkesinambungan. Ada yang seminar, diskusi, bagi-bagi kondom, bagi-bagi brosur dan kembang, dll. Pada saat yang sama perilaku berisiko terjadi di sembarang tempat yang menghasilkan kasus-kasus infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa.
Tanpa Gejala
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan secara nasional pada periode 1987 sd. 31 Maret 2017 mencapai 330.152 yang terdiri atas 242.699 HIV dan 87.453 AIDS. Data UNAIDS (Badan PBB khusus AIDS) menyebutkan jumlah penduduk dunia yang hidup dengan HIV/AIDS sampai tahun 2016 sebanyak 36,7 juta. Yang mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV) 20,9 juta.
Dari jumlah kasus nasional di atas kasus infeksi HIV pada bayi berusia di bawah 4 tahun 5.171 (2010-Maret 2017), sedangkan kasus AIDS pada bayi berumur < 1 tahun 307 (1987 — Maret 2017) dan pada bayi berumur 1-4 tahun 1.650 (1987 — Maret 2017).
Angka-angka di atas hanya kasus yang ditangani secara medis di fasilitas-fasilitas kesehatan pemerintah yang dilaporkan secara rutin ke Ditjen P2P, Kemenkes RI. Seperti diketahui epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul di atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi atau tersembunyi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Itu artinya banyak penduduk yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat tapi tidak terdeteksi. Hal ini terjadi karena: (a) tidak ada gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada kondisi kesehatan dan fisik orang-orang yang tertular HIV/AIDS sebelum masa AIDS (secara statistik muncul setelah tertular HIV antara 5-15 tahun), dan (b) tidak ada cara-cara yang sistematis untuk mendeteksi atau menjaring penduduk yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis retrovirus yang hidup di tubuh manusia yang bisa menggandakan diri dengan menggunakan sel-sel darah putih sebagai ‘pabrik’, yang pada akhirnya akan menyebabkan kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu sindroma kecacatan sistem kekebalan tubuh manusia dapatan bukan turunan) pada manusia yang ditandai dengan lebih dari 70 jenis penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik. Pada akhirnya infeksi-infeksi oportunistik inilah, seperti diare, TB, dll., yang menyebabkan kematian pada pengidap HIV/AIDS, disebut juga secara internasional dengan terminologi Odha (Orang dengan HIV/AIDS, dalam Bahasa Inggris disebut people living with HIV/AIDS/PLWA).
Dalam jumlah yang bisa ditularkan HIV ada dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI). Penularan HIV terjadi: (a) melalui hubungan seksual dalam ikatan pernikahan yang sah dan di luar pernikahan jika salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual, (b) menerima transfusi darah yang mengandung HIV, (c) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang bisa menyimpan darah yang mengandung HIV, dan (d) melalui ASI pada proses menyusui kepada perempuan yang mengidap HIV/AIDS.
Ketika tidak ada program yang sistematis untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat, maka penyebaran HIV/AIDS pun terjadi terus-menerus tanp di sadari oleh orang-orang yang menularkan dan yang tertular karena tidak ada tanda yang khas ketika terjadi penularan HIV. Penyebaran HIV tanpa disadari terjadi melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Yang ironis adalah banyak kalangan yang mati-matian menolak kondom tapi mengharapkan vaksin AIDS. Ini ‘kan konyol dan munafik.
Mitos AIDS
Memang, kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga tidak banyak terdeteksi tapi di beberapa daerah justru lebih banyak daripada jumlah kasus pada PSK. Ini sebenarnya hal yang wajar karena seorang PSK bisa melayani tujuh laki-laki setiap malam.
Sampai September 2014 dilaporkan ada 6.539 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap hIV/AIDS (nasional.republika.co.id, 15/1-2015). Sedangkan kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan sampai Maret 2017 pada bayi di bawah umur 1 tahun dan pada umur 1-4 tahun berjumah 7.128. Angka-angka ini menunjukkan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga ada yang tidak terdeteksi. Padahal, data menunjukkan ada 4,9 perempuan yang menikah dengan laki-laki yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Sejak reformasi ada euforia di Indonesia yaitu membuat peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang jumlahnya mencapai 98 (provinsi, kabupaten dan kota). Celakanya, perda-perda itu tidak lebih dari ‘macan kertas’ karena tidak menyasar persoalan yang mendasar kepada cara-cara pencegahan HIV/AIDS. Perda-perda AIDS itu sarat dengan retorika norma, moral dan agama sehingga mengabaikan fakta medis tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Risiko penularan HIV kepada bayi terjadi pada masa kehamilan, persalinan dan menyusui dengan ASI. Risiko di negara-negara berkembang menyentuh angka 30 persen. Artinya, dari 100 perempuan hamil yang mengidap HIV/AIDS ada 30 bayi yang lahir dengan HIV/AIDS. Tapi, jika perempuan hamil ditangani dokter pada awal kehamilan, al. dengan memberikan obat antiretroviral (ARV), risiko penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa ditekan sampai nol persen.
Persoalan besar adalah banyak ibu rumah tangga yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV dari suaminya karena mereka bukan perempuan dengan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Sementara itu banyak laki-laki, termasuk suami, yang termakan mitos (anggapan yang salah) yaitu merasa dirinya tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena: (1) mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK, (2) mereka tidak melakukan hubungan seksual di lokasi atau lokalisasi pelacuran, dan (3) sebagian melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam ikatan pernikahan.
Sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia yang ditandai dengan penemuan kasus HIV/AIDS pada turis asal Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali (1987) banyak kalangan bahkan menteri yang mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan homoseksualitas, perzinaan, dan pelacuran. Jargon-jargon moral terus membalut informasi HIV/AIDS sampai sekarang sehingga banyak orang yang lalai dan abai terkait dengan perilakunya sehingga terjadi penyangkalan (denial) dengan tiga alasan di atas.
Pada poin 1 terjadi salah paham karena mitos yang menganggap hanya PSK yang berisiko tertular HIV/AIDS. Lebih tepat lagi yang mereka sebut PSK itu adalah PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti perempuan di tempat-tempat pelacuran atau di tepi jalan raya.
1000 HPK
Padahal, ada PSK tidak langsung yaitu yang tidak kasat mata. Mereka ini bisa menyamar sebagai anak sekolah, pelajar, mahasiswi, pemijat, SPG, ibu-ibu, dan cewek gratifikasi seks (perempuan yang diumpankan terkait dengan bisnis dan kekuasaan), dll. Perilaku seksual PSK tidak langsung juga persis sama dengan PSK langsung sehingga risiko mereka tertular HIV juga sangat tinggi karena sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja terjadi salah satu laki-laki yang mereka layani secara seksual mengidap HIV/AIDS sehingga PSK tidak langsung itu pun bisa tertular HIV/AIDS.
Nasib jutaan bayi yang akan lahir di Indonesia selain berisiko lahir dengan HIV/AIDS juga ada risiko lahir dengan stunting (sindrom perawakan pendek). Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) [mca-indonesia.go.id]. Sedangkan angka kelahiran setiap tahun di Indonesia menunjukkan angka 4,9 juta (kompas.com, 8/6-2015). Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, mengatakan dalam tiga tahun terakhir ada 37,2 persen atau sekitar 9 juta anak di Indonesia mengalami stunting (nasional.tempo.co, 12/7-2017).
Itu artinya beban bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV/AIDS akan lebih menderita lagi selain lahir dengan HIV/AIDS juga berisiko lahir dengan sindrom stunting. Risiko tertular HIV terjadi pada masa kehamilan, persalinan dan menyusui. Sedangkan risiko lahir dengan stunting sangat tergantung pada masa kehamilan dan bayi sampai usia dua tahun yang disebut sebagai 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK).
Risiko penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya dan resiko lahir dengan sindrom stunting bisa dicegah.
Sayangnya, dalam 98 Perda AIDS tak satupun ada pasal yang bisa dipakai untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ‘tersembunyi’ di masyarakat. Maka, tidak diperlukan perda dengan puluhan pasal yang mengambang, tapi cukup satu atau dua pasal yang konkret dan secara faktual bisa mendeteksi kasus-kasus HIV/AIDS yang tersembunyi di masyarakat.
Caranya?
Ya, ada peraturan yang mewajibkan suami menjalani konseling HIV/AIDS ketika istrinya hamil. Kalau hasil konseling mengarah ke perilaku seksual suami yang berisiko tertular HIV, maka suami wajib tes HIV yang diikuti oleh istri. Langkah ini bermakna banyak.
Pertama, akan memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal yaitu mengendalikan perilaku suami agar tidak menularkan HIV ke perempuan lain.
Kedua, mencegah penularan HIV secara vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Ketiga, menangani suami dan istri secara medis agar tetap hidup produktif, al. dengan memberikan obat ARV dan pendampingan.
Sedangkan untuk mengatasi sindrom stunting adalah dengan memberikan nutrisi pada 1000 HPK melalui layanan kesehatan di Posyandu dan Puskesmas. Hanya saja perlu diperhatian peringatan dari Dr dr Damayanti Rusli Sjarif, SpA (K)-Dokter Spesialis Anak-RSCM/FKUI, bahwa untuk menentukan apakah seorang bayi mengalami sindrom stunting atau tidak perlu diagnosis dokter ahli, dalam hal ini spesialis anak. Hal ini disampaikan Dr Damayanti pada pembekalan 20 blogger (peserta “Danone Blogger Academy” bersama Kompasiana di Kantor Danone Indonesia, Gedung Cyber 2, Kuningan, Jakarta Selatan, 3/11-2017).
Jangka pendek stunting menyebabkan perkembangan otak, fisik dan organ metabolik pada 1000 HPK tidak optimal, sedangkan jangka panjang stunting menyebabkan penurunan kemampuan kognitif dan pendidikan, tubuh pendek, serta berbagai penyakit degeneratif (Danone Manifesto). Jika bayi lahir dengan stunting sekaligus infeksi HIV itu artinya penderitaan seumur hidup.
Maka, sudah saatnya pelayanan di Posyandu dan Puskesmas tidak lagi mementingkan laporan angka kunjungan, tapi diagnosis terkait dengan tinggi dan berat badan bayi sampai berumur dua tahun serta kondisi kesehatan ibu hamil, al. konseling HIV/AIDS. (Kompasiana, 1 Desember 2017). *
Bagian II – Mitos dalam Berita HIV/AIDS
(11) Kerentanan Tertular HIV/AIDS Karena Perilaku Seksual yang Berisiko
Seseorang rentan tertular HIV/AIDS karena perilaku seksualnya yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS bukan karena berada pada rentang usia muda
Awas! Anak Muda Lebih Rentan Kena HIV AIDS, Ini Penyebabnya. Ini judul berita di cnbcindonesia.com (29/8-2022).
Judul berita ini termasuk misleading (menyesatkan) karena tidak ada kaitan antara usia dan penularan HIV/AIDS baik melalui hubungan seksual penetrasi (vaginal, anal dan oral) maupun melalui perilaku nonseksual.
Di lead berita itu disebutkan pula: Penyakit HIV dan AIDS di Indonesia banyak menyerang kelompok usia produktif. Faktanya, anak muda memang lebih rentan terkena penyakit mematikan tersebut.
Ada beberapa hal yang ngawur di lead berita ini, yaitu:
Pertama, HIV dan AIDS bukan penyakit. HIV adalah virus yang tergolong retrovirus yaitu virus yang menggandakan diri di sel darah putih manusia.
Sedangkan AIDS adalah kondisi seseorang yang mengidap HIV/AIDS di masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART).
Penyebutan AIDS sebagai penyakit pun hanya sebatas terminologi karena AIDS bukan penyakit, tapi kondisi yang mengacu ke sindroma sekumpulan gejala penyakit pada seseorang yang tertular HIV/AIDS (Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000, hlm. 16).
Kedua, sebagai virus HIV tidak menyerang. Buktinya, ketika HIV masuk ke tubuh manusia sistem pertahanan atau kekebalan tubuh tidak melakukan perlawanan seperti yang terjadi pada bakteri, kuman atau virus lain jika masuk ke tubuh akan mendapat perlawanan.
Ketiga, soal usia produktif (20 — 49 tahun). Adalah hal yang realistis secara empiris jika kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan usia itu karena pada rentang usia itu libido (hasrat atau dorongan seksual) sangat tinggi. Celakanya, libido tidak bisa diganti (disubstitusi) dengan kegiatan lain selain hubungan seksual penetrasi atau ‘swalayan’ (onani pada laki-laki dan masturbasi pada perempuan).
Disebutkan: Faktanya, anak muda memang lebih rentan terkena penyakit mematikan tersebut.
Yang membuat kalimat ini jelas ngawur karena tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis karena pengetahuannya hanya sebatas mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Ada kutipan pernyataan Ketua Pusat Kesehatan Reproduksi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof dr Siswanto Agus Wilopo, yang mengatakan perilaku seks berisiko masih menjadi salah satu faktor terbesar penularan HIV. Penularan HIV kebanyakan terjadi karena masih kurangnya pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi.
Yang lebih tepat pengetahuan remaja dan kalangan usia produktif bukan kurang, tapi mereka terperangkap atau termakan mitos AIDS yang terus dikumandangkan banyak kalangan yang memakai ‘baju moral’ ketika bicara soal HIV/AIDS.
Salah satu mitos yang selalu jadi ‘buah bibir’ orang-orang yang memakai ‘baju moral’ ketika bicara seksualitas, dalam hal ini HIV/AIDS, adalah penyebutan ‘seks bebas’ yang tidak jelas juntrungannya alias ngawur bin ngaco.
Sampai detik ini tidak ada yang bisa memberikan penjelasan tentang arti yang sebenarnya dari ‘seks bebas.’ Tapi, kalau diperhatikan ternyata ‘seks bebas’ itu mengacu ke melakukan zina (hubungan seksual) dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.
Nah, inilah salah satu biang keladi yang menjerumuskan banyak orang ke jurang HIV/AIDS karena orang kemudian beranggapan bahwa ‘seks bebas’ yang disebut penyebab HIV/AIDS adalah kalau zina dengan PSK.
Maka, mereka melakukan zina dengan PSK tidak langsung, seperti cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, dan cewek prostitusi online.Mereka melakukannya tidak di lokalisasi pelacuran tapi di rumah kontrakan, di rumah kos, penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang atau apartemen.
Lagi pula kalau benar ‘seks bebas’ penyebab HIV/AIDS, maka semua orang yang pernah melakukan ‘seks bebas’ sudah tertular HIV/AIDS. Faktanya, tidak!
Ini juga dalam berita: “Masalahnya pada remaja ini mereka belum paham betul, katanya kalau baru sekali (berhubungan seksual) nggak bakal tertular,” ujar Prof Siswanto.
Memang, secara teoritis risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah tanpa kondom dengan pengidap HIV/AIDS adalah 1:100.
Masalahnya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual yang keberapa penularan HIV/AIDS terjadi. Bisa yang pertama, kedua, ketujuh, kedua puluh, kesembilan puluh atau yang keseratus.
Itu artinya setiap hubungan seksual yang berisiko di dalam dan di luar nikah tanpa kondom, yaitu dilakukan dengan yang tidak diketahui status HIV-nya atau dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan PSK langsung/PSK tidak langsung ada risiko tertular HIV/AIDS.
Selama materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS tetap dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama, maka selama itu pula fakta medis tentang HIV/AIDS tenggelam. Yang sampai ke masyarakat hanya mitos.
Maka, sosialisasi HIV/AIDS dengan materi KIE yang bermuatan mitos hanyalah kegiatan yang menggantang asap. Sia-sia. Jadi, kalau kemudian kasus baru HIV/AIDS terus terdeteksi merupakan akibat mitos yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’ di Indonesia yang bisa berujung sebagai ‘afrika kedua.’ (Kompasiana, 30 Agustus 2022). *
(12) Ratusan Mahasiswa Bandung yang Tertular HIV/AIDS kaena Terperangkap Mitos
Mengapa dan bagaimana bisa terjadi ratusan mahasiswa di Kota Bandung tertular HIV/AIDS, kemungkinan besar karena termakan jargon ‘seks bebas’ yang menyesatkan
Berita tentang ratusan mahasiswa dan ibu rumah tangga di Kota Bandung, Jawa Barat (Jabar), tertular HIV/AIDS jadi santapan media massa dan media online. Sayang, lebih banyak yang mengumbar sensasi daripada memberikan pencerahan.
Fakta itu bukan fenomena, tapi realitas sosial yang merupakan kondisi yang realistis karena hal itu disebabkan oleh beberapa faktor yang selama ini terus-menerus dipupuk, terutama oleh kalangan yang memakai baju moral.
Banyak kalangan yang tidak mau beranjak dari kondisi awal informasi HIV/AIDS ketika ditemukan pertama kali di Los Angeles, California, Amerika Serikat (AS) tahun 1981 yang dipublikasikan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention) AS melalui Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR), 5 Juni 1981.
Ketika itu ditemukan kasus AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome — sindrom cacat kekebalan tubuh dapatan), sebuah kondisi pada sistem kekebalan seseorang yang rendah karena infeksi, pada kalangan laki-laki gay. Mereka didiagnosis dengan infeksi paru-paru yang tidak biasa yang dikenal sebagai Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).
Bertolak dari fakta itu banyak kalangan kemudian yang mengaitkan AIDS dengan perilaku seksual, dalam hal ini homoseksual (ketertarikan secara seksual dengan sejenis, yaitu gay pada laki-laki dan lesbian pada perempuan).
Padahal, pada waktu yang hampir bersamaan dengan penemuan di Los Angeles, di pantai timur AS juga terdeteksi AIDS di kalangan gay dan pekerja seks komersial (PSK). Tapi, ini tidak di-blow up media massa sehingga yang terus-menerus terjadi hanya pengaitan AIDS dengan homoseksualitas.
Selanjutnya, ketika dua pakar (Prancis dan AS) menemukan virus penyebab AIDS yang kemudian disahkan Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) tahun 1986 sebagai HIV (Human Immunodeficiency Virus — virus jenis retrovirus yang bisa menggandakan diri di sel darah putih manusia), sebenarnya sudah terkuak bahwa persoalan AIDS sama sekali tidak terkait dengan homoseksual.
Penyebutan AIDS sebagai penyakit pun hanya sebatas terminologi karena AIDS bukan penyakit, tapi kondisi yang mengacu ke sindroma sekumpulan gejala penyakit pada seseorang yang tertular HIV/AIDS (Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000, hlm. 16).
Dalam jumlah yang bisa ditularkan virus tersebut (HIV) terdapat di darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI).
Penularan HIV melalui darah bisa terjadi lewat transfusi darah yang tidak diskrining HIV. Itulah sebabnya ada syarat darah yang akan ditransfusi terlebih dahulu harus diskrining atau dilakukan tes terkait HIV. Selain itu bisa pula melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang bisa menyimpan darah, seperti jarum suntik.
Sedangkan penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina terjadi pada saat hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, anal dan oral), di dalam dan di luar nikah, antara seseorang yang mengidap HIV/AIDS dengan pasangannya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom (seks vaginal dan oral) serta yang menganal tidak pakai kondom pada seks anal.
Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Bertolak dari cara-cara penularan HIV/AIDS itu kemudian ditemukan cara-cara untuk mencegahnya, dalam hal ini melalui hubungan seksual.
Yang jelas jangan melakukan hubungan seksual dengan yang mengidap HIV/AIDS dengan kondisi penis bersentuhan langsung dengan vagina (permukaan, dinding dan cairan), anal dan mulut.
Persoalanya adalah secara fisik tidak bisa dikenali orang-orang yang mengidap HIV/AIDS karena tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka.
Seseorang disebut mengidap HIV/AIDS hanya bisa diketahui melalui tes HIV sesuai dengan standar operasi tes HIV yang baku. Tes pertama dengan reagen ELISA selanjutnya dikonfirmasi dengan tes Western Blot. Tapi, belakangan WHO memberikan teknik tes HIV tanpa harus dikonfirmasi.
Maka, setiap hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya merupakan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, apalagi di daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi, seperti di kalangan PSK.
Yang perlu diingat PSK ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan. Tapi, sejak reformasi ada gerakan moral menutup semua lokalisasi di Indonesia sehingga lokalisasi pelacuran pun pindah ke media sosial. Transaksi seks pun dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekusinya dilakukan sembarang waktu dan di sembarang tempat. PSK langsung pun akhirnya ‘ganti baju’ jadi PSK tidak langsung.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, pemandu lagu, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, dan cewek PSK online. Transaksi seks terjadi melalui berbagai cara, antara lain melalui ponsel.
Itu artinya sekarang praktek pelacuran tidak bisa dijangkau karena ada di ranah privat. Di beberapa negara penjangkauan ke lokalisasi pelacuran bisa menurunkan insiden infeksi HIV melalui program kewajiban laki-laki memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual.
Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Informasi HIV/AIDS yang akurat dengan pijakan fakta medis terus disosialisasikan, celakanya di Indonesia komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS. Yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengaitkan ‘seks bebas’ sebagai penyebab HIV/AIDS. Ini salah satu kekeliruan besar dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas.’
Ujung-ujungnya ‘seks bebas’ dimaksudkan sebagai hubungan seksual dengan PSK di lokasi, tempat atau lokalisasi pelacuran. Ini yang membuat celaka banyak orang, termasuk ratusan mahasiswa di Bandung.
Apalagi sekarang tidak ada lokalisasi pelacuran sehingga PSK yang ada adalah PSK tidak langsung yang dalam anggapan setengah orang melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak langsung bukan ‘seks bebas.’
Bisa jadi mahasiswa Bandung yang tertular HIV/AIDS melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak langsung di kamar kos, penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang atau apartemen.
Mereka berpijak pada anggapan bahwa melakukan hubungan seksual bukan dengan PSK di luar lokalisasi pelacuran tidak ada risiko tertular HIV/AIDS. Maka, hubungan seksual pun dilakukan di kamar kos, penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang atau apartemen bukan ‘seks bebas’ sehingga tidak ada risiko penularan HIV/AIDS.
Ilustrasi: Situs https://hivaids-pimsindonesia.or.id/download (Dok Syaiful W. Harahap/Repro)
Celakanya, Kemenkes sendiri, seperti di situs https://hivaids-pimsindonesia.or.id/download, mempromosikan PENCEGAHAN PENULARAN HIV dengan ABCDE yaitu A — ABSTINENCE — Hindari Seks Bebas.
Maka, sudah saatnya semua kalangan, terutama pemerintah, menyampaikan KIE sesuai dengan fakta medis, seperti menghapus istilah ‘seks bebas’ untuk diganti dengan hubungan seksual berisiko, yaitu dilakukan, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Selama materi KIE dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama serta menyuarakan ‘seks bebas,’ maka selama itu pula yang sampai ke masyarakat hanya mitos. Itu artinya insiden penularan HIV baru akan terus terjadi yang kelak membawa Indonesia ke ‘afrika kedua’ dalam hal kasus HIV/AIDS. (Kompasiana, 27 Agustus 2022). *
(13) ‘Seks Bebas’ Jargon Moral yang Menyesatkan dan Menyudutkan Remaja
Tidak jelas siapa yang memulai memakai jargon ‘seks bebas’ sebagai padanan dari free sex. Pengaitan ‘seks bebas’ dengan penularan HIV mengaburkan cara-cara penularan. Istilah ‘seks bebas’ menohok remaja dan menguntungkan kalangan dewasa. Penggunaan ‘seks bebas’ sebagai istilah yang meredam makna kata.
Dalam kosa kata Bahasa Inggris tidak dikenal terminologi free sex. Tidak ada laman free sex di kamus bahasa Inggris. Yang ada adalah free love yaitu hubungan seksual tanpa ikatan nikah (The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, 1963).
Celakanya, ‘seks bebas’ menjadi jargon yang tidak jelas juntrungannya karena menyesatkan. Rancu dan ngawur. Soalnya, ‘seks bebas’ hanya dikaitkan dengan zina, terutama pada kalangan remaja. Ini mengesankan bahwa zina di kalangan dewasa, termasuk yang terikat dalam pernikahan, tidak termasuk ‘seks bebas’.
Banyak hal yang terkait dengan seks selalu ditimpakan kepada remaja. Ini membuat masalah seks di kalangan dewasa tidak menjadi masalah. Padahal, tidak sedikit kasus perceraian karena terkait dengan seks, seperti perselingkuhan, tertangkap basah, dll.
Bahkan, data KPAN menunjukkan 1.970 istri tertular HIV dari suaminya. Laki-laki yang menjadi suami ini tentulah laki-laki dewasa. Mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan lain. Tapi, lagi-lagi pejabat, pemuka agama dan tokoh masyarakat serta wartawan sama sekali tidak mengaitkan zina, ‘jajan’, selingkuh, dll. di kalangan dewasa sebagai ‘seks bebas’.
Misalnya, terkait dengan kasus HIV/AIDS di kalangan ibu-ibu rumah tangga nyaris tidak ada komentar yang mengatakan bahwa suami ibu-ibu rumah tangga itu melakukan ‘seks bebas’. Agaknya, ini terjadi karena kalangan dewasa ingin menutupi ‘kebejatan’ mereka dengan cara tidak mengaitkan perilaku seks di luar nikah sebagai ‘seks bebas’.
Di Wikipedia bahasa Indonesia ‘seks bebas’ dapat merujuk pada: seks di luar nikah dan hubungan seksual melalui prostitusi. Tapi, melacur yang disebut ‘seks bebas’ hanya yang dilakuan remaja, sedangkan zina, dalam bentuk melacur, ‘jajan’ dan perselingkuhan di kalangan dewasa tidak dianggap sebagai ‘seks bebas’.
Banyak judul berita yang selalu mengaitkan ‘seks bebas’ dengan penularan HIV. Ini yang menyesatkan karena tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan penularan HIV. Soalnya, penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya tidak mengidap HIV (HIV-negatif) maka tidak ada risiko penularan HIV melalui hubungan seksual biar pun tanpa kondom dan dilakukan di luar nikah dalam bentuk zina, melacur, ‘seks bebas’, seks pranikah, seks anal dan seks oral.
Simak judul berita ini:
- Virus mematikan HIV/AIDS, yang di antaranya disebabkan oleh pergaulan bebas dan narkoba (www.jambiekspres.co.id, 8/2-2011)
- Seks bebas Picu ‘Raja Singa’ (inilah.com, 31/1-2011)
- Imbas Seks Bebas, 943 Warga Kediri Kena Raja Singa (inilah.com, 30/1-2011)
- Kick Andy: Ancaman Seks Bebas di Kalangan Remaja (METRO TV, 4/1-2011)
- Pemerhati: Remaja Rentan Seks Bebas Dan Narkoba (www.antaranews.com, 17/10-2010)
- …. perilaku seks bebas yang mulai terbuka di lingkungan pemuda (Solopos, 24/1-2011)
Beberapa judul berita itu menunjukkan penggunaan istilah ‘seks bebas’ yang membabibuta, sehingga mengaburkan makna. Yang menyesatkan adalah ‘seks bebas’ selalu dikaitkan dengan penularan HIV dan remaja.
Ada kesan penggunaan istilah ‘seks bebas’ justru merupakan eufemisme yang meredam makna hakiki dari zina, khususnya untuk kalangan dewasa.
Selama informasi tentang risiko penularan HIV hanya dikait-kaitkan dengan ‘seks bebas’ maka selama itu pula banyak orang, khususnya remaja, tidak memahami HIV/AIDS secara komprehensif. Di Gambar 1 dapat dilihat kerancuan selama ini karena hanya mengaitkan ‘seks bebas’ dan ‘pergaulan bebas’ dengan penularan HIV.
Kalau ‘seks bebas’ dan ‘pergaulan bebas’ dikategorikan sebagai penyebab HIV/AIDS, maka semua kegiatan seks di luar nikah juga berisiko tertular HIV. Maka, informasi tentang risiko penularan HIV yang komprehensif adalah menyebutkan semua perilaku seksual di luar nikah.
Kalangan laki-laki dewasa, terutama suami, pun menepuk dada karena mereka tidak disebut sebagai ‘pelaku seks’ bebas jika melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain.
Sudah saatnya penggunaan kata tidak direduksi untuk kepentingan politis, norma, moral dan agama. Kata akan lebih bermakna jika disebut secara eksplisit: melacur (dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung), hubungan seksual pranikah, hubungan seksual dengan perempuan selain istri (dalam berbagai bentuk, seperti selingkuh, pergundikan, dll.), pergundikan (istri tidak resmi; selir; perempuan piaraan, bini gelap), ‘kumpul kebo’, dll.
Pemakaian ‘seks bebas’ terkait dengan penularan HIV menyesatkan karena banyak orang yang merasa tidak melakukan ‘seks bebas’, seperti pelaku perselingkuhan, pergundikan, ‘kumpul kebo’, dll.
Yang lebih celaka adalah banyak laki-laki dewasa ‘hidung belang’ yang menganggap dirinya tidak berisiko tertular HIV ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK, karena: (a) tidak termasuk ‘seks bebas’, dan (b) tidak berganti-ganti pasangan karena biasanya mereka mempunyai ‘pasangan tetap’. (Kompasiana, 2 Maret 2011). *
(14) Mengapa Sebaiknya Kemenkes Tidak Lagi Menggunakan “Seks Bebas” terkait Penularan HIV/AIDS
‘Seks bebas’ yang merupakan jargon moral dengan makna yang tidak jelas selalu dipakai dalam KIE tentang HIV/AIDS
Tampilan situs https://hivaids-pimsindonesia.or.id/download sangat mencolok dengan warna merah. Tapi, begitu mata melihat ke pojok kanan atas ada tulisan: PENCEGAHAN PENULARAN HIV Dengan ABCDE. A = ABSTINENCE disebutkan Hindari Seks Bebas
Ini benar-benar di luar akal sehat karena situs resmi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) justru mengumbar mitos (anggapan yang salah).
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’ karena istilah ini muncul di awal tahun 1970-an yang dikaitkan dengan gaya hidup kaum hippies.
Mereka ini hidup bebas, termasuk seks yang disebut ‘free sex’ yang kemudian secara harfiah diterjemahkan jadi ‘seks bebas.’
Padahal, di kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada entri ‘free sex’. Yang ada adalah ‘free love’ yaitu hubungan seksual tanpa ikatan nikah (The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, 1963).
Jika yang dimaksud situs ini ‘seks bebas’ adalah hubungan seksual di luar nikah, seperti seks pranikah, zina, di luar nikah, melacur, homoseksual dan perselingkuhan, maka itu menyesatkan jika dikaitkan dengan penularan HIV/AIDS.
Soalnya, risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (sek bebas, seks pranikah, di luar nikah, zina, melacur, homoseksual dan perselingkuhan, dll.), melainkan karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (Lihat matrik).
Ilustrasi: Matriks sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan penularan HIV/AIDS (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Jika hubungn seksual dikaitkan dengan penularan HIV/AIDS, maka yang tepat dan objektif bukan ‘seks bebas’ melainkan seks yang tidak aman, yaitu hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti, dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya, atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan seperti pekerja seks komersial (PSK) dan gigolo.
Celakanya, ‘seks bebas’ ini dijadikan ‘senjata moral’ untuk menutup perilaku seksual kalangan dewasa, terutama laki-laki beristri, yang justru banyak melakukan zina dengan PSK serta perselingkuhan. Ketika masih ada lokalisasi pelacuran laki-laki dewasa paling banyak dijumpai jika dibandingkan dengan remaja.
Jargon moral ‘seks bebas’ hanya dikaitkan dengan remaja dan laki-laki dewasa yang belum menikah, sementara zina dan perselingkuhan yang dilakukan laki-laki beristri tidak disebut ‘seks bebas.’ Maka, pemakaian jargon ‘seks bebas’ menyesatkan.
Secara objektif perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV, yaitu:
Pertama, laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi suami tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
Kedua, laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
Ketiga, laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK), dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja PSK tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
Keempat, laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual dengan Waria denan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja Waria tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
Kelima, perempuan dewasa melakukan hubungan seksual gigolo dengan kondisi gigolo tidak pakai kondom, karena bisa saja gigolo tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.
Jika jargon-jargon moral yang mengandung mitos tetap dijadikan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS, maka masyarakat tidak akan pernah memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian kasus baru HIV/AIDS terus terjadi yang pada gilirannya jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. (Kompasiana, 17 Mei 2022). *
(15) Tertular HIV karena Termakan Mitos “Cewek Bukan PSK”
Akhir-akhir ini media massa dan media online diramaikan dengan berita tentang mitos (anggapan yang salah) dan hoax (berita bohong) terkait HIV/AIDS. Sayang, 10 mitos atau hoax yang diumbar itu sama sekali tidak terkait dengan insiden infeksi HIV baru di hulu melalui hubungan seksual yang berisiko.
Kegiatan-kegiatan terkait dengan hoax atau mitos AIDS tsb. sangat kecil jika dibandingkan dengan perilaku seksual berisiko yang terjadi setiap saat di berbagai tempat dengan berbagai macam modus.
Celakanya, perilaku-perilaku berisiko tsb. dianggap tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia informasi terkait cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dibalut dengan nora, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos.
Misalnya, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual selalu dikaitkan dengan zina, seks pranikah, seks di luar nikah, perselingkuhan, seks menyimpang, dan pelacuran. Ini semua merupakan sifat hubungan seksual.
Mitosnya kian parah karena penularan HIV/AIDS melalui pelacuran dikaitkan dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dll.
Akibatnya, banyak laki-laki yang merasa dirinya tidak berisiko tertular HIV karena: (a) tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung, dan (b) hubungan seksual tidak dilakukan di lokasi atau lokalisasi pelacuran.
Seperti yang disampaikan oleh seorang pejabat tinggi di sebuah kabupaten di Indonesia bagian Timur melalui surat untuk sebuah rubrik “Konsultasi HIV/AIDS” di sebuah koran di Sulsel awal tahun 2000-an: “Bang, saya seks dengan cewek cantik dan mulus di hotel berbintang di Surabaya dan Jakarta. Tentu saya tidak punya risiko tertular HIV/AIDS.”
Waktu itu penulis menganjurkan agar pejabat itu menjalani tes HIV karena dia seks dengan perempuan yang sering gonta-ganti pasangan yang sama saja dengan seorang PSK. Tapi, dengan tegas dia menolak karena tidak hubungan seksual yang dia lakukan tidak berisiko. Belakangan saya dengar kabar dari seorang teman konselor AIDS di sana pejabat tadi berobat rutin ke sebuah rumah sakit rujukan di ibu kota provinsi dengan catatan penyakit infeksi.
‘Cewek cantik dan mulus atau ‘cewek bukan PSK langsung’ yang disebut pejabat tadi dikenal sebagai PSK tidak langsung yaitu cewek yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari sekian banyak laki-laki yang pernah seks dengan dia, terutama jika laki-laki tidak memakai kondom, mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.
Inilah salah satu mitos yang sangat kuat di masyarakat karena disuarakan oleh pejabat (tinggi), sebagian pakar, bahkan pakar medis, toga (tokoh agama) dan toma (tokoh masyarakat) serta aktivis AIDS.
PSK tidak langsung adalah perempuan atau cewek yang sifatnya seperti PSK tapi tidak kasat mata dan tidak mangkal di satu tempat yaitu cewek atau perempuan yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual dengan ‘cewek bukan PSK langsung’ jadi motor pendorong penyebaran HIV di masyarakat, terutama pada laki-laki beristri yang menularkan HIV/AIDS ke istri atau pasangan seks lain (horizontal). Jika istri atau pasangan seksnya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang mereka kandung kelak (vertikal).
Hal itu terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang tertular HIV sebelum masa AIDS, secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Yang perlu diperhatikan adalah pada rentang waktu antara tertular HIV sampai masa AIDS bahkan sampai meninggal dunia biar pun orang-orang yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV secara diam-diam bagikan ‘silent disaster’ (bencana terselubung) yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’.
Celakanya, pemerintah (Pusat) tidak bisa berbuat banyak terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS karena di era Otonomi Daerah (Otda) kebijakan, dalam hal ini penanggulangan HIV/AIDS, ada di pemerintah daerah. Setiap daerah mempunyai aturan main sendiri-sendiri yang tidak terkoneksi secara nasional. (Kompasiana, 23 Agustus 2013). *
(16) Seks Bebas Bukan Penyebab HIV/AIDS
Seks bebas adalah istilah yang rancu, tapi kalau diartikan sebagai zina maka sama sekali bukan penyebab penularan HIV/AIDS
“Seks Bebas Jadi Faktor Utama Penularan HIV/AIDS” Ini judul berita di mediaindonesia.com, 1/12-2020. Judul berita ini benar-benar tidak mencerdaskan karena pernyataan dalam judul berita ini justru menyesatkan.
Apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’? Dalam berita tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’. Jika ‘seks bebas’ yang dimaksud dalam berita ini adalah zina (sifat hubungan seksual), maka pernyataan di judul berita ini benar-benar menyesatkan karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual, dalam hal ini ‘seks bebas’.
Risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah, jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.
Dalam berita disebutkan: SEKS bebas masih merupakan faktor utama risiko penularan HIV/AIDS. Tapi, lagi-lagi tidak ada penjelasan tentang apa itu ‘seks bebas’.
Yang ada pernyataan ini: Beberapa pasien yang pernah dia [Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam-pen.] tangani merupakan anak muda yang mendapat HIV/AIDS karena setiap minggu mencari hiburan dengan pergi ke tempat-tempat yang menyediakan wanita untuk dikencani. Selanjutnya ada seorang bapak yang sudah beristri didapat karena setiap dinas ke luar kota menyempatkan untuk pijat dan mendapatkan pelayanan plus-plus.
Di mana unsur ‘seks bebas’-nya? Jika menyimak pernyataan di atas, maka yang dimaksud ‘seks bebas’ itu adalah zina.
Pertanyaannya: Apakah zina otomatis menularkan HIV/AIDS?
Kalau benar penularan HIV/AIDS karena zina (baca: seks bebas) tentulah sudah banyak warga Indonesia dan dunia yang tertular HIV/AIDS karena setiap orang yang pernah zina otomatis tertular HIV/AIDS.
Tapi, faktanya jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai tanggal 30 Juni 2021 sebanyak 560.903 (Ditjen P2P, Kemenkes RI, 30 September 2021), dan dunia 37,7 juta sampai akhir tahun 2021. Sementara jumlah penduduk Indonesia 275 juta dan dunia 7,8 miliar.
Padahal, jumlah warga Indonesia dan dunia yang melakukan ‘seks bebas’ banyak. Studi menunjukkan sampai akhir tahun 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) (bali.antaranews.com, 9/4-2013). Praktek pelacuran di banyak negara juga menunjukkan tingkat ‘seks bebas’ yang tinggi.
Maka, amatlah gegabah redaksi media online ini membuat judul berita “Seks Bebas Jadi Faktor Utama Penularan HIV/AIDS” karena penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual, tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual (lihat matriks).
Ilustrasi: Matriks sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan penularan HIV/AIDS (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Ada pula pernyataan: Selain itu semakin banyak orang yang tidak menyadari kalau dia terpapar virus yang menyerang kekebalan tubuh ini.
Hal itu terjadi karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS tidak akurat karena dibumbui dengan norma, moral dan agama. Selain itu penyebutan ciri-ciri orang yang tertular HIV/AIDS pun tidak akurat karena tidak menyebutkan prakondisi yang menyebabkan tertular HIV/AIDS.
Akibatnya, banyak orang dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS tidak menyadari sudah tertular HIV/AIDS karena ciri-ciri yang diumbar media massa dan media online tidak ada pada dirinya.
Padahal, tanpa ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang terkait dengan HIV/AIDS bisa saja seseorang mengidap HIV/AIDS jika pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Misalnya, pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering gonta-ganti pasangan seks, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan gigolo.
Sudah saatnya media massa dan media online lebih arif dan bijaksana dalam menulis berita dan artikel tentang ciri-ciri HIV/AIDS karena bisa menyesatkan.
Disebutkan pula: Dengan semakin banyak kasus HIV di tengah masyarakat mestinya kemampuan dokter untuk mendeteksi kasus ini meningkat.
Dengan mengetahui riwayat perilaku seksual pun sudah merupakan langkah untuk diagnosis. Jika pasien yang berobat mempunyai riwayat perilaku seksual dan kegiatan lain yang berisiko tertular HIV/AIDS, maka bisa dianjurkan agar pasien itu menjalani tes HIV secara sukarela.
Sebaliknya, biar pun ada gejala-gejala terkait dengan infeksi HIV/AIDS, tapi pasien tersebut tidak mempunyai riwayat perilaku seksual dan kegiatan lain yang berisiko tertular HIV, maka gejala-gejala itu sama sekali tidak terkait dengan infeksi HIV/AIDS. (Kompasiana, 6 Mei 2022). *
(17) Risiko Penularan HIV/AIDS Bukan karena Sifat Hubungan Seksual
“Ada dua perilaku berisiko yang paling harus dihindari: penggunaan narkotika, jenis apapun. Kedua, aktivitas seksual di luar nikah. Itu yang paling prioritas,” kata Arif Rahman, volunteer senior dari YAI. Ini ada dalam berita “Pengidap HIV/AIDS Kebanyakan Cowok. Yuk, Tangani Bersama, Bro” (hai-online.com, 17/11-2016).
Duh, ‘hari gini’ masih saja ada volunteer dan wartawan yang pengetahuan dan pemahamannya terhadap HIV/AIDS ada di titik nadir. Dari pernyataan di atas ada beberapa hal yang menyesatkan, yaitu:
Pertama, disebutkan “ …. perilaku berisiko yang paling harus dihindari: penggunaan narkotika, jenis apapun.” Ini jelas ngawur karena risiko penularan HIV melalui (penyalahgunaan) narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) jika narkoba tsb. dipakai dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran memakai jarum suntik dan tabungnya.
Ini berisiko karena kalau salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS, maka yang lain berisiko tertular HIV karena dalam darah di jarum suntik ada HIV. Kalau menyuntik narkoba dengan jarum dan tabung yang steril tidak ada risiko penularan HIV. Narkoba yang dihisap, ditelan dan dihirup tidak ada risiko penularan HIV karena alat-alat yang dipakai tidak bisa menyimpan darah.
Kedua, disebutkan “ …. perilaku berisiko yang paling harus dihindari: “ …. aktivitas seksual di luar nikah.” Ini benar-benar pernyataan yang menyesatkan karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, selingkuh, dll.) tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual).
Media massa (media cetak, elektronik dan online) berperan dalam penanggulangan HIV/AIDS, tapi kalau informasi yang disampaikan ke masyarakat tidak akurat, maka berita tsb. justru
Wartawan yang menulis berita ini jelas tidak memahami epidemi HIV/AIDS dengan benar. Turis Belanda itu hanya dua bulan di Bali. Lagi pula HIV tidak bisa disebarkan karena cara-cara penularannya yang sangat khas sehingga epidemi HIV/AIDS bukan wabah. Turis itu tiba Maret 1987 dan meninggal April 1987. Pada tahun 1988 ada warga negara Indonesia asli yang meninggal karena penyakit terkait AIDS. Jika dirunut maka WNI ini sudah tertular HIV jauh sebelum turis bule itu masuk ke Bali.
Sebelum tahun itu pun sudah ada beberapa pasien di rumah sakit di Jakarta yang terindikasi mengidap penyakit yang terkait dengan AIDS (ARC-AIDS related complex). Ini menunjukkan jauh sebelum turis Belanda itu masuk ke Bali sudah ada kasus HIV/AIDS di beberapa kota di Indonesia.
Pelatihan cara menulis berita dan reportase HIV/AIDS yang bertumpu pada ‘jurnalisme empati’ yang sekarang dikmbangkan jadi ‘jurnalisme harapan’ beberapa tahun belakangan sangat jarang karena tidak ada lagi donor yang bersedia menggelontorkan dana untuk program pelatihan wartawan. Dulu ada Ford Foundation yang menyokong program jurnalisme empati di LP3Y Yogyakarta, lalu ada dana AusAID yang dijalankan HCPI yang terbatas di beberapa provinsi.
Pengalaman Thailand menunjukkan salah satu kunci keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS di Negeri Gajah Putih itu adalah peranan media massa yang secara simultan memberitakan HIV/AIDS bersamaan dengan program pemerintah dengan skala nasional. Ini bertolak belakang dengan Indonesia, maka Indonesia tinggal menunggu waktu saja sampai terjadi ‘ledakan AIDS’. (Kompasiana, 21 November 2016). *
(18) Tertular HIV karena Termakan Mitos “Cewek Bukan PSK”
Akhir-akhir ini media massa dan media online diramaikan dengan berita tentang mitos (anggapan yang salah) dan hoax (berita bohong) terkait HIV/AIDS. Sayang, 10 mitos atau hoax yang diumbar itu sama sekali tidak terkait dengan insiden infeksi HIV baru di hulu melalui hubungan seksual yang berisiko.
Kegiatan-kegiatan terkait dengan hoax atau mitos AIDS tsb. sangat kecil jika dibandingkan dengan perilaku seksual berisiko yang terjadi setiap saat di berbagai tempat dengan berbagai macam modus.
Celakanya, perilaku-perilaku berisiko tsb. dianggap tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia informasi terkait cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos.
Misalnya, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual selalu dikaitkan dengan zina, sek pranikah, seks di luar nikah, perselingkuhan, seks menyimpang, dan pelacuran. Ini semua merupakan sifat hubungan seksual.
Mitosnya kian parah karena penularan HIV/AIDS melalui pelacuran dikaitkan dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dll.
Akibatnya, banyak laki-laki yang merasa dirinya tidak berisiko tertular HIV karena: (a) tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung, dan (b) hubungan seksual tidak dilakukan di lokasi atau lokalisasi pelacuran.
Seperti yang disampaikan oleh seorang pejabat tinggi di sebuah kabupaten di Indonesia bagian Timur melalui surat untuk sebuah rubrik “Konsultasi HIV/AIDS” di sebuah koran di Sulsel awal tahun 2000-an: “Bang, saya seks dengan cewek cantik dan mulus di hotel berbintang di Surabaya dan Jakarta. Tentu saya tidak punya risiko tertular HIV/AIDS.”
Waktu itu penulis menganjurkan agar pejabat itu menjalani tes HIV karena dia seks dengan perempuan yang sering gonta-ganti pasangan yang sama saja dengan seorang PSK. Tapi, dengan tegas dia menolak karena tidak hubungan seksual yang dia lakukan tidak berisiko. Belakangan saya dengar kabar dari seorang teman konselor AIDS di sana pejabat tadi berobat rutin ke sebuah rumah sakit rujukan di ibu kota provinsi dengan catatan penyakit infeksi.
‘Cewek cantik dan mulus atau ‘cewek bukan PSK langsung’ yang disebut pejabat tadi dikenal sebagai PSK tidak langsung yaitu cewek yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari sekian banyak laki-laki yang pernah seks dengan dia, terutama jika laki-laki tidak memakai kondom, mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.
Inilah salah satu mitos yang sangat kuat di masyarakat karena disuarakan oleh pejabat (tinggi), sebagian pakar, bahkan pakar medis, toga (tokoh agama) dan toma (tokoh masyarakat) serta aktivis AIDS.
PSK tidak langsung adalah perempuan atau cewek yang sifatnya seperti PSK tapi tidak kasat mata dan tidak mangkal di satu tempat yaitu cewek atau perempuan yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ‘ayam kampus’, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual dengan ‘cewek bukan PSK langsung’ jadi motor pendorong penyebaran HIV di masyarakat, terutama pada laki-laki beristri yang menularkan HIV/AIDS ke istri atau pasangan seks lain (horizontal). Jika istri atau pasangan seksnya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang mereka kandung kelak (vertikal).
Hal itu terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang tertular HIV sebelum masa AIDS, secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Yang perlu diperhatikan adalah pada rentang waktu antara tertular HIV sampai masa AIDS bahkan sampai meninggal dunia biar pun orang-orang yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV secara diam-diam bagikan ‘silent disaster’ (bencana terselubung) yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’.
Celakanya, pemerintah (Pusat) tidak bisa berbuat banyak terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS karena di era Otonomi Daerah (Otda) kebijakan, dalam hal ini penanggulangan HIV/AIDS, ada di pemerintah daerah. Setiap daerah mempunyai aturan main sendiri-sendiri yang tidak terkoneksi secara nasional. (Kompasiana, 23 Agustus 2018). *
(19) Diskriminasi dan Eufemisme Pelacuran Dorong Penyebaran AIDS di Indonesia
Sejak awal era reformasi ‘gerakan moral’ al. diperlihatkan secara masif dengan menentang ‘rehabilitasi dan resosialisasi’ (resos) terhadap pekerja seks komersial (PSK) melalui lokalisasi pelacuran. Tempat-tempat pelacuran yang dijadikan resos ditutup.
Pada saat yang sama epidemi HIV/AIDS dan IMS [infeksi menular seksual yang lebih dikenal sebagai ‘penyakit kelamin’, yaitu kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kanker serviks, dll.] tidak lagi terbendung karena transaksi seks sebagai bentuk pelacuran terselubung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Bahkan belakangan ini melibatkan ‘artis’ dan cewek-cewek yang didandani seperti ‘artis’ tertentu dengan berbagai modus sampai memakai media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dll.
Seumur Manusia
Dengan melokalisir praktek pelacuran bisa dilakukan intervensi yaitu memaksa laki-laki selalu memakai kondom setiap kali seks dengan PSK sehingga insiden infeksi HIV baru bisa ditekan.
Estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 630.000 sedangkan yang sudah terdeteksi, seperti dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 1 Oktober 2018, sebanyak 410.788 yang terdiri atas 301.959 HIV dan 108.829 AIDS dengan 15.855 kematian.
Dunia pelacuran disebut-sebut seumur dengan kehidupan manusia di Bumi. Salah satu bukti adalah pelacuran di zaman Mesopotamia Kuno dan periode Neo-Babilonia, sekitar 626 SM hingga 539 SM. Ketika itu ada keyakinan kegiatan seksual antara pelacur dan agamawan sakral yang berguna bagi masyarakat sebagai cara untuk menyenangkan Dewa (soc.ucsb.edu).
Pelacuran berkembang tidak hanya dengan imbalan uang, tapi juga memakai narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dan belakangan sebagai imbalan untuk penguasa sebagai imbalan untuk fasilitas dan kemudahan disebut sebagai gratifikasi seks.
Pelacuran dinilai terbatas sehingga dimunculkan istilah PSK dengan cakupan yang lebih luas yaitu terkait dengan perdagangan seks mulai dari pelacuran, rumah bordir, telepon seks, penari striptis, penari eksotis, pornografi dan pornoaksi.
Ketika para ahli menemukan virus penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu kondisi pengidap HIV/AIDS setelah 5-15 tahun) yang pada tahun 1986 diakui oleh WHO yaitu HIV (human immunodeficiency virus yaitu retrovirus yang menggandakan diri di sel-sel darah putih manusia) sudah pula diketahui salah satu cara penularannya adalah melalui hubungan seksual penetrasi antara orang yang mengidap HIV/AIDS kepada orang lain.
Tapi, bisa juga kepada orang yang juga pengidap HIV/AIDS karena sebagai virus HIV dikenal terdiri atas beberapa subtipe. Yang sudah ditemukan yaitu subtipe A sampai O. Di Indonesia umumnya subtipe HIV adalah E yang juga ada di Malaysia dan Thailand.
Celakanya, di Indonesia banyak kalangan mulai dari tokoh, kalangan medis sampai menteri kesehatan memoralisasi penularan HIV dengan mengatakan bahwa HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual di luar nikah. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dengan kondisi suami atau laki-laki tidak memakai kondom.
Terminologi NgawurTidak hanya sampai di situ mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS terus disebarluaskan, seperti HIV/AIDS menular melalui PSK di lokalisasi pelacuran, menular melalui seks menyimpang, menular melalui homoseksual, dll. Akibatnya, banyak orang yang terkecoh karena termakan mitos sehingga tertular HIV. Misalnya, merasa tidak seks dengan PSK, tapi dengan ‘artis’ atau cewek cakep pelacur online di hotel berbintang.
Eufemisme terkait dengan zina, terutama seks dengan PSK, juga mewarnai moralitas perilaku amoral di Indonesia yaitu dengan memakai istilah ‘seks bebas’. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’. Istilah ini muncul di tahun 1970-an sebagai padanan kata ‘free sex’ yang dikaitkan dengan kaum hippies yang memberontak kemapanan.
Celakanya, dalam kosa kata Bahasa Inggris tidak dikenal terminologi ‘free sex’. Tidak ada laman ‘free sex’ di kamus bahasa Inggris. Yang ada adalah ‘free love’ yaitu hubungan seksual tanpa ikatan nikah (The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, 1963).
Dengan menyebut ‘seks bebas’ tidak ada lagi beban moral karena tidak terkait langsung dengan zina di dunia pelacuran.
Yang juga menyesatkan adalah ‘seks bebas’ jadi jargon moral yang hanya dikaitkan dengan perilaku seksual di luar nikah kalangan remaja. Itu artinya zina di kalangan dewasa, termasuk yang terikat dalam pernikahan, tidak termasuk ‘seks bebas’. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian hukum tidak bisa menjerat laki-laki yang membeli seks biar pun dalam kondisi tangkap tangan.
Istilah pelacuran sudah dikenal luas, bahkan dalam bahasa resmi yaitu ‘lokalisasi pelacuran’. Tapi, belakangan yang dipakai adalah prostitusi (KBBI: pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan). Istilah pelacuran tidak bermuatan moral karena tidak terkait langsung dengan pelacur yang juga disebut sebagai perempuan jalang.
Persoalan besar terkait dengan pelacuran justru laki-laki karena merekalah pelacuran hidup yaitu dengan membeli seks kepada PSK. Dalam kaidah ekonomi permintaan (demand) berupa keinginan laki-laki untuk membeli seks mendorong penyediaan PSK (supply).
Di sini berperan germo atau mucikari yang menjadi fasilitator antara laki-laki dan PSK. Tidak sedikit laki-laki beristri yang ‘curhat’ ke PSK dan berharap bisa memuaskan PSK. Celakanya, PSK memanfaatkan hal itu sehingga ‘permainan’ pun cepat selesai.
Moralisasi pelacuran juga terkadang di luar akal sehat. Di wilayah Pantura (pantai utara Pulau Jawa), khususnya di kawasan Cirebon seks dengan perempuan di tempat-tempat yang menyediakan PSK, seperti warung, panti pijat, dll. disebut sebagai ‘esek-esek’.
Istilah ini benar-benar ‘netral’ dan bebas moral karena sama sekali tidak terkait langsung dengan zina dan pelacuran. Coba simak percakapan ini:
Si A: Dari mana, Pak?
Si B: Ah, habis esek-esek!
Sama sekali tidak ada beban moral karena secara umum tidak ada kaitan langsung antara esek-esek dengan zina dan pelacuran.
Sensasi
Ketika Satpol PP melakukan razia penyakit masyarakat (Pekat) dan menangkap perempuan, yang mereka sebut sebagai PSK, di tempat-tempat yang dulu sebagai lokasi atau lokalisasi pelacuran, perempuan-perempuan itu langsung menjalani tes HIV tanpa melalui standar baku tes HIV, seperti konseling, informed consent dan konfidensialitas.
Seorang PSK yang sering mangkal di ‘jalan vagina raya’ (julukan untuk Jalan Nusantara di seberang pelabuhan Makassar, Sulsel) yang ditangkap Satpol PP langsung tes HIV dan identitasnya diketahui wartawan. Akibatnya, perempuan itu berkali-kali diusir dari kontrakannya karena foto pernikahannya dimuat sebagai foto headline media cetak.
Sebaliknya, ketika Satpol PP dan polisi atau gabungan merazia penginapan, hotel melati dan hotel berbintang atau menangkap perempuan yang disebut terlibat prostitusi online, seperti penangkapan terhadap ‘artis’ VA (5/1-2019) di sebuah hotel di Surabaya, polisi tidak melakukan tes HIV terhadap mereka.
Maka, terjadi diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap PSK jalanan dan ‘artis’ serta cewek prostitusi online terkait dengan tes HIV.
Tes HIV yang dilakukan terhadap PSK jalanan, cewek prostitusi online dan prostitusi ‘artis’ erat kaitannya dengan penanggulangan HIV/AIDS. Jika hasil tes HIV positif, persoalan besar bukan pada PSK jalanan, cewek prostitusi online dan prostitusi ‘artis’, tapi ada pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK jalanan, cewek prostitusi online dan prostitusi ‘artis’ tsb.
Celakanya, staf Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) serta aktivis AIDS setempat tidak bisa memberikan informasi yang komprehensif kepada wartawan agar berita tidak sekedar sensasi. Begitu juga dengan banyak wartawan yang tidak bisa membawa data tsb. ke realitas sosial sehingga berita yang mereka tulis pun hanya sebatas sensasi yang tidak bernilai jurnalistik karena tidak membawa pencerahan terhadap masyarakat.
Dengan tidak melakukan tes HIV terhadap cewek prostitusi online dan prostitusi ‘artis’ mitos pun kian kental yaitu HIV/AIDS hanya ada pada PSK jalanan di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Padahal, data Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 1/10-2018 menunjukkan dari tahun 1987 sd. 30 Juni 2018 kasus AIDS pada kalangan wiraswasta/usaha sendiri sebanyak 14.331 dari 108.829 atau 13,2 persen. Mereka ini kemungkinan besar seks dengan cewek prostitusi online dan prostitusi ‘artis’.
Indikator lain adalah kasus AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga sebanyak 15.410 dari tahun 1987 sd. 30 Juni 2018, dan kasus sifilis yang terdeteksi pada ibu hamil.
Yang perlu disebarluaskan bukan cerita tentang PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, tapi anjuran kepada laki-laki yang pernah atau sering seks dengan PSK agar segera menjalani tes HIV agar istrinya tidak tertular HIV dan anak-anaknya kelak tidak lahir dengan HIV/AIDS. (Kompasiana, 7 Januari 2019). *
(20) Kampanye AIDS yang Mengukuhkan Mitos
Catatan: Biarpun waktu sudah berjalan sepuluh tahun, tapi slogan-slogan seputar kampanye penanggulangan HIV/AIDS tetap saja tidak berubah. Informasi dibalut dengan mitos (anggapan yang salah). Kampanye AIDS yang disiarkan di GlobalTV, misalnya, menyebutkan: “….. kuatkan iman, hindari seks bebas, setia dengan satu pasangan”. Ini semua mitos.
Laporan terakhir UNAIDS menunjukkan setiap menit 11 penduduk dunia terinfeksi HIV. Ini menunjukkan epidemi HIV sudah merupakan ancaman utama terhadap keselamatan umat manusia.
Jadi, karena vaksin untuk melumpuhkan HIV belum ditemukan maka upaya yang paling efektif untuk menghindarkan diri dari infeksi HIV adalah dengan cara melindungi diri sendiri secara aktif. Hal ini dapat dilakukan setiap orang, khususnya mencegah infeksi melalui faktor risiko hubungan seks yang tidak aman.
Melindungi diri pada faktor risiko infeksi melalui hubungan seks yang tidak aman kian penting artinya karena faktor risiko inilah yang merupakan jalur utama penyebaran HIV. Walaupun probabilitas infeksi per kontak melalui hubungan seks hanya berkisar antara 0,03% sampai 5,6% per kontak, tetapi pola penyebaran HIV melalui hubungan seks justru berkisar antara 22-96%. Hal ini terjadi karena setiap orang melakukan hubungan seks yang berulangkali sehingga probabilitas infeksi yang rendah itu menjadi tinggi.
Faktor risiko penyebaran HIV sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Di RRC, misalnya, faktor risiko utama justru melalui jarum suntik pada penggunaan narkoba (injecting drug use–IDU). Di negara lain melalui homoseksual dan lain-lain. Sedangkan di Indonesia jalur utama penyebaran HIV melalui faktor risiko heteroseksual, dan belakangan ini dipicu pula melalui jalur IDU.
Maka, amatlah beralasan kalau upaya pencegahan dititikberatkan pada faktor risiko hubungan seks. Soalnya, penyebaran HIV melalui transfusi darah tergantung kepada operator yang menyediakan darah sehingga seorang penerima transfusi hanya bisa pasif.
Di samping itu pencegahan melalui pemakaian jarum suntik bersama, khususnya di kalangan pengguna narkoba suntikan juga dapat dilakukan secara aktif karena seseorang dapat menolak memakai jarum yang sudah dipakai temannya atau orang lain. Dalam konteks IDU ini di banyak negara sudah diperkenalkan program pertukaran jarum suntik (needle-exchange program) yang bertolak dari filsafat harm reduction (pengurangan kerugian), seperti memakai helm jika naik motor atau memakai sabuk pengaman di mobil. Artinya, seseorang yang tidak bisa meninggalkan kebiasaan memakai narkoba melalui suntikan dianjurkan selalu memakai jarum suntik baru agar tidak terinfeksi atau menularkan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui darah.
Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat agar melindungi diri dari infeksi HIV perlu digalakkan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi). Salah satu cara yang dikembangkan media massa, khususnya televisi, adalah dengan penyampaian informasi. Sayang, anjuran utama dan pertama yang muncul di layar televisi sangat tidak objektif karena sama sekali tidak berkaitan langsung dengan infeksi HIV malah sebaliknya menyuburkan mitos (anggapanyang keliru) seputar HIV.
Anjuran itu adalah “Hindari Seks Bebas”. Jika kita bertolak dari pikiran yang jernih infeksi HIV bisa terjadi, khususnya melalui faktor risiko hubungan seks, kalau salah satu dari pasangan yang melakukan hubungan seks sudah HIV positif. Jadi, jika hubungan seks dilakukan tanpa memakai kondom maka akan ada risiko infeksi.
Jadi, kalau kedua pasangan itu HIV negatif, apa pun bentuk hubungan seksnya (heteroseksual atau homoseksual) dan sifat hubungan seksnya (di dalam atau di luar nikah) tetap tidak akan terjadi infeksi HIV. Tetapi, sebaliknya kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif maka risiko infeksi akan tetap terjadi kalau dilakukan tanpa kondom biar pun hubungan seksnya dilakukan secara heteroseksual dan di dalam ikatan pernikahan yang sah.
Jadi, di saat epidemi HIV sudah di ambang mata akan lebih arif kalau kita mengemukakan fakta yang objektif dan menganjurkan pencegahan yang realistis. Ini akan jauh lebih efektif daripada menyuarakan anjuran yang dibalut moral tetapi tidak objektif dan realistis. (Newsletter HindarAIDS No. 45, 15 Mei 2000). *
Bagian III – Stigma dan Diskriminasi terhadap Odha
(21) Penanggulangan AIDS dalam Muzakarah Ulama di Bandung 1995
Identifikasi AIDS pada kalangan laki-laki gay di Los Angeles, AS (1981) berdampak pada pandangan terhadap HIV/AIDS dengan kacamata moral. Tapi, ketika di beberapa negara masyarakat mulai melihat epidemi HIV/AIDS dari aspek medis, maka insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar.
Sebaliknya, di negara-negara yang tetap menempatkan moral sebagai ‘alat’ memandang HIV/AIDS kasus-kasus infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa terus meroket. Indonesia, misalnya, merupakan salah satu dari tiga negara di Asia setelah Cina dan India dengan pertumbuhan kasus HIV terbesar.
Celakanya, sejak awal epidemi HIV/AIDS Indonesia memakai sudut pandang moral dalam menanggapi AIDS. Tidak tanggung-tanggung menteri kesehatan yang notabene berpijak pada fakta medis justru mengumandangkan moral ketika membicarakan AIDS.
Muzakarah itu sebagai bagian dari peran ulama dalam penanggulangan AIDS. Tapi, butir-butir yang dihasilkan sama sekali tidak memberikan cara-cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang konkret.
Muzakarah ini dilangsungkan karena terpanggil untuk berperan dalam penanggulangan AIDS. Indonesia dikesankan berhadapan dengan ancaman AIDS sehingga dituntut untuk memberikan langkah pencegahan.
Disebutkan langkah ini diambil setelah memperhatikan “Hasil-hasil penelitian dari dalam dan luar negeri mengenai dampak epidemi virus HIV/AIDS yang melanda kehidupan umat manusia sangat mengkhawatirkan.”
Disebutkan pula: “Bahwa penyebaran HIV/AIDS sudah merupakan bahaya umum (al-Dharar al-‘Am) yang dapat mengancam siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, umur dan profesi.” Ini tidak akurat karena tidak semua orang berisiko tertular HIV. Orang yang berisiko tertular HIV hanya laki-laki atau perempuan yang perilaku seksnya berisiko, yaitu sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan di dalam atau di luar nikah.
Kesepakatan pada muzakarah disikapi dengan tadzkirah. (1) “Masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia dengan keimanan yang diyakininya dituntut secara sungguh untuk mampu menghindari perbuatan-perbuatan tercela yang memungkinkan berjangkitnya virus HIV/AIDS atas dirinya, keluarga dan masyarakat karena deteksi penyebarannya yang masih amat sulit.”
Karena HIV/AIDS dikaitkan dengan ‘perbuatan tercela’ maka hal ini akan mendorong masyarakat memberikan cap buruk (stigma) dan perlakuan berbeda (diskriminasi) terhadap orang-orang yang tertular HIV. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara ‘perbuatan tercela’ dengan penularan HIV karena HIV juga menular dengan cara yang tidak tercela, seperti melalui hubungan seksual di dalam nikah, transfusi darah, jarum suntik, air susu ibu (ASI), dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan ASI.
Poin (3) disebutkan: “Masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia dengan keimanan yang diyakininya dituntut untuk memahami dengan seksama ancaman dan bahaya HIV/AIDS, utamanya dengan memperkokoh ketahanan keluarga sakinah.”
Ini juga mendorong masyarakat melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena mengesankan Odha tertular HIV karena tidak mempunyai ketahanan keluarga yang sakinah. Bagaimana dengan yang tertular melalui transfusi darah, jarum suntik dan dari suaminya?
Cara yang disampaikan untuk mencapai tujuan yaitu perilaku yang bertanggungjawab sesuai dengan agama Islam agar dapat mencegah penyebaran HIV serta mengurangi dampak negatif. Caranya yaitu dengan menyebarluaskan pengetahuan/informasi tentang HIV/AIDS dapat dilakukan dengan melakukan Komunikasi, Informasi, Edukasi, dan Motivasi (KIEM). Pertanyaannya adalah: Apakah materi HIV/AIDS pada KIEM disampaikan secara akurat?
Mencegah penyebaran HIV dalam muzakarah ini juga tidak konkret. Misalnya, cara yang ditawarkan justru untuk yang sudah positif tertular HIV. Ini artinya menunggu orang tertular dan terdeteksi HIV dulu baru diajak mencegah penyebaran HIV. Padahal, sebelum terdeteksi orang-orang yang sudah tertular HIV sudah menyebarkan HIV tanpa mereka sadari.
Pada poin 5 petunjuk pencegahan disebutkan: “Bagi setiap pengidap HIV/AIDS dan penderita AIDS wajib memberitahukan tentang kesehatannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan jaminan kesehatannya.” Orang-orang yang terdeteksi HIV sudah menjalani konseling (bimbingan) sebelum dan sesudah tes sehingga mereka sudah mengetahui dan mematuhi hak dan kewajibannya jika terdeteksi positif atau negatif.
Yang menjadi persoalan besar adalah orang-orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Selain itu orang-orang yang terdeteksi HIV tanpa melalui tes HIV yang sesuai dengan standar juga tidak mengetahui hak dan kewajibannya. Bahkan, mereka cenderung menjadi korban sehingga ada rasa dendam pada diri mereka.
Untuk yang potensial tertular HIV disebutkan pada poin 1: “Wajib memeriksakan kesehatan dirinya untuk mengetahui status positif/negatif.” Sayang tidak dijelaskan siapa (saja) yang potensial tertular HIV. Di beberapa daerah ada peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan AIDS yang di dalamnya ada aturan untuk memeriksakan kesehatan terkait dengan HIV/AIDS.
Hasil tes HIV akan akurat jika dilakukan setelah tertular tiga bulan karena pada rentang waktu sejak tertular sampai tiga bulan, disebut masa jendela, tubuh belum memproduksi antibodi HIV. Soalnya, tes HIV dengan ELISA mencari antibodi HIV didalam darah sehingga kalau darah diperiksa masa jendela maka hasilnya bisa negatif palsu (HIV sudah ada di daerah tapi tidak terdeteksi) atau positif palsu (HIV tidak ada di darah tapi terdeteksi).
Lagi pula kalau ada kewajiban periksa kesehatan setiap tiga bulan maka pada rentang waktu itu sudah terjadi penyebaran HIV tanpa disadari oleh orang-orang yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Seorang pekerja seks komersial (PSK), misalnya, dari mulai tertular sampai terdeteksi HIV, katakanlah tiga bulan, maka pada rentang waktu itu sudah ada 180 laki-laki (1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan) yang berisiko tertular HIV.
Di poin 3 disebutkan: “Bagi pasangan yang akan nikah wajib memeriksakan status kesehatannya untuk mengetahui status positif/negatifnya.” Ini juga tidak banyak gunanya karena kalau mereka menjalani tes tentu akan lebih buruk karena ada kemungkinan hasil tes HIV-negatif palsu. Lagi pula tes HIV bukan vaksin. Mereka menjalani tes sebelum menikah, tapi bisa saja selama perkawinan ada di antara pasangan itu yang melakukan perilaku berisiko sehingga tertular HIV.
Sedangkan untuk masyarakat umum disebutkan: “ …. perlu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan menuruti perintah dan menjauhi larangan-Nya, khususnya tentang larangan perzinaan dan hal-hal yang dapat mendorong kepadanya.” Tidak ada kaitan langsung antara zina dengan penularan HIV karena di dalam pernikahan pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Belakangan ini ada upaya untuk ‘menghalalkan zina’ melalui nikah mut’ah. Ada yang hitungan jam, hari, dst., seperti yang terjadi di kawasan Puncak, Jawa Barat. Tapi, biar pun menikah risiko penularan HIV tetap ada jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV atau perilaku seksnya berisiko.
Di bagian rekomendasi disebutkan: Komisi Fatwa diharapkan dapat membicarakan dan mengeluarkan fatwa perihal langkah-langkah pencegahan penyebaran HIV/AIDS, khususnya tentang beberapa hal.
Misalnya, tentang euthanasia bagi penderita AIDS. Ini sangat naif karena biar pun, maaf, semua penderita HIV/AIDS dieutanasia, dikarantina atau diasingkan penyebaran HIV tidak akan berhenti karena di masyarakat masih banyak orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Jadi, euthanasia tidak perlu diperbincangkan dari aspek hak asasi manusia (HAM) yang justru membuka debat kusir (baru) karena ada alasan empiris.
Sedangkan rekomendasi berupa “Sterilisasi bagi suami isteri yang positif mengidap ataupun menderita HIV/AIDS” juga tidak berguna karena HIV ada di cairan sperma dan cairan vagina bukan di sperma atau indung telur.
Poin 6 rekomendasi disebutkan: “Kepada pengidap/penderita diberikan tuntunan rohani (bertobat) agar mereka yakin bahwa tobatnya diterima.” Ini tidak adil karena yang harus bertobat adalah orang yang menularkan HIV. Begitu juga dengan yang tertular melalui transfusi darah dan jarum suntik di instalasi kesehatan: Mengapa yang tertular yang harus bertobat? Bukankah penularan itu terjadi karena kelalaian petugas?
Di Malaysia, misalnya, seorang perempuan guru mengaji Alquran tertular HIV melalui transfusi darah (tahun 2000) di sebuah rumah sakit pemerintah. Perempuan itu menuntut ganti rugi dan pengobatan seumur hidup. Maka, untuk menghindari kejadian serupa pemerintah Malaysia menerapkan standar ISO yang dikeluarkan oleh International Organization for Standardization (ISO) untuk transfusi darah yaitu standar ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories).
Faktor risiko (mode of transmission) HIV yang paling potensial menyebarkan HIV adalah hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.
Dalam muzakarah ini tidak ada jalan keluar untuk mengatasi penyebaran melalui faktor risiko hubungan seksual. Maka, tidaklah mengherankan kalau kasus infeksi HIV baru, khususnya pada kalangan laki-laki dewasa, terus terjadi.
Muzakarah ini sudah berusia 16 tahun. Sudah saatnya direvisi agar ada cara-cara pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV yang komprehensif. (Kompasiana, 12 Maret 2011). *
(22) Kaitkan HIV/AIDS dengan Gaya Hidup Bebas Dorong Stigma dan Diskriminasi terhadap Pengidap HIV/AIDS
Stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS antara lain terjadi karena kaitkan penularan HIV/AIDS dengan gaya hidup bebas
“Stigma masyarakat adalah faktor pembunuh utama teman-teman penderita HIV/AIDS. Untuk itu, kami berusaha menginformasikan kepada masyarakat bahwa HIV/AIDS hanya menular lewat cairan kelamin dan darah. Jangan kucilkan dan diskriminasi mereka.” Ini dikatakan oleh Pj Sekda Demak (Jawa Tengah-pen.), Eko Pringgolaksito, dalam berita “Pj Setda: Gaya Hidup Bebas Menjadi Faktor Penularan HIV/AIDS” di infopublik.id, (7/10-2022).
Celakanya, judul berita ini saja sudah merupakan faktor yang bisa mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberitan cap buruk atau negatif) terhadap pengidap HIV/AIDS. Selain stigma juga terjadi diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS, bahkan berdasarkan beberapa studi justru banyak terjadi di fasilitas layanan kesehatan (Fasyankes).
Masyarakat melihat pengidap HIV/AIDS adalah ‘pelaku gaya hidup bebas.’ Terminologi ini sarat moral yang mengarah ke hal-hal yang negatif.
Penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual, dalam berita ini disebut ‘gaya hidup bebas,’ tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-lak tidak pakai kondom (lihat matriks sifat dan kondisi hubungan seksual).
Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Saat Terjadi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Yang paling menderita karena kena stigma adalah ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suami. Mereka sama sekali tidak melakukan perilaku seksual berisiko. Begitu pula dengan anak-anak yang dilahirkan ibu pengidap HIV/AIDS jadi korban stigma.
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘gaya hidup bebas.’ Silakan simak perilaku-perilaku seksual berikut ini apakah merupakan ‘gaya hidup bebas’?
Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko berikut ini, yaitu:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan Waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan Waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks dengan Waria (ditempong), sedangkan Waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),
(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan Waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi Waria tidak memakai kondom,
(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,
(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,
(10). Laki-laki dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal, seks vaginal dan seks oral) dengan laki-laki atau perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi tidak memakai kondom.
Di Bagian akhir disebutkan: Justru bagi penderita HIV/AIDS, lanjutnya, harus ditangani dengan khusus. Ini dikhawatirkan kalau tidak ditangani dengan baik akan menularkan ke orang-orang di sekitarnya.
Warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku sebelum tes sudah berjanji jika hasil tes positif HIV, maka mereka akan menghentikan penularan HIV/AIDS mulai dari dirinya.
Selain itu pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi di Fasyankes pemerintah otomatis akan menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ART) sehingga menekan risiko penularan HIV/AIDS.Yang jadi masalah besar adalah warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS karena tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda dan gejala-gejala pada fisik dan keluhan kesehatan yang khas AIDS. Tapi, mereka bisa menularkan HIV/AIDS terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Maka, diperlukan langkah yang konkret untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS tanpa melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Selama warga pengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di masyarakat bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak jadi ‘ledakan AIDS.’ (Kompasiana, 11 Oktober 2022). *
(23) ‘Seks Bebas’ Jargon yang Bebas Stigma Sebagai Pembenaran Berzina dan Melacur
Biar pun lokasi dan lokalisasi pelacuran di banyak daerah sudah ditutup, tapi praktek pelacuran terus terjadi dengan berbagai bentuk dan di sembarang tempat
Hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) adalah kegiatan melacur yaitu hubungan seksual di luar nikah sebagai bentuk zina.
Tapi, akhir-akhir ini melacur dan berzina tidak lagi dipakai sebagai bentuk hubungan seksual di luar nikah. Zina dan melacur diganti dengan ‘seks bebas’. Bahkan, di kawasan Cirebon, Jawa Barat, tempat pelacuran disebut sebagai ‘esek-esek’.Seorang wartawan yang mengikuti sebuah pelatihan berbisik: “Bang, di sini (maksudnya di wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon-pen.) tidak boleh menulis berita dengan menyebutkan tempat atau lokasi pelacuran.”
Kalau ada wartawan yang menulis bahwa di jalur pantura (pantai utara) ada pelacuran, maka wartawan itu akan ‘disemprot’ pejabat dan pemuka masyarakat.
Maka, ‘seks bebas’ adalah eufemisme yang diberikan kepada zina dan melacur. Dan, ini dijadikan sebagian orang sebagai pembenaran untuk melakukan zina dan melacur karena mereka melakukan ‘seks bebas’.
Jika seorang laki-laki beristri melakukan hubungan seksual dengan perempuan lajang (gadis atau janda) masyarakat menyebutnya sebagai ’seks bebas’, maka laki-laki itu pun di atas angin: ”Saya tidak berzina, tapi ‘seks bebas’.”
Sepasang muda-mudi melakukan hubungan seksual dalam bentuk seks pranikah. Mereka pun merasa aman karena dituding melakukan ‘seks bebas’ bukan zina.
Begitu pula dengan laki-laki dewasa, lajang atau beristri, yang melakukan hubungan seksual dengan PSK sebagai hubungan seksual dalam bentuk melacur, lagi-lagi merasa dirinya tidak melacur karena kegiatan itu adalah ’seks bebas’.
Hal yang sama juga terjadi pada laki-laki beristri yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan bersuami sebagai bentuk perselingkuhan. Mereka pun disebut sebagai pelaku ’seks bebas’ yang membuat mereka lolos dari stigma (cap buruk) karena tidak dikaitkan dengan zina.
’Seks bebas’ sendiri adalah istilah yang ngawur bin ngaco karena tidak jelas maknanya. Tidak ada hubungan seksual yang bebas atau gratis karena semua dengan pamrih biar pun dengan alasan ’suka sama suka’ tentulah ada imbalannya.
Istilah ini sendiri muncul di dekade 1970-an ketika ada gaya hidup sebagian anak muda, antara lain kalangan hippies, yang urakan dengan cara pergaulan yang khas, antara lain hubungan seksual yang terjadi di antara mereka.
Kalangan yang membalut lidah dengan moral pun menyebutnya sebagai free sex yang diterjemahkan secara bebas sebagai ’seks bebas’. Celakanya, dalam kosa kata Bahasa Inggris tidak ada laman (entry) free sex. Dalam banyak kamus tidak ada free sex. Dalam sebuah kamus ditemukan laman free love yaitu hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan.
’Seks bebas’ pun kemudian menjadi jargon moral di Indonesia untuk menyebutkan kegiatan hubungan seksual di luar nikah.
Namun, ’seks bebas’ bebas dari stigma sehingga orang-orang yang melakukan ’seks bebas’ tidak lagi terbebani secara moral.
Tentu akan berbeda jika seorang suami tangkap basah dengan seorang perempuan yang bukan istrinya di sebuah tempat disebutkan bahwa laki-laki itu berzina. Ini akan memberikan stigma. Tapi, kalau disebut melakukan ’seks bebas’ tidak ada lagi beban karena jargon ini sangat ringan dan tidak ada stigma sosial.
Begitu pula dengan laki-laki dewasa yang pergi ke tempat pelacuran atau tempat-tempat hiburan yang menyediakan ’cewek’ akan melangkah dengan santai karena tidak ada lagi beban moral karena tidak ada stigma terhadap perilaku mereka.
Coba simak dialog ini:
”Dari mana, Pak,”
“Ah, habis dari tempat esek-esek.”
Jawaban itu sangat bermoral karena sama sekali tidak menunjukkan perbuatan yang amoral yaitu melacur.
Padahal, yang ditanya pulang dari ’warem’ (warung remang-remang tempat yang menyediakan ’cewek’ untuk hubungan seksual).
Membebaskan pelaku amoral, khususnya terkait dengan berzina dan melacur, dari stigma menjadi salah satu faktor yang mendorong sebagian orang jadi ringan tangan berzina dan melacur dalam berbagai bentuk. (Kompasiana, 2 Juni 2013). *
(24) AIDS di Sulawesi Selatan Didorong PSK Tidak Langsung
“Pejabat dan Pengusaha Sulsel Diduga Tertular HIV. Mayoritas Melalui Jarum Suntik dan Hubungan Seksual.” Ini judul berita di Harian “Tribun Timur”, Makassar (14/10-2010). Disebutkan oleh Zulkifli Amin, penggiat penanggulangan HIV/AIDS di Makassar: “Beberapa pejabat dan pengusaha dari beberapa daerah di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang sering berganti pasangan perlu waspada. Saya punya data, mereka pernah berhubungan seks dengan pengidap HIV/AIDS yang saya dampingi.”
Keterangan Zulkifli itu menunjukkan pejabat dan pengusaha di daerah ituberisiko tertular HIV karena melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) dampingan Zulkifli yang mengidap HIV. Risiko kian tinggi kalau pejabat dan pengusaha itu tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Ketika penulis mengasuh rubrik “Konsultasi HIV/AIDS” di sebuah koran lokal di Sulsel juga pernah menerima pertanyaan dari seorang pejabat tinggi di sebuah kabupaten di Sulsel: “Bang, kalau saya tugas ke Surabaya atau Jakarta sering disodori cewek cantik dan mulus yang berpendidikan tinggi. Apakah saya beresiko tertular HIV?” Rupanya, Pak Pejabat ini merasa tidak berisiko karena dia tidak ‘main’ dengan PSK, tapi dengan cewek mulus di hotel berbintang.
Anggapan Pak Pejabat itu keliru besar karena cewek cantik tadi merupakan perempuan yang sering melakukan hubungan seksual dengan banyak laki-laki. Kalau di ada di antara laki-laki yang diladeni cewek mulus tadi mengidap HIV maka cewek itu pun berisiko tertular HIV. Kalau cewek mulus itu tertular HIV maka Pak Pejabat tadi pun beresiko pula tertular HIV. Ketika itu Pak Pejabat dianjurkan menjalani tes HIV secara sukarela.
Ketua Pokja Media Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Sulsel, Andi Mangara, mengatakan: “Kalau data yang kami miliki, penularan melalui jarum suntik atau narkoba memang yang paling tinggi. Semua pihak harus berjuang bersama mengatasi ini.” Ada fakta yang luput dari perhatian terkait dengan kasus di kalangan pengguna narkoba dengan suntikan. Kasus HIV dan AIDS banyak terdeteksi di kalangan ini karena mereka wajib menjalani tes HIV ketika hendak masuk ke panti rehabilitasi narkoba. Sebaliknya, laki-laki dewasa yang tertular melalui hubungan seksual tidak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang bisa memaksa mereka untuk menjalani tes HIV. Yang jelas kasus HIV di kalangan laki-laki dewasa akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Kasus ini pun menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.
Disebutkan: “Yang menarik, karena wanita yang tertular berparas cantik dan kerap menjadi “langganan” pengusaha dan pejabat dari daerah yang suka berhubungan seks. Mereka inilah menularkan ke orang lain.” Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pengguna narkoba bahwa perempuan pengguna narkoba memanfaatkan dirinya untuk mendapatkan uang membeli narkoba melalui hubungan seksual. Laki-laki yang memakai perempuan pengguna narkoba tidak menyadari perilaku itu berisiko tertular HIV karena perempuan tadi ‘berparas cantik’ dan yang jelas bukan PSK (langsung).
Ada pemahaman yang salah tentang PSK yaitu ada anggapan bahwa PSK hanyalah perempuan yang melayani laki-laki di lokalisasi atau lokasi pelacuran. Ini memang disebut PSK langsung. Tapi, ada pula PSK tidak langsung yang juga berisiko tertular HIV, seperti ‘cewek mulus’ di hotel berbintang, perempuan pemijat di panti pijat atau salon plus, perempuan pengguna narkoba, cewek bar, dan perempuan pelaku kawin-cerai. Yang terjadi banyak laki-laki yang menganggap tidak ada risiko tertular HIV kalau ‘main’ dengan PSK tidak langsung. Ini kesalahan besar yang akan mendatangkan bencana. Ini semua terjadi karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS tidak disampaikan dengan akurat ke masyarakat.
Mangara mengatakan: ” …. tugas utama pokja media selain melakukan kampanye adalah memberikan pemahaman kepada kalangan jurnalis untuk tidak memberi stigma kepada pengidap.” Persoalannya adalah masih saja banyak wartawan yang tidak (bisa) menulis berita atau laporan tentang HIV/AIDS secara komprehensif dengan paradigma empati. Berita tentang HIV/AIDS di media massa selalu mengumbar sensasi.
Celakanya, belakangan ini dana untuk pelatihan wartawan tidak ada. Bahkan, donor asing pun enggan mendanai pelatihan wartawan. Saat ini hanya HIV Cooperation Program for Indonesia (HCPI)/AusAID melalui KPA daerah yang melatih wartawan tapi hanya di beberapa provinsi, seperti DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Melatih wartawan untuk menulis berita dan laporan HIV/AIDS yang berempati merupakan kegiatan yang harus berlanjut karena mendukung peran media sebagai critical mass dalam penanggulangan AIDS.
Disebutkan oleh Supomo Guntur, Ketua KPA Makassar, yang juga Wawali Makassar: “…. tugas utama pokja saat ini fokus mengkampanyekan bahaya penularan virus HIV melalui hubungan seksual, khususnya di Kecamatan Wajo, Ujung Pandang, Makassar, dan Panakkukang yang rawan dengan praktik prostitusi terselubung.” Tidak jelas kampanye ditujukan kepada siapa. Kalau kampanye hanya ditujukan kepada PSK maka hal itu tidak akan bermanfaat karena yang mempunyai posisi tawar adalah laki-laki ‘hidung belang’ yang bisa jadi penduduk lokal.
‘Cewek’ atau perempuan di ‘praktik prostitusi terselubung’ dianggap oleh laki-laki ‘hidung belang’ bukan PSK. Inilah yang menjadi awal malapetaka. Mereka merasa tidak berisiko tertular HIV karena mereka ‘main’ dengan cewek yang bukan PSK (langsung).
Salah satu kecenderungan yang berkambang di Indonesia dalam menanggulangi AIDS adalah membuat peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Di Sulsel sudah ada perda AIDS di Kab Bulukumba (2008), Kab Luwu Timur (2009), dan Prov Sulsel (2010). Tapi, semua perda ini tidak mengatur penanggulangan epidemi HIV dengan konkret. Yang dikedepankan hanya pasal-pasal yang moralistis sedangkan penanggulangan AIDS memerlukan cara-cara yang konkret.
Sayang, nyali kita tidak bisa menampilkan fakta dan memilih mencantumkan pasal-pasal yang moralistis yang tidak bisa diandalkan untuk menanggulangi epidemi HIV. Kita tinggal menunggu ledakan AIDS di masa yang akan datang. (Kompasiana, 18 Oktober 2010).*
(25) Andil PSK Tidak Langsung Dorong Penyebaran HIV/AIDS di Denpasar
“HIV/AIDS. Hei Man, Hati-hati Jajan PSK di Denpasar.” Ini judul berita di kompas.com (23/11-2010). Disebutkan: Komisi Penanggulangan AIDS Kota Denpasar mengungkapkan bahwa dari 1.500 wanita pekerja seks komersial yang tercatat di kota itu, 20 persen di antaranya terindikasi mengidap HIV/AIDS. Sri Mulyanti, asisten koordinator KPA Kota Denpasar, Bali, mengatakan, selain mengidap HIV/AIDS, ada beberapa pekerja seks yang juga mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS).
Selama ini data dan fakta terkait HIV/AIDS dan IMS (infeksi menular seksual, seperti GO (kencing nanah), siflis (raja singa), klamidia, virus hepatitis B, dll.) di kalangan pekerja seks komersial (PSK), khususnya PSK langsung (PSK di lokalisasi atau lokasi pelacuran), tidak dikaitkan dengan realitas sosial. Akibatnya, masyarakat tidak menyadari epidemi IMS dan HIV.
Untuk mengaitkan data terkait kasus IMS dan HIV di kalangan PSK terhadap epidemi di masyarakat dapat disimak dari jumlah kasus IMS yang terdeteksi di puskesmas atau rumah sakit. Yang dikhawatirkan adalah laki-laki yang terdeteksi mengidap IMS bisa saja sekaligus juga tertular HIV karena ada kemungkinan PSK yang mengidap IMS juga sekaligus mengidap HIV.
Laki-laki ‘Hidung Belang’
Ada dua kemungkinan terkait dengan kasus IMS dan HIV di kalangan PSK.
Pertama, kasus IMS dan HIV di kalangan PSK ditularkan oleh laki-laki ‘hidung belang’ penduduk lokal Denpasar (asli dan pendatang). Jika ini yang terjadi maka prevalensi (perbandingan antara yang mengidap dan tidak mengidap) IMS dan HIV di masyarakat sudah besar. Laki-laki yang menularkan IMS dan HIV kepada PSK akan menjadi mata rantai penyebaran di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kedua, kasus IMS dan HIV di kalangan PSK sudah terjadi sebelum PSK tsb. ’praktek’ di Denpasar. Artinya, PSK itu tertular di luar Denpasar. Bisa di Bali atau di laut Bali. Jika ini yang terjadi maka laki-laki penduduk Denpasar (asli dan pendatang) berisiko tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus jika melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.
Sayang, dua fakta itu tidak dipahami masyarakat karena informasi terkait dengan epidemi IMS dan HIV sering tidak akurat sehingga masyarakat tidak memahami risiko yang mereka hadapi. Dalam kaitan inilah diperlukan berbagai upaya agar penyebaran IMS dan HIV tidak meluas. Yayasan Kerti Praja Denpasar sudah lama menangani PSK langsung melalui pendekatan yang humanis. Setiap hari Jumat PSK ’dijemput’ staf yayasan. Kesehatan mereka, terutama IMS, diperiksa di klinik yayasan. Jika terdeteksi mengidap IMS mereka diobati dan sekaligus dikonseling agar tidak menularkan kepada orang lain. Mereka juga dibekali dengan kondom.
Hal itu dilakukan, seperti dituturkan oleh Prof Dr DN Wirawan, ketua yayasan, untuk memutus jembatan penyebaran IMS dan HIV dari masyarakat ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke masyarakat melalui laki-laki ’hidung belang’. Tapi, tidak jarang banyak yang mencibir. Bahkan, ada wartawan yang menuding Prof Wirawan sebagai ’pelindung pelacur’. Rupanya, Pak Wartawan, itu tidak memahami langkah yang ditempuh yayasan sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat.
Persoalan yang dihadapi yayasan adalah PSK itu tidak mempunyai posisi tawar yang kuat ketika berhadapan dengan laki-laki ’hidung belang’ yang menolak memakai kondom. Ini terjadi karena germo memihak tamu. Germo tidak takut karena mereka tidak bisa dijerat secara hukum. Berbeda dengan di Thailand. Germo memegang izin usaha. Jika germo salah maka izin usaha dicabut. Akibatnya, germo akan memihak kepada PSK.
Disebutkan pula oleh Sri Mulyanti: “Berdasarkan data tersebut, kami terus melakukan pemantauan secara rutin dan berkala terhadap para pekerja seks yang ada di wilayah Denpasar. Sebab, kami takut penularan HIV semakin besar melalui mereka.” Lagi-lagi langkah ini hanya ’menembak’ PSK. Padahal, kuncinya adalah pada laki-laki ’hidung belang’. Maka, yang perlu disasar adalah laki-laki agar mereka selalu memakai kondom jika kencan dengan PSK.
Sri Mulyanti menambahkan: ”…. para pekerja seks menjadi salah satu potensi terbesar penyebaran HIV/AIDS di ibu kota Provinsi Bali ini. Karena perilaku mereka paling berisiko menularkan atau sebaliknya tertular virus mematikan tersebut.” Ini pun jelas tidak akurat karena yang menyebarkan HIV adalah laki-laki ’hidung belang’. Laki-laki ini adalah: (a) yang menularkan IMS dan HIV kepada PSK, dan (b) yang tertular IMS dan HIV dari PSK.
Alat Kontrasepsi
Tapi, karena HIV/AIDS sering diirik dari aspek moral maka yang disalahkan tetap saja PSK. Padahal, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK atau yang tertular dari PSK bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, PIL, lajang, atau duda akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat. Ya, ini pun luput dari perhatian karena HIV/AIDS dikaitkan dengan moral. Karena PSK dikesankan ’tidak bermoral’ maka merekalah yang menjadi pihak yang disalahkan.
Disebutkan pula: “Karena itu pihaknya tidak henti-hentinya melakukan penyuluhan tentang bahaya virus HIV/AIDS, serta menyarankan kepada mereka untuk menggunakan alat kontrasepsi saat melakukan hubungan seks.” Ini bisa menyesatkan karena tidak semua alat kontrasepsi (untuk mencegah kehamilan) bisa mencegah penularan IMS dan HIV. Yang bisa mencegah kehamilan, IMS dan HIV adalah kondom.
Celakanya, penolakan terhadap kondom terjadi secara besar-besaran di berbagai kalangan. Di Papua, misalnya, ada pendeta yang menentang kondom. Kalau Pak Pendeta itu bisa menjamin umatnya tidak akan pernah melakukan perilaku berisiko, maka dia boleh saja menolak kondom. Tapi, kalau Pak Pendeta tidak bisa menjamin, maka apa yang bisa ditawarkan Pak Pendeta untuk mencegah penularan HIV?Dalam berita disebutkan ada tempat yang diindikasikan terdapat PSK yang mengidap HIV. Tapi, ada fakta yang luput dari perhatian yaitu PSK tidak langsung. Mereka ini adalah ’cewek bar’, ’mahasiswi’, ’anak sekolah’, WIL, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’pemijat’ di panti pijat plus-plus, dll. Yang mendorong penyebaran IMS dan HIV adalah PSK tidak langsung ini.
Kasus HIV yang terdeteksi pada 11 anggota TNI yang tergabung dalam Pasukan Perdamaian PBB di Kamboja (1996), misalnya, diperkirakan tertular dari PSK tidak langsung karena ada kemungkinan mereka sudah dibekali dengan larangan agar tidak melacur. Celakanya, prevalensi HIV di kalangan PSK tidak langsung di Kamboja ketika itu juga besar sehingga probabilitas (kemungkinan) kencan dengan PSK tidak langsung yang mengidap HIV juga cukup besar.
Itulah sebabnya informasi yang akurat diperlukan dalam meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap IMS dan HIV. Selama materi informasi tetap dibalut dengan norma, moral dan agama maka selama itu pula masyarakat tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan yang konkret. Akibatnya, penyebaran IMS dan HIV terus terjadi. Kita tinggal menuai hasilnya kelak karena kasus-kasus HIV yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. (Kompasiana, 26 November 2010). *
(26) Menggalang Partisipasi Masyarakat Memupus Stigma dan Diskriminasi Terhadap Odha
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) akan mengadakan kegiatan “Hugging Run” yang bertema “Keluarga adalah Rumah Terbaik untuk ODHA” dengan tagline “One Hug One Life” di Parkir Timur Senayan, Jakarta, tanggal 30-31 Mei 2015.
Acara tsb. digalang oleh PKBI karena banyak Orang dengan HIV/AIDS (Odha) yang masih mengalami stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda). Perlakuan tsb. tidak hanya oleh masyarakat, tapi juga kerap dilakukan oleh keluarga Odha itu sendiri.
Laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 12 Februari 2015, tentang Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan IV Tahun 2014: Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS Tahun 1987-Desember 2014 sebanyak 225.928 yg terdiri atas HIV 160.138 dan AIDS 65.790 dengan 11.801 kematian. Sekitar 71,9 % kasus HIV/AIDS terdeteksi pada rentang usia antara 25-49 tahun.
Stigma dan diskriminasi yang dihadapi Odha hingga saat ini sudah layak menjadi perhatian kita semua. Bahkan, unit terkecil, yaitu keluarga, masih saja ada yang melakukan stigma dan diskriminasi terhadap anggota keluarganya yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Kondisi ini akan memperparah kondisi psikologis Odha. Padahal, mereka menggantungkan harapan kepada keluarga agar menerima mereka dengan perhatian dan dukungan.
Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara norma, moral, agama dan hukum dengan penularan HIV/AIDS karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, misalnya, bisa terjadi di dalam dan di luar nikah. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom ketika hubungan seksual di dalam dan di luar pernikahan yang sah (sifat hubungan seksual).
Maka, tidak ada alasan untuk melakukan stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS karena tidak semua orang yang tertular HIV terkait dengan pelanggaran norma, mora, agama dan hukum. Lihat saja ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya melalui hubungan seksual yang sah dan halal di dalam ikatan pernikahan yang sah.
Pengalaman Randi, bukan nama sebenarnya, seorang Odha di Jakarta ini memberikan gambaran stigma dan diskriminasi yang mereka hadapi. “Ketika di malam hari dalam suasana yang sangat tenang bersama mama dan kakakku, aku memberitahukan hasil tes HIV yang ternyata hasilnya positif kepada mereka. Alhasil mamaku sangat kecewa dan sempat marah kepadaku, apalagi kakakku langsung menarik anaknya untuk menjauh dariku.”
Hal yang saja juga dialami oleh Erna, juga bukan nama sebenarnya, yang juga seorang Odha. Ini pengalaman Erna di lingkungan keluarganya. “Ketika keluarga mengetahui status HIV saya, mama hanya melarang saya untuk memegang keponakan saya yang masih kecil karena kasihan kalau tertular.” Bagi Erna sikap seperti itu wajar, “Karena mama belum paham dengan HIV,” ujar cewek ini.
Terkait dengan acara yang akan dilangsungkan, menurut Inang Winarso, Direktur Eksekutif PKBI, pada acara Media Gathering bulanan PKBI di Jakarta (6/4-2015): “Event ini merupakan rangkaian kegiatan terkait dengan peringatan ‘Hari Keluarga Nasional’ 29 Juni 2015.”
Ajakan Lola merupakan harapan Inang: “Diharapkan dengan bentuk kegiatan seperti ini masyarakat dapat lebih paham isu HIV/AIDS dan terutama bagi keluarga yang mempunyai anggota keluarga HIV tidak lagi melakukan stigma dan diskriminasi karena pada prinsipnya keluarga adalah rumah terbaik bagi Odha.”
Salah satu kegiatan tanggal 31 Mei 2015 adalah Hugging Run 5K yang akan dikemas dengan kegiatan olah raga (futsal dan basket). Tim futsal Odha akan berhadapan dengan artis-artis ibu kota.
Sedangkan sosialisasi HIV/AIDS dilakukan al. melalui talk show, diskusi, Tes HIV Bersama, dan Bazar.
Acara lain yang tidak kalah pentingnya adalah Malam Renungan AIDS Nasional (MRAN) 2015 yang merupakan bagian dari upaya mendorong masyarakat untuk mengenang suami, istri, anak, keponakan, cucu, pacar, suami, istri, teman, sahabat, dll. yang sudah berpulang karena penyakit terkait AIDS. Dean mengenang mereka masyarakat diharapkan bisa memetik hikmah agar tidak lagi ada yang melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Acara dua hari itu akan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk Odha dan keluarganya serta dimeriahkan oleh artis-artis ibu kota.
PKBI adalah sebuah organisasi gerakan yang didirikan pada tahun 1957 yang berkantor pusat di Jakarta. PKBI memelopori gerakan Keluarga Berencana (KB) di Indonesia. Hingga saat ini PKBI memiliki kantor daerah di 27 provinsi di Indonesia dan terus memperjuangkan hak warga negara agar hak kesehatan terpenuhi secara menyeluruh termasuk kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi. (Kompasiana, 7 April 2015). *
(27) Pemakaian Kata dalam Materi KIE AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia
Penggunaan kata yang merendahkan harkat dan martabat manusia terdapat dalam beberapa material KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) terkait HIV/AIDS.
Dalam buku “Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2007-2010” (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2007), misalnya, ditemukan penggunaan kata yang menggantikan kata pelacur, pekerja seks, dan pekerja seks komersial dengan memakai kata penjaja.
Di halaman iii disebutkan: penjaja seks (PS), pelanggan penjaja seks (PPS
Di halaman x pada Daftar Singkatan disebutkan:
- PPS: Pelanggan Penjaja Seks
- WPS: Wanita Penjaja Seks
Di halaman 1 disebutkan wanita penjaja seks (WPS)
Di halaman 11 disebutkan: penjaja seks (PS), wanita penjaja seks (langsung dan tidak langsung), lelaki seks dengan lelaki (LSL), pelanggan penjaja seks (PPS)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud-Balai Pustaka, Cet I, 1988, disebutkan:
- jaja-berjaja-menjaja: pergi berkeliling membawa dan menawarkan barang dagangan (supaya dibeli orang)
- menjajakan: menjual barang dagangan (dengan dibawa berkeliling)
- jaja-jajaan: barang dagangan yang dijajakan
- penjaja: orang yang menjajakan
Bertolak dari makna kata jaja tentulah penggunaan kata penjaja seks tidak pas karena pekerja seks tidak menjajakan ‘barang dagangannya’. Tidak ada pekerja seks yang berkeliling menunjukkan ‘barang dagangannya’. Ini fakta empiris.
Yang terjadi adalah justru laki-laki yang mendatangi pekerja seks. Ini juga fakta empiris.
Pemakaian kata penjaja seks kepada pekerja seks merendahkan harkat dan martabat manusia yang menjadi pekerja seks (baca: perempuan) sebagai manusia.
Pemakaian kata penjaja pada penjaja seks atau wanita penjaja seks menunjukkan tidak ada cita rasa bahasa.
Penggunaan kata penjaja menyuburkan stigma terhadap pekerja seks dan mendorong masyarakat melakukan diskriminasi terhadap pekerja seks.
Istilah lelaki seks dengan lelaki (LSL) juga tidak pas karena tidak ada gambaran proses atau kegiatan dalam kata ini. Seks adalah jenis kelamin sehingga kalau diartikan maka kata itu menjadi ‘lelaki jenis kelamin dengan lelaki’. LSL dipakai sebagai padanan ‘man having sex with man’ (MSM). Pada MSM ada kegiatan yaitu laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki, sedangkan pada LSL tidak ada kegiatan (seks).
Selain itu Odha bukan singkatan atau akronim tapi kata yang mengacu kepada Orang dengan HIV/AIDS sehingga tidak semua hurufnya kapital. Istilah ini sendiri dianjurkan oleh Prof Dr Anton M. Moeliono, ketika itu Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, kepada aktivis YPI al. Husein Habsyi dan alm. Suzana Murni (16/11-1995). Menurut Prof Anton pemakaian kata Odha lebih netral dan dinamis daripada menyebut penderita, pengidap, korban, dll.
Dalam KIE saja kita sudah membuat jarak dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Ini juga akan membuat orang melihat pekerja seks sebagai bidang keladi epidemi HIV. Pada akhirnya hal itu akan mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap pekerja seks dan akan bermuara pada Odha. (Kompasiana, 6 Agustus 2010). *
(28) Diskriminasi Terhadap Pengidap HIV/AIDS
Dengan 472 kasus HIV/AIDS (282 HIV positif dan 190 AIDS), Jawa Timur berada pada peringkat tiga nasional. Angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya. Perlakuan buruk terhadap Odha (orang yang hidup dengan AIDS) menyulitkan penanggulangan epidemi HIV/AIDS.
Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 -hari ini- masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatisasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Selama ini di Surabaya sering dilkukan razia untuk menangkap pekerja seks. Yang tertangkap diambil darahnya untuk tes HIV tanpa melalui standar prosedur tes HIV yang baku (konseling sebelum dan sesudah tes, pernyataan kesediaan, asas anonimitas, dan konfidensialitas). Hal ini dilakukan seakan-akan sebagai cara menanggulangi epidemi HIV/AIDS karena pekerja seks yang terdeteksi HIV positif akan ‘diawasi’.
Perlakuan itu membuat Odha mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sehingga ada kemungkinan orang-orang yang terinfeksi HIV ‘menyembunyikan’ diri di masyarakat. Padahal, penanganan pasca tes HIV sangat penting untuk mendorong orang tersebut agar tidak berperilaku berisiko.
Perilaku Berisiko
Mengawasi pekerja seks yang terdeteksi HIV positif tidak banyak manfaatnya. Yang lebih ‘berbahaya’ justru laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman dengan pekerja seks. Mereka berisiko tinggi tertular HIV. Jika ada laki-laki yang tertular HIV, dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Dia akan menulari istrinya (horizontal). Jika istrinya tertular, ada pula risiko penularan dari-ibu-ke-bayi (vertikal), terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Surabaya umumnya terdeteksi di kalangan pekerja seks.
Jadi, ada risiko tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan pekerja seks. Celakanya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya tertular HIV karena tidak ada keluhan yang khas. Tidak ada pula gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala baru muncul jika sudah mencapai masa AIDS (5-10 tahun). Tapi, perlu diingat bahwa biarpun belum mencapai masa AIDS, seseorang yang HIV positif sudah dapat menularkan HIV melalui cara-cara yang sangat spesifik.
Sebagai virus, HIV hanya dapat menular melalui (1) hubungan seks yang tidak aman (tak memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) transfusi darah, (3) jarum suntik, dan (4) dari ibu yang HIV positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI. Karena tidak ada gejala-gejala klinis yang terkait dengan HIV/AIDS, yang diperlukan adalah kesadaran setiap orang untuk menimbang-nimbang: Apakah dirinya berperilaku berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika jawabannya “ya”, orang tersebut berisiko tertular HIV.
Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (senggama) yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (senggama) yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.
Materi KIE
Setiap orang dapat melindungi diri sendiri dengan aktif agar tidak tertular HIV, yaitu dengan menghindari perilaku berisiko. Tapi, hal itu tidak mudah karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat. Materi KIE (komunikasi, informasi, edukasi) selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui zina, seks di luar nikah, ‘seks bebas’ (istilah ini rancu), seks menyimpang, pelacuran, dll.
Padahal, tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina, seks di luar nikah, seks menyimpang, atau pelacuran. HIV menular melalui hubungan seksual yang tidak aman jika salah satu dari pasangan itu HIV positif di dalam dan di luar nikah.
Informasi yang menyesatkan itulah kemudian yang membuat masyarakat tidak waspada. Banyak yang merasa tidak akan tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks di luar lokalisasi. Ada pula yang merasa aman karena kencan dengan ‘anak sekolah’.
Kalau hubungan seksual yang tidak aman dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti, baik ‘anak sekolah’, ‘orang baik-baik’, dll, tetap berisiko tertular HIV. Soalnya, bisa saja di antara teman kencan tersebut ada yang HIV positif.
Ketika epidemi HIV sudah menjadi ancaman yang nyata terhadap kesehatan masyarakat, langkah yang perlu ditempuh adalah menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Salah satu informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Selain itu, ada anjuran agar orang-orang yang pernah berperilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV sukarela sesuai standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Dengan mengetahui status HIV lebih dini sebelum mencapai masa AIDS, orang tersebut dapat diajak kompromi agar tidak menulari orang lain.
Selain itu, yang bersangkutan mendapat perawatan medis. Misalnya, pemberian obat antiretroviral (obat yang dapat menahan laju perkembangan HIV di dalam darah) sehingga kondisi kesehatan sampai ke masa AIDS tetap baik. (Sumber: Harian “Pontianak Post”, Pontianak, Kalbar, edisi 2 Desember 2003). *
(29) Mewujudkan Perlindungan Hukum dan HAM Bagi Odha
Mitos (anggapan yang salah) seputar HIV/AIDS menyuburkan stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Akibatnya, Odha sering mengalami pelanggaran etika, hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Perlakuan yang diskriminatif dan pelanggaran HAM yang sering dialami Odha antara lain penolakan di rumah sakit, pengucilan, PHK, penolakan klaim asuransi, pemulangan pekerja seks ke daerah asalnya, pelacakan pekerja seks yang positif HIV, dan pemaksaan tes HIV tanpa prosedur standar operasi, serta skrining terhadap calon karyawan dan karyawati secara terselubung.
Salah satu bentuk pelanggaran HAM terkait Odha puncaknya terjadi ketika RS Medistra Jakarta menolak seorang pasien dr. Syamsurizal Djauzi, DSPD, yang positif HIV (Agustus 1996).
Begitu pula dengan yang dialami oleh Cici (bukan nama sebenarnya, sudah meninggal) ketika itu berumur 23 tahun, seorang Odha di Kab. Karawang, Jabar, yang dipulangkan dari Riau (1993). Di desanya dia menjadi tontonan masyarakat karena digiring oleh aparat keamanan ke Puskesmas. Rupanya, Cici menolak diambil darahnya di Puskesmas untuk tes HIV karena dia hanya mau dites di RSCM. Tapi, tim dari dinas kesehatan setempat tetap memaksanya agar darahnya diambil di Puskesmas itu.
Pelanggaran HAM
Begitu pula dengan Cece (bukan nama sebenarnya, sudah meninggal) ketika itu berumur 22 tahun. Dia juga penduduk Kabupaten Karawang, Jabar, yang dipulangkan bersama Cici. Status HIV-nya diketahui penduduk karena dibeberkan aparat desa dan wartawan pun datang bersama aparat ke rumahnya. Akibatnya, penduduk mengucilkan keluarga Cece.
Keluarga ini pun terpaksa pindah dari satu desa ke desa lain karena masyarakat mengucilkan mereka. Tidak ada yang mau membeli kue ibu Cece. Tidak ada pula yang memberikan pekerjaan kepada ayah Cece sebagai buruh tani. Masyarakat mendapat informasi yang salah tentang HIV dan AIDS dari aparat dan media massa. Pemberitaan mengesankan HIV menular melalui pergaulan sehari-hari sehingga penduduk menghindari mereka.Aparat di sebuah desa di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat (Jabar), juga tidak lagi melihat perkawinan sebagai hak asasi Onah (bukan nama sebenarnya), 24, seorang Odha di sana. Mereka mau memberikan izin menikah hanya karena menganggap Onah tinggal menunggu ajal.
Onah pun dikucilkan. Ada petugas Puskesmas yang mengatakan ‘penyakit’ Onah bisa menular melalui udara. Bahkan, ketika itu status HIV Onah pun belum dikonfirmasi dengan Western Blot karena tes yang dilakukan dalam sebuah serosurvey baru tes ELISA. Tapi, jajaran pemda dan instansi terkait di sana sudah ‘memvonis’ Onah sebagai Odha. Akibatnya, semua gejala (penyakit) yang dialaminya langsung dikaitkan penduduk dengan AIDS dan kematian.
Pasangan Odha di Ujungpandang, Sulsel, juga harus berpindah-pindah karena diusir pemilik rumah ketika mereka dikenali sebagai ‘pasangan Odha’. Anik (bukan nama sebenarnya, sudah meninggal), salah satu dari pasangan itu sepuluh kali pindah rumah karena pemilik rumah yang dikontraknya mengenalinya sebagai ’pasangan odha’.
Rupanya, pemilik rumah mengingat-ingat wajah Anik sebagai pasangan Odha. Soalnya, ketika Anik menikah media massa memberitakannya lengkap dengan foto pernikahannya. Selama hidupnya Anik selalu was-was karena ia takut ada yang mengenalinya, sehingga ia pun tidak bisa lagi mencari nafkah sebagai penata rambut.
Akibatnya, Anik hanya bisa ’mengemis’ kepada teman atau orang yang dikenalnya. ”Kalau saya tidak ditangkap saya tidak ’ngemis’ ke Abang,” kata Anik kepada penulis dalam berbagai kesempatan. Rupanya, Anik merupakan korban penanggulangan HIV/AIDS yang tidak mengikuti standar prosedur operasi. Dia ditangkap di ’jalan vagina raya’ (julukan untuk nama sebuah jalan di dekat pelabuhan laut Makassar yang merupakan tempat mangkal pekerja seks). Tanpa konseling langsung dia jalani tes HIV. Hasil tes dan identitasnya pun tersebar luas melalui media massa.
Perlakuan yang diskriminatif terhadap Odha merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Stigmatisasi terhadap Odha juga merupakan pelanggaran HAM. Selain melanggar HAM perlakuan diskriminatif dan stigmatisasi terhadap Odha juga merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Dalam UU HAM disebutkan: ”Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”
Ironis, memang. Yang melecehkan HAM Odha justru yang melek hukum, tapi di sisi lain banyak pula Odha, seperti Cici dan Cece (Kabuparen Karawang, Jabar), Onah (Kabupaten Sumedang, Jabar) dan Anik (Kota Makassar, Sulsel), dan lain-lain yang tidak memahami hak-hak mereka sebagai warga negara. Seharusnya, jajaran pemda dan instansi-instansi pemerintah lebih memahami hak, perlindungan hukum dan HAM bagi Odha.
Dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia (Keputusan Menko Kesra No. KEP/MENKO/KESRA/VI/1994) disebutkan: Setiap kebijakan, program, pelayanan dan kegiatan harus tetap menghormati harkat dan martabat dari pada pengidap HIV/penderita AIDS dan keluarganya. Selain itu disebutkan pula: Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV/AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent). Sebelum dan sesudah tes HIV harus diberikan konseling yang memadai dan hasil pemeriksaan wajib dirahasiakan.
Kondisi Rentan
Berkaitan dengan pelanggaran hukum dan HAM ini praktisi hukum peduli HIV/AIDS di Bali mengeluarkan Pernyataan Sanur (8/5-1998) yang antara lain menyebutkan: Diperlukan perlindungan hukum atas hak privasi, perlindungan terhadap Odha dan keluarganya sampai Odha meninggal dunia, perlindungan terhadap pemaksaan untuk menjalani tes HIV, perlindungan atas kebebasan dan keamanan Odha, perlindungan atas kebebasan dari perlakuan yang tidak manusiawi, serta perlindungan atas hak untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.
Perlakuan diskriminatif dan pemberian stigma terhadap Odha terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV dan AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga penularan HIV dikaitkan dengan perilaku (negatif). Akibatnya, ada kesan bahwa orang-orang yang tertular HIV karena ulah mereka sendiri.
Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan ’seks bebas’. Selain ngawur istilah ini pun mengesankan perilaku yang tidak bermoral. ’Seks bebas’ adalah terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak dikenal dalam kosakata Bahasa Inggris. Istilah ini muncul di tahun 1970-an yang merujuk ke perilaku sebagian remaja ketika itu.
Memakai ’seks bebas’ dalam kaitan dengan penularan HIV akan mendorong masyarakat untuk memberikan cap buruk dan diskriminasi terhadap orang-orang yang tertular HIV.
Kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai zina dalam berbagai bentuk maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah. Tapi, karena informasi yang menyesatkan akhirnya masyarakat menyimpulkan bahwa penularan HIV terjadi karena ’seks bebas’. Kondisi ini lagi-lagi menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap Odha. Akan jauh lebih arif kalau istilah ’seks bebas’ dihapus dari materi KIE HIV dan AIDS dan diganti dengan seks tidak aman atau seks berisiko.
Tanpa perlindungan hukum dan HAM yang konsisten maka kian banyak orang yang berada pada posisi rentan tertular HIV. Misalnya, bias gender yang menempatkan perempuan sebagai subordinat dari laki-laki. Perempuan, seperti ibu-ibu rumah tangga, berada pada posisi yang rentan tertular HIV karena mereka tidak bisa memaksa suaminya memakai kondom ketika mereka mengetahui perilaku seks suaminya di luar rumah.
Begitu pula dengan pekerja seks komersial (PSK) yang tidak bisa memaksa temannya untuk memakai kondom. Hal yang sama juga dialami oleh anak-anak dan perempuan yang diperdagangkan sebagai ’budak seks’. Mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seks. Anak-anak jalanan juga berada pada posisi yang sangat rentan tertular HIV karena mereka menjadi objek bagi ’penguasa’ jalanan.
Itu semua terjadi karena tidak ada perlindungan hukum dan HAM bagi kalangan yang berada pada posisi rentan. Mereka tidak bisa mewujudkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Kondisi ini merupakan salah satu aspek yang menghambat penanggulangan epidemi HIV.
Untuk itulah hak hukum dan HAM, terutama bagi Odha, perlu diwujudkan agar mereka bisa mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tidak ada lagi Odha yang menjadi korban stigmatisasi dan diskriminasi. (Kompasiana, 22 Juni 2011). *
(30) Tempatkan Perempuan dan Anak dengan HIV/AIDS Sebagai Populasi Kunci Dorong Stigma dan Diskriminasi
Perempuan dan anak-anak bukan pelaku aktif perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS dengan kondisi mereka sebagai objek yang pasif
Data menunjukkan hampir setengah dari kasus infeksi HIV baru pada anak, dipastikan berasal dari ibu yang tidak menerima terapi ARV. Padahal perempuan dan anak dengan HIV merupakan populasi kunci yang seharusnya menjadi prioritas untuk mengakhiri epidemi AIDS. Ini ada dalam berita “UNAIDS: Terapi ARV Bagi Perempuan dan Anak Kunci Akhiri Epidemi AIDS” (republika.co.id, 27 November 2022).
Laporan di situs siha.kemkes.go.id (24/11-2022) menunjukkan dari tahun 1987 sampai 31 Maret 2022 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 466.978 yang terdiri atas 329.581 HIV dan 137.397 AIDS.
Pernyataan ini: “…. perempuan dan anak dengan HIV merupakan populasi kunci ….” tidak tepat karena mereka bukan pelaku aktif perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Perempuan, dalam hal ini ibu rumah tangga, adalah objek yang pasif sebagai korban dari pasangan atau suami dengan perilaku seksual yang berisiko.
Penyebutan perempuan (baca: ibu rumah tangga) dan anak-anak dengan HIV/AIDS sebagai ‘populasi kunci’ akan menyuburkan stigma (cap negatif) dan mendorong diskriminasi (perlakuan berbeda). Ini jadi beban multi ganda bagi ibu rumah tangga dan anak-anak yang terjadi di ranah social settings.
- Terapi ARV Langkah di Hilir
Di beberapa daerah anak-anak dengan HIV/AIDS ditolak belajar di sekolah formal. Kondisinya kian runyam karena ada pula terminologi ADHA (Anak dengan HIV/AIDS) yang kasat mata yang pada akhirnya menguatkan status HIV anak-anak tersebut yang bermuara pada stigmatisasi dan diskriminasi.
Secara empiris terapi ARV (antiretroviral) adalah kondisi di hilir yaitu diberikan kepada orang-orang yang sudah tertular HIV.
Sementara itu di hulu terus terjadi infeksi HIV baru, dalam hal ini pada suami, yang selanjutnya menularkan ke istrinya secara horizontal. Ini bermuara pada anak yang dilahirkan istri yang tertular HIV dari suami.
Bagaimana mungkin bisa mengakhiri epidemi HIV/AIDS hanya dengan program terapi ARV kepada perempuan dan anak yang dilahirkan. Ini omong kosong karena langkah ini ada di hilir (Lihat matriks program ARV langkah di hilir).
Matriks: Program ART Bagi Perempuan dan Anak Penanggulangan di Hilir (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)
Pertama, suami ibu-ibu hamil yang menjalani terapi ARV tidak otomatis menjalani tes HIV sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (lihat matriks penyebaran HIV/AIDS oleh suami ibu hamil yang tidak jalani tes HIV).
Matriks: Penyebaran HIV/AIDS Jika Suami Ibu Hamil Tidak Jalani Tes HIV. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Kedua, ada suami yang beristri lebih dari satu secara sah, terutama berdasarkan hukum agama tertentu, sehingga menambah jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual di dalam nikah.
Ketiga, bisa jadi suami yang mengidap HIV/AIDS juga punya pasangan seks lain, pelanggan pekerja seks komersial (PSK) dan Waria.
Keempat, tidak semua perempuan yang mengidap HIV/AIDS terdeteksi sehingga mereka tidak menjalani terapi ARV. Soalnya, wajib tes ibu hamil hanya di fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) pemerintah, sehingga ibu hamil yang jalani pemeriksaan kehamilan dan persalinan di Fasyankes swasta tidak menjalani tes HIV.
Itu semua terjadi di hulu. Maka, kalau hanya sebatas terapi ARV bagi perempuan pengidap HIV/AIDS dan anak yang dilahirkan dengan HIV/AIDS adalah hal yang mustahil mengakhiri epidemi HIV/AIDS.
Dalam berita disebut: Kasus infeksi baru ini sekitar 40 persen terjadi pada perempuan.
Persoalan bukan pada perempuan, dalam hal ini PSK dan ibu rumah tangga, tapi pada laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan ibu rumah tangga.
- Membalik Paradigma Berpikir
Membicarakan HIV/AIDS pada perempuan dan PSK itu ada di hilir. Yang jadi persoalan adalah di hulu yaitu laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan ibu rumah tangga.
Di beberapa daerah ada regulasi yang mewajibkan perempuan hamil tes HIV, tapi banyak suami perempuan hamil yang justru menolak tes HIV.
Di Lebak, Banten, ketika seorang suami diberitahu bahwa istrinya yang baru melahirkan HIV-positif, maka suami itu kabur meninggalkan istri dan anak-anaknya.
Maka, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota yang membuat regulasi yang mewajibkan ibu hamil tes HIV sejatinya membalik paradigma berpikir: yang diwajibkan tes bukan ibu hamil, tapi suami perempuan hamil. Jika suami HIV-positif baru istrinya yang hamil menjalani tes HIV.
Pernyataan lain: Sementara lebih dari 51 persen terjadi pada kelompok remaja usia 15 sampai 24 tahun dan 12 persen infeksi baru pada anak.
Terkait dengan infeksi HIV/AIDS pada kelompok remaja adalah hal yang logis dan realistis karena pada rentang usia itu libido mereka tinggi yang membutuhkan penyaluran melalui hubungan seksual penetrasi.
Persoalannya adalah: selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS tenggelam sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Seperti mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan hubungan seksual sebelum menikah, pergaulan bebas, seks bebas, perselingkuhan, pelacuran dan homoseksual.
- Materi KIE tentang HIV/AIDS Tidak Akurat
Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (hubungan seksual sebelum menikah, pergaulan bebas, seks bebas, perselingkuhan, pelacuran dan homoseksual), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis. (Lihat matrik sifat dan hubungan seksual)
Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)
Akibatnya, remaja tidak mengetahui cara yang akurat untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Celakanya, penyaluran libido tidak bisa diganti dengan kegiatan lain selain hubungan seksual penetrasi. Bisa juga melalui ‘seks swalayan’ yaitu onani pada laki-laki dan masturbasi pada perempuan.
Disebutkan: Untuk merealisasikan penghentian epidemi AIDS pada 2030, semua orang harus meningkatkan upaya pencegahan, semua orang dengan hasil tes positif harus segera menjalani treatment ARV, semua orang yang sedang menjalani pengobatan harus disiplin untuk mencapai viral load tersupresi.
Persoalannya adalah: karena materi KIE tentang HIV/AIDS selama ini tidak akurat, maka banyak orang dengan perilaku seksual berisiko menganggap dirinya tidak berisiko tertular HIV/AIDS. Disebutkan HIV/AIDS menular melalui seks bebas yang di masyarakat dimaknai sebagai melacur dengan PSK di lokalisasi pelacuran.
Nah, banyak laki-laki melakukan perilaku seksual berisiko bukan dengan PSK (langsung) dan tidak pula di tempat, lokasi atau lokalisasi pelacuran. Maka, mereka menganggap tidak ada risiko tertular HIV/AIDS.
Kondisinya kian runyam karena sebagian besar media massa dan media online situs kesehatan dan situs-situs lain mengumbar ciri-ciri, tanda-tanda-tanda dan gejala-gejala HIV/AIDS tanpa menyebut prakondisi yaitu pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko agar hal itu terkait dengan HIV/AIDS.
Akibatnya, banyak orang, terutama laki-laki dewasa, dengan perilaku seksual berisiko tidak mengalami ciri-ciri, tanda-tanda-tanda dan gejala-gejala HIV/AIDS yang dipublikasikan media dan situs kesehatan sehingga mereka merasa aman dari infeksi HIV/AIDS.
“Penguatan multi-sektoral menjadi penting untuk dilakukan agar mendapatkan dukungan yang cukup program HIV. Negara juga harus prioritaskan pembiayaan program HIV. Maka begitu, saya yakin bahwa kita semua dapat akhiri AIDS pada 2030,” ujar UNAIDS Country Director Indonesia, Krittayawan Boonto, dalam keterangan tertulis, 26 November 2022, seperti yang dikutip republika.co.id.
Negara, dalam hal ini pemerintah, tidak bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena penularan HIV/AIDS erat kaitannya dengan perilaku seksual berisiko orang per orang.
Maka, yang bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, hanyalah warga yaitu orang per orang.
Masalahnya adalah informasi tentang HIV/AIDS melalui KIE tidak objektif karena mengandung mitos yang membuat banyak orang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang benar.
Itu artinya insiden infeksi HIV/AIDS akan terus terjadi di Indonesia sebagai ‘silent disaster’ (bencana terselubung) yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (dari berbagai sumber). (Tagar.id, 1 Desember 2022). *
Bagan IV – Penanggulangan HIV/AIDS
(31) Gratifikasi Seks Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Kalangan Penyelenggara Negara
* Mendorong KPK mengatur sanksi pidana berat bagi pemberi dan penerima gratifikasi seks
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar pertemuan dengan ratusan pemimpin perusahaan swasta di Medan, Sumatera Utara (24/6-2013). Materi yang dibahas pada pertemuan tsb. adalah seputar pencegahan dan pemberantasan gratifikasi seks dan suap melalui fasilitas hiburan (TRIBUNnews.com 23/6-2013).
Terlepas dari apakah gratifikasi seks dan suap fasilitas hiburan berupa cewek yang diberikan pihak swasta ke penyelenggara negara merupakan korupsi atau tidak, tapi dari aspek epidemi HIV/AIDS gratifikasi seks merupakan salah satu faktor pendorong penyebaran HIV/AIDS di kalangan pejabat atau penyelenggara negara.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sampai Desember 2012 mencapai 143.889 yang terdiri atas 98.390 HIV dan 45.499 AIDS dengan 8.235 kematian. Yang perlu diingat adalah angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi.
Ada anggapan bahwa cewek atau perempuan yang berisiko menularkan HIV/AIDS hanyalah cewek atau perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran dan di tempat-tempat hiburan malam, termasuk ‘panti pijat plus-plus’.
Anggapan itu merupakan mitos (anggapan yang salah) karena risiko tertular HIV/AIDS pada cewek atau perempuan bukan karena dia seorang PSK atau perempuan pekerja di tempat hiburan malam dan panti pijat, tapi karena perilakunya yaitu sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti.
Seorang perempuan, dalam hal ini cewek yang menjadi gratifikasi seks, berisiko tertular HIV karena dia sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
Seperti yang ada dalam gambar, seorang cewek gratifikasi seks pernah melakukan hubungan seksual dengan banyak laki-laki. Di antara laki-laki tsb. ada juga yang menjadi pelanggan PSK. Ada pula yang punya pasangan Waria. Ada lagi yang juga punya pasangan laki-laki lain, disebut LSL yaitu lelaki yang suka seks lelaki.
Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dengan cewek gratifikasi seks mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan pada cewek gratifikasi seks.
Ketika seorang penyelenggara negara menerima cewek gratifikasi ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu:
(1) Laki-laki penyelenggara negara tsb. justru pengidap HIV/AIDS, maka dia menularkan HIV/AIDS kepada cewek gratifikasi seks.
(2) Laki-laki penyelenggara negara yang menerima cewek gratifikasi seks yang sudah mengidap HIV/AIDS berisiko tertular HIV.
Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki penyelenggara negara yang menularkan HIV kepada cewek gratifikasi seks dan laki-laki penyelenggara negara yang tertular HIV dari cewek gratifikasi seks bisa saja sebagai suami. Maka, mereka pun akan menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Jika istri mereka tertular HIV, anak yang dikandung istri pun berisiko pula tertular HIV (vertikal).
Bisa saja terjadi cewek gratifikasi seks justru merupakan ‘langganan’ dari pelaku usaha swasta sehingga petinggi di pihak swasta itu pun bisa mengalami hal yang sama dengan penyelenggara negara.
Di beberapa daerah kasus HIV/AIDS mulai terdeteksi pada PNS dan aparat. Ini merupakan konsekuensi logis karena, (a) ada kemungkinan mereka menerima cewek gratifikasi, atau (b) mereka mempunyai uang karena mendapat penghasilan yang tetap sehingga bisa membeli seks secara rutin.
Maka, upaya KPK untuk mengatur sanksi pidana bagi pemberi dan penerima gratifikasi seks merupakan salah satu langkah yang berarti dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, terutama pada kalangan penyelenggara negara. (AIDS Watch Indonesia, 23 Juni 2013). *
(32) Hak Bebas HIV Melalui Transfusi Darah
Risiko tertular HIV melalui darah yang terkontaminasi HIV lebih dari 90 persen. Oleh sebab itu setiap orang yang menerima transfusi darah berhak mendapatkan darah yang bebas dari HIV. Pedoman internasional dan Resolusi IPU (Inter-Parliamentary Union) Tahun 1998 juga menghargai undang-undang tentang kesehatan masyarakat yang mengharuskan darah untuk transfusi bebas dari HIV dan penyakit-penyakit yang dibawa darah. Ditinjau dari aspek hak asasi manusia (HAM) pun hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak asasi.
Laporan UNAIDS (1997) menunjukkan lebih dari empat juta darah donor setiap tahun di seluruh dunia tidak dites HIV dan penyakit-penyakit infeksi lain. Dari 34,3 juta kasus HIV/AIDS global 5-10 persen diantaranya tertular melalui transfusi darah yang tidak diskrining HIV. Bahkan di India 7 persen kasus HIV/AIDS tertular melalui transfusi darah (Strategies for Safe Blood Transfusion, WHO, Regional Office for South-East Asia, New Delhi, 1998).
Penularan HIV melalui darah bukan hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Di Eropa, misalnya, tercatat 6.000 kasus, sedangkan di AS antara 1983 dan 1993 tercatat 8.000 kasus penularan HIV melalui transfusi darah.
Kasus penularan HIV melalui transfusi darah baru saja terjadi pada seorang wanita guru mengaji di Malaysia. Ibu rumah tangga berusia 47 tahun itu berobat ke Rumah Sakit Jitra, 28 April 2000, karena perdarahan sehingga memerlukan transfusi darah. Darah yang ditransfusikan kemudian diketahui HIV-positif. Tes darah pada 8 Mei 2000 menunjukkan wanita tadi tertular HIV.
Faktor risiko penularan yang jelas diketahui dari transfusi darah di sebuah rumah sakit, menyebabkan wanita itu pun menuntut ganti rugi kepada pemerintah Malaysia sebesar 100 juta ringgit Malaysia (sekitar Rp 200 miliar). Tuntutan lain adalah pengobatan gratis selama sisa hidupnya yang diperkirakan 2.000 ringgit (sekitar Rp 4 juta) per bulan.
Tes Sukarela
Bertolak dari fakta di atas, patutlah kita khawatir membaca berita ”Darah PMI Rentan Penyakit” (Suara Pembaruan, 11/11-2000). Bisa saja kejadian di Malaysia terjadi di sini. Maka, tuntutan yang sama pun bisa pula terjadi di negeri ini. Apalagi sekarang sudah ada UU Perlindungan Konsumen. Pada Januari 2000, misalnya, Ditjen PPM&PL Depkes melaporkan 16 kasus HIV yang terdeteksi pada darah donor.
Probabilitas penularan HIV melalui darah sangat tinggi. Tidak ada pilihan bagi UTD (unit transfusi darah)-Palang Merah Indonesia (PMI) selain menskrining darah (melakukan uji saring darah) yang akan ditransfusikan.
PMI yang sudah ada sejak tahun 1969 berdasarkan Keppres No 246/1969 mulai melakukan uji saring darah donor dalam upaya penanggulangan AIDS sejak 1992 berdasarkan Kepmenkes No 622/VII/1992. Tes sifilis mulai dilakukan pada 1974, hepatitis B sejak 1985, sedangkan tes hepatitis C baru dilakukan di beberapa UTD.
Sampai tahun 1996tercatat 144 UTD di seluruh Indonesia. Bandingkan dengan jumlah daerah tingkat dua (kabupaten dan kota) yang mencapai 298. Pemerintah AS mewajibkan darah dites HIV sejak Maret 1985. Identifikasi HIV sendiri pada 1983. Jadi, penerima transfusi darah sebelum 1992, perlu juga memikirkan untuk menjalani tes HIV secara sukarela karena kasus HIV/ AIDS di Indonesia sudah ada sejak 1987. Bahkan, pada 1988 seorang warga negara Indonesia meninggal dengan indikasi AIDS. Berarti, kalau jarak antara infeksi sampai mencapai masa AIDS antara 7-10 tahun maka epidemi HIV sudah ada antara tahun 1978 dan 1983.
Hasil tes HIV terhadap darah donor sendiri tergantung pula pada masa jendela (window period). Biarpun seseorang sudah tertular HIV tetapi dalam rentang waktu enam bulan sejak tertular antibodi di dalam darahnya belum bisa dideteksi melalui tes HIV. Dalam kaitan itulah diperlukan kejujuran donor. Salah satu cara untuk mengetahui perilaku donor adalah melalui kuesioner atau daftar pertanyaan.
Biarpun angka kasus infeksi HIV dari transfusi darah kecil tetapi skrining darah donor tetap harus menjadi perhatian karena epidemi HIV dan penyebaran PMS sudah masuk ke masyarakat pada kelompok berisiko rendah tertular HIV, seperti ibu-ibu rumah tangga dan bayi. Pada 1992/1993 dari 533.865 kantong darah terdeteksi delapan kantong darah yang positif HIV, 1997/1998 terdeteksi 28, pada 1998/1999 terdeteksi 56 dan 1999/2000 terdeteksi 66. Jika dihitung rata-rata dari setiap 10.000 kantong darah ada satu yang positif HIV.
Standar ISO
Melihat risiko penularan melalui transfusi yang sangat tinggi, ada baiknya kalau kebutuhan darah dicari dari lingkungan anggota keluarga. Anggota keluarga tentu akan lebih jujur sehingga hasil negatif palsu (hasil tes HIV pada masa jendela) dapat dihindarkan. Di samping itu pemberian transfusi darah pun harus rasional, artinya transfusi diberikan jika pertimbangan secara medis sudah mengharuskannya.
Selama ini UTD-PMI menghadapi kendala biaya untuk uji saring darah (biaya pengganti pengolahan darah/ BPPD) yang terus meningkat. Pengujian satu labu darah memerlukan biaya Rp 106.000, tetapi BPPD yang ditetapkan UTD-PMI justru di bawah biaya uji saring darah (Republika, 13/11-2000). Jika dibandingkan dengan risiko penularan HIV dan penyakit lain dari transfusi darah yang tidak disaring tentulah biaya itu tidak besar. Inilah yang perlu disosialisasikan agar masyarakat memahaminya. Agaknya, itulah yang kurang dilakukan selama ini. Di Malaysia darah untuk transfusi gratis.
Ada baiknya anjuran WHO untuk melakukan pool 2 sampai pool 6 (menggabungkan dua sampai enam contoh darah) pada uji saring darah bagi negara yang kekurangan dana dan prevalensi HIV rendah tidak diterapkan secara membabi-buta. Prevalensi HIV secara nasional yang dinilai rendah itu terjadi karena surveillance test dilakukan secara sporadis, bahkan sering mengabaikan hak-hak asasi manusia (HAM) ketika dilakukan terhadap pekerja seks. Petugas menyebutkan surveillance sifilis, tetapi yang terjadi kemudian tes HIV. Identitas pekerja seks pun diketahui karena contoh darah dicatat.
Jadi, prevalensi HIV nasional tidak dapat dijadikan patokan karena surveillance test tidak sistematis dan angka kasus kumulatif HIV/AIDS pun tidak semuanya warga negara Indonesia. Tidak sedikit pula dari angka itu yang merupakan hasil surveillance test sehingga tidak akurat karena hasil- nya belum dikonfirmasi dengan tes lain.
Negara-negara lain, seperti Malaysia, sudah melakukan surveillance test berupa skrining rutin terhadap pasien klinik PMS (penyakit menular seksual), pengguna narkoba suntikan (injecting drug use/IDU), perempuan hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB, sehingga prevalensi HIVnya lebih akurat. Sampai sekarang sistem ini tidak ada di Indonesia sehingga identifikasi kasus-kasus baru hanya diperoleh dari diagnosis dan darah donor.
Untuk mengantisipasi kemungkinan penularan melalui transfusi darah Malaysia menetapkan pelayanan transfusi darah di negeri jiran itu akan tunduk pada ISO (International Organization for Standardization) melalui standar ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories). Cara yang ditempuh Malaysia itu dapat menjadi cermin bagi kita. Biarpun biaya untuk mendapatkan sertifikat ISO besar, tetapi akan lebih baik daripada dituntut ratusan miliar rupiah. (Sumber: Harian ”Suara Pembaruan”, Jakarta, 1 Desember 2000). *
(33) Indonesia Tetap Ngotot Sebut Seks Bebas Sebagai Penyebab Penularan HIV/AIDS
Program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand justru dimulai dengan memanfaatkan media massa untuk sosialisasi informasi HIV/AIDS yang akurat
Mengapa Thailand dengan kunjungan Wisman (wisatawan mancanegara) sebanyak 39,92 juta di tahun 2019 bisa mengatasi penyebaran HIV/AIDS?
Laporan aidsdatahub.org menunjukkan pada tahun 2022 jumlah warga Negeri Gajah Putih itu yang hidup dengan HIV mencapai 520.000 dengan pertambahan kasus baru sebanyak 6.500 per tahun.
Bandingkan dengan Indonesia yang menerima Wisman sebanyak 16,1 juta (thejakartapost.com, 3/2-2020) jumlah warga yang hidup dengan HIV sebanyak 540.000 dengan pertambahan kasus baru sebanyak 27.000 per tahun.
Sementara itu data di siha.kemkes.go.id menunjukkan sampai 30 Juni 2022 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS secara nasional mencapai 618.284 yang terdiri atas 478,784 HIV dan 139.500 AIDS.
Ternyata sejak awal pandemi di awal tahun 1980-an pemerintah Thailand melancarkan lima program dengan skala nasional. Program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand justru dimulai dengan memanfaatkan media massa (ketika itu belum ada media online dan media sosial) menyebarluaskan informasi HIV/AIDS yang akurat dengan pijakan fakta medis sebagai media pembelajaran masyarakat (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thammarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000).Celakanya, di Indonesia sebagian besar media massa, belakangan muncul media online dan media sosial, justru menyebarluaskan berita dan informasi tentang HIV/AIDS yang dibumbui dengan norma, moral dan agama.
Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS tenggelam yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Lihat saja situs pemerintah https://hivaids-pimsindonesia.or.id ini yang tetap berpegang teguh pada mitos daripada menyampaikan fakta. Buktinya, di situs resmi pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, itu, tertulis: “PENCEGAHAN PENULARAN HIV Dengan ABCD ABSTINENCE Hindari Seks Bebas.”
Padahal, seks bebas adalah jargon moral yang mengabaikan fakta tentang cara-cara penularan HIV/AIDS dengan pijakan fakta medis yang justru menyuburkan mitos.
Informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dengan pijakan fakta medis sudah diperkenalkan sejak 40 tahun yang lalu yaitu di awal epidemi HIV/AIDS.
Judul Berita Berbalut Mitos
Tapi, sampai sekarang banyak kalangan, termasuk pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dinas kesehatan (provinsi, kabupaten dan kota), aktivis dan media (media massa dan media online/portal berita serta media sosial) tak terkecuali situs kesehatan dan artikel ilmiah mengabaikan fakta medis dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Lihat saja beberapa judul berita di bawah ini:
- Seks Bebas Jadi Faktor Utama Penularan HIV/AIDS (mediaindonesia.com, 1/12-2020)
- 92 Orang di Cimahi Tertular HIV/AIDS Akibat Seks Bebas (news.detik.com, 1/12-2020)
- Sejumlah Remaja Tulungagung Terinfeksi HIV/AIDS karena Seks Bebas, Ini Faktanya (merdeka.com, 2/12-2021)
- Kasus HIV AIDS Meningkat, Warga Cilegon Dihimbau Tidak Seks Bebas, Gonta-ganti Pasangan dan Narkoba Suntik (disway.id, 28/9-2020)
- Hasil Penelitian, LGBT dan Seks Bebas Picu HIV-AIDS di Kota Malang Meningkat (republika.co.id, 3/2-2022)
- Pergaulan Seks Bebas Bisa Tularkan HIV, Ini Penjelasannya (halodoc.com, 30/10-2020)
- KPA Tulungagung sebut sejumlah remaja terinfeksi HIV/AIDS karena seks bebas (jatim.antaranews.com, 1/12-2021)
- Pengaruh Seks Bebas Pada Remaja Terhadap Meningkatnya Resiko Terjadinya HIV/AIDS (researchgate.net, December 2019)
- Lebih dari 1.000 Orang di Bandung Kena HIV, Akibat Free Sex-Narkoba (jawapos.com, 25/8-2022)
- HIV/AIDS Meningkat di Mahasiswa, Ini Bahaya Pergaulan Bebas dalam Kajian Keislaman (islam.nu.or.id, 28/8-2022)
- Seks Bebas, 85 Kasus HIV/AIDS di Sulbar (regional.kompas.com, 16/8-2011)
- Bahaya Seks Bebas: Dari HIV/AIDS sampai Mandul (solopos.com, 1/9-2022)
- Seks Bebas Penyebab Tingginya Penularan AIDS Tulungagung (jatim.antaranews.com, 22/6-2017)
Kalau seks sebas (baca: zina, seks di luar nikah) merupakan penyebab HIV/AIDS, maka semua orang yang pernah melakukan seks bebas sudah mengidap HIV/AIDS. Seperti pasangan suami-istri yang menikah karena hamil duluan tentulah mereka sudah melakukan seks bebas. Itu artinya jika mengikuti pernyataan ‘seks bebas penyebab AIDS,’ maka semua pasangan suami-istri yang hamil duluan adalah pengidap HIV/AIDS.
Fakta tentang cara penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, zina, melacur, selingkuh, dan lain-lain), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (lihat matriks sifat dan hubungan seksual terkait penularan HIV/AIDS).
Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Saat Terjadi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Yang akurat adalah hubungan seksual yang tidak aman atau hubungan seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu: laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti. Juga laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti pasangan, yaitu pekerja seks komersial (PSK) dan cewek prostitusi online.
‘Seks bebas’ sebagai jargon moral menyuburkan mitos. Dalam sebuah ‘debat’ di Facebook, misalnya, penulis diserang beberpa cewek terkait dengan ‘seks bebas.’ Saya ajak mereka membayangkan 10 teman pria mereka. Berapa yang pernah ‘seks bebas’?
Zina Hanya Seks dengan PSK
Salah seorang menyergah saya: Maaf, ya teman-teman cowok gue tidak pernah begituan (maksudnya: seks bebas-pen.) di tempat pelacuran.”
Ketika saya tanya apakah dari 10 teman cowok itu ada yang pernah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya?
Eh, semua cewek yang menyerang saya menghapus pertemanan. Nah, bagi mereka ‘seks bebas’ adalah zina dengan PSK di tempat pelacuran, kalau suka sama suka bukan dengan PSK dan tidak dilakukan di tempat pelacuran, maka itu bukan ‘seks bebas.’
Maka, pemakaian ‘seks bebas’ dalam berita HIV/AIDS jadi kontra produktif yang jadi penghambat penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Sudah saatnya informasi tentang cara-cara penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual disampaikan secara faktual bukan dengan bumbu moral yang justru menenggelamkan fakta medis dan menyuburkan mitos.
Selain jumlah kasus yang terus bertambah, persoalan besar adalah infeksi HIV baru tidak semuanya terdeteksi sehingga warga, terutama laki-laki dewasa, jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Belakangan ini muncul fakta baru yaitu kaitan erat antara TB dan HIV/AIDS. Di RSU Kabupaten Tangerang, Banten, misalnya, 75% pasien TB di rumah sakit itu terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Bisa jadi kasus di daerah lain tidak muncul kasus TB dan HIV/AIDS karena 1001 macam alasan. Padahal, dengan mengabaikan fakta seperti yang terdeteksi di RSU Kab Tangerang itu justru jadi boomerang karena jadi mata rantai penyebaran TB dan HIV/AIDS di masyarakat karena mereka tidak ditangani secara medis, sementara di RSU Kab Tangerang pasien dengan TB dan HIV mendapatkan perawatan dan pengobatan sehingga memutus mata rantai penyebaran TB dan HIV/AIDS.
Indonesia merupakan negara keempat di dunia dengan pertambahan kasus HIV/AIDS terbanyak berdasarkan data tahun 2018 setelah China, Rusia dan India yaitu 78.000 infeksi HIV baru per tahun (aidsmap.com, 4/9-2018).
Apakah pemerintah membiarkan penyebaran HIV/AIDS terus terjadi yang justru bisa bikin Indonesia jadi ‘afrika kedua’ hanya untuk menonjolkan moralitas bangsa yang semu? (Tagar.id, 4 Februari 2023). *
(34) 2,2 Juta Laki-laki ‘Pembeli Seks’ ke PSK Mempunyai Istri
* Laki-laki heteroseks ditempong Waria
Hasil pemetaan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) menunjukkan ada 3,3 juta laki-laki dewasa yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran dan tempat-tempat hiburan yang menyediakan cewek di berbagai tempat, seperti di wilayah pertambangan, perkebunan, pertambangan, terminal, stasiun dan pelabuhan.
Secara kumulatif kasus AIDS di Indonesia mulai 1 Januari 1987 s.d. 30 September 2012 adalah 131.685 yang terdiri atas 92.251 HIV dan 39.434 AIDS dengan 7.293 kematian. Dari jumlah itu HIV/AIDS terdeteksi pada 4.251 ibu rumah tangga.
Jika dikaitkan dengan penyebaran HIV/AIDS, maka jumlah laki-laki ’pembeli seks’ itu sangat potensial untuk menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena 2,2 juta dari 3,3 juta laki-laki pembeli seks itu mempunyai istri. Ada pula kemungkinan di antara mereka ada yang beristri lebih dari satu.
Tidak Pakai Kondom
Kondisinya kian runyam karena hanya empat persen yang memakai kondom secara rutin ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Itu artinya laki-laki yang berisiko rendah hanya 132.000, sedangkan 3.168.000 laki-laki berisiko tertular HIV karena mereka tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.
”Wah, susah, Pak. Kalau dipaksa pakai kondom mereka (maksudnya laki-laki-pen.) marah,” kata seorang PSK di Tanjung ’turki’ Elmo di Kab Jayapura, Papua. Kalau tetap dipaksa, maka laki-laki akan mencari PSK yang mau meladeni dia tanpa kondom.
Di satu sisi PSK butuh uang sehingga ada saja PSK yang melayani laki-laki tanpa kondom. Selain itu ada pula laki-laki ’hidung belang’ yang mengiming-imingi tambahan dari taris ’resmi’. Ini menurut pengakuan PSK yang disidangkan di PN Merauke, Papua.
Kondisi itulah yang mendorong peningkatan kasus infeksi HIV baru pada laki-laki berisiko yaitu laki-laki yang melacur tanpa kondom. Jika di tahun 2007 kasus terdeteksi 0,1 persen, tapi di tahun 2011 meningkat menjadi 0,7 persen. Inilah yang dilihat dr Fonny J. Silfanus, Deputy Program di KPAN, sebagai persoalan karena laki-laki beristri yang tertular HIV akan menularkan HIV kepada istrinya. Jika istri tertular HIV maka ada pula risiko penularan pada bayi yang dikandungnya kelak.
Selama ini, menurut dr Fonny, pada ’Temu Media’ di Jakarta (28/2-2013), yang menjadi sasaran penanganan adalah PSK maka sekarang sasarannya bergeser kepada laki-laki berisiko.
Mereka itu adalah laki-laki ’pembeli seks’ atau yang melacur dengan PSK tanpa kondom (Gambar 1).
Ada 2,2 juta laki-laki berisiko yang beristri. Itu artinya ada 2,2 juga perempuan yang berisiko tertular HIV dari suaminya. Istri yang tertular HIV bisa pula menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak.
”Ya, kadang-kadang saya pakai kondom,” kata seorang laki-laki yang mengaku beristri dan punya anak di lokasi pelacuran Padang Galak, Sanur, Denpasar, Bali. Ini tentu saja berisiko karena bisa saja pas dia tidak pakai kondom PSK yang melayaninya mengidap HIV/AIDS sehingga laki-laki itu berisiko tertular HIV.
Pemerintah pusat dan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) di seluruh Indonesia menganggap tidak ada pelacuran di daerah mereka karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang ditangani melalui dinas terkait. Akibatnya, tidak ada program yang konkret untuk mencegah penularan HIV pada pelacuran.
Padahal, Thailand berhasil menurunkan kasus HIV baru melalui pelacuran yaitu dengan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melacur di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil.
”Saya tegas menolak melayani laki-laki yang tidak mau pakai kondom,” kata seorang PSK di lokasi pelacuran ”Sarkem” di sebelah selatan Stasiun KA Tugu, Yogyakarta. Sosialisasi kondom di lokasi ini berjalan baik karena kerja keras beberapa kalangan, seperti LSM. Bahkan, kalau ada laki-laki yang di luar kamar berjanji akan memakai kondom, tapi menolak memakai kondom ketika di dalam kamar PSK akan berteriak. Dan tamu itu pun bisa jadi bulan-bulanan. ”Ya, Mas, saya selalu bawa kondom,” kata seorang laki-laki setengah baya yang mengaku PNS di ’Sarkem’.Denda PSK
Sayang, usaha keras LSM di ”Sarkem” tidak didukung pemerintah setempat. Buktinya, dalam Perda AIDS DI Yogyakarta sama sekali tidak ada pasal yang dikaitkan langsung dengan pelacuran di ”Sarkem”
Pemkab Merauke dan Pemkab Mimika, keduanya di Papua, meniru langkah Thailand tapi tidak sistematis. Kalau Thailand memberikan sanksi kepada germo, di Merauke dan Mimika PSK yang jadi sasaran tembak adalah PSK. Di Merauke PSK yang terdeteksi mengidap IMS (GO, sifilis, dll.) dibui. Sedangkan di Mimika PSK yang terdeteksi mengidap IMS didena Rp 2,5 juta.
Seorang PSK yang dibui akan digantikan puluhan PSK ’baru’. Lagi pula laki-laki penduduk lokal yang tertular dari PSK tsb. menjadi mata rantai penyebaran IMS di masyarakat. Kalau PSK yang menularkan IMS kepada laki-laki juga mengidap HIV/AIDS maka sekaligus terjadi penularan HIV.
Sedangkan PSK yang didenda karena tidak mempunyai urang, maka akan ditalangi germo. Akibatnya, PSK pengidap IMS itu kembali ’bekerja’ untuk membayar hutangnya kepada germo. Kalau PSK itu juga mengidap HIV/AIDS maka ada risiko tertular HIV pada laki-laki yang sanggama dengan PSK tsb.Selain laki-laki berisiko yang ’membeli seks’ ke PSK, ada pula laki-laki yang juga ’membeli seks’ tapi bukan ke PSK di lokasi pelacuran atau hiburan malam. Mereka ’membeli seks’ kepada perempuan yang juga PSK tapi ’menyamar’ sebagai cewek pub, cewek diskotik, cewek kampus, dll. Ini disebut PSK tidak langsung (Gambar 2).
Di Kendari, Sultra, pelacuran terjadi dalam konteks PSK tidak langsung karena tidak ada lokasi pelacuran. Bahkan, tarif PSK di kota ini ’selangit’ yaitu Rp 500.000 untuk short time. Biasanya dilakukan di hotel berbintang untuk menghindari razia polisi dan Satpol PP. PSK di Kendari bisa ’dipesan’ melalui sopir taksi.
Begitu juga dengan pelacuran online PSK yang ditawarkan di dunia maya itu pun termasuk PSK tidak langsung.
Risiko tertular HIV/AIDS dari PSK tidak langsung sama saja dengan PSK langsung karena perilaku PSK tidak langsung juga berisiko karena melayani banyak laki-laki.
Ada pula laki-laki yang gemar sanggama seks anal dengan Waria. Yang mengejutkan adalah hasil sebuah studi di Surabaya, Jatim, menunjukkan laki-laki heteroseksual beristri selalu jadi ’perempuan’ kalau seks anal dengan Waria. Artinya, Waria yang menganal (di kalangan Waria disebut menempong) dan laki-laki heteroseksual justru dianal (ditempong).
Cewek Gratifikasi
Lho, koq bisa? Ternyata alasan mereka adalah kalau dianal oleh Waria mereka tidak menodai cinta dengan istrinya karena dia tidak memakai penisnya. Padahal, risiko tertular HIV melalui seks anal lebih besar daripada seks vaginal karena perlukaan sangat besar kemungkinan terjadi pada seks anal jika tidak memakai pelicin (Gambar 3).
Ada pula laki-laki berisiko karena melakukan hubungan seksual dengan laki-laki juga. Ini dikenal sebagai laki-laki suka seks laki-laki (LSL). Mereka itu laki-laki heteroseks yang mempunyai istri. Tapi, risiko tetap ada karena bisa saja ada di antara mereka yang juga menjadi pelanggan PSK atau Waria (Gambar 4).
Belakangan terbongkar pula pelacuran yang disebut gratifikasi seks yaitu cewek yang dijadikan ’imbalan’ atau ’hadiah’ terkait dengan urusan pemerintah dan bisnis. ’Cewek gratifikasi’ adalah PSK tidak langsung yang berisiko tertular HIV/AIDS sama saja dengan PSK langsung (Gambar 5)
Seperti yang dikemukakan dr Fonny sasaran adalah laki-laki berisiko, tapi yang realistis terjangkau melalui program PMTS (Program Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seks) Paripurna ini hanyalah PSK langsung di lokasi pelacuran (hot spot), panti pijat plus-plus, dan tempat-tempat hiburan malam (diskotek, pub, karaoke, dll.).
Celakanya, praktek pelacuran dengan PSK tidak langsung juga tidak kalah banyaknya dengan jumlah pelanggan PSK langsung. Inilah yang menjadi bumerang karena insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang pada gilirannya mereka yang tertular HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Selama pemerintah tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui pelacuran yang melibatkan PSK langsung, maka selama itu punya penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’. (AIDS Watch Indonesia, 2/3-2013 – Kompasiana, 2 Maret 3013). *
(35) Guru Agama Ini Kebingungan Karena Anak Keduanya Lahir dengan HIV/AIDS
Mungkin Anda juga akan bingung tujuh keliling seperti guru agama di sebuah kota di Sumut ini karena dia yakin betul perilaku seksualnya tidak berisiko tertular HIV/AIDS. Tapi, mengapa anak keduanya lahir dengan AIDS?
Seorang teman aktivis AIDS di Kota Medan mengontak saya melalui telepon awal tahun 2000-an, “Bang, ini ada kasus guru agama terdeteksi HIV sekeluarga, kecuali anak pertama,” kata teman itu.
Jika hanya dengan data itu tentulah tidak akan bisa diketahui persoalan yang terjadi pada keluarga guru agama itu. Bermula ketika anak kedua lahir. Karena terkait dengan kondisi kesehatan bayi, dokter menganjurkan agar anak menjalani tes HIV. Hasilnya positif. Selanjutnya si ibu pun dites dan hasilnya juga positif. Begitu juga suami hasil tesnya pun positif.
Padahal, sebelum anak kedua lahir tidak ada persoalan terkait dengan HIV/AIDS (Gambar 1). Tidak ada keluhan kesehatan yang terkait dengan HIV/AIDS pada suami, istri dan anak pertama. Bahkan, ketika anak kedua, ibu dan suami menjalani tes HIV, anak pertama pun ikut juga tes HIV. Hasil tes HIV pada anak pertama negatif (Gambar 2).
Riwayat perilaku seksual suami dan istri sama sekali tidak terkait dengan perilaku yang berisiko tertular HIV. Jika dengan data atau fakta ini saja tentulah persoalan kelihatan ribet dan rumit.
“Dari mana AIDS masuk ke keluarga itu?”
Pertanyaan itu jugalah yang jadi perhatian aktivis tadi. Melalui konseling yang komprehensif akhirnya guru agama itu buka rahasia bahwa dia punya istri lain.
Ini pintu masuk untuk menelusuri asal HIV/AIDS pada istri pertama dan anak kedua dari istri pertama.
Informasi berharga pun diperoleh aktivis AIDS tadi. Anak pertama guru agama dengan istri kedua yang lahir hampir bersamaan dengan anak kedua dari istri pertama ternyata HIV-positif (Gambar 3). Hasil tes HIV istri kedua juga positif.
Teka-teki tentang asal-usul AIDS pada guru agama, istri pertama dan anak kedua dari istri pertama terkuak sudah. Guru agama itu tertular HIV dari istri kedua yang selanjutnya menularkan HIV ke istri pertamanya dan berakhir pada anak kedua mereka.
Ternyata istri kedua guru agama itu adalah seorang perempuan yang sudah pernah menikah yang kemudian bercerai dan menikah dengan guru agama tadi. Maka, istri kedua guru agama ini tertular dari mantan suaminya.
Bertolak dari kasus ini menikah dengan laki-laki atau perempuan yang bercerai perlu waspada karena bisa saja perilaku seksual pasangan mereka sebelumnya merupakan perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Tentulah tidak mudah menelusuri perilaku seksual calon pasangan yang akan dinikahi, dan tidak pula elok bertanya ke calon pasangan tentang perilaku seksual mantan pasangannya.
Maka, langkah yang paling arif adalah bersama-sama menjalani tes HIV dengan catatan harus memperhatikan masa jendela yaitu hasil tes akurat jika dilakukan minimal tiga bulan sejak hubungan seksual terakhir. (Kompasiana, 18 April 2018). *
(36) Batam Bisa Jadi ”Pintu Masuk” Epidemi HIV/AIDS Nasional
”Big jump in anonymous HIV tests in Singapore”. Judul berita di Harian The Nation, Bangkok, edisi 16 April 2001 ini seakan-akan tidak ada kaitanya dengan Indonesia karena berita itu berisi kabar tentang lonjakan permintaan tes HIV sukarela di Singapura. Namun Anda pasti terkejut jika mengetahui tes itu terkait dengan hubungan seks yang mereka lakukan dengan pekerja seks di Batam dan tempat-tempat wisata lain di Provinsi Riau.
Sampai akhir Maret 2001, kasus kumulatif HIV/AIDS di Batam mencapai 73 buah yang terdiri dari 67 HIV dan sembilan AIDS (enam diantaranya sudah meninggal). Sedangkan untuk Riau sampai 31 Mei 2001 tercatat 197 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 183 HIV dan 14 AIDS (enam meninggal).
Angka kasus HIV yang kecil di Batam itu bisa terjadi karena surveilans tes HIV yang dilakukan tidak sistematis dan tidak konsisten. Sehingga angka yang muncul tidak realistis. Surveilans hanya dilakukan secara sporadis terhadap pekerja seks. Padahal surveilans tes yang sistematis diperlukan untuk mendapatkan angka realistis karena epidemi HIV bagaikan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Angka yang tercatat hanya bagian kecil dari angka yang tidak terdeteksi.
Tetapi, biarpun angka kasus HIV di Batam rendah namun banyak pria penduduk Singapura yang menjalani tes HIV sukarela karena merasa waswas terhadap kemungkinan tertular HIV. Rupanya, mereka telah melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan para pekerja seks di Batam dan tempat-tempat wisata lain di Riau. Sedangkan perempuan, khususnya ibu-ibu rumah tangga, merasa perlu menjalani tes HIV sukarela karena mereka yakin suaminya pernah melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti di luar pernikahan mereka.
Mata Rantai Penyebaran
Sebagian besar kasus HIV-positif yang berhasil dideteksi di Batam dari surveilans itu adalah pekerja seks. Berarti sudah ada angka prevalensi HIV di kalangan pekerja seks. Sehingga wajar jika warga Singapura merasa waswas tertular HIV setelah mereka melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan pekerja seks di Batam dan daerah tujuan wisata lain di Riau.
Tetapi, bisa pula terjadi sebaliknya. Epidemi HIV di Batam justru dipicu dan didorong oleh pendatang, baik dari daerah lain di Nusantara maupun wisatawan mancanegara. Dalam kaitan ini Batam bisa menjadi “pintu masuk” epidemi HIV dan PMS (penyakit-penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.) yang pada gilirannya akan menyebar ke seluruh Nusantara. Karena pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif melalui surveilans tes dipulangkan ke daerahnya. Beberapa pekerja seks yang dipulangkan itu umumnya berasal dari Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dan daerah-daerah lain di Pulau Jawa.
“Kami punya peta daerah pemulangan pekerja seks yang HIV-positif dari Batam dan Riau,” kata dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD, Ketua Umum Yayasan Pelita Ilmu (YPI), Jakarta, ketika berkunjung ke kantor Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan (YMKK) Batam awal Juli lalu.
Salah seorang pekerja seks yang dipulangkan dari Tanjung Pinang ke sebuah desa di Kabupaten Karawang, misalnya, menjadi dampingan YPI sampai meninggal dunia. Semula perempuan tadi dikucilkan masyarakat tetapi berkat pendekatan YPI dengan mendirikan sanggar kerja di desa itu akhirnya masyarakat bisa menerimanya. Bahkan, sanggar YPI yang didukung Ford Foundation itu menjadi pusat penyebaran informasi seputar HIV/AIDS bagi penduduk di sana.
Pekerja seks yang dipulangkan akhirnya akan menjadi bagian dari mata rantai penyebaran HIV dan PMS. Kalau mereka sudah bersuami maka mereka bisa menulari suaminya. Jika mereka tetap sebagai pekerja seks di kampungnya atau di tempat lain maka mereka pun bisa menulari “pelanggannya”.
Kalau suami mereka mempunyai pasangan seks yang lain, maka akan terjadi pula penularan. Istri mereka yang tertular pun kelak akan menularkannya kepada bayi yang dikandungnya. Begitu seterusnya sehingga terjadi penularan secara horizontal antar penduduk dan vertikal dari-ibu-ke-bayi (mother-to-child-transmission/PMTCT).
Dalam suatu pelatihan yang diselenggarakan YMKK Batam beberapa waktu lalu, Kepala Dinas Kesehatan Batam, dr. Mawardi, mengungkapkan hasil survei terhadap pekerja seks di dua diskotik Batam menunjukkan 50 persen pekerja seks itu memakai narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) sehingga mereka dalam keadaan high ketika melayani tamu. Kondisi itu menjadi pemicu untuk melakukan senggama.
Celakanya, hal itu membuat mereka lupa daratan sehingga lupa menerapkan seks aman (memakai kondom) ketika melakukan senggama dengan tamunya. Hal ini jelas merupakan kegiatan yang berisiko tinggi tertular atau menularkan PMS dan HIV.
Mawardi mengakui sejak tahun 1999, kegiatan Dinas Kesehatan Batam untuk penanganan HIV/AIDS menurun karena dana yang dikucurkan Bank Dunia sudah tidak ada lagi. Maka, Mawardi pun tidak segan-segan mengajak LSM untuk bahu-membahu menanggulangi masalah epidemi HIV/AIDS dan PMS di Batam.
LSM Didepak
Sayangnya, sebuah LSM berskala nasional yang membuka konseling dan penjangkauan (outreach) di salah satu lokalisasi di Batam, misalnya, terpaksa hengkang dari sana. Mereka ditolak oleh sebuah LSM lokal yang katanya mendapat mandat dari KPAD (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah) sebagai pelaksana Keppres No. 36/1994 tentang Strategi Penanggulangan AIDS Nasional di Batam.
Ketika masih diizinkan beroperasi, setiap hari rata-rata empat pekerja seks mengunjungi sanggar LSM ini. Ada yang konsultasi tentang PMS, meminta kondom, mencari obat, dan ada pula yang mengadukan nasibnya tentang perlakuan mucikari.
Karena masalah PMS erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi (reproductive health) maka YMKK melakukan pendekatan kepada buruh-buruh perempuan dengan menyediakan konseling gratis dan pengobatan murah. YMKK sudah membuka poliklinik di Batamindo dengan dukungan Ford Foundation dan manajemen Batamindo. “Pendekatan ini sangat penting karena hampir 80% buruh perempuan di Batam merupakan pekerja migran dan mereka berada pada rentang usia seksual aktif,” kata Lola Wagner, Ketua YMKK.
Survei yang dilakukan terhadap buruh perempuan, misalnya, menunjukkan banyak di antara mereka memiliki keluhan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, seperti keputihan, datang bulan tidak teratur, dan lain-lain.
Celakanya, mereka tidak mempunyai akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan yang menjamin kerahasiaan. Pasalnya, ada perusahaan yang mem-PHK buruh perempuan yang mengidap PMS. Untuk itulah YMKK menyediakan voucher berobat bagi buruh-buruh perempuan yang memiliki keluhan kesehatan reproduksi dan tetap menjamin kerahasiaan identitas. (Sumber: Harian “Sinar Harapan”, Jakarta, 3 Agustus 2001). *
(37) Jemput Bola ke Lokasi Pelacuran di Denpasar
* Mengenang Prof Dr dr DN Wirawan, MPH ….
Kantor Yayasan Kerti Praja di Jalan Raya Sesetan, Denpasar, Bali, tak ubahnya seperti perkantoran. Tapi, salah satu ruangan di lantai satu menjadi tujuan pekerja seks komersial (PSK). Di ruangan itulah mereka mendapatkan pelayanan kesehatan, mulai dari pemeriksaan, pengobatan dan konseling.
Kegiatan yang dikembangkan oleh mendiang Prof Dr dr DN Wirawan, MPH, ketua yayasan, ini merupakan salah satu usaha untuk melindungi masyarakat dari aspek kesehatan masyarakat agar tidak terjadi penyebaran penyakit IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO, sifilis, klamidia, virus hepatitis B, virus kanker serviks, dll.) serta HIV/AIDS dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya.
Selain datang sendiri Kerti Praja juga punya program ’jemput bola’ yaitu menjemput PSK dari lokasi pelacuran agar mau berobat ke klinik. PSK yang datang ke klinik yayasan dibekali dengan pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS, terutama cara-cara pencegahannya dengan kondom.
“Ah, mau kontrol, aja, Pak,” kata Ita, bukan nama sebenarnya, seorang PSK asal Jawa Timur, sambil berusaha menutupi cupang yang berwarna kehitam-hitaman di lehernya dengan rambutnya (Ini dalam sebuah liputan tahun 2008). Ita mengaku baru pulang dari kampungnya. Ita datang untuk berobat. Medical record semua PSK yang menjadi kelompok dampingan disimpan di yayasan.
Berkat dampingan yang konsisten banyak PSK yang datang sendiri ke poliklinik. Ada yang memang ingin berobat, kontrol atau konsultasi. Ada pula yang sekaligus membeli kondom. Untuk meningkatkan kesadaran PSK yayasan juga menjalin kerja sama dengan ‘induk semang’ atau germo PSK itu. Kerja sama merupakan salah satu cara agar PSK diizinkan dibawa ke poliklinik untuk kontrol dan konseling.
Sebuah taksi masuk ke halaman yayasan. Empat perempuan dan seorang laki-laki turun dari taksi. Mereka langsung menuju poliklinik. “Kita menjemput mereka, Pak,” kata Dewa, petugas lapangan, yang menjemput PSK tadi. Biasanya setelah dijemput satu atau dua kali selanjutnya mereka pun akan datang sendiri ke poliklinik.
Setelah kontrol dan konseling mereka ditawari kondom “Sutra” sebagai upaya untuk melindungi diri. Pendekatan ini mendorong PSK untuk membeli kondom mereka “Sutra” di poliklinik.
Tapi, seperti yang dikatakan seorang PSK selalu saja ada laki-laki ’hidung belang’ yang menolak memakai kondom. Terutama laki-laki lokal. “Kalau orang Jepang atau Korea malah memakai kondom dua lapis,” kata salah seorang PSK yang baru selesai menjalani pemeriksaan.
Untunglah yayasan sudah menjalin kerja sama dengan mucikari sehingga kalau ada PSK yang menolak tamu yang tidak mau memakai kondom mucikari tidak marah. Berkat penyuluhan yang tidak kenal lelah kian banyak PSK yang sudah berani menolak tamu jika tamu tidak mau memakai kondom ketika hubungan seksual. “Daripada celaka,” kata Tini, bukan nama sebenarnya, seorang PSK juga asal Jawa Timur, yang juga datang ke klinik.
PSK yang menjadi kelompok dampingan yayasan sudah memahami IMS dan HIV/AIDS sehingga mereka mempunyai posisi tawar yang kuat. Soalnya, mereka sudah tahu betul risiko yang terjadi jika tertular HIV/AIDS. Pelanggan tidak ada dan uang habis untuk berobat yang tidak kunjung sembuh.
Ada juga mucikari yang sudah memikirkan ‘nasib’ PSK asuhannya dengan menyediakan kondom. Tidak mengherankan kalau kemudian ada mucikari yang membeli kondom ke klinik. Kadang-kadang ada pula suruhan PSK atau mucikari yang membeli kondom. Hal itu menunjukkan tingkat pemahaman PSK terhadap keamanan sudah tinggi.
Persoalan yang muncul kemudian adalah PSK silih berganti sehingga yayasan mulai lagi dari nol. Karena menyangkut keselamatan rakyat banyak maka yayasan pun tidak mengenal lelah dalam memasyarakatkan ‘seks aman’ dengan memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko.
Itu berjalan sebelum tahun 2008. Tapi, sejak 2008 lokasi pelacuran di sekitar Jalan Danau Tempe, Denpasar, diongkar sehingga PSK pun menyebar luas ke berbagai sudut kota.
Celakanya, yang dibongkar hanyalah barak-barak di lokasi pelacuran. Sedangkan rumah-rumah besar yang dijadikan tempat pelacuran, disebut ‘wisma’, di salah satu kawasan di pantai Sanur, ternyata lolos dari pembongkaran. Ini terjadi karena kepemilikan rumah-rumah di sana terkait dengan peringkat strata sosial pemiliknya.
Salah seorang penjangkau di ‘wisma-wisma’ itu mengatakan bahwa sebagian pengunjung yang datang adalah pasangan yang pacaran. Biasanya mereka datang ke ‘wisma’ antara pukul 19.00 – 21.00 yang merupakan jam tayang film di bioskop.
Upaya Prof Wirawan memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS ke masyarakat melalui program pendampingan, terutama ‘jemput bola’ PSK, ternyata lain di mata seorang wartawan. Wartawan salah satu harian ibu kota itu pun menuding Prof Wirawan sebagai ‘orang yang melindungi pelacur’.
Hal itu disimpulkan wartawan karena Kerti Praja mendampingi PSK. Kalau saja wartawan itu mempunyai perspektif yang luas, terutama yang terkait dengan IMS dan HIV/AIDS, tentulah dia akan melihat langkah Prof Wirawan sebagai bagian dari kesehatan masyarakat.
Lokalisasi pelacuran boleh-boleh saja dibongkar, tapi praktek pelacuran terus terjadi. Belakangan muncul pula lokasi pelacuran di Padang Galak, pantai Sanur, Denpasar Timur, dan tempat-tempat lain.
Selain itu muncul pula kafe yang sudah sampai ke kawasan pedesaan. Kafe-kafe itu pun menyediakan PSK sehingga ada transaksi seks dalam bentuk pelacuran.
Selama Pemprov Bali tetap mengabaikan praktek pelacuran, di lokasi, rumah-rumah, penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang serta kafe yang tersebar luas, maka selama itu pula penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual akan terus terjadi di Bali.
Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan suami mereka melacur tanpa kondom. Pada gilirannya, kekhawatiran Pulau Bali akan menjadi ‘pulau AIDS’ bisa terjadi (AIDS Watch Indonesia, 17 Oktober 2021). *
(38) Apriori Terhadap Pelacuran
Dunia pelacuran merupakan fenomena yang tidak berujung karena dianggap sebagai salah satu pekerjaan tertua yang dilakukan manusia di muka Bumi ini.
Anggapan bahwa pelacuran sebagai penyimpangan, tapi tidak dipakai sebagai pembenaran sikap kita dari luar ketika memandang pelacuran sebagai kegiatan yang tidak bermoral.Pekerjaan itu dianggap bergelimang dosa karena merupakan penyimpangan dari aspek norma, moral, dan agama. Pemerintah pun, dalam hal ini Departemen Sosial, menjalankan program resosialisasi dan rehabilitasi terhadap pekerja seks komersial (PSK). Lokasi dan lokalisasi pelacuran ditutup dengan harapan tidak ada lagi pelacuran. Tentu saja ini salah karena praktek pelacuran bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.
PSK diberikan pendidikan agama dan keterampilan dengan tujuan agar mereka bisa dikembalikan ke masyarakat. Di sana ada harapan agar mereka berhenti menjadi pekerja seks. Hasilnya? “Ya, selalu gagal karena bagi mereka itu bukan jalan keluar,” kata Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, sosiolog di Univ. Airlangga, Surabaya.
Ada apriori terhadap PSK bahwa Anda tidak benar dan berada di jalur yang salah. Ini terjadi karena ada pembenaran bahwa pelacuran merupakan penyimpangan.
Kalangan moralitas pun mengatakan: “Kami sudah punya solusi untuk Anda.” Ya, mengentaskan PSK dengan memberikan pelatihan keterampilan. Tapi, selalu gagal karena konsep itu bukan dari PSK tapi muncul dari policy research dengan latar belakang apriori. “Dalam policy research sudah ada konsep tertentu tanpa mengikutsertakan PSK dalam mengatasi persoalan mereka,” ujar Bang Hotman. Untuk itulah Bang Hotman berharap agar upaya pengentasan dilakukan berdasarkan riset partisipatoris agar jalan keluar merupakan keputusan PSK.
Kelemahan dari policy research adalah selalu ada anggapan bahwa objek bisa diarahkan. Misalnya, PSK diarahkan agar berhenti dan kembali ke ’jalan yang benar’. Sedangkan riset partisipatoris yang terjadi adalah pengarahan yang datang dari hasil diskusi kedua belah pihak sehingga ada proses yang berkelanjutan untuk menghasilkan jalan keluar.
Pendekatan melalui hipotesis yang muncul dari riset partisipatoris akan menghasilkan jalan keluar karena PSK mengetahui tujuan yang dilakukan dan mereka terlibat langsung ketika memutuskan jalan keluar. Selama ini program pengentasan PSK dilakukan dengan menempatkan mereka sebagai objek yang lebih rendah berdasarkan prasangka.
Pendekatan moralitas dalam mengentaskan PSK menghasilkan irasionalitas. PSK sendiri tidak bisa menolak karena mereka tidak mempunyai argumen dan mereka tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Konsep ini berbau kapitalis yang tidak melahirkan rasa keadilan dan tidak pula membuka pemberdayaan tapi yang terjadi justru ketergantungan. Dengan riset partisipatoris pendekatannya rasional dengan melibatkan PSK sehingga mereka bisa memberikan jalan keluar.
Persoalannya adalah: Kalau mereka (baca: PSK) tetap memilih bekerja sebagai PSK? Ya, itu pilihan mereka. Dalam kajian ini, “Diperlukan upaya yang berkesinambungan untuk merubah struktur melalui penyadaran yang berempati tanpa ada kecurigaan,” kata Bang Hotman.
Ketika agama menjadi alat pembenar maka dunia pelacuran pun dihukum sebagai penyimpangan. Tapi, apakah agama bisa menghentikan pelacuran? Ya, tidak bisa karena praktek pelacuran bukan persoalan agama semata. (Kompasiana, 8 Desember 2010). *
(39) PSK dan Perantau Mudik Lebaran Bisa Jadi Ada yang Bawa AIDS Sebagai “Oleh-oleh”
Sebagai tradisi yang turun-temurun setiap Lebaran perantau akan pulang ke kampung halamannya yang lebih dikenal dengan sebutan mudik. Di antara perantau itu ada perempuan yang bekerja di tempat-tempat hiburan malam dan panti-panti pijat plus-plus, dan pemandu lagu yang melayani transaksi seks, serta sebagian di antaranya sebagai pekerja seks komersial (PSK).
Hiburan malam dan panti pijat plus-pulus serta praktek PSK terselubung ada di kota-kota besar, kota pelabuhan dan kawasan industri di Nusantara. Secara de jure sejak reformasi memang tidak ada lagi lokasi atau lokalisasi pelacuran yang ditangani instansi, dalam hal ini dinas sosial, sebagai pusat rehabilitasi dan resosialisasi (Resos).
Tapi, secara de facto tidak bisa dipungkiri transaksi seks sebagai praktek pelacuran dalam berbagai bentuk tetap ada. Bahkan, sekarang memanfaatkan media sosial sebagai sarana transaksi yang dilanjutkan dengan hubungan seksual di banyak tempat di siang dan malam hari.
Jika diikuti berita-berita di media massa dan media online selalu saja ada razia yang dilakukan polisi dan Satpol PP terhadap PSK. Ini bukti bahwa transaksi seks sebagai bentuk pelacuran terselubung tetap terjadi yang merupakan area perilaku seksual berisiko penyebaran HIV/AIDS.Yang terjadi yaitu:
(1). Ada laki-laki pengidap HIV/AIDS yang menularkan HIV ke PSK, dan
(2). Banyak pula laki-laki yang berisiko tertular HIV dari PSK karena melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom.Dalam prakteknya PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan
(b), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Celakanya, laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Mereka akan menularkan HIV ke istri (horizontal) dan pasangan seks lain. Bisa juga terjadi ada di antara mereka yang mempunyai istri lebih dari satu sehingga kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV. Jika istri-istri itu tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV ke bayi yang mereka kandung (vertikal), terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Catatan Kementerian Kesehatan RI pada akhir tahun 2012 ada 6,7 juta laki-laki pelanggan PSK di berbagai daerah di Indonesia. Celakanya, 4,9 juta laki-laki itu beristri (bali.antaranews.com, 9/4-2013). Itu artinya ada 4,9 perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS dari suaminya.
Ketika ada PSK perantau pengidap HIV/AIDS mudik, maka PSK itu bisa jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di kampung halamannya. Antara lain ke suami atau pacarnya. Bisa juga terjadi PSK itu ‘buka praktek’ di kampungnya sehingga terjadi penyebaran HIV/AIDS.
Adalah langkah yang arif dan bijaksana kalau daerah-daerah, dalam hal ini kabupaten dan kota, dengan jumlah perantau perempuan yang banyak menggalang kerja sama dengan daerah-daerah tujuan perantau perempuan itu, dalam hal ini Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), dalam hal penanggulangan HIV/AIDS.
Langkah yang bisa ditempuh tanpa melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM) adalah melakukan surveilans tes HIV terhadap perempuan di tempat-tempat hiburan malam dan panti pijat plus-plus. Jika hasil surveilans tes HIV akan dilanjutkan dengan tes konfirmasi untuk memastikan infeksi HIV perempuan-perempuan tsb. harus menerima konseling sebelum dan sesudah tes HIV.
Perempuan-perempuan yang mengikuti surveilans tes HIV dengan hasil positif dikonseling agar mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan suami, pacar atau laki-laki tanpa kondom. Hasil tes ini memang harus dikonfirmasi lagi sesuai dengan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) dengan tes lain, tapi dengan latar belakang perilaku seksual mereka yang berisiko tinggi tertular HIV hasil surveilans bisa dipakai sebagai patokan untuk memberikan konseling.
Sedangkan bagi perempuan dengan hasil tes negatif juga dianjurkan tidak melakukan hubungan seksual dengan suami, pacar atau laki-laki tanpa kondom, karena hasil tes itu hanya surveilans sehingga hasilnya tidak akurat. Seperti anjurkan WHO hasil tes ini harus dikonfirmasi lagi dengan tes lain.
Konseling sebaiknya dilakukan oleh aparat dari Dinas Kesehatan dan KPA dari daerah-daerah asal perempuan yang menjalani surveilans tes HIV. Untuk itu daerah yang menjalankan surveilans tes HIV terhadap perempuan pekerja di tempat-tempat hiburan malam menjalin komunikasi dengan daerah asal perempuan-perempuan tsb.
Ini salah satu langkah untuk mengurangi insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa.
Jembatan penyebaran HIV dari tempat perantauan ke kampung tidak hanya dilakukan oleh perempuan, tapi juga laki-laki perantau. Bisa jadi ada di antara mereka yang membeli seks, antara lain dengan alasan jauh dari istri.
Maka, perlu juga sosialisasi terhadap laki-laki perantau. Jika perilaku seksual mereka di rantai berisiko tinggi tertular HIV/AIDS sebaiknya memakai kondom ketika sanggama dengan istri ketika mudik. (Kompasiana, 23 Mei 2019). *
(40) Mudik (PSK + Laki-laki Hidung Belang) Mendorong Penyebaran HIV/AIDS dengan Skala Nasional
* Pemerintah daerah ‘pemasok’ PSK dianjurkan kerja sama dengan pemerintah daerah tempat PSK beroperasi ….
Realitas sosial menunjukkan pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung (PSK yang kasat mata, al. di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di jalanan) dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, anak sekolah, ayam kampus, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.) akan ‘bekerja’ di luar daerah asalnya.
Ketika ada hari libur panjang, seperti Lebaran dan Natalan, PSK langsung dan PSK tidak langsung serta laki-laki ‘hidung belang’ pun ramai-ramai pula pulang kampung. Beberapa daerah yang menjadi ‘tujuan praktek pelacuran’ secara massal al. Sumut, Riau, Kepulauan Riau, Kalbara, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Bali, NTB, NTT, Sulsel, Sultara, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Daerah ‘Tujuan Praktek Pelacuran’
Laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 12 Februari 2015 menyebutkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS mulai dari tahun 1987 sampai 31 Desember 2014 adalah 225.928 yang terdiri atas 160.138 HIV dan 65.790 AIDS dengan 11.801 kematian. Angka yang dilaporkan ini tidak menggambarkan realitas kasus di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (225.928) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.
Jika di antara mereka yang mudik itu ada yang mengidap HIV/AIDS, maka ada beberapa ‘pintu masuk’ penyebaran HIV/AIDS di kampung halaman mereka, al.
(1) PSK langsung dan PSK tidak langsung yang bersuami akan menularkan HIV/AIDS ke suaminya. Selanjutnya, ketika PSK tsb. kembali ke tempat kerjanya atau ke tempat kerja baru, maka ada di antara suami-suami itu yang menularkan HIV ke pasangan selingkuh atau istri lain serta ke PSK di kampung itu.
(2) PSK langsung dan PSK tidak langsung yang tidak bersuami tapi punya pasangan, seperti pacar, akan menularkan HIV/AIDS ke pasangan atau pacarnya. Selanjutnya, ketika PSK tsb. kembali ke tempat kerjanya atau ke tempat kerja baru, maka ada di antara pacar itu yang menularkan HIV ke pasangan perempuan lain atau ke PSK di kampung itu.
(3) PSK langsung dan PSK tidak langsung ada yang buka ‘praktek’ di kampung halamannya sehingga laki-laki yang ngeseks dengan mereka tanpa memakai kondom berisiko tertular HIV/AIDS jika di antara PSK yang ‘praktek’ itu ada yang mengidap HIV/AIDS.
(4) Laki-laki ‘hidung belang’ yang mengidap HIV/AIDS karena sering ngeseks tanpa memakai kondom dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung di seluruh Nusantara dan di luar negeri akan menularkan HIV ke istrinya atau ke perempuan lain juga ke PSK di kampung halamannya.
Dari empat ‘pintu masuk’ di atas hanya sedikit yang bisa dilakukan upaya penanganan yaitu menurunkan risiko penyebaran HIV/AIDS di kampung halaman PSK dan laki-laki ‘hidung belang’ yaitu intervensi terhadap PSK langsung. Ini pun hanya bisa dilakukan jika ada kerja sama antara daerah-daerah asal PSK langsung dengan pemerintah di daerah-daerah ‘tujuan praktek pelacuran’.
Pendampingan Daerah Asal
Namun, hal itu juga sangat kecil kemungkinannya karena di banyak daerah ‘tujuan praktek pelacuran’ PSK langsung tidak dilokalisir dengan regulasi. Artinya, di beberapa tempat di daerah ‘tujuan praktek pelacuran’ hanya ada tempat atau lokasi pelacuran yang dibiarkan dengan pengawasan setengah hati dan bermuka munafik dengan balutan moral.
Kalau pemerintah di daerah ‘tujuan praktek pelacuran’ melokalisir pelacuran dengan regulasi, maka pemerintah daerah ‘pemasok’ PSK langsung menjalankan kerja sama melakukan surveilans tes IMS secara rutin (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, herpes genitalis, jengger ayam, dll.). Selanjutnya jika ada kasus IMS terdeteksi, maka dilanjutkan dengan surveilans tes HIV.
Kalau dalam surveilans tes HIV ada contoh darah yang reaktif, maka dilanjutkan dengan tes HIV melalui konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Inilah yang menjadi ranah kerja sama yaitu PSK langsung yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS didampingi oleh konselor bisa dari daerah asal PSK atau konselor di daerah ‘tujuan praktek pelacuran’.
Pendampingan ini dimaksudkan sebagai salah satu langkah intervensi untuk memastikan PSK langsung tsb. tidak akan menjadi mata rantai penyebaran jika kelak ybs. pulang kampung dengan berbagai alasan.
Jika pemerintah daerah yang menjadi ‘pemasok’ PSK langsung tidak menjalin kerjasama dengan pemerintah di daerah-daerah ‘tujuan praktek pelacuran’, maka PSK langsung yang berasal dari daerah ‘pemasok’ akan menjadi mata rantai penyebaran IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.
Maka, selesai mudik PSK langsung kembali ke ‘tujuan praktek pelacuran’ semula atau yang baru dengan meninggalkan HIV/AIDS pada suami atau laki-laki lain di kampung halamannya dan suami atau laki-laki lain di kampung halamannya yang tertular HIV pun menjadi mata rantai baru penyebaran IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.
Maka, kasus HIV/AIDS pun terus bertambah ibarat ‘deret ukur’ yang al. bisa dilihat dari kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Ini kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (AIDS Watch Indonesia – Kompasiana, 16 Juli 2015). *
Bagian V – Penanggulangan HIV/AIDS
(41) Hari Pers Nasional 9 Februari: Menunggu Peran Aktif Pers Indonesia Dukung Penanggulangan AIDS
* Catatan kecil untuk insan pers nasional yang rayakan Hari Pers 9 Februari 2016 di Mataram, NTB
“Media massa tanpa berita kesehatan jalan terus, tapi kesehatan, terutama kesehatan masyarakat, tanpa di-berita-kan (baca: sosialisasi) tidak akan jalan.” Ini disampaikan oleh dr Zulazmi Mamdy, MPH, pakar kesehatan masyarakat di FKM UI. Artinya, ini adalah pameo di kalangan praktisi kesehatan masyarakat.
Tentu saja dr Zul benar karena adalah hal yang mustahil Menteri Kesehatan dan jajarannya sampai ke kabupaten dan kota membawa TOA (pengeras suara) keliling kampung menjelaskan berbagai macam penyakit dan cara penanggulangannya.
Dalam kasus epidemi HIV/AIDS, misalnya, media berhasil 100 persen menggiring opini publik dengan menyebarluaskan berita dari sumber-sumber yang berkompeten tapi menyesatkan. Berita ini misalnya: tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono Surjaningrat, mengatakan bahwa belum pernah ditemukan orang yang betul-betul terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan, Menkes komentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.”
Gunung Es
Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, termasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi darah dan transplantasi organ tubuh.
“Dosa” besar pemerintah menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS justru berawal dari penetapan pemerintah terhadap kasus HIV/AIDS pertama yang diakui secara resmi, yaitu ketika seorang wisatawan gay WN Belanda meninggal di RS Sanglah Denpasar dengan indikasi kematian terkait AIDS. Ada beberapa unsur yang menyuburkan mitos, yaitu: gay (homoseksual, sering pula disebut seks menyimpang oleh orang-orang yang membalut lidah dengan moral), orang asing, orang bule, dll.
Dampak buruk penyebaran berita yang tidak akurat itu menyebabkan masyarakat mengabaikan cara-cara melindungi diri. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian sampai 31 Maret 2015 sudah dilaporkan 233.724 yang terdiri atas 167.339 HIV dan 66.385 AIDS (Kemenkes RI, 2015).
Yang perlu diingat angka yang dilaporkan ini hanyalah sebagian dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus AIDS yang terdeteksi 233.724 digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Biar pun epidemi HIV/AIDS sudah masuk tahun ke-35 pada tahun ini, tapi tetap saja ada media massa, media online dan media sosial yang tetap berpegang teguh pada mitos sebagai pijakan berita tentang HIV/AIDS. Kalau kita membaca atau mendengarkan berita di media massa tetap saja akan muncul pengaitan cara penularan HIV/AIDS dengan ‘perilaku menyimpang’, ‘seks bebas’, dll.
Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan sifat hubungan seksual (zina, melacur, seks bebas, seks menyimpang, dll.) karena penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom.
Kondom pun mendapat stigma dari pemberitaan di media massa. Dikesankan sosialisasi kondom sebagai upaya untuk melegalkan zina. Tentu saja ini salah besar karena orang-orang yang berzina, terutama laki-laki ‘hidung belang’ justru tidak mau pakai kondom karena berbagai alasan. Itu artinya wartawan yang menulis berita tentang kondom tidak melakukan riset dan pengamatan lapangan. Maka, berita itu hanya sebatas talking news yang nilainya sama dengan opini.
Dampak buruk lain dari berita-berita yang hanya berpijak pada mitos adalah stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakukan berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dan nama mereka bocor ke masyarakat. Mitos dan stigma menjadi dampak terburuk akibat berita media massa (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Monster
Ada pula media massa yang justru mencari-cari isu AIDS yang bisa dijadikan sebagai berita yang sensasional. Seperti ini: Boyke Dian Nugraha: Korban AIDS bisa Berubah Mirip Monster. Ada nasihat dari pakar seks, Prof. Dr. Boyke Dian Nugraha, SOG, untuk siswa SMU tentang bahaya HIV Aids. Seseorang yang terkena Aids, dalam 5 tahun wajahnya akan berubah mirip monster. Tidak peduli apakah wanita itu cantik dan lelaki ganteng. Semuanya akan berubah menjadi monster. Hal itu dikemukakan, Boyke Dian Nugraha, saat berbicara dalam seminar yang dihadiri pelajar SMA di Surabaya (29/5). (Harian “Bali Post”, 30/5-2000).
Nah, kalau saja wartawan yang menulis berita ini mau meringankan langkah mencari orang yang sudah tertular HIV lebih dari lima tahun, apakah benar wajah mereka seperti monster. Lalu, wajah siapa, dong, yang seperti monster?
Maka, tidak mengherankan kalau sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS yang menjalar ke penanggulangan epidemi HIV. Lihat saja pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV di 70-an Perda Penanggulangan AIDS di Indonesia. Tidak satu pun pasal di perda-perda itu yang menawarkan cara pencegahan yang konkret.
Bahkan beberapa Perda justru menyuburkan mitos. Misalnya, menyebutkan cara mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan meningkatkan iman dan taqwa. Apa alat ukurnya? Siapa yang berhak mengukurnya? Berapa ukuran iman dan taqwa yang bisa mencegah HIV/AIDS?
Ada lagi Perda yang menyebutkan pencegahan HIV/AIDS adalah dengan cara tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah. Nah, sekarang banyak istri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Mereka setia dan hubungan seksual yang mereka lakukan sah dan resmi, lalu mengapa tertular HIV?
Apa, sih, peranan media massa, media online dan media sosial dalam penanggulangan HIV/AIDS?
Kita berkaca pada Thailand. Keberhasilan Negeri Gajah Putih itu menanggulangi HIV/AIDS adalah melalui peningkatan peran media massa sebagai media pembelajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thammarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000)
Untuk itulah kita berharap media massa, media online dan media sosial berlapang dada menyampaikan berita dan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS tanpa harus membalutnya dengan norma, moral, dan agama. Soalnya, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahannya pun bisa diketahui secara medis.
Atau media massa, media online dan media sosial tetap berpegang pada pemberitaan yang dibalut dengan norma, moral dan agama?
Kalau ini yang terjadi, maka kita pun akan bisa bernasib seperti Thailand yang pernah mencapai kasus HIV/AIDS mendekati angka 1.000.000 yang menghabiskan tiga perempat devisa pariwisatanya untuk menanggulangi HIV/AIDS. Artinya, kita tinggal menunggu ‘panen’ ledakan AIDS.
Ini yang perlu direnungkan para insan pers di Hari Pers Nasional (HPN), yang diperingati hari ini di NTB. (Kompasiana, 9 Februari 2016). *
(42) Penanggulangan AIDS di Indonesia Bak Kerja Pemadam Kebakaran
Banyak peraturan terkait (penanggulangan) HIV/AIDS, tapi tidak menyentuh akar persoalan yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK).
Bahkan, dalam 90-an peraturan daerah (Perda) provinsi, kabupaten dan kota juga tidak ada cara-cara yang konkret untuk menjalankan program di atas. Celakanya, semua perda itu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Misalnya, disebutkan mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang bukan pasangan, tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, dll.
Larangan itu jelas mitos (anggapan yang salah) karena penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom) bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, melacur, dll.).
Maka, di dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan negara punbisa terjadi penularan HIV kalau suami mengidap HIV/AIDS dan tidak pakai kondom ketika sanggama. Buktinya, sudah banyak ibu rumah tangga (baca: istri yang sah) terdeteksi mengidap HIV/AIDS, padahal mereka tidak pernah sanggama dengan laki-laki lain.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 20 November 2016 menyebutkan sampai tanggal 30 September 2016 kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia tercatat 302.004 yang terdiri atas 219.036 HIV dan 82.968 AIDS dengan 10.132 kematian. Secara global kasus HIV/AIDS di akhir tahun 2015 mencapai 36,7 juta dengan 1,1 juta kematian. Dengan kondisi seperti ini Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di Asia yang pertumbuhan kasus HIV-nya tercepat.
“Keberadaan Peraturan Presiden Nomor 124 Tahun 2016 dipersoalkan sejumlah pihak. Dalam regulasi itu, Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional ditempatkan di Kementerian Kesehatan sehingga dikhawatirkan bisa menghambat koordinasi lintas kementerian.” Ini lead pada berita “HIV DAN AIDS, Perpres No 124/2016 Dipersoalkan” (Harian KOMPAS, 23/2-2017).
Persoalan yang hakiki bukan soal regulasi tersebut, tapi sejauh mana program penanggulangan HIV/AIDS selama ini di Indonesia?
Semua program hanya berkutat di hilir, yaitu: tes HIV terhadap ibu hamil, tes HIV terhadap orang-orang berperilaku berisiko tertular HIV, tes HIV bagi komunitas kelompok kunci, tes HIV terhadap penyalahguna narkoba yang akan menjalani rehabilitasi, dan pasien yang berobat ke rumah sakit dengan gejala-gejala terkait AIDS. Ibarat kata program-program ini ‘bak pemadam kebakaran’ yaitu menanggulangi di hilir.
Dalam berita disebutkan: “Jika pengendalian HIV-AIDS hanya dilakukan Kemenkes, programnya terfokus di populasi kunci. Padahal, di Papua, misalnya, HIV masuk dalam populasi umum. Tren serupa di provinsi lain terjadi pada ibu hamil dan anak.” Ini jelas asumsi karena program kerja pemangku Perpres No 124/2016 belum bekerja. Perpres memberi waktu sampai 31 Desember 2017.
Selama ini ada kesan yang buruk yang menggiring opini publik bahwa populasi kunci, PSK dan Waria bukan bagian dari masyarakat. Apakah populasi kunci bukan populasi umum? Apakah PSK dan Waria bukan anggota keluarga?
PSK dan Waria adalah bagian dari keluarga di masyarakat. Maka, tidak perlulah menyebut-nyebut populasi kunci, populasi khusus, dll. karena semua bagian dari masyarakat yang hidup dalam tatanan sosial.
Hal lain yang sering dipersoalkan adalah stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Diposisikan bahwa penanggulangan HIV/AIDS terhalang karena stigma dan diskriminasi.
Anggapan itu sempit dan tidak objektif karena stigma dan diskriminasi terjadi di hilir yaitu terhadap orang-orang yang (sudah) tertular HIV/AIDS. Lalu, penanggulangan apa yang terganggu?
Yang jelas pemerintah tidak bisa melakukan program yang konkret dalam menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK karena:
Pertama, program tsb. merupakan kegiatan berupa intervensi terhadap laki-laki untuk memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Hal ini tidak bisa dilakukan karena kondom ‘dilarang’ dipromosikan di Indonesia. Banyak kalangan, bahkan pakar dan tokoh, yang menyerang promosi kondom. Bahkan, ada ketua organisasi keagamaan yang menyebut Menkes Nafsiah Mboi sebagai ‘menteri cabul’ karena mendukung promosi kondom untuk pencegahan HIV/AIDS (Lihat Gambar 1).
Kedua, intervensi tsb. hanya bisa dilakukan jika PSK dilokalisir (Lihat Gambar 2). Sejak reformasi semua daerah berlomba-lomba menutup tempat pelacuran. Bahkan, sekarang Mensos Khofifah Indar Parawansa jadi motor penggerak penutupan tempat-tempat pelacuran tanpa memikirkan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat terkait dengan penyebaran ‘penyakit kelamin’ (IMS-infeksi menular seksual yaitu kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, virus kanker serviks, jengger ayam, dll.) dan HIV/AIDS.
Soalnya, dengan membubarkan dan menutup lokasi pelacuran maka praktek pelacuran dan transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa lagi dikontrol melalui regulasi.
Selama promosi kondom dan melokalisir praktek pelajaran ditolak, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru tidak bisa diturunkan yang pada gilirannya laki-laki yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat yang kelak bermuara pada ‘ledakan ADIS’. (Kompasiana, 24 Februari 2017). *
(43) Penanggulangan AIDS di Indonesia Hanya Dilakukan di Hilir
“HIV/AIDS, Sejumlah Rumah Sakit Krisis Ketersediaan Obat.” Itulah judul berita di sebuah harian Ibu Kota (12/4-2008). Fakta ini menunjukkan ada gelombang baru yang menghadang upaya penanggulangan epidemi HIV di Tanah Air. Sekarang pemerintah pusat dan daerah dengan dukungan dana dana dari donor cenderung mengutamakan pengobatan terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Terapi adalah penanggulangan di hilir, sedangkan pencegahan merupakan penanggulangan di hulu.
Walaupun tidak menyembuhkan, tapi kehadiran obat anti-retroviral (ARV) membawa berkah bagi orang-orang yang tertular HIV yang telah mencapai masa AIDS. Obat ini berguna untuk menekan perkembangan HIV di dalam darah sehingga kerusakan sel-sel darah putih dapat ditekan. Selain dapat meningkatkan kualitas hidup para Odha obat ini pun secara tidak langsung menekan penularan karena jumlah virus kian sedikit.
Pada awalnya harga obat ini Rp 8 juta untuk konsusmi satu bulan. Belakangan berkat regulasi pajak harga turun hingga Rp 800.000. Harga obat ARV produk dalam neger Rp 300.000 per paket untuk satu bulan. Sekarang obat ini gratis karena ada dana hibah dari donor luar negeri. Masalah yang lebih besar akan muncul ketika tidak ada lagi donor. Jika dana untuk pengadaan ARV dialokasikan dari APBN atau APBD tentulah akan menimbulkan persoalan baru karena anggaran kesehatan yang terbatas. Dana yang besar juga diperlukan untuk menanggulangi epidemi penyakit menular, seperti TB, flu burung, malaria, demam berdarah, dll.
Krisis ketersediaan obat ARV ini meningkatkan resistensi terhadap ARV karena pemakaian obat terputus dan Odha pun tidak bisa lagi memakai obat sesuai dengan anjuran. Jika terjadi resistensi terhadap ARV maka obat pun harus diganti. Ini berdampak pula pada harga obat.
Mengusung Mitos
Jika pemerintah pusat dan daerah tetap memaksakan anggaran khusus untuk sektor HIV/AIDS maka dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak karena mengesankan pemerintah hanya memper-hatikan HIV/AIDS. Apalagi penyakit ini selalu dibenturkan dengan norma, moral, dan agama sehingga ada anggapan penularan penyakit ini erat kaitannya dengan perilaku (yang tidak baik). Anggapan di atas memang salah tapi tetap saja berkembang karena tidak ada upaya untuk memupusnya. Belakangan ini ada gejala baru yaitu perlombaan membuat peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan AIDS. Perda AIDS sudah ada di 39 daerah di tingakt provinsi, kabupaten, dan kota. Upaya penanggulangan HIV/AIDS yang ditawarkan perda-perda itu tetap saja mengusung mitos.Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah penularan HIV dengan “meningkatkan iman dan taqwa.”
Bagai-mana menakar kadar iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV?
Bagaimana pula iman dan taqwa mencegah penularan HIV melalui transfusi darah?
Hal itu juga akan menyuburkan stigma dan diskriminasi karena ada anggapan orang-orang yang tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa. Di perda lain disebutkan untuk mencegah penularan HIV adalah jangan melakukan seks menyimpang, jangan melakukan hubungan seks dengan yang bukan istri. Dengan 11.141 kasus AIDS, diperkirakan sebagian besar sudah memakai obat ARV, diperlukan banyak obat. Angka ini akan terus bertambah karena ada 6.066 kasus HIV yang kelak akan mencapai masa AIDS.
Kalangan ahli memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia antara 90.000-130.000. Kalau diambil rata-rata maka ada 110.000 penduduk Indonesia yang akan memerlukan obat ARV dan perawatan serta pengobatan di rumah sakit.
Angka di atas akan terus bertambah karena banyak orang yang tidak menyadai perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk dilakukan oleh laki-laki dan perempuan:
(a) yang sering atau pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif,
(b) yang sering atau pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pekerja seks itu HIV-positif.
Penularan Diam-diam
Dengan kasus AIDS yang dilaporkan saja yaitu 11.141 dana untuk membeli ARV setiap bulan mencapai Rp 8.912.800.000 dengan catatan harga Rp 800.000. Jika kasus pada angka 110.000 maka dana yang diperlukan mencapai Rp 88 miliar per bulan.
Angka itu belum termasuk biaya pengobatan (obat, dokter, dan rumah sakit) untuk penyakit-penyakit infeksi oportunistik yang muncul pada masa AIDS. Bagi yang mampu tidak ada masalah, namun bagi yang tidak mampu tentulah akan menjadi beban.
Kalau kemudian pemerintah mengatasinya dengan asuransi kesehatan untuk rakyat miskin maka dana yang diperkukan untuk mengobati Odha pun akan membengkak pula. HIV/AIDS merupakan epidemi yang harus ditanggulangi karena terkait dengan kesehatan masyarakat maka semua Odha mem-peroleh ARV gratis.
Untuk jangka panjang perlu dipikirkan untuk menerapkan subsidi silang karena jika tidak ada lagi dana hibah dari donor tentulah pemerintah akan kelabakan menyediakan biaya untuk pembelian obat ARV.
Pemberian ARV merupakan upaya penanggulangan di sektor hilir. Karena penularan HIV terjadi secara diam-diam tanpa disadari maka kasus penularan HIV akan terus bertambah. Ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik.
Akibatnya, mereka pun menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Antara lain melalui hubungan seks tanpa kodom di dalam dan di luar nikah, serta melalui jarum suntik yang dipakai bergantian pada pe-nyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Ada pula yang menularkan HIV kepada pekerja seks. Pekerja seks yang tertular kemudian menularkan HIV kepada laki-laki yang datang mengencaninya tanpa memakai kondom.
Banyak kasus HIV/AIDS di Indonesia terdeteksi sudah pada masa AIDS. Ini menunjukkan sebelum terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain yaitu pada kurun waktu antara 5-10 sejak mereka tertular HIV. Inilah mata rantai penyebaran HIV yang merupakan sektor hilir pada epidemi HIV. Tapi, hal ini tidak menjadi perhatian utama dalam penanggulangan HIV/AIDS saat ini. Penduduk yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Kalau di sektor hulu tidak ada upaya yang konkret untuk mencegah penularan HIV maka kasus AIDS akan terus bertambah. Ini artinya beban pemerintah untuk menyediakan obat ARV gratis pun akan melonjak pula. Pengeluaran masyarakat untuk berobat, khususnya keluarga Odha, pun meningkat pula karena pada masa AIDS Odha akan memerlukan pengobatan dan perawatan di rumah sakit.
Kelak kalau dana hibah dari donor asing tidak ada lagi maka APBN dan APBD pun akan digerogoti untuk membeli atau menyubsidi ARV dan memberikan dana bantuan pengobatan bagi pasien Odha yang miskin. Akankah kita menunggu kondisi itu atau sejak hari ini kita menyingsingkan lengan baju menyebarluaskan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS agar masyarakat bisa melindingi diri secara aktif agar tidak tertular HIV. Pilihan ada di tangan kita. (Sumber: Harian “Swara Kita“, Manado, 12 Mei 2008). *
(44) Media di Indonesia Menyuburkan Mitos dan Hoaks Terkait dengan HIV/AIDS
Kalau saja insan pers nasional berkaca ke Thailand tentulah penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru
Hari ini, 9 Februari 2023, Hari Pers Nasional (HPN) diperingati di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), dengan tema “Pers Bebas, Demokrasi Bermartabat.”
Namun, tahun berganti tahun dunia pers nasional (media massa) belakangan diramaikan oleh media online dan portal berita justru banyak yang mengabaikan peran pers dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Kalau saja insan pers nasional berkaca ke Thailand tentulah penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru.
Salah satu kunci keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS di beberapa negara, seperti di Thailand, adalah berkat dukungan media massa (media cetak dan media elektronik), ketika itu di tahun 1980-an belum ada media online/portal berita.
Insiden infeksi HIV baru di Negeri Gajah Putih itu ditekan sehingga kasus baru setiap tahun turun drastis (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thammarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000).
Berbeda dengan Indonesia peran media massa dan media online, sangat kecil sehingga insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang pada gilirannya menyebar di masyarakat.
Dengan jumlah kasus HIV/AIDS mendekati angka 1 juta di awal tahun 1990-an di Thailand, negeri itu berhasil memangkas jumlah insiden infeksi HIV baru sehingga kasus sekarang 480.000 dengan infeksi HIV baru 6.400/tahun. Yang mendapat pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV) 75% (aidsdatahub.org).
Bandingkan dengan Indonesia dengan jumlah kasus kumulatif berdasarkan estimasi 640.000, dengan infeksi HIV baru 48.000/tahun dan kematian 46.000. Yang mendapatkan pengobatan ARV 17% (aidsdatahub.org). Sedangkan yang terdeteksi per 30 Juni 2019 sebanyak 466.859 (Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019). Fakta lain menunjukkan Indonesia ada di peringkat keempat setelah China, India dan Rusia dalam jumlah insiden infeksi HIV baru (aidsmap.com).
Selain itu sebagian besar media massa dan media online di Tanah Air justru menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS sehingga masyarakat tidak menangkap fakta medis tentang HIV/AIDS.
Kondisi itu membuat banyak orang terperangkap dalam mitos sehingga tertular HIV/AIDS.
Misalnya, berita-berita dan laporan di media massa, bahkan di situs medis online, penularan HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan hubungan seksual pranikah, zina, seks bebas, selingkuh, pelacuran dan homoseksual.
Padahal, secara medis penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (hubungan seksual pranikah, zina, seks bebas, selingkuh, pelacuran dan homoseksual), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta medis (Lihat matriks sifat dan hubungan seksual).
Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Saat Terjadi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Lihat saja judul berita-berita yang mem-blow up mitos ini:
- Kasus HIV/AIDS di Surabaya Masih Tinggi, Rata-Rata karena Seks Bebas (suarasurabaya.net, 2/12-2022)
- Bahaya Seks Bebas: Dari HIV/AIDS sampai Mandul (solopos.com, 1/9-2022)
- 583 Warga Cimahi Positif HIV/AIDS, Mayoritas gegara Seks Bebas (detik.com, 26/8-2022)
- Fenomena FWB, Remaja Lakoni Seks Bebas Tertular HIV/AIDS di Solo dan Sukoharjo (solopos.com, 20/10-2022)
- Hasil Penelitian, LGBT dan Seks Bebas Picu HIV-AIDS di Kota Malang Meningkat (republika.co.id, 3/2-2022)
- Dampak Seks Bebas, LGBT, HIV/AIDS (ayoguruberbagi.kemdikbud.go.id, 20/10-2020)
Seks bebas di Indonesia diartikan sebagai zina dan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran.
Yang perlu diingat adalah PSK ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan. Tapi, sejak reformasi ada gerakan moral menutup semua lokalisasi pelacuran di Indonesia sehingga lokalisasi pelacuran pun sekarang pindah ke media sosial. Transaksi seks pun dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekusinya dilakukan sembarang waktu dan di sembarang tempat. PSK langsung pun akhirnya ‘ganti baju’ jadi PSK tidak langsung.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, pemandu lagu, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, dan cewek PSK online. Transaksi seks terjadi melalui berbagai cara, antara lain melalui ponsel.
Begitu pula dengan berita yang mengangkat isu LGBT, tapi justru hoaks.
Dalam epidemi HIV/AIDS seks pada lesbian bukan faktor risiko penularan karena tidak terjadi hubungan seksual penetrasi. Itu artinya berita yang mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan lesbian pada LGBT adalah berita (menurut UNESCO bukan berita bohong, tapi informasi bohong).
- Simak saja berita yang menyesatkan ini karena menyebut lesbian sebagai faktor penularan HIV/AIDS:
- Melonjak, Penularan HIV/AIDS pada LGBT di Indonesia (republika.co.id, 28/12-2022)
- LGBT Salah Satu Penyebab Kasus HIV/AIDS Tinggi, Gubri: Jangan Sampai Datang Laknat Allah! (cakaplah.com, 5/12-2022)
- LGBT Tangerang Sumbang Kenaikan Kasus HIV dan AIDS (rri.co.id, 2/12-2022)
- Hubungan Perilaku Seksual LGBT dengan Kejadian Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada Anak Jalanan di Kota Medan (repository.usu.ac.id, 2019)
- Seks Sesama Jenis Sumbang Kasus HIV/AIDS Terbanyak di Karawang (news.detik.com, 6/1-2022)
- Pengamat Sosial: Munculnya HIV/AIDS Berawal dari LGBT (jatim.antaranews.com, 28/2-2016)
- HIV-AIDS di Tasikmalaya Makin Mengkhawatirkan, 40 Persen Kasus Berasal dari Kelompok LGBT (pikiran-rakyat.com, 29/12-2022)
- Kasus HIV/AIDS di Jabar Tinggi, Sebab Utamanya LGBT (suaraislam.id, 30/12-2022)
- LGBT di Indonesia: Kasus HIV/AIDS Meningkat, Kalangan Ibu Rumah Tangga Menjadi Korban? (kompasiana.com, 6/12-2022)
- LGBT Sumbang Kasus HIV dan AIDS di Kabupaten Tangerang (tangerangnews.com, 1/12-2022)
- Fakta Terbaru HIV AIDS di Indonesia! Homoseksual LGBT Jadi Faktor Risiko Penularan dengan Angka Tertinggi (suaramerdeka.com, 2/1-2023)
- Dampak Seks Bebas, LGBT, HIV/AIDS (ayoguruberbagi.kemdikbud.go.id, 20/10-2020)
Yang jadi pemicu penyebaran HIV/AIDS di Indonesia adalah banyak orang yang termakan mitos karena mereka merasa tidak melakukan seks bebas.
Mereka melakukan seks bukan dengan PSK, tapi dengan PSK tidak langsung dan dilakukan tidak di lokasi pelacuran. Mereka melakukan hubungan seksual di rumah, kos-kosan, penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang dan apartemen.
Maka, amatlah masuk akal kalau kemudian jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sejak awal epidemi tahun 1987 sampai 30 Juni 2022 (siha.kemkes.go.id) mencapai 618.284 yang terdiri atas 478,784 HIV dan 139.500 AIDS.
Yang perlu diingat jumlah yang dilaporkan ini (618.284) tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemic HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi (618.284) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Akankah kita masih terus mengedepankan mitos sampai akhirnya kasus HIV/AIDS di Indonesia seperti ‘afrika kedua’? (Tagar.id, 9 Februari 2023). *
(45) Tantangan Bagi Pemerintahan Presiden Jokowi adalah Menurunkan Insiden Infeksi HIV/AIDS
Catatan: Jokowi Widodo (Jokowi) terpilih jadi Presiden RI periode 2014-2019 yang diharapkan bisa mengatasi masalah epidemi HIV/AIDS di Indonesia karena selama ini penanggulangan hanya di ranah orasi moral tanpa tindakan yang konkret. Sejarah akan mencatat bagaimana setiap periode pemerintahan di negeri ini dalam menanggulangi epidemi HIV/AIDS.
Indonesia merupakan negara ketiga di Asia setelah Tiongkok dan India dengan angka pertambahan kasus HIV baru yang tertinggi. Sampai Desember 2013 sudah dilaporkan 164.442 kasus HIV/AIDS yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Ini merupakan tantangan bagi pemerintah baru periode 2014-2019.
Sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia (1987) sampai sekarang pemerinth sama sekali tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. Presiden dan wakil presiden baru berpeluang menurunkan insiden infeksi HIV baru sehingga menyelamatkan Indonesia dari “kiamat AIDS”.
Epidemi HIV/AIDS akan menggerogoti dana pembangunan di kawasan Asia Pasifik. Ini prediksi kalangan ahli di akhir tahun 1990-an. Hal ini terbukti karena insiden infeksi HIV baru di kawasan Asia Pasifik justru terus meroket, sedangkan di kawasan Afrika, Eropa Barat, Amerika Serikat dan Australia justru mulai mendatar. Penyebaran HIV/AIDS di kawasan Asia Pasifik akan membuat banyak penduduk di kawasan ini yang tertular HIV karena 60 persen penduduk dunia bermukim di kawasan Asia Pasifik (AIDS Menggerogoti Ekonomi Asia Pasifik, Tabloid Mutiara, 11-17 November 1997).
Secara global laporan UNAIDS pada tahun 2013 diperkirakan 35,3 juta penduduk dunia hidup dengan HIV/AIDS. Dari jumlah ini 2,1 juta HIV/AIDS terdeteksi pada penduduk usia 10-19 tahun. Sejak kasus AIDS pertama terdeteksi diperkirakan 36 juta penduduk dunia meninggal karena penyakit terkait AIDS. Perkiraan WHO pada tahun 2012 sekitar 2,3 juta penduduk dunia tertular HIV/AIDS.
Kasus AIDS Pertama
Sedangkan secara nasional sampai Desember 2013 kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai yang terdiri atas 118.792 HIV dan 45.650 AIDS dengan 9.585 kematian.
Penyebaran kasus HIV/AIDS sudah terjadi di seluruh wilayah Nusantara mulai dari Aceh sampai Papua. Bahkan, di 22 provinsi kasus HIV/AIDS di atas 1.000, sedangkan di beberapa provinsi lain kasus HIV/AIDS justru sudah mencapai belasan dan puluhan ribu.
Kasus-kasus HIV yang terdeteksi akan masuk ke masa AIDS antara 5-15 tahun kemudian sehingga di beberapa daerah dengan jumlah kasus HIV yang mencapai ribuan kelak akan terjadi “ledakan AIDS”.
Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia sudah berada pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan karena selama ini tidak ada penanggulangan yang komprehensif. Maka, ini merupakan tantangan besar dan berat bagi pemerintah baru karena menyangkut kelangsungan hidup rakyat Indonesia.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia sampai Desember 2013 yaitu 164.442 tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Kasus yang dilaporkan (164.442) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang ada di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut.
Maka, yang menjadi tantangan bagi pemerintah baru adalah mendeteksi kasus-kasus HIV/AIDS yang belum terdeteksi yaitu yang ada di masyarakat. Jumlah kasus yang tidak terdeteksi terus bertambah seperti deret ukur sedangkan penemuan kasus baru hanya seperti deret hitung.
Itu semua terjadi karena penanggulangan epidemi HIV/AIDS yang dilakukan pemerintah sejak awal epidemi di Indonesia (1987) sampai sekarang tidak konkret. Penanggulangan hanya dengan orasi moral yang mengedepankan mitos (anggapan yang salah tentang HIV/AIDS) bahwamasyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berbudaya, beradab, dan beragama sehingga tidak mungkin tertular HIV/AIDS.
Maka, kesalahan besar pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah menjadikan kasus kematian wisatawan Belanda yang meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, pada tahun 1987 sebagai kasus pertama di Indonesia. Soalnya, sejak epidemi HIV/AIDS menjadi persoalan di banyak negara di dunia dan mereka langsung menanganinya dengan cara-cara yang realistis, di Indonesia justru sebaliknya.
Pemerintah menyangkal sema kemungkinan bahwa HIV/AIDS akan masuk ke Indonesia, misalnya dengan mengatakan bahwa HIV/AIDS hanya terjadi di Barat, merupakan penyakit kalangan homoseksual, dll. Ketika kematian wisatawan Belanda itu ditetapkan pemerintah sebagai kasus pertama, maka ada empat hal yang selama ini dijadikan pemerintah sebagai penolakan terhadap HIV/AIDS ada pada kasus tsb., yaitu: (a) HIV/AIDS datang dari luar negeri, (b) HIV/AIDS penyakit homoseksual, dan (c) HIV/AIDS berkecamuk di Barat, dan (d) HIV/AIDS penyakit orang bule.
Maka, empat hal itu ada pada wisatawan Belanda yang meninggal itu. Itulah salah satu hal yang membuat penanggulangan HIV/AIDS sulit dilakukan karena sebagian orang merasa perilakunya tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena mereka tidak termasuk dalam empat faktor di atas.
Pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik VI (The Sixth International Congress on AIDS in Asia and the Pacific) di Melbourne, Australia, Oktober 2001, Dr Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB yang khusus menangani HIV/AIDS) dalam pidato pembukaan secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan IDU (injecting drug use yaitu penyalahguna narkoba dengan jarum suntik) di Indonesia.
Ketika itu laporan Ditjen PPM & PL Depkes menyebutkan jumlah kasus HIV/AIDS sampai 30 Juni 2001 tercatat pada kalangn penyalahguna narkoba adalah 415, yang terdiri atas 309 HIV dan 106 AIDS. Sedangkan perkiraan kalangan ahli pada saat itu jumlah kasus HIV/AIDS pada kalangan penyalahguna narkoba antara 60.000 – 80.000 (AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Harian “Suara Pembaruan”, 6 Oktober 2001).
Warung Tembak
Sayang, peringatan Dr Piot itu tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah kala itu. Akibatnya, penyebaran HIV, terutama melalui jarum suntik pada kalangan penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya), terus terjadi yang pada gilirannya berimbas ke masyarakat luas.
Dengan 45.650 kasus AIDS yang dilaporkan ada 7.962 kasus AIDS dengan faktor risiko penyalahguna narkoba. Jika mereka ini mempunyai pasangan seks atau melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), maka ada 7.962 orang yang berisiko tertular HIV. Jika istri mereka tertular HIV, maka ada pula risiko penularan ke bayi yang mereka kandung kelak.
Penyebaran HIV/AIDS pada penyalahguna narkoba terjadi karena mereka, rata-rata antara 3-5 orang, memakai narkoba dengan jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama dengan bergiliran. Jika di antara mereka ada yang mengidap HIV/AIDS, maka teman-teman yang sama-sama menyuntikkan narkoba pun berisiko tertular HIV/AIDS.
Penyalahguna narkoba menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari lingkungan penyalahguna narkoba ke masyarakat, terutama melalui hubungan seksual yang tidak mana yaitu tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah. Penyalahguna narkoba mempunyai pasangan seks, seperti pacar, istri atau PSK.
Langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS di kalangan penyalahguna narkoba dengan jarum suntik ada negara yang menjalankan program ‘pertukaran jarum suntik’. Caranya adalah dengan membagi-bagikan jarum suntik yang steril kepada penyalahguna narkoba agar mereka tidak memakai jarum secara bergantian. Ada pula negara yang menyediakan tempat menyuntik disebut “shooting galleries”, semacam sanggar tempat menyuntik atau “warung tembak”. Penyalahguna narkoba datang ke tempat itu membawa narkoba untuk disuntikkan dengan jarum yang steril.Indonesia menjalankan program rumatan metadon yaitu mengganti narkoba suntik dengan narkoba sintetis yang disebut metadon dalam bentuk cair. Penyalahguna narkoba yang memakai jarum suntik dialihkan memakai metadon di sarana kesehatan yang ditunjuk pemerintah. Program ini sangat terbatas dan hanya ada di beberapa kota, maka pemerintah baru ditantang untuk menyediakan rumatan metadon dengan skala nasional.
Selain penyebaran HIV/AIDS secara horizontal dari penyalahguna narkoba ke pasangan seksualnya, seperti istri, penyebaran HIV/AIDS selanjutnya terjadi secara vertikal dari istri ke bayi yang dikandung di istri.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya pasangan pemerintah baru diharapkan bisa merancang UU yang mewajibkan semua perempuan hamil yang berobat dan memeriksakan diri ke sarana kesehatan pemerintah dengan program jaminan gratis dari pemerintah daerah diwajibkan melakukan tes HIV. Ini tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) karena ada pilihan yaitu memeriksakan kehamilan ke sarana kesehatan swasta dengan jaminan kesehatan berbayar.
Dengan mengetahui status HIV perempuan hamil, maka bisa dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Program ini menyelamatkan bayi agar tidak tertular HIV dari ibu yang mengandungnya.
Selain itu dideteksi pula satu laki-laki yang mengidap HIV/AIDS yaitu suami atau pasangan perempuan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Dengan langkah kecil ini saja sudah diputus dua mata rantai penyebaran HIV yaitu dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya dan dari laki-laki suami atau pasangan perempuan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ke istri lain bagi yang beristri lebih dari satu, ke pasangan seks yang lain atau ke PSK.
Memutus mata rantai penyebaran HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya sudah mendesak karena sejak tahun 1987 sampai 2013 terdeteksi 6.230 kasus AIDS pada kalangan ibu rumah tangga. Risiko ibu rumah tangga tertular HIV/AIDS kian besar karena catatan Kemenkes RI menunjukkan 4,9 juta ibu rumah tangga menikah dengan laki-laki yang perilaku seksnya berisiko tinggi (tribunNews.com, 25/4-2014). Mereka itu adalah laki-laki atau suami yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti, seperti PSK dan cewek gratifikasi seks.
Tentu angka-angka itu hanya sebagian kecil saja karena banyak perempuan hamil yang mengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi. Di Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah lembaga yang menangani HIV/AIDS di Jakarta, misalnya, ada 140-an anak-anak mulai dari balita sampai usia SMP yang tertular HIV dari ibu mereka dan sekarang didampingi oleh relawan di YPI.
Gratifikasi Seks
Maka, diperlukan langkah yang konkret dari pemerintah agar anak-anak dengan HIV/AIDS tidak ditolak di sekolah. Soalnya, kalau didirikan sekolah khusus anak-anak dengan HIV/AIDS itu sama saja dengan mendiskriminasi anak-anak tsb.
Untuk itulah pasangan pemerintah baru ditantang untuk merancang UU yang melindungi anak-anak dengan HIV/AIDS agar tidak ditolak di sekolah dan perguruan tinggi serta tidak mengalami stigmatisasi (cap buruk) di masyarakat.
Selain pada penyalahguna narkoba, penyebaran HIV/AIDS juga terjadi melalui laki-laki yang perilaku seksualnya beresiko, yaitu laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti. Soalnya, perempuan-perempuan itu pun ada kemungkinan juga mempunyai pasangan lain.
Penyebaran yang lain terjadi melalui laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti SK.
Kota Batam, di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), merupakan salah satu kota yang bisa menjadi ‘pintu masuk’ penyebaran HIV/AIDS secara nasional karena di Batam beroperasi PSK dari banyak daerah di Indonesia (Batam bisa Jadi ”Pintu Masuk” Epidemi HIV/AIDS Nasional, Harian “Sinar Harapan”, 3 Agustus 2001).
Jika ada PSK yang tertular HIV/AIDS di Batam, maka ketika mereka pulang kampung atau mudik mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV di kampungnya. Antara lain risiko penularan kepada suami atau pasangan seksualnya di kampung, bisa pula ada di antara mereka yang ‘buka praktek’ di kampung sehingga terjadi penyebaran HIV/AIDS.
Dalam kaitan ini peluang yang dimiliki oleh pasangan pemerintah baru adalah mendorong daerah-daerah ‘pemasok PSK’ ke Batam untuk menjalin kerja sama dengan Pemprov Kepulauan Riau. Kerja sama dimaksud adalah Pemprov Kepri melakukan tes HIV rutin terhadap PSK dengan dukungan daerah-daerah ‘pemasok PSK’ sehingga PSK yang mengidap HIV/AIDS bisa dideteksi agar bisa didampingi jika mereka pulang kampung agar tidak menyebarkan HIV/AIDS.
Ada lagi penyebaran HIV/AIDS yang luput dari perhatian yaitu melalui laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan cewek gratifikasi seks yaitu perempuan yang diberikan kepada mitra bisnis, pejabat negara, dll. sebagai imbalan atau balas jasa (Gratifikasi Seks (Akan) Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia, kompasiana.com, 14/1-2014).
Penyebaran HIV/AIDS melalui cewek gratifikasi seks ini sangat tinggi karena: (a) Tidak ada program penjangkauan terhadap cewek gratifikasi, (b) Tidak ada pemantauan pemakaian kondom pada hubungan seksual yang mereka lakukan dengan laki-laki yang menerima mereka sebagai gratifikasi. Kondisi ini membuat hubungan seksual antara cewek gratifikasi seks dengan laki-laki yang menerima gratifikasi itu riskan terjadi penularan HIV/AIDS. Bisa jadi dari cewek ke laki-laki atau sebaliknya.
Terkait dengan gratifikasi seks ini diharapkan pasangan pemerintah baru merancang UU yang melarang gratifikasi seks dan memasukkan gratifikasi seks sebagai tindakan korupsi sehingga pelaku-pelakunya dijerat dengan UU Tipikor.
Langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual berisiko adalah mendorong perubahan perilaku seks pada laki-laki yang gemar melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering gonta-ganti pasangan, seperti PSK dan cewek gratifikasi seks.
Laporan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan pada tahun 2012 di Indonesia ada 6,7 juta laki-laki beristri yang gemar melakukan hubungan seksual dengan PSK. Dari jumlah ini 2,2 juta di antaranya adalah laki-laki yang mempunyai istri (kompas.com, 3/12-2012). Itu artinya ada 2,2 istri yang berisiko tertular HIV/AIDS dari suaminya karena para suami itu tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK atau dengan cewek gratifikasi seks.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian sudah terdeteksi 6.230 ibu rumah tangga dengan kasus AIDS. Jumlah ini akan lebih besar jika ada di antara suami-suami yang mengidap HIV/AIDS mempunyai istri lebih dari satu. Laporan Kemenkes RI menyebutkan sampai 31 Desember 2013 bahwa AIDS duah terdeteksi pada 1.009 anak usia 0-4 tahun.
Risiko penularan HIV/AIDS dari PSK ke laki-laki atau sebaliknya terjadi karena banyak di antara laki-laki pelanggan PSK itu tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan hanya 35 persen dari 6,7 juta laki-laki pelanggan PSK yang memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK (kompas.com, 6/12-2012).
Penanggulangan di Hilir
Persoalan yang dihadapi terkait dengan laki-laki pelanggan PSK adalah sejak era reformasi semua daerah menutup lokalisasi pelacuran sehingga praktek pelacuran tersebar luas di sembarang tempat dan sembarang waktu. Jika pelacuran tidak dilokalisir, maka penjangkauan terhadap PSK dan pelanggannya sangat sulit dilakukan sehingga sosialisasi pemakaian kondom bagi laki-laki tidak dapat dijalankan secara efektif.
Langkah konkret yang bisa dilakukan untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki pelanggan PSK adalah melalui intervensi berupa ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini sudah terbukti menurunkan kasus HIV/AIDS baru di Thailand. Tapi, program ‘wajib kondom 100 persen’ hanya bisa dilakukan kalau pelacuran dilokalisir sehingga program ini tidak bisa dijalankan secara efektif di Indonesia.
Beberapa pemerintah daerah, mulai dari provinsi, kabupaten dan kota menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS, tapi perda-perda itu sama sekali tidak bekerja karena pasal-pasal dalam perda-perda tsb. hanya aturan normatif yang dibalut dengan moral.
Perda AIDS di Indonesia, yang pertama diterbitkan di Kab Nabire, Papua, tahun 2003, meniru program ‘wajib kondom 100 persen’ di Thailand. Tapi, karena perda dibuat dengan semangat moral maka perda-perda itu pun hanyalah ‘macan kertas’ yang tidak menukik ke akar persoalan.Misalnya, dalam perda-perda itu, sampai April 2014 sudah ada 78 perda, selalu disebutkan bahwa mencegah penularan HIV/AIDS dengan cara: (a) Jangan melakukan hubungan seksual sebelum menikah, (b) Jangan melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah, dan (c) Meningkatkan iman dan taqwa.
Tiga cara di atas sama sekali tidak terkait langsung dengan penularan HIV/AIDS karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu atau kedua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.
Karena sejak awal epidemi persoalan HIV/AIDS sudah dibumbui dengan moral dan ‘diperkuat’ pula dengan perda-perda AIDS, maka amatlah sulit mengajak laki-laki pelanggan PSK untuk selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual: (1) dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, dan (2) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan cewek gratifikasi.
Kondisinya kian runyam karena program ‘wajib kondom 100 persen’ yang dikembangkan Kemenkes RI dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) tidak dijalankan secara komprehensif. Di negara asal program itu, Thailand, ternyata program itu merupakan urutan terakhir (ekor) dari serangkaian program penanggulangan HIV/AIDS dengan skala nasional.
Thailand menjalankan program penanggulangan melalui rangkaian yang sistematis dan berkelanjutan yang dimulai dengan penyebarluasan informasi HIV/AIDS melalui media massa dan terakhir program ‘wajib kondom 100 persen’.
Celakanya, di Indonesia program penanggulangan dimulai dengan ‘wajib kondom 100 persen’ sehingga menimbulkan pro dan kontra yang berkepanjangan. Ini terjadi karena masyarakat belum memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang konkret, al. dengan kondom.
Jika kelak masyarakat tetap menolak lokalisasi pelacuran, maka upaya untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK sangatlah sulit. Ini tantangan terberat bagi pemerintah baru.
Pendekatan secara sosial dan moral terhadap laki-laki pelanggan PSK juga sangat sulit karena praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Berbeda halnya jika pelacuran dilokalisir, penjangkauan dan intervensi bisa dilakukan secara efektif.
Selama ini penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yang konkret dan terukur hanya dilakukan di hilir, al. tes HIV pada perempuan hamil, tes HIV pada pasien-pasien yang berobat ke rumah sakit dengan gejala-gejala terkait HIV/AIDS, dan surveilans tes HIV di kalangan PSK dan Waria.Itu artinya pemerintah menunggu bahkan membiarkan penduduk tertular HIV dahulu baru ditangani.
Persoalan besar yang terjadi jika penanggulangan yang konkret hanya dilakukan di hilir adalah sebelum mereka terdeteksi mengidap HIV melalui tes HIV mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Semua terjadi tanpa disadari.
Wajib Kondom
Orang-orang yang mengidap HIV/AIDS, yaitu: suami menularkan HIV ke istrinya. Perempuan menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya, laki-laki menularkan HIV ke pasangan seksnya atau ke PSK.
Terkait dengan pelacuran ada salah kaprah yang sangat fatal yaitu menyebutkan bahwa PSK dan pelacuran sebagai penyebar HIV/AIDS. Ini tidak tepat karena:
(a) Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, dan
(b) Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Langkah konkret yang bisa dilakukan untuk memutus mata rantai (a) dan (b) adalah melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, sekali lagi ini hanya bisa dilakukan jika pelacuran dilokalisir.
Karena penolakan yang sangat kuat dari masyarakat sehingga pelacuran tidak bisa dilokalisir, maka langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah baru adalah membuat UU yang mwajibkan konseling pasangan bagi ibu rumah tangga yang sedang hamil ketika memeriksakan kehamilan ke sarana kesehatan pemerintah.
Konseling pasangan dilakukan untuk mengetahui riwayat perilaku seksual suami dan istri mulai dari sebelum menikah dan selama pernikahan. Perilaku seksual salah satu atau kedua pasangan erat kaitannya dengan risiko tertular HIV.
Langkah konkret lain yang bisa dijalankan pemerintah baru untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat adalah dengan membuat UU yang mewajibkan semua pasien yang berobat ke sarana kesehatan pemerintah, seperti puskesmas dan rumah sakit, yang memakai dana pemerintah untuk menjalani tes HIV. Ini tidak melanggar HAM karena ada pilihan bagi yang tidak bersedia menjalani tes HIV yaitu berobat ke sarana kesehatan nonpemerintah.
Satu kasus HIV/AIDS terdeteksi, maka satu mata rantai penyebaran HIV diputus. Itu artinya semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi, maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV/AIDS yang diputus.
Selain itu mendeteksi kasus HIV/AIDS pun akan memudahkan upaya pengobatan karena sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menghambat pertumbuhan HIV di dalam darah. Dengan obat ARV pengidap HIV/AIDS bisa hidup seperti biasa karena obat itu menjaga kondisi fisik dan kesehatan. Orang-orang yang meminum obat ARV pun pada tahap tertentu tidak menularkan HIV ke pasangannya karena virus (HIV) di dalam darahnya ‘tidur’.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh pemerintah baru adalah dana untuk membeli obat ARV karena obat ini harus diminum seumur hidup. Tapi, orang-orang yang terdeteksi HIV/AIDS tidak semerta meminum obat ARV. Saat ini harga obat ARV Rp 360.000/bulan.
Maka, tanpa langkah-langkah yang konkret, penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Indonesia yang kelak akan sampai pada “ledakan AIDS” sehingga menggerogoti APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara) al. untuk pembelian obat ARV, pengobatan dan perawatan pengidap HIV/AIDS. (Kompasiana, 13 Juli 2014). *
(46) Ironis: Kondom Ditolak, Vaksin AIDS Ditunggu-tunggu
Catatan: yang benar adalah vaksin HIV, tapi banyak orang yang tidak memahami berbagai aspek tentang HIV/AIDS sehingga mereka lebih mengenal AIDS sehingga saya pakai judul AIDS agar cepat dipahami.
“AIDS: Obat dan Vaksin Akan Membuat (Perilaku) sebagian Orang Seperti Binatang.” Ini judul tulisan di kompasiana.com/infokespro (30/11-2-11) yang ditanggapi secara beragam. Tanggapan berupa caci-maki, hujatan, dll. pun tertuju kepada saya sebagai penulis. Ini tentu saja perkiraan karena selama ini biarpun tidak ada vaksin dan obat, tapi orang tidak takut melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tertular HIV. Sayang, tulisan ini tidak bisa lagi dibaca.
Selama ini di banyak negara, termasuk Indonesia, ada penolakan yang sangat kuat terhadap (sosialisasi) kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual (seks vaginal, seks anal dan seks oral) di dalam dan di luar nikah. Padahal, berbagai penelitian dan studi menunjukkan kondom adalah satu-satunya alat untuk mencegah penularan HIV ketika terjadi hubungan seksual.
Seks Yes, Kondom No
Belakangan muncul pula informasi tentang sirkumsisi (sunat) pada laki-laki yang dikatakan bisa juga mencegah penularan HIV. Pendapat ini pertama kali muncul di Afrika ketika ada dilakukan penelitian terhadap mayat-mayat yang mati karena penyakit yang terkait HIV/AIDS. Hasilnya, lebih banyak laki-laki yang tidak disunat. Tapi, yang tidak muncul dari penelitian ini adalah perilaku seksual orang-orang yang mati tadi semasa hidupnya. Bisa saja karena aturan-aturan tertentu sehingga ada perbedaan perilaku seksual antara yang disunat dan tidak disunat.
Yang benar bukan mencegah penularan HIV, tapi menurunkan risiko tertular HIV ketika terjadi hubungan seksual karena bagian kepala penis mengeras pada penis yang disunat. Tapi, bagian batang penis tetap berisiko menjadi pintu masuk HIV jika terjadi perlukaan selama hubungan seksual karena bersentuhan dengan dinding vagina dan cairan vagina.
Di Papua, misalnya, ada pendeta yang menolak kondom dengan jargon “Seks Yes, Kondom No”. Maka, pemerintah di sana pun menjadikan sunat sebagai prioritas utama dalam penanggulangan HIV/AIDS. Tentu saja ini berdampak buruk karena laki-laki yang disunat merasa aman melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV karena menganggap sunat sebagai ‘kondom alam’.
Pakar-pakar kesehatan, terutama yang terkait dengan HIV/AIDS, terus-menerus memutar otak untuk mencari vaksin HIV (yaitu virus yang menurunkan sistem kekebalan tubuh yang akan berakhir pada kondisi AIDS jika tidak ditangani secara medis). Ada yang sudah mulai uji coba.
Sumber: kmpa.fkunud.com
Tentu bukan hal yang mudah menemukan vaksin HIV karena subtype HIV banyak sehingga kalau pun cocok untuk sub-type A belum tentu cocok untuk sub-type lain.
PSK
Yang tidak masuk akal adalah kondom ditolak tapi sunat dipakai sebagai alat mencegah penularan HIV dan vaksin HIV ditunggu-tunggu. Maka, bisa jadi kelak akan terjadi dialog ini:
Seseorang: “Dok, suntikkan vaksin HIV, dong, gue mau ngeseks, nih!”
Disebut-sebut kondom melegalisasi zina, mendorong orang berzina, mengajak orang melacur, dst. Padahal, dengan sunat yang dianggap kondom alam juga sama saja dengan kondom, dampaknya jauh lebih lebih parah karena sunat bukan vaksin.
Dengan imunitas HIV di dalam tubuh tentulah tidak ada lagi hambatan bagi yang suka melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti dengan pekerja seks komersial (PSK), selingkuhan, dll. PSK sendiri diketahui ada dua tipe, yaitu:
(1) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
Maka, sunat bukan menurunkan kasus HIV tapi meningkatkan jumlah insiden infeksi HIV baru karena kian banyak orang kelak yang tidak lagi memakai kondom. Sedangkan vaksin menurunkan insiden infeksi HIV baru tapi tidak membawa cara hidup baru dalam penyaluaran dorongan seksual. (Kompasiana, 28 April 2017). *
(47) AIDS: Obat dan Vaksin Akan Membuat (Perilaku) sebagian Orang Seperti Binatang
* Sebagai renungan di Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2014
Menjelang peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) yang dirayakan secara internasional setiap tanggal 1 Desember media massa ramai memberitakan HIV/AIDS.
Salah satu topik yang selalu muncul dalam berita tentang HIV/AIDS adalah: HIV/AIDS penyakit yang belum ada obatnya dan HIV virus yang belum ada vaksinnya.
Berita terkait dengan obat dan vaksin tidak objektif karena dalam berita tentang penyakit demam berdarah, darah tinggi, dan diabetes selalu tidak disebutkan obat dan vaksinnya.
Demam berdarah belum ada obatnya. Sedangkan darah tinggi dan diabetes tidak bisa disembuhkan biar pun ada obatnya.
Ada ironi dalam pandangan masyarakat terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS. Masyarakat (dunia) berharap pakar bisa segera menemukan obat dan vaksin HIV/AIDS.
Memang, sudah ada uji coba vaksin HIV. Tapi, vaksin ini akan sangat lama bisa dipakai manusia karena berbagai alasan. Misalnya, HIV dikenal mempunyai subtype virus. Sudah dikenal subtype virus HIV mulai dari A sampai O. Maka, vaksin untuk HIV dengan sub-type A belum tentu cocok untuk HIV dengan sub-type E, dst.
Lagi pula seorang yang mengidap HIV/AIDS bisa saja virus HIV yang ada di darahnya terdiri atas beberapa subtipe virus HIV. Nah, seseorang yang menerima vaksin HIV dengan sub-type A tentu akan tertular HIV dengan subtype virus yang lain.
Apakah nanti vaksin HIV bisa digabung untuk virus dengan sub-type A sampa O?
Tanpa kita sadari kita lupa bahwa pada rentang waktu menunggu vaksin, insiden penularan HIV terus terjadi. Inilah yang tidak muncul dalam banyak berita tentang HIV/AIDS.
Bertolak dari pernyataan-pernyataan yang dipublikasikan melalui berita, reportase dan opini di media massa ada kesan obat AIDS dan vaksin HIV sangat diperlukan.
Tanpa kita sadari harapan itu justru akan menjadi bumerang bagi kehidupan manusia karena kalau sudah ada obat AIDS dan vaksin HIV orang pun tidak takut lagi tertular HIV.
Selanjutnya, apa yang (akan) terjadi?
Sebagian orang pun tidak akan takut lagi melakukan perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV.
Salah satu perilaku yang berisiko tertular HIV adalah melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, serta hubungan seksual tanpa kondom pada homoseksual, terutama pada laki-laki gay.
Nah, kalau sudah ada obat AIDS dan vaksin HV tentulah oang pun tidak takut lagi melakukan perilaku berisiko. Maka, perilaku manusia pun tak ubahnya seperti binatang: melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.
Realitas sosial inilah yang luput dari perhatian. Atau bisa saja manusia memang ingin melakukan banyak hal tanpa harus menanggung risiko atau dampak buruk dari perilakunya.
Padahal, sejak awal epidemi di tahun 1980-an para pakar sudah menyebarluaskan informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV.
Informasi itu adalah vaksin. Dengan bekal informasi yang akurat kita bisa melindungi diri secara aktif agar tidak tertular HIV.
Terkait dengan HAS sebagai cantelan berita (news peg), maka yang perlu diberitakan secara luas dan konsisten adalah cara-cara pencegahan yang berpijak pada perilaku orang per orang.
Tapi, sayang seribu kali sayang hanya segelintir wartawan yang mewarnai tulisannya dengan cara-cara pencegahan yang konkret. Sebagian besar wartawan membumbui beritanya dengan moral sehingga berita itu hanya menyebarkan mitos (anggapan yang salah).
Agaknya, kita tetap tidak mau menjadikan informasi yang akurat tentang cara-cara pencegahan HIV sebagai vaksin.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian insiden infeksi HIV baru terus terjadi dan kasus-kasus HIV/AIDS (baru) terus terdeteksi. (Kompasiana, 30 November 2011). *
(48) Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia ’Mengekor’ ke Ekor Program Thailand
* Pemerintah Gagal Menanggulangi HIV/AIDS karena dijalankan dengan pijakan moral
“Pemerintah kembali mengakui gagal dalam program penanggulangan HIV/AIDS. Kegagalan itu disebabkan oleh masih rendahnya pengetahuan HIV secara komprehensif di kalangan muda dan rendahnya penggunaan kondom pada kelompok beresiko.” (Pemerintah Kembali Gagal Atasi HIV/Aids, www.mediaindonesia.com, 2/3-2012).
Hal itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono. Lebih lanjut Agung mengatakan: “Pengetahuan soal HIV di kalangan muda masih rendah. Itulah sebabnya penularan infeksi baru HIV di kalangan muda sangat tinggi.”
Ada beberapa hal yang tidak luput dari perhatian pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS terkait dengan pernyataan Agung Laksono ini.
Mitos AIDS
Pertama, kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada kalangan muda terjadi pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian. Mereka menjalani tes wajib ketika hendak masuk panti atau pusat rehabilitasi narkoba.
Kedua, pengetahun kalangan muda (dan dewasa) terhadap HIV/AIDS sangat rendah karena materi komunikasi, informasi dan edukasi HIV/AIDS tidak akurat. Ini terjadi karena materi KIE dibumbui dan dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS hilang. Yang ditangkap masyarakat dari KIE hanya mitos (anggapan yang salah).
Disebutkan target pengetahuan HIV secara komprehensif pada kelompok usia 15-24 tahun hanya berhasil mencapai 20,6% dari target 75% yang ditetapkan.
Pertanyaannya: Apakah materi HIV/AIDS yang disampaikan kepada kalangan muda konkret? Biar pun target tercapai kalau informasi HIV/AIDS yang disampaikan dibumbui dengan moral, maka kalangan muda tidak akan mengetahui cara-cara pencegahan HIV yang konkret.
Ketiga, kasus HIV/AIDS tidak banyak terdeteksi pada kalangan laki-laki dewasa yang tertular HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual karena tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa.
Keempat, kasus HIV/AIDS tidak banyak terdeteksi pada kalangan perempuan dewasa karena tidak ada mekanisme yang sistematis dan konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan dewasa.
Kelima, mata rantai penyebaran HIV tidak dilakukan oleh kalangan muda karena mereka belum mempunyai istri. Yang menjadi mata rantai adalah laki-laki dewasa yang bisa dibuktikan dengan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Sampai Desember 2010 sudah dilaporkan 1.970 ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV.
Insiden infeksi HIV baru pada kalangan muda, terutama remaja putra, terjadi karena tidak ada informasi yang akurat tentang cara pencegahan HIV melalui hubungan seksual yang bisa mereka jadikan sebagai pengetahuan tentang seksualitas.
Masa remaja dorongan hasrat seks sangat tinggi. Libido itu harus disalurkan melalui cara-cara yang terkait dengan seks, seperti hubungan seksual (heteroseksual, homoseksual, seks oral dan seks anal) dan onani (masturbasi). Sayang, informasi tentang cara-cara penyaluran dorongan seks yang aman tidak pernah disampaikan secara komprehensif kepada remaja. Akibatnya, ada remaja yang melakukan hubungan seksual berisiko yaitu dilakukan tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK).
Akan lebih arif kalau pejabat, pemuka agama dan pakar menyampaikan cara yang mereka lakukan ketika remaja untuk menahan dorongan seksual sehingga tidak dilakukan dengan PSK atau tidak melakukan zina sebelum dan selama menikah.
’Imtaq’
Disebutkan ”rendahnya penggunaan kondom pada kelompok beresiko”. Ini tidak jelas siapa yang dimaksud dengan kelompok berisiko. Di Indonesia dikesankan kelompok berisiko adalah PSK. Ini tidak akurat karena risiko tertular HIV bukan ada pada kelompok, tapi orang per orang. Seorang PSK pun bisa tidak pada posisi berisiko kalau dia hanya meladeni laki-laki ’hidung belang’ yang memakai kondom.
Persoalan terkait dengan kondom adalah:
(1) Di Indonesia terjadi gelombang penolakan terhadap sosialisasi kondom (bukan kondomisasi) sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
(2) Di Indonesia dikesankan kondom mendorong orang berzina atau melacur. Jika asumsi ini benar tentulah tidak ada istri yang tertular HIV dari suaminya karena suami-suami itu memakai kondom ketika berzina atau melacur. Fakta menunjukkan kasus HIV/AIDS pada istri terus terdeteksi. Ini mematahkan asumsi yang dikembangkan dengan pijakan moral itu.
(3) Di banyak daerah di Indonesia dikesankan tidak ada (praktek) pelacuran karena tidak ada lokalisasi pelacuran. Bahkan, ada daerah yang menepuk dada karena mereka mempunyai peraturan daerah (perda) anti pelacuran atau anti maksiat. Mereka menganggap tidak ada lagi (praktek) pelacuran di daerahnya.
(4) Bagi daerah yang ada lokasi pelacuran tidak ada mekanisme yang konkret dalam menerapkan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika sanggama dengan PSK. Di Kab Merauke, Papua, yang dihukum justru PSK, padahal yang menularkan IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.) atau HIV atau dua-duanya sekaligus justru laki-laki ’hidung belang’.
(5) Intervensi terhadap perilaku laki-laki ’hidung belang’ agar memakai kondom jika sanggama dengan PSK pun tidak konkret. Dari 51 dari 56 Perda AIDS yang ada di Indonesia tidak memuat pasal tentang mekanisme yang konkret untuk menerapkan keharusan memakai kondom (catatan: 5 perda tidak bisa didapatkan copy-nya oleh penulis-pen.).
Bandingkan dengan Thailand yang sudah membuktikan bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil melalui program ’wajib kondom 100 persen’.
Perda-perda AIDS di Indonesia mengacu ke program Thailand ini, tapi diadaptasi dengan setengah hati. Lagi pula program itu merupakan program terakhir (ekor) dari lima program yang dijalankan secara sistematis dengan skala nasional di Thailand. Celakanya, Indonesia mengekor ke ekor program Thailand.
Semua perda mengedepankan moral dan agama sebagai cara mencegah HIV. Pada Perda AIDS Prov Riau, misalnya, disebutkan cara mencegah HIV adalah dengan ‘meningkatkan iman dan taqwa’.
Pertanyaannya:
- Apa alat ukur ‘iman dan taqwa’?
- Siapa yang berhak mengukur tingkat ‘iman dan taqwa’?
- Apa takaran ‘iman dan taqwa’ yang bisa mencegah penularan HIV?
Lagi pula pasal itu mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena dikesankan mereka tertular HIV karena ’iman dan taqwa’ mereka tidak kuat. Ini merupakan hujatan kepada orang-orang yang tertular HIV melalui transfusi darah, ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya, dan anak-anak yang tertular HIV dari ibunya.
Kondom Perempuan
Program utama atau pertama yang dijalankan Thailand adalah menyebarluaskan informasi HIV/AIDS yang akurat melalui media massa (Thammarak Karnpisit: Integration of AIDS into National Development Planning. The Case of Thailand, UNAIDS, December 2000).
Disebutkan oleh Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih bahwa target penggunaan kondom pada kelompok perempuan beresiko sebanyak 35% sudah tercapai.
Pernyataan Menkes ini mengesankan yang memakai kondom justru perempuan berisiko, dalam hal ini PSK. Apkah penyaluran kondom perempuan untuk PSK sudah merata di Indonesia?
Disebut pula ”Namun target pada kelompok laki-laki beresiko hanya tercapai 14% dari target 20% yang telah dicanangkan.” Ini terjadi karena tidak ada regulasi dengan pemantauan yang konkret seperti di Thailand.
Program pemakain kondom pada laki-laki berisiko tidak akan tercapai karena tidak ada regulasi dan pemantauan yang konkret. Thailand memberikan izin usaha kepada germo atau mucikari. Secara rutin ada surveilans tes IMS terhadap PSK. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS, maka ada sanksi bagi germo mulai dari peringatan sampai pencabutan izin usaha.
Di beberapa daerah di Indonesia dengan dukungan perda yang kena sanksi adalah PSK. Padahal, posisi tawa PSK sangat rendah untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika sanggama. Pemkab Merauke, misalnya, sudah berhasil memenjarakan beberapa PSK.
Tanpa disadari oleh Pemkab Merauke laki-laki yang menularkan IMS pada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dari PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS, bahkan kalau PSK itu juga mengidap HIV maka sekaligus menyebarkan HIV. Lagi pula seorang PSK dibui, posisinya akan digantikan puluhan PSK ’baru’.
Disebutkan lagi: ”Peningkatan infeksi baru HIV ini tidak hanya terjadi pada kelompok beresiko saja, terapi pada infeksi pada ibu rumah tangga dan bayi juga mengalami peningkatan serupa.”
Tapi, ada fakta yang digelapkan yaitu yang menjadi persoalan bukan ibu rumah tangga itu tapi suami mereka. Ibu-ibu rumah tangga di Indonesia dijadikan sebagai subordinat laki-laki karena pemahaman yang salah terkait dengan tradisi dan keyakinan.
Agung Laksono mengatakan bahwa ”Masih masifnya kasus infeksi baru HIV di Tanah Air, menurut Agung sangat mengancam upaya pencapaian target Indonesia bebas penularan infeksi baru pada 2015.”
Pernyataan Agung Laksono itu jelas utopia. Khayalan. Soalnya, di masyarakat banyak orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi sehingga penyebaran HIV akan terus terjadi sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.
Penyebaran itu akan terus terjadi jika penanggulangan HIV/AIDS tetap berpijak pada moral karena fakta tentang cara-cara pencegahan yang konkret tidak sampai ke masyarakat.
Sebagai negara ketiga tercepat di Asia dalam hal penyebaran HIV, maka Indonesia tinggal menunggu hari saja untuk ’memanen’ ledakan AIDS. Padahal, tahun 2001 UNAIDS sudah memperingatkan Indonesia. Sayang, peringatan itu dianggap angin lalu.
Jika pemerintah mengaku gagal, maka: Siapa lagi yang kita harapkan bisa menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia? Mungkin jawabannya bisa ditanya ke rumput yang bergoyang, seperti syair lagu yang dilantunkan Ebiet G. Ade. (Kompasiana, 4 Maret 2012). *
(49) Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand
“Tahun Depan Jatim Miliki Perda HIV/AIDS.” Ini adalah judul berita di skalanews.com (22/12-2016). Pernyataan pada judul berita ini benar-benar tidak masuk akal karena Pemprov Jawa Timur (Jatim) sudah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) seperti yang dimaksud di judul berita yaitu Perda No 5/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur.
Pernyataan tsb. disampaikan oleh anggota Komisi E DPRD Jatim, dr Benyamin Kristianto. Disebutkan oleh anggota dewan ini bahwa “Perda ini dibuat sebagai bentuk keprihatinan atas peringkat 2 tertinggi di Indonesia. Ini menjadi perhatian serius kami dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jatim.” Memang, dalam laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2016, berdasarkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS Jawa Timur ada di peringkat kedua secara nasional di bawah DKI Jakarta dengan jumlah kasus 44.006 yang terdiri atas 27.575 HIV dan 16.431 AIDS. Ini menyubang 15,1 persen terhadap kasus nasional dengan jumlah 291.465.
Kondom
Perda AIDS Jatim itu merupakan perda keempat di Indonesia setelah Kab Nabire, Merauke dan Jayapura. Celakanya, Perda No 5/2004 yang ketika itu dibuat oleh banyak daerah sebagai bagian dari ‘perlombaan’ menanggulangi HIV/AIDS yang berkaca ke Thailand dengan menelurkan Perda. Negeri “Gajah Putih” ini berhasil menahan laju insiden infeksi HIV baru berkat program ‘wajib kondom 100 persen’ terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Tapi, ada fakta yang diabaikan oleh pemerintah, terutama pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, yang terlibat ‘perlombaan’ menelurkan Perda AIDS, yaitu:
(1) Aspek kondom dalam penanggulangan HIV/AIDS di Thailand merupakan nomor terakhir dari lima program penanggulangan dengan skala nasional di negeri itu. Itu artinya, penanggulangan HIV/AIDS yang mengedepankan kondom melalui Perda-perda AIDS di Indonesia adalah ‘mengekor ke ekor program Thailand’.
(2) Program ‘wajib kondom 100 persen’ terhadap laki-laki ‘hidung belang’ yang melakukan hubungan seksual dengan PSK merupakan bentuk intervensi yang hanya bisa efektif jika praktek PSK dilokalisir dengan regulasi. Persoalannya, semua daerah di Indonesia menutup lokalisasi pelacuran yang semula ditangani oleh Kemensor (d/h. Depsos) sehingga program itu mustahil dijalankan di Indonesia dengan dukungan Perda sekalipun karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
(3) Banyak kalangan di Indonesia menolak sosialisasi dan pemakaian kondom pada hubungan seksual yang berisiko. Di Papua, misalnya, ada pendeta yang dengan tegas mengatakan: Seks Yes, Kondom No.
“Dalam Perda AIDS Jatim (Perda No 5/2004 –pen.) itu pun tidak disebutkan cara-cara yang akurat dan realistis untuk mencegah penularan HIV. (Syaiful W. Harahap, Menyibak Kiprah Perda AIDS Jatim, Harian “Jawa Pos”, Opini, 1 Desember 2008).
Catatan penulis sampai November 2016 di Indonesia sudah ada 96 perda yang diterbitkan pemerintah provinsi 21, kabupaten 53, dan kota 22, serta 4 pergub, 5 perbub dan 1 perwali. Tapi, semua perda ini hanya mengusung mitos karena pasal-pasal penanggulangan dan pencegahan HIV dalam perda-perda ini dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).
Lihat saja Perda AIDS Prov Riau No 4/2006 yang menyebutkan cara penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS dengan ‘meningkatkan iman dan taqwa’. Pertama, apa alat ukur ‘iman dan taqwa’? Kedua, siapa yang berhak mengukur ‘iman dan taqwa’ seseorang? Ketiga, bagaimana ukuran atau takaran ‘iman dan taqwa’ yang bisa mencegahan penularan HIV?
Di Perda lain disebutkan mencegah HIV dengan tidak melakukan hubungan seksual di luar nikah, tidak melakukan hubungan seksual dengan yang bukan pasangan yang sah, dll. Ini jelas mitos karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi karena KONDISI HUBUNGAN SEKSUAL (salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki=laki tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual) bukan karena SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL (zina, melacur, selingkuh, ‘seks bebas’, bukan dengan pasangan yang sah, dll.).
Langkah yang mengekor dalam perda-perda AIDS adalah pemakaian kondom bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, ada perbedaan yang sangat berarti dengan Thailand yaitu: Perda-perda AIDS di Indonesia menghukum PSK jika ketahuan melayani laki-laki tanpa kondom. Ini tidak menyelesaikan masalah karena sudah ada, bahkan banyak, laki-laki yang berisiko tertular HIV dari PSK tsb., dan germo pun dengan ringan tangan akan mendatang 10 atau 100 PSK ‘baru’.
Bandingkan dengan Thailand. Di sana yang kena sanksi adalah germo, mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha. Dengan cara ini tentu saja germo akan memaksa laki-laki memakai kondom agar usahanya tidak ditutup. Sedangkan di Indonesia germo justru memaksa PSK melayani laki-laki tanpa kondom karena setiap kali ada transaksi seks ada pula komisi besar dalam bentuk fulus.
Perilaku Berisiko
Kembali ke rencana DPRD Jatim untuk membuat perda. Yang jelas perda itu kelak tidak ada perbedaan yang berarti jika dibandingkan dengan Perda No 5/2004. Perda-perda yang ada hanya bekerja di hilir, seperti anjuran tes HIV dan pemberian obat antiretroviral (ARV). Itu artinya pemerintah membiarkan warga tertular HIV baru kemudian dianjurkan tes HIV dan kalau positif diberikan obat.
Tentu saja hal itu menyesatkan jika dikaitkan dengan penanggulangan HIV/AIDS karena yang diperlukan adalah langkah konkret di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Yang bisa dilakukan secara konkret hanya menurunkan atau mengurangi insiden infeksi HIV baru karena menghentikan penularan baru adalah mustahil. Coba simak fakta ini yaitu perilaku yang berisiko tertular dan menularkan HIV:
(1) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti di Jatim atau di luar Jatim karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(2) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di Jatim atau di luar Jatim, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(3) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di Jatim atau di luar Jatim, karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(4) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di Jatim atau di luar Jatim, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(5) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, di Jatim atau di luar Jatim, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, ‘spg’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
Copy-Paste
Jelas pada poin 1, 2, 3, 4 dan 5 b tidak ada bentuk intervensi, seperti ‘program wajib kondom 100 persen’, yang bisa dilakukan oleh pemerintah karena hal itu terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Yang bisa dilakukan intervensi berupa ‘program wajib kondom 100 persen’ hanya pada poin 5 a yaitu PSK langsung yang ada di lokalisasi pelacuran yang dibentuk dengan regulasi. Tapi, hal ini mustahil karena Pemprov Jatim merupakan salah satu daerah yang sangat agresif dalam menutup lokasi pelacuran. Bahkan, ‘Gang Dolly’ yang fenomenal pun sudah ditutup sehingga tidak ada lagi transaksi seks secara terbuka.
Nah, pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Program apa kelak yang akan dijalankan untuk menanggulangi HIV/AIDS dalam perda yang akan dibuat DPRD Jatim itu?
Ini yang akan dilakukan: Sedangkan untuk pencegahan, sambung Benyamin, nantinya lebih memanfaatkan SKPD terkait untuk terjun langsung berinteraksi dengan masyarakat akan bahayanya HIV/AIDS. “Misalnya dinas sosial akan mensosialisasikan ke ibu-ibu PKK atau sejenisnya. Lalu di sekolah-sekolah melalui Dispora ataupun melalui Badan Pemberdayaan Perempuan Jatim. Pokoknya bekerja maksimal pencegahan penyebaran HIV/AIDS di Jatim.”
Bagaimana cara ibu-ibu PKK yang sudah menerima sosialisasi bahaya HIV/AIDS itu bisa masuk ke ranah pribadi suami agar suami tidak melakukan perilaku-perilaku yang berisiko tertular HIV?
Tentu saja hal yang mustahil.
Lagi pula, sosialisasi bahaya HIV/AIDS sudah dilakukan sejak awal epidemi HIV di Indonesia yaitu di akhir tahun 1980-an. Selain itu, dibutuhkan waktu yang lama agar perilaku berisiko seseorang berubah sejak menerima sosialisasi. Dalam rentang waktu sejak menerima sosialisasi sampai terjadi perubahan bisa jadi ybs. sudah tertular HIV dan menularkan HIV ke orang lain tanpa mereka sadari.
Pernyataan ini benar-benar tidak masuk akal: “Kalau pengobatan sudah dilakukan oleh pihak rumah sakit dengan menyediakan ruang khusus.” Orang-orang yang terdeteksi HIV tidak otomatis minum obat dan dirawat. Tidak pula diperlukan ruang khusus kecuali dengan penyakit menular, terutama TB. Terkait dengan penyakit menular tanpa indikasi HIV pun ditempatkan di ruang khusus untuk mencegah penyebaran penyakit.
Kita tunggu saja Perda AIDS Jatim yang baru tahun depan: Apakah benar-benar ada langkah konkret dalam mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS di hulu, atau hanya sekedar copy-paste dari perda yang sudah ada. (Kompasiana, 26 Desember 2016). *
(50) Menyibak Kiprah Perda AIDS Jawa Timur
Pemerintah Provinsi Jawa Timur menelurkan Perda No 5/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur.
Bagaimana sepak terjang Perda itu dalam menanggulangi penyebaran HIV di Jawa Timur? Sampai 30 Juni 2008, Depkes melaporkan 1.225 kasus AIDS di Jawa Timur, 619 di antaranya terdeteksi di kalangan pengguna narkoba, dan 323 kematian.
Kasus-kasus HIV positif yang terdeteksi merupakan infeksi baru setelah Perda atau kasus infeksi sebelum Perda.
Sedangkan kasus AIDS meupakan penularan HIV yang terjadi sebelum Perda disahkan. Setelah kasus AIDS terdeteksi kali pertama di Bali (1987), beberapa tahun kemudian Surabaya heboh karena seorang pekerja seks komersial (PSK) di Dolly terdeteksi HIV positif. Ada dua kemungkinan terkait dengan HIV di kalangan PSK.
Muspika Menyamar
Pertama, PSK yang terdeteksi HIV positif di Dolly tertular HIV dari laki-laki pelanggannya, penduduk lokal di Surabaya atau pendatang dari luar kota dan luar negeri. Jika itu yang terjadi, sudah ada laki-laki yang HIV positif di Surabaya.
Pengidap HIV tersebut tidak terdeteksi karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara lima hingga sepuluh tahun setelah tertular HIV).
Tapi, pada kurun waktu itu, dia sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah.
Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, atau selingkuhan yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, pengusaha, pedagang, sopir, nelayan, pengasong, rampok, dan lain-lain. Mereka itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.Berikutnya, laki-laki yang berhubungan seks tanpa kondom dengan PSK yang sudah tertular HIV berisiko tertular HIV. Jika tertular HIV, mereka pun akan jadi mata rantai penyebaran HIV pula di masyarakat.
Kedua, PSK yang terdeteksi HIV positif di Dolly sudah mengidap HIV sebelum praktik di Dolly. Kalau itu yang terjadi, laki-laki yang berhubungan seks tanpa kondom dengan PSK di Dolly akan berisiko tinggi tertular HIV.
Laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Misalnya, yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya atau kepada pasangan seks lainnya serta PSK lain (horizontal).
Kalau istrinya tertular, ada risiko penularan kepada bayi yang dikandungnya kelak (vertikal).
Kasus HIV di kalangan PSK di Dolly itu membuat aparat bak kebakaran jenggot. Ada aparat muspika setempat yang menyamar di malam hari mencari PSK yang terdeteksi HIV positif.
Untuk apa mereka mencari-cari PSK tersebut dengan menyamar? Ya, bisa jadi mereka ingin memastikan siapa PSK yang terdeteksi HIV positif itu.
Karena HIV baru bisa terdeteksi setelah tiga bulan terjadi penularan, sebelum PSK itu terdeteksi, sudah banyak laki-laki yang tertular HIV. Itulah yang sering tidak disadari orang-orang.
Selama ini ada kesan bahwa seorang PSK yang terdeteksi HIV positif diamankan atau dipulangkan ke daerah asalnya, persoalan pun selesai. Itu naif karena sebelum diamankan, dia sudah berhubungan seks dengan banyak laki-laki.
Jadi, seandainya setiap bulan PSK itu bekerja 20 hari, setiap malam melayani tiga laki-laki hidung belang, selama tiga bulan sudah ada 180 (20x3x3) laki-laki yang berisiko tertular HIV.
Laki-laki itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Itu terjadi kalau di Dolly hanya satu PSK yang HIV positif.
Jika yang HIV positif lebih dari satu, jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV pun makin banyak.
Wajib Kondom
Penularan HIV terjadi tanpa disadari karena banyak orang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Kapan sih seseorang berisiko tinggi tertular HIV? Setiap orang -laki-laki dan perempuan- yang pernah atau sering berhubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan seperti PSK adalah orang yang berisiko tinggi tertular HIV.
Jika sebuah Perda diharapkan bisa mengatasi penyebaran HIV, yang perlu diperhatikan adalah perilaku berisiko.
Tapi, karena semua Perda AIDS yang ada di Indonesia mengedepankan norma, moral, dan agama, upaya-upaya pencegahan yang ditawarkan pun tidak realistis.
Dalam Perda AIDS Jatim itu pun tidak disebutkan cara-cara yang akurat dan realistis untuk mencegah penularan HIV.
Padahal, Perda itu dibuat justru untuk mencegah dan menanggulangi (penyebaran) HIV/AIDS. Yang ada hanya ditujukan kepada orang-orang yang sudah mengetahui dirinya HIV positif, mereka dilarang menularkan HIV kepada orang lain (pasal 6).Fakta menunjukkan, lebih dari 90 persen Odha (orang dengan HIV/AIDS) tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.
Karena itu, banyak penularan terjadi tanpa disadari oleh yang menularkan dan yang tertular (Dimuat di Opini, Harian “Jawa Pos”, 1 Desember 2008). *
Bagian VI – Nasib Odha (Orang dengan HIV/AIDS) di Masyarakat
(51) Duka Lara Seorang Perempuan di Karawang yang Didiagnosis Mengidap HIV/AIDS
“Wah, mungkin jantung saya sudah copot kalau saya lemah jantung,” kata Am, 21 tahun, seorang janda yang sudah dinyatakan positif mengidap HIV (human immunodeficiency virus) atau virus penyebab AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome atau penyakit yang menurunkan kekebalan tubuh) di sebuah desa di Kab Karawang, Jabar.
Rupanya, namanya termasuk sebagai salah satu dari tiga wanita penghibur asal Jabar yang dipulangkan dari Kepulauan Riau, eperti dari Batam dan Tanjungpinang, ke kampung asalnya, dalam berita-berita di media cetak dan siaran televisi swasta nasional.
Begitu ia sampai di kampung halamannya pada Oktober 1993 orang-orang pun menghindarinya dan tidak sedikit pula yang mencibir dan melihatnya seperti makhluk asing. Keadaannya kian menyedihkan karena petugas dari berbagai instansi, mulai dari tingkat desa sampai provinsi pun mendatanginya silih berganti.
Makanya, ketika Mutiara bertandang ke rumahnya pekan lalu, ia pun sedikit marah. “Saya mau tau siapa, sih, yang membikin ini,” katanya seraya memperlihatkan berita yang dimuat sebuah harian terkemuka Ibukota. Waktu pemberitaan sedang ramai-ramainya ia sendiri masih di Tanjungpinang, ia kecewa terhadap berita-berita itu.
“Tahu sendirilah apa yang saya kerjakan di sana,” katanya sambil mengedip-ngedipkan mata. Memang, dalam berita itu disebutkan bahwa rumahnya di desa itu dibangun berkat kiriman uangnya. Dan, sumber berita itu tidak lain adalah kakek dan neneknya, karena menurut pengakuannya ketika itu dia belum pulang dari Tanjungpinang. Di gang itu memang cuma rumahnya yang berlantai semen dan memiliki televisi hitam putih 14 inci dan sebuah radio serta satu compo yang semuanya dihidupkan dengan aki.
Anak Meninggal
Kesedihannya kian memuncak karena ketika sampai di kampungnya ia tidak lagi bisa berjumpa dengan anaknya karena anaknya meninggal ketika ia masih di Tanjungpinang. Dan, orang-orang sekampung pun memilih untuk tidak berdekatan dengannya. Tapi, belakangan berkat penyuluhan yang dilakukan oleh aparat desa mereka telah dapat menerima Am. Mereka tidak lagi takut-takut menonton televisi di rumahnya, atau memakan dan meminum suguhannya.
Tetangganya pun dengan ramah akan menunjukkan rumahnya kalau mereka ditanya. “Masuk aja, Pak,” kata seorang ibu di depan rumahnya ketika Mutiara bertandang ke sana. Ketika itu Am tidak sedang di rumah, lalu disusul oleh kakeknya.
“Oo, mau ke rumah Am,” kata seorang lelaki yang sedang duduk berselonjor sambil mendengarkan dongeng dari radio di depan rumahnya di mulut gang menuju rumah Am.
“Dalam berbagai kesempatan kami selalu menyelipkan masalah HIV,” kata Sukarsana, sekretaris Desa Mekarpohaci, Kec Tempuran, Kab Karawang, kepada Mutiara. Berkat penyuluhan itu masyarakat tahu betul seluk-beluk HIV/AIDS sehingga mereka tidak lagi memusuhi Am. Inilah yang menghibur Am.
Saya ‘kan sehat-sehat saja,” ujarnya. Dalam hal ini ada perbedaan persepsi yang serius. Bagi orang awam, sakit berarti jatuh sakit. (semacam demam) dan dirawat di rumah sakit. Sedangkan orang yang tertular virus HIV atau mengisap AIDS tidak harus tergeletak di tempat tidur atau diopname di rumah sakit.
Diawasi
Kabarnya, berbagai pihak terus-menerus tindak-tanduk Am. “Ah, nggak ada, saya bebas ke mana-mana,” kata wanita yang hanya sempat mengecap bangku kelas 2 SD ini. Sekitar 5 km dari rumahnya memang ada lokalisasi pelacuran. Kalau memang penyakit itu ada, ia mengatakan sudah nasib, dan ia berjanji akan menjaga diri agar tidak tertular kepada orang lain. Kalau penduduk sudah mengetahui seluk-beluk HIV/AIDS tentulah tidak perlu mengucilkan atau memusuhi Am, karena semuanya terpulang kepada orang lain.
Padahal, salah satu alasan mengapa ia mau diajak oleh seorang wanita dari Cibodas, Cikampung, Kab Karawang, ke Tanjungpinang adalah mencari uang untuk menghidupi anaknya. Ketika itu suaminya meninggalkannya dan ia mengaku sangat bingung. Ia tinggal bersama ibunya, juga seorang janda, kakek dan neneknya (neneknya buta). Karena tawaran wanita itu menggiurkn, yang menyebutkan ia akan dipekerjakan di restoran dengan upah Rp 400.000/bulan, ia pun mengaku sangat tertarik.
Am pun berangkat bersama sembilan rekaannya, semuanya dari Kab Karawang ke Tanjungpinang dengan KM Lawit dari Tanjung Priok.
“Malam pertama menerima tamu saya nangis habis-habisan,” katanya sambil mengenang pengalaman pertamanya. Rupanya, di sana mereka dijadikan pelacur, bukan bekerja sebagai pelayan di restoran seperti yang dijanjikan wanita dari Cibodas itu.
Ia tidak bisa menolak lelaki yang disodorkan kepada karena sebelum berangkat wanita tadi, yang kemudian menjadi germonya di Tanjungpinang, memberikan uang Rp 50.000 kepada ibunya sebagai biaya perawatan anaknya yang ketika itu berumur 18 bulan. Itu berupa pinjaman yang bunganya akan berbunga pula.
Mereka ditempatkan di sebuah lokalisasi yang dihuni ratusan pelacur di Batu 16. Beberapa bulan kemudian mereka dipindahkan ke Batu 24. Am ditempatkan di ruman 17 bersama 12 wanita lainnya.
“Kami tidak bisa ke mana-mana, semuanya diawasi dan kompleks itu dijaga ketat,” ujar Am menggambarkan kehidupannya di tanah rantau itu. Agaknya, di rumah itu ia menjadi primadonanya. Setiap malam ia selalu dipesan dan dibawa ke hotel untuk bermalam dengan si hidung belang, yang umumnya warga negara Singapura.
Masa Kelabu
Salah seorang dari langganannya itu kemudian menaruh hati kepadanya. Pria Cina warga negara Singapura itu pun memacarinya dan menebusnya dari germo dengan imbalan Rp 1 juta. Am kemudian diboyong lelaki lajang berumur 60 tahun itu ke rumah 14 di Batu 16.
Di sinilah berawal masa kelabu baginya pada bulan September 1993. Suatu hari petugas kesehatan (mereka memanggilnya “Pak Dokter”) yang biasa bertugas di lokalisasi itu mengumpulkan penghuni rumah 14. “Di rumah ini ada yang sakit,” kata “Pak Dokter”, seperti ditirukan Am. Memang, beberapa minggu sebelumnya darah mereka diambil untuk diperiksa.
Semuanya diam dan saling berpandangan. Tiba-tiba beberapa orang buka suara dan menuding Am yang sakit. “Dia, Pak, dia ‘kan yang sering ke hotel,” kata mereka. Tampaknya, mereka sudah mengetahui sakit yang dimaksudkan petugas kesehatan tadi karena berkaitan dengan pemeriksaan darah dan kaitannya tentu saja dengan lelaki asing.
Memang, rata-rata tamu Am berasal dari Singapura, dan pernah juga lelaki bule. Menurut pengakuan Am ia selalu meminta teman kencannya memakai kondom, walaupun ada juga yang menolak. Menghadapi hal ini Am tidak bisa berbuat banyak dan terpaksa mengikuti selera teman kencannya. Vonis pun jatuh kepada Am dan ia kemudian disekap di pos keamanan lokalisasi itu.
“Ah, ‘Pak Dokter’ itu dendam kepada saya,” kata Am. Rupanya, Am selalu menolak ajakan petugas kesehatan itu untuk bermalam dengannya. Ia bukannya tidak mau duit, tapi menurut pengakuannya ia menghargai jabatan “Pak Dokter” karena ia sendiri hanya seorang pelacur. Lagi pula, masih menurut Am, petugas kesehatan itu sudah beristri dua.
Dipulangkan
Dua minggu lamanya ia disekap di positu sebelum diantar ke kapal KM Lawit dengan tujuan Tanjung Priok oleh seorang hansip yang biasa menjaga lokalisasi itu.
“Suami saya, sih, tidak percaya,” kata Am tentang pemeriksaan di Tanjungpinang itu yang menyebutkan bahwa ia sudah terinfeksi virus HIV. Suami yang dimaksudkan Am adalah lelaki yang menebusnya itu yang katanya sudah menikahinya di rumahnya Lebaran yang lalu. “Ah, cuma sebagai gendak saja,” kata seorang staf desa tentang perkawinan yang disebut Am.
Ketika dipulangkan Am menerima uang Rp 500.000 dari germonya dan Rp 300.000 dari pacarnya. Uang yang dari germonya ini merupakan pinjaman yang harus dikembalikannya jika ia kembali beroperasi di Tanjungpinang.
“Kalau dihitung-hitung penghasilan saya sudah cukup besar,” katanya. Cuma, semua uang dipegang oleh germo dan setiap bulan mereka hanya ditunjukkan catatan tentang pendapatan dan pengeluaran. Untuk makan mereka dikenakan biaya Rp 50.000 dan kamar Rp 300.000 per bulan. Belum lagi potongan untuk pembelian baju dan kosmetika. Tarif Am ketika itu sekitar Rp 120.000/malam.
“Saya hanya percaya kalau darah saya diperiksa di Cipto (maksudnya RSCM Jakarta-Red.),” katanya berulang-ulang kepada Mutiara. Darahnya sendiri diambil di Puskesmas Tempuran beberapa hari setelah ia tiba di rumahnya Oktober 1993. Kabarnya, di puskesmas itu pun ia menolak ketika hendak diambil darahnya karena ia hanya mau diperiksa di Cipto.
Tapi, karena petugas yang mengambil darahnya itu bahwa ia juga dari Cipto barulah Am mau memberikan darahnya untuk diperiksa. Kalau saja petugas yang akan mengambil darahnya itu sedikit lebih arif dan bijaksana tentulah keinginan Am dipenuhi agar ia mau menerima hasilnya kelak.
Cuma, sampai sekarang ia tidak menerima hasil pemeriksaan itu. Menurut staf desa pemberitahuan tentang hasil pemeriksaan itu memang tidak diberikan kepadanya, tapi cukup ke kantor desa saja.Menurut pengakuannya ia tidak pernah lagi diperiksa setelah darahnya diambil di Puskesmas Tempuran. Selain itu ia sangat yakin bahwa ia sehat sehingga tidak perlu berobat.
Kini, Am tinggal bersama kakek dan neneknya. “Tiap bulan suami saya ngirim Rp 300.000,” kata Am tentang biaya hidupnya. Uang itu dikirimkan melalui bank dan diambil di Karawang. Jika hubunganya putus dengan suaminya itu barulah ia memulai hidup baru. “Ya, cari suami lagi,” katanya dengan nada yakin. – M/Syaiful W. Harahap (Dimuat pertama kali di Tabloid “Mutiara” Edisi No 709 Minggu IV Mei 1994 – AIDS Watch Indonesia/Desember 2013 – Kompasiana, 27 Desember 2013). *
(52) Sudah Terinfeksi HIV Disakiti Pula
“Ah, ini bukan bayi, tapi penyakit!” Itulah kata-kata yang diucapkan oleh dokter di sebuah Puskesmas sambil meraba-raba perut Cici (bukan nama sebenarnya), ketika itu berumur 23 tahun, seorang wanita HIV-positif di sebuah desa di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
“Rasanya ingin mai saja,” kata Cici kepada Mutiara Rabu (28/5) di rumahnya sambil membayangkan peristiwa yang dialaminya ketika ia hamil delapan bulan, Juni 1996.1 Cici sendiri datang ke Puskesmas di kampungnya itu karena janin yang dikandungnya bergerak-gerak.
Rupanya sampai sekarang sejak ia pulang dari Riau (Oktober 1993) Cici tetap dirundung malang. Dalam suatu tes tanpa asas konfidensialitas (nama yang yang mengikuti tes tidak dirahasiakan dan tanpa prosedur konseling pra dan pasca tes) di kalangan wanita berisiko tinggi di wilayah Kepulauan Riau, Cici dan dua wanita lain yang juga asal Kabupaten Karawang dinyatakan positif mengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome, suatu sindrom penurunan kekebalan tubuh sehingga mudah diserang berbagai macam penyakit).
Diramaikan Media Massa
Berita hasil tes HIV Cici dan pemulangannya dari Riau ke kampung halamannya pun meramaikan halaman surat-surat kabar nasional dan televisi swasta nasional yang bersumber dari seorang dokter kepala sebuah Puskesmas di Kabupaten Karawang berdasarkan radiogram yang dikirimkan Dinas Kesehatan Riau.
Berita-berita itu dinilai Cici tidak objektif, karena menurut Cici, ia tidak pernah diwawancarai wartawan. Di samping itu ketika media cetak yang memuat berita tersebut beredar dan tatkala televisi menyiarkan beritanya, ia masih di Riau. Makanya, ketika Mutiara mewawancarainya (April 1994) ia pun mengeluh atas pemberitaan tentang dirinya (Mutiara, 709/Mei 1994). Berita itu membuat penduduk di sekitar rumahnya mencibir dan melihatnya sebagai sumber malapetaka.
Judul berita-berita itu sendiri amat menohok karena menyebutnya sebagai penderita AIDS. Padahal, saat itu Cici baru pada tahap seropositif, artinya baru terinfeksi HIV, belum sampai pada tahap AIDS sehingga tidak ada tanda-tanda khusus pada dirinya.
Tapi, karena pengetahuan masyarakat dan aparat pemda setempat yang amat dangkal tentang HIV/AIDS dan pemberitaan yang tidak objektif itu, penduduk pun tetap melihatnya sebagai sumber bencana sehingga penduduk memilih untuk tidak bersahabat dengannya. Soalnya, karena informasi tentang HIV/AIDS yang tidak objektif membuat banyak orang ketakutan.
Padahal, virus AIDS hanya bisa tertular melalui hubungan seksual (homoseksual dan heteroseksual) yang tidak aman, melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, dan melalui pemakaian alat-alat suntik bersama yang sudah terkontaminasi HIV, serta ibu yang positif HIV kepada bayi yang dikandungnya. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk mengucilkan Cici.
Dimusuhi
Cici sendiri bersedia pulang dari Riau, setelah dinyatakan positif HIV, karena ia ingin melihat anaknya yang ditinggalkannya sejak ia diajak seorang wanita dari Cikampek ke Riau dengan janji dipekerjakan di restoran dengan upah Rp 400.000 sebulan. Ketika itu (1992) Cici terpaksa mengikuti ajakan wanita itu karena ia mengaku amat bingung mencari nafkah untuk anaknya, yang ketika itu berumur tiga tahun, setelah bercerai. Waktu itu ia dan anaknya tinggal bersama ibunya, yang juga janda, serta kakek dan neneknya yang berumur 60-an tahun.
Cici hanya bisa mengurut dada menghadapi perlakuan penduduk dan aparat pemerintah, mulai dari tingkat desa sampai provinsi. Bahkan ketika ia sampai di kampungnya petugas dari Dinas Kesehatan setempat memaksanya, dengan bantuan tenaga Muspika setempat, untuk memeriksakan darah di Puskesmas. Semula Cici menolak karena ia hanya mau diperiksa di “Citpo” (maksudnya RSCM-Red.), tapi karena petugas yang mengambil darahnya ketika itu mengaku dari “Cipto” Cici pun bersedia diambil darahnya.
Namun, pengambilan darah itu jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) karena mengabaikan asas konfidensialitas. Seharusnya ada konseling prates dan yang mengetahuinya hanya dokter atau konselornya dan Cici sendiri. Tapi, yang terjadi justru orang sekampung mengetahui persoalan yang dihadapi Cici ketika digiring ke Puskesmas.
“Seharusnya ‘kan tidak boleh disebarluaskan,” kata Cici tentang kondisi kesehatannya. Memang, secara etis dan hukum catatan medis (medical record) seseorang tidak boleh disebarluaskan. Namun, perlakuan yang dialami Cici justru sangat tidak etis karena aparat pemerintah dan pihak Puskesmas setempat sudah menciptakan suatu kondisi yang memojokkan Cici. Kalau aparat dan Puskesmas lebih arif, tentulah Cici tidak akan menghadapi masalah sosial dalam pergaulannya sehari-hari karena hubungan sosial bukan merupakan media penularan HIV.
Dinikahi WN Singapura
Di Riau sendiri, seperti diakuinya, ia sudah menjalin cinta dengan seorang lelaki Cina, 50-an tahun, warga negara Singapura. Makanya, ketika ia dipulangkan, lelaki itu tetap memburunya. Pada tahun 1994-1995 Cici empat kali diboyong lelaki itu ke Singapura dengan pesawat terbang dari Bandara Soekarno-Hatta. Saat itulah, menurut pengakuan Cici, mereka menikah. “Kami menikah di KUA (Kantor Urusan Agama-Red.) di Jakarta,” katanya sambil menyuapi putrinya yang lahir persis pada acara pembukaan Olimpiade Atlanta 1996.
Setelah diperiksa di Puskesmas ketika ia hamil delapan bulan itu rupanya dokter itu masih penasaran karena di catatan mereka, tampaknya, nama Cici tercantum sebagai “kasus”. Makanya, dokter itu pun membawa Cici ke rumahnya dan mengintrogasinya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter itu, seperti dikemukakan Cici, mengarah ke perilaku seksualnya. Cici sendiri mengaku jengkel menerima perlakuan-perlakuan itu karena kehamilannya itu bisa dipertanggung jawabkannya, “Bayi ini ada ayahnya,” kata Cici sambil mengelus-elus perutnya yang buncit ketika itu. Makanya, Cici amat kecewa dan marah ketika perutnya mual-mual dan ingin muntah setelah memakan obat dari Puskesmas tatkala ia hamil.
Pihak Puskesmas setempat akhirnya membawanya ke RSCM. Setelah diperiksa Cici dibawa ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta. Selama menunggu persalinan, Cici tinggal di sanggar YPI dan ditangani dokter-dokter yang memang pakar HIV/AIDS, seperti dr. Zubairi Djoerban, DSPD, dan dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD. Persalinan Cici sendiri ditangani dr. Siti Dhyanti Wisnuwardhani, spesialis obstetri dan ginekologi di FK UI/RSCM.
Setelah tujuh hari dirawat di RSCM Cici pulang bersama bayinya yang sudah dinamai oleh dokter Siti. Pihak YPI sendiri terus menangani Cici dan putrinya yang sudah positif HIV. Sayang, sampai sekarang Cici tidak melihat HIV sebagai ancaman terhadap dirinya karena, “Saya tidak pernah sakit,” katanya. Begitu pula dengan putrinya yang kini hampir berumur satu tahun dan sudah mulai bisa berjalan. Berat badannya 9,8 kg dan, “Tidak pernah sakit,” ujar Cici dengan bangga. Setiap pagi anaknya menghabiskan semangkuk bubur nasi dengan hati ayam.
Pergelutan
Kondisi ini lagi-lagi terbentuk karena format penulisan berita yang sering tidak komprehensif. Bagi banyak orang, sakit berarti ada keluhan, sedangkan HIV bahkan AIDS sebelum tahap full-blown (sudah menampakkan gejala-gejala khas penurunan kekebalan tubuh) hampir tidak menunjukkan gejala penyakit. AIDS sendiri bukanlah penyakit, tapi merupakan istilah yang disepakati untuk menyebutkan kondisi penurunan kekebalan tubuh karena diserang HIV, sehingga yang mematikan penderita AIDS adalah infeksi-infeksi oportunistik, terutama diare dan TBC.
Berkat uang yang diberikan suaminya yang datang setiap lima bulan menemui Cici dan putrinya, wanita itu pun bisa membeli sebidang tanah dan membangun sebuah rumah permanen di dekat rumah ibunya. Sedangkan rumahnya yang semula dibangunnya yang didiami kakek dan neneknya, juga di desa yang sama, sudah dijualnya. “Ya, dari uang yang saya kumpul-kumpullah,” katanya dengan logat Riau tentang biaya pembangunan rumah barunya itu.
Kini, kehidupan sehari-hari Cici dilaluinya dengan pergumulan menghadapi virus di tubuhnya sambil membesarkan putrinya, yang juga positif terinfeksi HIV. M/Syaiful W. Harahap
* Naskah ini dimuat di Tabloid Mutiara No. 868, Tahun XXX, 10-16 Juni 1997 merupakan pemenang pertama lomba “Penulisan HIV/AIDS” yang diselenggarakan oleh PMP AIDS-LP3Y dan Ford Foundation priode 1997. Pemenang berhak atas hadiah meliput Kongres AIDS Internasional Asia dan Pasifik di Manila, Filipina, 22-27 Oktober 1997. Dewan juri terdiri atas Dr. Hudoyo Hupudio, MPH (Ketua Yayasan Mitra Indonesia, Jakarta), Irwan Julianto, MPH (wartawan senior Harian KOMPAS), dan Ashadi Siregar (Direktur LP3Y “Yogya” dan Penanggung Jawab PMP AIDS).
1). Cici meninggal dunia tahun 2000, meinggalkan seorang putri yang juga HIV-positif yang diasuh ibunya. Belakangan diketahui anaknya tidak tertular HIV
(53) Derita Panjang Seorang Odha Sebelum Hembuskan Napas Terakhir
Agaknya, penderitaan panjang wanita itu putus sudah setelah awal puasa 2002 dia dipanggil Yang Maha Kuasa setelah dirawat dua pekan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Selama beberapa tahun dia berjuang melawan infeksi HIV, cercaan penduduk, perlakuan kasar aparat dan hujatan media massa.
Sejak dipulangkan dari Riau karena terdeteksi HIV-positif dia terus-menerus dirundung malang. Dikucilkan penduduk sampai dikejar-kejar aparat yang membuatnya tidak bisa mempersiapkan hidup yang lebih layak dengan meninggalkan pekerjaannya sebagai pekerja seks.
Wanita tadi, sebut saja Cici, 25 tahun, penduduk sebuah desa di Kbupaten Karawang, Jawa Barat, awalnya ingin mengadu nasib ke Riau setelah bercerai. Dia dan anaknya tinggal dengan ibunya, seorang janda, bersama kakek dan neneknya di sebuah rumah di desa sekitar 25 km dari Karawang. Keluarga ini menopang hidupnya dengan bertani.
Dia termakan bujuk rayu seorang wanita di Cikampek, sekitar 50 km dari kampungnya, yang menjanjikan pekerjaan sebagai pelayan restoran di Riau dengan upah Rp 400.000/bulan. Dengan hati berbunga-bunga Cici berangkat ke Riau (1992) dari Tanjung Priok dengan KM Lawit bersama sembilan rekannya. Di Tanjung Pinang mereka ditempatkan di Batu 16, sebuah lokalisasi pelacuran di sana. Dia dipekerjakan sebagai pekerja seks. “Malam pertama menerima tamu saya nangis habis-habisan,” katanya seraya mengusap matanya yang memerah dan berair (wawancara April 1994).
Beberapa bulan kemudian seorang langganannya, pria Cina warga negara Singapura, menebus Cici dari germonya dengan imbalan Rp 1 juta. Pria itu kemudian membawa Cici ke salah satu rumah di lokalisasi itu yang dihuni dua belas pekerja seks.
Seorang petugas kesehatan yang sering datang ke lokalisasi itu, yang biasa dipanggil dengan ‘Pak Dokter’, mendatangi rumah Cici. ‘Pak Dokter’ mengumpulkan semua pekerja seks yang ada di rumah itu. “Di sini ada yang sakit,” kata ‘Pak Dokter’ (pekerja seks di sana sudah mengetahui sakit yang disebut ‘Pak Dokter’ yaitu AIDS). Pekerja seks di lokalisasi itu baru menjalani tes surveilans. Tiba-tiba semua rekan Cici menunjuknya, “Dia Pak, dia ’kan sering dibawa tamu asing ke hotel,” kata mereka serentak. Mereka menuding Cici sebagai orang yang sakit karena wanita inilah yang mereka nilai rentan terinfeksi HIV karena tamu-tamu Cici kebanyakan dari Singapura dan terkadang bule. Cici sendiri mengaku selalu meminta tamunya memakai kondom, tetapi, “Ada saja yang menolak.”
***
Cici pun disekap di pos keamanan lokalisasi itu. “Ah, dia (maksudnya ‘Pak Dokter’) ’kan dendam kepada saya,” kata Cici. Rupanya, Cici selalu menolak ajakan ‘Pak Dokter’ untuk tidur dengannya. Cici sendiri mengaku bukan tidak mau uang, tapi dia enggan tidur dengan ‘Pak Dokter’ karena dia menghargai jabatan petugas kesehatan itu, dan “Isterinya pun sudah dua.”
Setelah disekap dua minggu di pos keamanan (menunggu jadwal kapal KM Lawit), Cici dipulangkan ke Jawa Barat melalui Tanjung Priok. Cici mau dipulangkan karena rindu kepada anaknya. Cici menerima uang dari germonya Rp 500.000 dan dari pacarnya Rp 300.000. Cici merasa sudah mengumpulkan banyak uang. Tarifnya Rp 120.000/malam. Pengeluarannya untuk kamar dan makan Rp 50.000/bulan. Cici sangat kecewa membaca berita yang mengait-ngaitkan pembangunan rumahnya dengan uang yang dikirimkannya dari Riau. Soalnya, menurut Cici, uang yang dikirimkannya merupakan pemberian pacarnya bukan uang dari penghasilannya sebagai pekerja seks.
Cici sendiri mengaku kaget ketika mengetahui dirinya dikatakan ‘Pak Dokter’ terinfeksi HIV karena dia tidak pernah merasa dirinya ‘sakit’, “Wah, mungkin jantung saya sudah copot kalau saya lemah jantung,” katanya. Hasil tes itu diketahui melalui tes surveilans yang tidak menganut asas konfidensialitas dan tidak pula ada konseling pra dan pasca tes. Hasil tes pun dibeberkan di depan banyak orang oleh seorang petugas kesehatan (kemungkinan mantri kesehatan).
Berita seputar dirinya dan dua wanita lain, yang juga pekerja seks asal Karawang, yang dipulangkan dari Riau di media massa menggemparkan kampungnya. Dalam berita itu ada identifikasi, antara lain inisial, alamat dan tempat bekerja, yang jelas-jelas mengarah ke identitas mereka. Cici, misalnya, di lingkungan kampungnya itu hanya dia yang bekerja di Riau.
Ketika ada berita di media massa Cici masih di Riau. Radiogram dari Dinas Kesehatan Riau ke Dinas Kesehatan Karawang tentang tiga wanita yang dipulangkan itu bocor ke wartawan dan aparat. Penduduk pun serta-merta mengetahuinya karena rumahnya didatangi aparat dan wartawan sehingga kabar tentang Cici tersebar.
Ketika tiba di rumahnya (Oktober 1993) Cici mengaku sangat kaget karena semua penduduk menghindarinya, mencibirnya dan ada pula yang memandangnya seperti baru melihat makhluk angkasa luar. Hari-hari berikutnya Cici harus menerima tamu dari berbagai kalangan dan instansi, mulai dari tingkat desa sampai provinsi. Puncaknya terjadi ketika pegawai Koramil setempat menggiring Cici ke puskesmas, sekitar 1 km dari rumahnya. Sebelumnya Cici menolak ketika aparat desa dan pegawai puskesmas menjemputnya. Padahal, ketika itu Cici sedang berduka karena ketika tiba dia hanya menemukan pusara makam anaknya. Anaknya meninggal ketika dia masih di Riau.
Niatnya untuk mengubah hidup tidak pernah terwujud karena sejak tiba di desanya dia terus-menerus menghadapi berbagai persoalan. Untuk menghindarkan diri dari masalah yang dihadapi di desanya, dia pun pindah ke rumah ayahnya (sekitar 15 km dari rumahnya). Beberapa bulan dia merasa aman. Sehari-hari dia membantu ayah dan ibu tirinya mengerjakan sawah. “Anak saya tidak sakit, lihat dia gemuk,” kata ayahnya. “Yah, sudah nasib,” katanya tentang status HIVnya. Cici pun mengatakan akan menjaga diri agar tidak menulari orang lain.
Tapi, ada saja penduduk yang membuka kedok Cici sebagai Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Akibatnya, aparat desa setempat pun menjadikan ayah Cici sebagai sapi perahan. Selain karena Cici disebut “masuk dalam daftar kasus” pacarnya pun sering pula datang ke rumah itu. Bahkan ada yang mengaku sebagai wartawan dan meminta imbalan Rp 2 juta untuk menghapus nama Cici dari “daftar kasus”. Setelah menikah Cici kembali ke rumahnya. Beberapa bulan kemudian Cici pindah ke RT lain, masih di desa yang sama, dan membangun rumah baru. Di rumah itulah Cici tinggal bersama ibunya.
Ketika dinyatakan positif HIV di Riau, Cici sebenarnya tidak percaya. Menurut pacarnya, pemeriksaan itu tidak sahih karena tesnya tidak dilakukan di rumah sakit (bagi pacarnya yang disebut rumah sakit adalah “Cipto”, maksudnya RSCM). Itulah sebabnya Cici menolak diperiksa di puskesmas. Dia berkali-kali meminta kepada dokter di puskesmas itu agar diperiksa di RSCM, tetapi puskesmas menolak. Setelah mereka mengatakan sebagai dokter dari RSCM barulah Cici bersedia diambil darahnya.
***
Cara yang ditempuh puskesmas itu jelas sudah melanggar HAM. Selain karena tidak berdasarkan asas sukarela, tidak pula ada konseling prates serta tidak menerapkan asas konfidensialitas karena penduduk beberapa desa di sekitar puskesmas itu mengetahuinya. Bahkan, di sepanjang perjalanan menuju puskesmas Cici menjadi tontonan penduduk. Di puskesmas pun banyak orang, mulai dari aparat desa, kecamatan, pegawai puskesmas, pegawai dinas kesehatan kabupaten dan provinsi. Hasil pemeriksaan puskesmas dan radiogram dari Riau itu sendiri tidak diberikan kepada Cici, “Cukup di kantor desa saja,” kata seorang petugas desa.
Cici menyesalkan perlakuan puskesmas dan aparat pemda, “Seharusnya ’kan tidak boleh disebarluaskan,” katanya tentang kondisi kesehatannya. Pegawai salah satu rumah sakit di Karawang malah memberikan medical record salah satu dari tiga wanita yang dipulangkan dari Riau itu kepada wartawan. Akibat perlakuan yang membeberkan status HIV itu pergaulan Cici terganggu. Penduduk memusuhinya.
Setelah mengetahui status HIV Cici, aparat setempat pun rupanya khawatir kalau Cici kembali menjadi pekerja seks (sekitar 5 km dari kampungnya ada lokalisasi) sehingga gerak-gerik Cici pun diawasi karena wanita itu sering bepergian. Mereka keliru. Cici memang selalu pergi, tapi ke Karawang karena dia harus mengambil uang kiriman pacarnya dari Singapura yang ditransfer melalui bank. Setiap bulan Cici dikirimi uang Rp 300.000. Cici pun menjemput pacarnya ke Bandara Soekarno-Hatta. Antara tahun 1993 dan 1995 sudah empat kali Cici dibawa pacarnya ke Singapura melalui Bandara Soekarno-Hatta.
Tahun 1995 mereka menikah di sebuah KUA di Jakarta. Tetapi aparat desa tidak mengakui pernikahan itu, “Ah, Cici cuma sebagai gendak saja,” kata seorang aparat desa. Itulah sebabnya Cici menyediakan beberapa amplop berisi uang jika suaminya menginap di rumahnya karena ada saja aparat yang mendatanginya dengan bebagai alasan.
Ketika Cici hamil delapan bulan dia pun pergi ke puskesmas karena janin di dalam perutnya bergerak-gerak. Namun, lagi-lagi di puskesmas dia mengalami perlakuan buruk. Tampaknya, pegawai puskesmas penasaran karena ada kemungkinan dalam medical record Cici ada catatan khusus karena dia seorang Odha.
Cici bukan diperiksa, tetapi dokter puskesmas itu membawa Cici ke rumahnya. Di sana Cici diinterogasi dengan pertanyaan yang mengarah ke riwayat seksnya. Cici sangat jengkel karena janin yang ada di perutnya disebut penyakit. Selain itu Cici pun sangat marah karena setelah makan obat yang diberikan puskesmas dia mual-mual dan muntah-muntah. Cici menganggap obat itu untuk menggugurkan kandunganya, “Bayi ini ada ayahnya,” kata Cici.
Cici dibawa ke RSCM. Karena statusnya HIV-positif RSCM kemudian membawa Cici ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI). Di YPI Cici ditangani dr. Zubairi Djoerban, DSPD serta dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD. Selama menunggu kelahiran Cici tinggal di sanggar YPI. Persalinan Cici di RSCM ditangani oleh dr. Siti Dhyanti Wisnuwardhani, spesialis obstetri dan ginekologi FKUI/RSCM. Cici melahirkan bayi perempuan tepat pada pembukaan Olimpiade Atlanta 1996.
Kini, putrinya tinggal bersama ibu Cici. Dua tahun lagi anak itu akan masuk sekolah. Yang dikhawatirkan kalau kelak masyarakat tidak menerima anak-anak mereka satu kelas dengan putri Cici itu. Di sisi lain sekolah (baca: guru dan instansi terkait) juga diragukan dapat menepis protes masyarakat itu sehingga nasib anak itu pun kian merana. Masyarakat sudah mengetahui siapa anak itu, anak seorang Odha, yang selama ini menjadi ‘musuh’ mereka. (Kompasiana, 7 Desember 2010). *
* Pertama kali dimuat di Newsletter HindarAIDS No. 37, 17 Januari 2000 (http://www1.rad.net.id/aids/HINDAR/hindar.htm) dan dikembangkan sesuai dengan data terakhir.
(54) Nasib Mereka yang Tertular Virus HIV
Darah putrinya baru diambil pagi hari oleh dokter puskesmas untuk diperiksa di laboratorium, tapi sore harinya sudah ada berita di koran tentang penyakit anaknya itu.
Itulah yang membuat keluarga Kartam, penduduk Cibuaya, Kab Karawang, Jabar, pusing tujuh keliling.
Pengambilan darah itu pun menurut petugas yang datang ke rumahnya karena putrinya baru pulang dari seberang (maksudnya Prov Riau, khususnya Riau Kepulauan).
Tampaknya, pengambilan darah itu sendiri bertolak dari pemberitaan beberapa koran yang terbit hari itu tentang pemulangan tiga wanita asal Karawang oleh Pemda Prov Riau. Ketiga wanita itu dinyatakan seropositif (tertular virus HIV/AIDS) berdasarkan pemeriksaan terhadap wanita-wanita berisiko tinggi yang bekerja di kawasan Riau Kepulauan.
Pemberitaan di koran itu pulalah yang menjadi awal malapetaka yang tidak berkesudahan yang dialami keluarganya sampai hari ini. Rupanya, dalam berita tersebut disebutkan Mh, 21 tahun, putri sulung Kartam, mengidap virus HIV/AIDS.
Mh dan dua penduduk Karawang lainnya (Am penduduk Desa Jorang Mekarpohaci, Kec Tempuran, dan NY penduduk Kp Kaceot, Tanjungpura) didiagnosis seropositif setelah diperiksa Dinas Kesehatan Riau sekitar Agustus 1993.Dinas Kesehatan Riau memeriksa wanita-wanita berisiko tinggi (pelacur dan wanita-wanita penghibur), tapi kepada “Mutiara” Mh bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Romlah, tetangganya di Cibuaya, di Tanjung Batu, Kab Riau Kepulauan, Prov Riau.
Hari-hari berikutnya silih berganti yang datang ke rumahnya, semuanya mencibir dan mencaci-maki. “Jangan dekat-dekat nanti nepa (tertular-Red.),” kata penduduk di sana kepada anak-anaknya yang lewat di depan rumah Mh.
Tidak sedikit pula orang lewat di depan rumahnya hanya untuk melihat mereka dari dekat dan mencibir. Aparat-aparat dari berbagai instansi menuding putrinya membikin malu daerah, anak-anak muda mencercanya sebagai penyebar maut.
Bahkan, seorang polisi dengan berkacak pinggang di depan rumah Kartam memaki-maki Mh: “Kami datang ke sini hanya menularkan penyakit.”
Rupanya, Pak Polisi tadi menuduh Mh sebagai pelacur. Ini pulalah yang membuat Kartam naik pitam, tapi ia hanya mengurut dada. “Kalau ketika itu saya tidak sakit akan saya lawan biar pun dia polisi karena menuduh anak saya pelacur,” kata Kartam dengan terbata-bata menahan tangis.
Tetangganya tahu persis Mh tidak pernah keluar rumah sejak dipulangkan dari Riau. Apalagi setelah diberitakan koran dan televisi Mh praktis tidak pernah jauh-jauh dari rumahnya. Hanya beberapa tetangganya yang mau menerimanya bertamu, yang lain menolaknya. “Tidak ada lagi yang mau ampreng-ampreng (bertamu-Red.) ke rumah kami,” kata Mh dengan nada sedih.
Sejak pengambilan darah itu orang-orang pun menjauh. Ketika pengambilan darah itu pun rupanya banyak orang yang datang ke rumah Kartam bersama petugas Puskesmas.
Penduduk mengatakan kalau bersentuhan saja penyakitnya akan menular sehingga tidak ada yang mau dekat-dekat dengan Mh dan keluarganya. Tetangganya mencibir dan tidak ada yang mau bergaul lagi. “Tidak ada lagi yang mau membeli telur asin dagangan saya,” kata Bu Tarmen, ibu Mh, sambil mengusap air matanya.
Padahal, dagangan telur itulah salah satu mata pencaharian keluarga ini. Bukan hanya itu. Penduduk kampung itu pun tidak ada lagi yang mau menerima Kartam mengerjakan sawah-sawah mereka.
Bukan cuma bekerja. Pemuda-pemuda di sana pun tidak ada lagi yang mau bergaul dengan Mh. Padahal, sebagai orang tua Kartam dan Tarmen sudah merencanakan akan menikahkan putrinya. “Tidak ada pemuda yang mau mengawini anak saya,” kata Tarmen dengan terisak-isak.
Celakanya, di tempat baru pun (Kartam dan keluarganya pindah dari desanya ke desa lain di lain kecamatan-Pen.) orang sudah mengetahui perihal Mh. Semula ada seorang pemuda yang sudah mengajaknya menikah, tapi rupanya ada teman sekampung Mh yang membisiki pemuda itu. “Sampai sekarang dia tidak pernah datang lagi,” kata Mh dengan mata berkaca-kaca di rumah petak berdinding gedeg berlantai tanah yang diberikan majikan tempat mereka bekerja di sebuah lio (pembuatan batu bata sekitar 30 km dari Cibuaya-pen.).
Kartam dan keluarganya sampai sekarang tidak mempercayai anaknya mengidap virus HIV/AIDS. “Anak saya sehat, gemuk, tidak pernah mengeluh pusing-pusing kalau sedang bekerja,” kata Kartam dengan nada yakin.
Bahkan, keterangan seorang wartawati sebuah tabloid di Jakarta juga membesarkan hatinya (maksudnya Kartam-pen.), yang mengatakan bahwa putrinya tidak mungkin seropositif karena kelihatan sehat-sehat saja.
Keyakinan Kartam semakin kuat lagi ketika mereka ditolak berobat di RSU Karawang beberapa hari setelah petugas puskesmas mengambil darah anaknya. “Orang sehat, koq, mau diperiksa,” kata petugas di RSU Karawang kepada Kartam dan Mh.
Memang di Indonesia tidak sedikit orang yang masih rancu tentang HIV/AIDS. Ikhwal tentang virus ini masih simpang-siur. Lihatlah penjelasan wartawati tadi yang menjadi anggapan umum di Indonesia.
Tampaknya, banyak orang yang menganggap bahwa pengidap virus HIV/AIDS harus terlentang di tempat tidur atau di rumah sakit. Padahal, gejala penularan virus itu baru bisa diamati secara fisik setelah 7-10 tahun sejak ditanyakan seropositif.
Begitu pula dengan pemeriksaan, aparat kesehatan di daerah, seperti Puskesmas Tempuran, Kab Karawang, Jabar, tidak menghargai Am, salah seorang yang divonis di Riau seropositif, agar darahnya diperiksa di RSCM Jakarta.
Am dinyatakan seropositif tapi tetap menolak karena darahnya diperiksa di puskesmas. Pendapat Am ini beralasan karena pacarnya, seorang pengusaha di Singapura, menganggap bahwa yang namanya rumah sakit, ya, rumah sakit umum semacam RSCM. Pola pikirnya (maksudnya pacar Am-pen.) tentu mengikuti Singapura yang mungkin tidak memiliki puskesmas. Sayang, Puskesmas Tempuran menolaknya. Karena merasa dirinya negatif Am pun sekarang bekerja di sebuah warung nasi di Bekasi.
Tetangga Mh pun mengatakan bahwa umurnya tinggal dua tahun lagi ketika berita tentang dirinya tersebar luas di beberapa koran dan siaran televisi di “RCTI”. Bahkan, ada tetangganya yang berani bertaruh akan memberikan hadiah kepada Mh kalau bertahan hidup lebih dari dua tahun. “Sekarang sudah empat Lebaran anak saya tetap sehat,” kata Bu Tarman masih dengan mata yang berkaca-kaca.
Yang paling menyakitkan Tarmen adalah ketika berita yang menyebutkan bahwa keluarganya tergolong berada. Memiliki sawah dan rumah bagus. Apalagi berita menggambarkan seolah-olah rumah dan sawah mereka itu merupakan hasil jerih payah Mh selama di Riau. “Ya, ampun, rumah kami di sana (maksudnya di Cibuaya-pen.) cuma rumah gedek berlantai tanah. Itu pun rumah kakak saya,” kata Tarmen masih dengan terisak-isak.
Sebagai buruh tani Kartam harus menghidupi istri dan teman anaknya. Mh sendiri hanya bekerja di rumah Romal selama delapan bulan.
Berbulan-bulan mereka menghadapi cercaan. Akhirnya, Kartam semakin terpuruk dan tidak bisa lagi menghadapinya. Merekapun sepakat untuk mengizinkan Mh bekerja di Arab Saudi. Melalui PT Sapta Saguna, sebuah perusahaan pengerah tenaga kerja di Jakarta Timur, Mh berangkat ke Arab.
Keberangkatan Mh itu pulalah yang semakin membingungkan Kartam karena pemeriksaan kesehatan calon TKI ke Arab khususnya dan ke luar negeri umumnya sangat ketat. “Yang rematik saja tidak lolos,” kata Mh sambil menyebut beberapa temannya yang tidak bisa ikut karena berbagai penyakit “biasa”, seperti darah tinggi, penyakit jantung, dll.
Lebih mengherankan lagi bagi Mh karena ia menilai pemeriksaan darah di Tanjung Batu, Kab Riau Kepulauan, Prov Riau, sangat janggal karena yang menyuruhnya berobat ke rumah sakit, Muchtar, seorang petugas keamanan di sana, tapi yang menyebutkan hasilnya justru orang yang tidak dikenalnya. “Saya baru bertemu orang itu hari itu,” kata Mh tentang laki-laki tegap tinggi berkulit hitam yang menyebutnya positif mengidap virus HIV/AIDS.
Muchtar menyarankan ke rumah sakit seminggu setelah darahnya diambil. Di rumah sakit Mh bertemu dengan Dokter Eka. Karena dinyatakan berpenyakit Mh pun bersikeras pulang ke kampungnya. Tapi ketika itu Dokter Eka melarangnya pulang dan memintanya tetap di Tanjung Batu.
Cuma, karena penasaran ia tetap bersikeras pulang ke kampungnya. “Untuk memeriksakan kesehatan,” katanya kepada “Mutiara”. Sampai sekarang pun Mh tidak pernah menerima surat resmi dari aparat terkait tentang dirinya. Kartam berhadap agar penjelasan tentang anaknya langsung diterimanya dari pejabat yang berkaitan. Tapi, sampai hari ini tidak ada keterangan resmi diterimanya tentang anaknya.
Cercaan pulalah yang akhirnya memaksanya dan keluarganya pidah dari Cibuaya ke salah satu kota di Jawa Barat untuk mencari sesuap nasi. Kartam pindah sejak enam bulan yang lalu.
Kartam meninggalkan utang sekitar Rp 500.000 kepada beberapa orang di kampungnya dan di kampung istrinya di Indramayu, masih di Jabar. Itu, semula Rp 600.000, mereka pakai untuk keperluan mengurus keberangkatan Mh ke Arab sebagai TKI.
Mh sendiri Cuma enam bulan di Arab sehingga uang yang dibawanya, sekitar Rp 500.000, tidak cukup untuk membayar utang. Utang kian banyak karena uang itu dipakai juga untuk menyambung hidup karena Kartam dan istrinya tidak bisa bekerja lagi di kampungnya.
Seorang pemuda yang bekerja sebagai anak buah kapal atau pelaut, sebut saja Andi, berumur 30-an tahun, mengakut tidak mempunyai orang tua dan sanak saudara lagi, karena orang tuanya telah memutuskan hubungan dengannya sejak ia mengaku bahwa dirinya telah tertular virus HIV/AIDS. Hal itu diketahuinya ketika ia menerima kiriman sebuah surat kabar yang memuat iklan pemutusan hubungan itu. Andi masih beruntung karena dalam iklan itu tidak disebutkan alasan pemutusan hubungan tsb. karena tertular HIV/AIDS.
Rupanya, orang tua dan adik-adik Andi marah besar ketika mereka menerima kabar itu. Bahkan, ayahnya seakan-akan menyesali diri mengapa dulu ia memasukkan anaknya ke AIP (Akademi Ilmu Pelayaran) Jakarta. ”Akibatnya kamu sekarang terkena penyakit kutukan setan itu karena berlayar keliling dunia dengan kapal asing,” kata Andi menirukan bentakan ayahnya.
Andi sendiri mengetahui dirinya terinfeksi virus HIV/AIDS ketika diadakan pemeriksaan darah rutin di rumah sakit perusahaannya di Singapura. Andi pun mengaku ketika pertama kali ia menerima kabar tentang dirinya ia marah besar. Semua barang-barang di kapal dibuangnya. Hanya satu stel pakaian dan baju kerja di kamar mesin yang dirasakannya. Teman-temannya berusaha mengorek alasannya mengapa ia depresi, tapi ia menutupinya karena takut dikucilkan teman-temannya.
Tapi, kini Andi mengaku sudah bisa menerima kenyataan. Ini berkat konseling yang diterimanya di sebuah klinik AIDS di Singapura. Ia selalu menyempatkan diri ke sana jika sedang berlabuh di ’Kota Singa’ itu. ”Yah, kalau kondisi saya kuat virus HIV/AIDS itu baru memasuki stadium AIDS 10 atau 15 tahun yang akan datang,” katanya dengan nada yakin.
Sekarang Andi sudah menyisihkan sebagian penghasilannya (gaji bersih yang diterimanya 1.500 dolar AS/bulan) untuk menyumbang sebuah gereja di Indonesia bagian Timur yang juga mempunyai rumah penampungan orang-orang jompo dan sakit. Rupanya, Andi membayangkan bawah kelak dia akan menjadi salah seorang penghuninya.
Andi merasa ia tertular virus HIV/AIDS antara Indonesia dan Muangthai. “Waktu itu saya lagi getol-getolnya plesiran di Bangkok menikmati gadis-gadis yang cantik dan seksi-seksi,” kata Andi dengan nada parau. Sekarang ia semakin percaya diri karena ia menganggap dirinya sama saja dengan orang yang mengidap kanker ganas yang juga tidak bisa sembuh total.
Seorang ayah di Jakarta, sebut saja Pak Ahmad, mengaku kini sering bertengkar dan saling menyalahkan dengan istrinya sejak salah seorang anaknya dinyatakan seropositif.
“Rasanya seperti mimpi buruk, selalu membayangi pikiran saya di mana saja saya berada,” kata Ahmad seakan menyesali dirinya. Sekarang Ahmad berusaha menutupinya agar tidak diketahui sanak famili, rekan-rekan anaknya, dan relasi bisnisnya.
Anaknya itu pun sudah dipindahkannya ke sebuah kota hidup dalam suasana pertapaan untuk menjauhkan anaknya dari pergaulan dunia ramai. Sekali sebulan mereka menjenguknya.
Sedangkan Andi, karena tidak mempunyai orang tua dan sanak saudara lagi setiap kali cuti hanya menghabiskan waktunya di Jakarta. Padahal, biasanya ia selalu terbang ke bagian Timur Indonesia menjumpai orang tua dan sanak familinya. – M/Syaiful W. Harahap (Karawang) dan Gustaf P (Jakarta). (Dimuat di Tabloid “Mutiara” Edisi 28 Maret-3 April 1995). *
(55) Media Massa Menceraiberaikan Keluarga Kartam
Bagi banyak orang Lebaran merupakan saat yang dinanti-nantikan karena semua anggota keluarga berkumpul di kampung halaman sambil merayakan hari raya, tapi lain bagi Kartam, 50-an tahun. Ayah alm. Cece (bukan nama sebenarnya), 22 tahun, seorang wanita yang diidentifikasi HIV-positif di Karawang, Jawa Barat, ini tidak bisa berlebaran bersama Cece, putri sulungnya itu, karena Cece tidak pulang ke kampungnya.
Sejak putrinya dipulangkan dari Provinsi Riau karena dinyatakan HIV-positif (berdasarkan hasil surveilans tes HIV yang tidak sesuai dengan standar prosedur operasi yang baku di Riau) Agustus 1993 keluarga Kartam sudah terusir dari kampungnya, dari sebuah desa di Kecamatan Cibuaya, 5 km ke arah utara Rengasdengklok, Kab. Karawang, Jawa Barat.
Penduduk setempat mengetahui Cece sebagai ‘pengidap AIDS’ karena berita di media massa, termasuk kunjungan pejabat mulai dari tingkat kelurahan sampai kabupaten ke desa itu yang selalu menyangkut Cece. Wartawan pun silih berganti pula datang ke sana.
Akibat pemberitaan itu masyarakat mengucilkan mereka. Keluarga ini terpaksa pindah ke sebuah desa di kawasan Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, untuk bekerja sebagai pencetak batu bata di lio (tempat pembuatan dan pembakaran batu bata). Namun, Kartam tetap ingin merayakan lebaran di kampung halamannya. Untuk itu Kartam meminjam uang Rp 60.000 dari rekannya sesama pekerja di lio.
Padahal, Kartam sudah berutang Rp 80.000 kepada majikannya di lio itu. “Ah, itu bukan utang,” kata Kartam di tempat tinggalnya yang baru, juga di lio sekitar 200 km dari Karawang, kini masuk wilayah Provinsi Banten. Soalnya, 11.000 batu bata yang sedang dibakar sebelum dia meninggalkan lio itu belum dibayar pemilik lio. Upah mencetak satu batu bata Rp 10, sehingga Kartam berhak memperoleh Rp 110.000.
Kartam sendiri berpindah-pindah dari satu lio ke lio lain karena diusir pemilik lio. Rupanya, ada saja orang yang membisiki pemilik lio yang mengatakan Kartam sebagai ‘Keluarga AIDS’. Jika hal itu terjadi maka Kartam pindah ke lio lain, tapi baru satu dua bulan mereka pun diusir lagi karena pemilik lio mengetahui putri Kartam ‘AIDS’. Setelah beberapa kali pindah dari satu lio ke lio lain di Cikarang akhirnya tidak ada lagi pemilik lio yang mau menerima Kartam. Karena tidak bisa lagi bekerja di Cikarang Kartam pun memboyong istri dan anak-anaknya ke Banten.
Semula Kartam dan istrinya sangat berharap bisa bertemu dengan Cece di hari Lebaran. Itulah sebabnya Kartam memaksakan diri pulang ke kampung halamannya ke Karawang walaupun harus meminjam uang dari temannya sesama pekerja lio di Banten. Kartam sangat yakin Cece akan pulang. Cece sendiri meninggalkan Kartam sejak Juni 1995, ketika itu mereka bekerja di sebuah lio di Cikarang, tanpa memberitahukan tujuannya, “Kami tidak tahu persis di mana Cece,” kata istri Kartam sambil terisak-isak.
Kartam sangat berharap bisa menjenguk Cece ke Riau. Cuma, Kartam terbentur ongkos karena kalau mencari Cece dia harus memulainya dari kampung istrinya di Indramayu, Jabar. Kalau di sana tidak ada barulah dia menelusurinya ke Riau. Di Indramayu sendiri Kartam sudah berutang kepada saudara-saudara istrinya. Uang itu dipakai untuk membiayai Cece ke Arab Saudi setelah terusir dari kampung halamannya. Sayang, Cece cuma sebulan di Arab sehingga upahnya di Arab tidak bisa membayar utang yang jumlahnya hampir satu juta rupiah (1995). Ketika hendak ke Arab Cece juga menjalani tes HIV. Ketika itu hasilnya negatif sehingga dia bisa berangkat ke Arab Saudi sebagai tenaga kerja wanita (TKW).
Jadi Objek Taruhan
Jangankan biaya untuk mencari Cece ke Riau. Untuk membayar uang sekolah dua putranya yang masih duduk di kelas 3 SD, di tempatnya yang baru di Banten, Kartam sudah kebingungan. Tentu sangat sulit baginya untuk meminjam uang kepada majikannya karena baru sepekan ia bekerja di sana. Padahal, ketika itu tahun ajaran baru.
Kartam bersama istri dan anak-anaknya, termasuk Cece, terpaksa bekerja di lio di Cikarang karena mereka tidak diterima lagi di kampung halamannya. Semula Kartam bekerja sebagai buruh tani yang membantu mengetam padi. Istrinya berjualan telur asin.Tapi, sejak ada berita di media massa yang menyebutkan Cece ‘pengidap AIDS’, pejabat dan wartawan silih berganti datang maka kabar itu pun tersebar luas. Akibatnya, semua orang menjauhi mereka. Tidak ada yang mau lagi mempekerjakan Kartam dan tidak ada lagi yang membeli telur asin yang dijajakan oleh ibu Cece.
“Orang-orang takut tertular, Pak,” kata seorang penduduk di kampung Kartam, di wilayah Kec. Cibuaya, Kab. Karawang. Rupanya, penduduk di sana tidak bisa menerima kehadiran Cece dan keluarganya karena mereka takut tertular. Bahkan, seorang pegawai instansi pemerintah mengatakan berdekatan dengan Cece saja penyakit itu (AIDS, pen.) bisa nepa (menular). Pemuda di kampung itu menuduh Cece membawa aib dan penyebar maut.
Soalnya, berita-berita di media cetak dan elektronik menjurus kepada ‘vonis mati’ terhadap Cece. Dalam berita disebutkan Cece, termasuk dua wanita lain teman Cece yang juga dipulangkan dari Riau, sebagai ‘penderita AIDS’ tinggal menunggu waktu dijemput maut. Bagi masyarakat berita itu menunjukkan bahwa AIDS berarti tinggal menunggu ajal. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian ada tetangga Cece, ketika mereka masih di Karawang, yang bertaruh: Cece akan mati dua tahun lagi. Artinya, kalau Cece hidup lebih dari dua tahun dia akan membayar taruhan.
Padahal, sampai akhir Mei 1995 belum ada gejala-gejala AIDS pada diri perempuan yang dirundung malang itu. Bahkan, Lebaran tahun 2001 Cece kembali ke kampungnya. Tidak ada gejala-gejala terkait AIDS pada diri perempuan itu. Setelah merayakan lebaran Cece kembali ke Riau.
“Kalau dikorankan lagi saya akan lari,” kata Cece ketika ditemui penulis awal Maret 1995 di sebuah lio di Cikarang, Kab. Bekasi, Jawa Barat. Ayah dan ibunya pun mengatakan bahwa pemberitaan di media massa tentang putrinya sebagai sumber malapetaka bagi keluarganya. Akibat berita di media cetak dan televisi penduduk mengucilkan mereka, aparat mencaci maki dan tidak ada orang yang mau mempekerjakan Kartam. Tidak ada lagi yang mau lewat di depan rumah mereka.
Beberapa judul bercerita tentang Cece memang menyebutkan bahwa putrinya itu sudah ‘menderita AIDS’ (mencapai masa AIDS-pen.). Padalah, ketika itu sama sekali belum ada gejala-gejala AIDS. Tes yang dijalani Cece di Riau pun hanya surveilans dan hasil tes surveilans itu tidak dikonfirmasi dengan tes lain. Ketika darahnya diperiksa di Riau dia baru sekitar dua tahun di sana (berangkat ke Riau tahun 1992) dan bekerja di toko kelontong yang menjual makanan dan minuman ringan. Pemilik toko ini kemudian mengawininya.
Penduduk di sekitar rumah Cece di Karawang menyebutkan bahwa mereka mengetahui Cece ‘mengidap AIDS’ setelah melihat wajah perempuan itu di salah satu acara sebuah stasiun televisi swasta nasional. Tidak cuma rumah Cece yang dihindari orang, tapi hajatan pesta sunatan di rumah tetangga Cece pun tidak dikunjungi tamu. Undangan sudah disebarluaskan, tapi tidak satu pun yang diundang datang ke hajatan itu.
Tetangga Cece tadi rugi besar, bahkan yang punya hajat itu pun harus menyerahkan uang Rp 400.000 kepada aparat di kecamatan itu. “Katanya, sih, uang denda,” kata seorang penduduk di sana. Rupanya, yang punya hajat tadi adalah orang yang membawa Cece ke Riau dan mempekerjakan Cece sebagai pembantu rumah tangga di rumahnya sebelum Cece kawin di sana. Orang itu pulalah yang membawanya pulang ke kampung ketika Cece ‘diusir’ dari Riau. Sejak peristiwa itu yang punya hajat tadi pun tidak pernah lagi pulang kampung. Padahal, biasanya setiap tahun mereka pulang kampung untuk merayakan Lebaran.
Beberapa hari setelah Cece tiba di kampungnya dari Riau, rumah-rumah penduduk di sekitar rumah Cece disemprot oleh aparat keamanan setempat. Seorang polisi berpakaian dinas berdiri di depan rumah Cece. Sambil bertolak pinggang polisi itu menghardik Cece, “Kamu datang ke sini hanya untuk menularkan penyakit!”
Polisi tadi pun menuduh Cece sebagai pelacur. Kartam yang ketika itu terbaring di ranjang karena sakit hanya bisa mengurut dada mendengar cercaan polisi itu. “Kalau saya tidak sakit akan saya lawan biar pun dia polisi karena anak saya bukan pelacur!” kata Kartam sambil terisak-isak mengenang peristiwa itu.
Setelah beberapa bulan bekerja di rumah tetangganya yang membawanya ke Riau sebagai pembantu rumah tangga Cece kawin dengan seorang lelaki Cina, pemilik toko kelontong tadi. Karena tidak menikah resmi di KUA itulah, tampaknya, Cece menjadi salah satu objek pemeriksaan HIV di Riau karena ada mitos yang menyebutkan HIV menular melalui zina. Instansi di Riau pun, tampaknya, hanya memilih perempuan pendatang sebagai objek surveilans tes HIV di daerahnya, padahal tidak tertutup kemungkinan penduduk lokal pun ada yang menjadi ‘bini simpanan’ pendatang yang tidak menikah resmi di KUA.
Dikorankan
Cece sendiri dipaksa oleh seorang petugas keamanan, ketika di Riau, ke rumah sakit. Di sana darahnya diambil untuk dites. Beberapa hari kemudian ada seseorang yang tidak dikenalnya datang memberitahu bahwa Cece sakit, yang kemudian diketahuinya sebagai ‘penyakit AIDS’ yang sebenarnya hanyalah terdeteksi HIV-positif melalui surveilans. Karena disebut sakit Cece memilih dipulangkan ke kampungnya. Sesampainya di kampung Cece berobat ke rumah sakit di Karawang, tapi pemeriksaan di rumah sakit itu tidak menemukan penyakit pada diri Cece.
Prosedur pemeriksaan dan pemulangan Cece ternyata melanggar asas kesepakatan internasional yang menyangkut HIV/AIDS. Darahnya diambil tanpa konseling sebelum tes dan tanpa persetujuan (informed consent) dari Cece. Kemudian hasil tesnya diketahui umum secara luas. Mulai dari aparat di tingkat Provinsi Jabar, Kabupaten Karawang, Kecamatan Cibuaya sampai ke desa dan pengurus RT serta penduduk dan wartawan. Bahkan, petugas di RS Bayukarta Karawang pun dengan ringan tangan menunjukkan medical record Cece kepada wartawan. Pemulangan Cece ke kampung asalnya pun merupakan perbuatan yang melawan hukum karena tidak ada aturan yang membenarkan pemulangan seseorang yang HIV-positif dari satu daerah ke daerah asal. Cara-cara yang dilakukan di Riau dan di Karawang merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).
Biar pun perlakuan terhadap Cece, mulai dari pembocoran identitas, pemulangan dan pemberitaan di media massa, melawan hukum dan melanggar HAM, tapi tak satupun instansi yang merasa bertanggung jawab terhadap nasib Cece dan keluarganya. Sehari setelah tiba dari Riau petugas puskesmas setempat mendatangi rumah Cece dan mengambil contoh darahnya tanpa konseling dan persetujuan.
Kartam mengaku kebingungan karena darah anaknya baru diambil pagi hari, eh, siang hari sudah ada koran yang memuat cerita tentang penyakit anaknya. Rupanya, berita tentang pemulangan tiga perempuan Karawang dari Riau yang terdeteksi HIV-positif itu dikabarkan melalui telegram ke dinas terkait di Karawang dan Bandung beberapa hari sebelum Cece tiba di kampungnya. Telegram itulah yang menjadi sumber informasi bagi wartawan dan pejabat setempat.
Kepada ayah dan ibunya Cece sering mengatakan, “Kalau saya masih di sini (maksudnya di Karawang, pen.) saya akan terus dikorankan (maksudnya menjadi berita di media massa-pen.).” Inilah, agaknya yang membuat Cece memilih pergi tanpa memberitahukan tujuannya. Soalnya, ketika masih di Karawang Cece menjadi pusat perhatian aparat pemda, tumpuan caci maki penduduk serta menjadi buruan ‘nyamuk-nyamuk pers’.
Seorang perempuan lain, juga di Karawang yang juga dipulangkan dari Riau bersama Cece, sebut saja Cici, 22 tahun, justru menjadi sapi perahan aparat desa dan kecamatan. Cici menjalin hubungan cinta dengan seorang pria Cina Singapura. Biar pun Cici sudah pulang kampung pria itu tetap mengunjunginya secara rutin. Jika aparat desa mengetahui pria itu menginap di rumah Cici petugas pun datang memeriksanya. Agar persoalannya selesai Cici pun menyerahkan empat amplop yang semuanya berjumlah Rp 200.000.
Begitu pula dengan seorang Odha perempuan yang menikah di Makassar, Sulawesi Selatan. Pasangan ini berkali-kali diusir dari rumah kontrakannya hanya karena masyarakat di sekitar mereka mengenal mereka sebagai ‘Pengantin AIDS’. Julukan ini tersebar luas di masyarakat karena merupakan judul berita lengkap dengan foto pengantin di media cetak lokal dan nasional.
Rupanya, ada penduduk yang menyimpan koran yang memuat foto pengantin mereka. Maka, ketika suatu hari Odha tadi memakai kaos (T-shirt) yang bertuliskan pesan-pesan tentang AIDS maka ketua RT setempat pun menyelidik-nyelidik. Kebetulan ada penduduk yang menyimpan koran yang memuat foto mereka. Akibatnya, pasangan ini diusir. Mereka sudah beberapa kali diusir penduduk dari tempat kos hanya karena ada penduduk yang mengetahui identitas mereka sebagai ‘Pengantin AIDS’. Terakhir mereka bisa ‘aman’ karena tinggal di rumah salah seorang pegawai sebuah instansi dan memberikan pekerjaan kepada pasangan itu.
Patah Hati
Cece dan Cici serta keluarga mereka tetap tidak percaya Cece dan Cici tertular HIV karena, “Lihat saja badan anak saya gemuk,” kata ayah Cici menjelang lebaran 1996 di rumahnya di sebuah desa di Kab. Karawang. Cici meninggal awal tahun 2000 meninggalkan seorang putri yang juga HIV-positif.
Begitu pula dengan ayah dan ibu Cece mereka juga mengatakan Cece sehat karena badannya gemuk dan tidak pernah sakit. “Kerjanya kuat, pilek pun tidak pernah,” kata Kartam ketika Cece masih bersamanya di Cikarang (1995). Tampaknya, hal itu terjadi karena pemberitaan yang simpang siur tentang HIV/AIDS. Foto-foto Odha (Orang yang hidup dengan HIV/AIDS) yang ditampilkan media massa adalah orang-orang yang kurus yang sudah mencapai AIDS.
Padahal, untuk mencapai masa AIDS ada rentang waktu antara 5-10 tahun sehingga sebelum mencapai masa AIDS seseorang yang HIV-positif tidak menunjukkan tanda-tandayang khusus. Bahkan, banyak yang sudah mencapai masa AIDS tetapi badannya tetap kekar dan tegar.
Penderitaan Kartam dan keluarganya ternyata belum berakhir walaupun mereka sudah pindah nun jauh dari kampungnya karena mereka tidak mengetahui di mana Cece berada.
Rupanya, putrinya patah hati karena pacarnya memutuskan tali cinta mereka. Hal ini terjadi karena ada orang sekampung Cece, yang juga bekerja di lio, yang menceritakan status HIV Cece kepada pacarnya. Pemuda itu sendiri sudah berjanji akan menyunting Cece. “Orang tua mana yang tidak senang mengawinkan anaknya,” kata ibu Cece sambil mengusap air mata.
Penantian Kartam dan keluarganya untuk bisa bertemu dengan Cece tidak sia-sia karena tahun 1999 Cece menemui mereka di kampung halamannya. Rupanya, setelah ‘bertualang’ dari satu lio ke lio lain Kartam dan keluarganya tidak mempunyai pilihan selain pulang ke kampung di Karawang. Tetangga di desa pun sudah bisa menerima Cece dan keluarganya.
Kini, Kartam dan keluarganya sudah kembali tinggal di kampung halamannya. Sedangkan Cece kembali ke Riau dan bekerja di sana. Kartam dan istri serta adik-adiknya pun sudah pernah diajak Cece ke Riau. Tetangga yang dahulu mencaci-maki dan mencibir sudah ada yang menyesal dan meminta maaf. Kartam2 sendiri mengaku memaafkan tetangganya.
Dua bulan kemudian Kartam menerima telepon dari Cece yang mengajaknya ke Riau. Di sana ada pekerjaan sebagai penjaga kebun durian. Kartam pun memboyong keluarganya ke sebuah pulau di sekitar P. Batam di Kep. Riau. “Saya senang bisa berkumpul dengan Cece.” kata Kartam mengenang pertemuannya dengan Cece ketika ditemui Lebaran lalu (2005) di Karawang. Selain menjaga kebun durian Kartam juga menderes pohon karet. Sedikit demi sedikit Kartam mengumpulkan uang. Hasil jerih payahnya dipakainya untuk membangun rumah. Sebagian disimpannya, “Untuk membeli tanah di kampung (maksudnya di Karawang, pen.),” katanya terbata-bata.
Selama dua tahun bersama Cece seakan-akan semuanya baik-baik saja. Kartam sudah membayang-bayangkan akan menjadi petani di kampungnya berbekal simpanannya, ketika itu berjumlah Rp 9 juta dan puluhan ayam kampung. Tapi, tiba-tiba semuanya buyar karena Cece sakit. Menurut Kartam putrinya ‘muntaber’. Bidan yang mereka datangi mengatakan Cece ngidam. Kartam dan istrinya lega. Tapi, ‘muntaber’ datang berulang-ulang. Kalau berobat sembuh. Setelah obat habis sakit lagi. Begitu seterusnya. Akhirnya, mereka membawa Cece ke rumah sakit. “Mereka tidak tahu apa penyakit anak saya,” kata Kartam. Pemeriksaan laboratorium, termasuk rontgen, tidak menunjukkan penyakit yang diderita Cece.
Hampir satu tahun Kartam dan istrinya mengurus Cece yang terus-menerus sakit. Harta Cece dan simpanan Kartam pun ludes untuk membiayai pengobatan Cece. Cece meninggal dunia lima hari setelah Lebaran tahun 2003. Satu hal yang dibanggakan Kartam dan istrinya adalah penduduk di sana banyak yang datang melayat walaupun mereka pendatang.
Setelah acara seratus hari kematian Cece, Kartam memboyong keluarganya kembali ke Karawang. Untuk biaya pulang Kartam menjual barang yang ada, termasuk rumah yang dibangunnya.Rumah yang dibangunnya dengan biaya sekitar dua juta rupiah hanya laku Rp 800.000.
Kini, Kartam dan keluarganya hanya bisa mengenang masa-masa indah dengan Cece di rantau karena Cece sudah pergi meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. [Naskah ini dimuat pertama kali di Newsletter PMP AIDS-LP3Y, Yogyakarta, Edisi Ke-12, April 1996. Diolah kembali berdasarkan data terbaru tentang Cece dan keluarganya ditayangkan di Kompasiana, 8 Desember 2010)]. *
Catatan: Kartam dan istrinya pernah ditampilkan untuk memberikan testimoni tentang pengalaman mereka sebagai korban pemberitaan media massa pada seminar tentang “HAM terkait HIV/AIDS” yang diselenggarakan oleh LAHSI di Jakarta (8 Desember 2001).
(56) Nasib “Pengantin AIDS” di Makassar yang Berkali-kali Diusir Tetangga
Orang-orang yang terdeteksi HIV/AIDS, termasuk pekerja seks komersial (PSK), sekarang ini mungkin jauh lebih beruntung daripada Nuraini (meninggal dunia di RS Wahidin, Makassar, Sulawesi Selatan, 26 Januari 2009). Dia seorang Odha di Makassar yang terdeteksi HIV-positif tahun 1997. Banyak orang yang tertular HIV bisa menyembunyikan status dirinya sehingga tidak mengalami stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda).
Berbeda dengan Nuraini yang terjaring razia di ‘lokasi pelacuran’ di Bonerate, Makassar, Sulawesi Selatan, tanggal 5 Juli 1997. Malam itu, Nuraini bersama belasan PSK lainnya yang terjaring pada razia malam itu dibawa ke Panti Sosial Mattiro Deceng untuk pembinaan selama enam bulan.
Di panti itu darah Nuraini dan teman-temannya diambil oleh seorang dokter. Untuk apa darah itu diambil? Mereka tidak tahu. Yang jelas Nuraini dan teman-temannya tidak berani menolak ketika darah mereka diambil. Mereka menyadari bahwa dengan menolak berarti hukuman akan diterima.
Nuraini dan teman-temannya mencoba sembunyi agar darahnya tidak diambil. Tapi, mereka ditarik-tarik dari persembunyiannya seperti binatang. Padahal, mereka tidak tahu untuk apa darahnya diambil karena tidak ada penjelasan dari pihak Dinas Sosial dan dokter yang mengambil darah mereka (1). Setelah tiga kali menjalani tes HIV, akhirnya Nuraini dan dua orang temannya dinyatakan HIV-positif.
Namun, sebelum Nuraini dan dua temannya mengetahui hasil tes HIV mereka ternyata wartawan dan beberapa orang lainnya justru sudah tahu bahwa mereka HIV-positif (2).
Pengetahuan Nuraini dan dua temannya tentang HIV/AIDS ketika itu nol besar. Padahal, berdasarkan standar prosedur operasi tes HIV yang baku sebelum tes dilakukan harus ada konseling (bimbingan) yang menjelaskan semua hal yang terkait dengan HIV/AIDS, informasi dasar, penularan, pencegahan, tes dan lain-lain. Setelah yang dikonseling memahaminya dengan benar maka dia pun dianjurkan menjalani tes HIV baik untuk diagnosis maupun surveilans. Kesediaannya (informed consent) diberikan dengan lisan atau tertulis dengan nama asli, inisial atau samaran.
Ketemu Jodoh
Ketika pengambilan darah mereka hanya diminta masuk dalam ruangan. Di sana ada banyak suster dan dokter. Mereka sama sekali tidak menerima konseling.
Nuraini mengaku hasil tes darahnya dia ketahui dari berita di sebuah harian lokal bukan dari pegawai Dinas Sosial di panti itu atau dari dokter yang mengambil darahnya. Dalam berita itu namanya ditulis dengan jelas. Setelah ada berita barulah pegawai Dinas Sosial menyampaikan bahwa dirinya terpapar HIV.
Tapi, apa dan bagaimana HIV yang sebenarnya Nuraini sama sekali tidak tahu karena petugas tadi tidak menjelaskannya. Yang disampaikan oleh hanya keterangan bahwa penyakitnya belum ada obatnya. Nurani dan teman-temannya hanya melongo mendengar penjelasan itu karena mereka tidak tahu maksudnya.
Ketika menyadari bahwa hidupnya tidak berarti lagi setelah dia mengetahui bahwa penyakitnya belum ada obatnya Nurani meronta-ronta sampai pingsan. Dia tidak menerima hasil tesnya. Semangat hidupnya pupus. Obat nyamuk pun diminumnya untuk mengakhiri hidupnya. Mati pada saat itu bagi Nuraini jauh lebih berarti daripada hidup. Baginya hidup sudah tidak ada lagi nilainya karena penyakitnya tidak ada obatnya. Kondisi itu membuat dirinya kurus dan sakit.
Untunglah ada Dewi Fortuna yang berpihak padanya. Dua bulan setelah didiagnosis HIV-positif ada laki-laki yang mencintainya. Laki-laki itu dengan tulus mengulurkan tangan untuk menikahinya tanpa mempermasalahkan masa lalunya dan kondisi dirinya pada saat itu. Ketika diajak menikah Nuraini tidak bisa menjawab karena sudah tahu kondisi dirinya pada saat itu.
Menikah baginya sangat sulit karena penularan HIV sudah diketahuinya, yakni bila melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom. Supaya mendapat penjelasan yang akurat, Nuraini meminta laki-laki yang ingin menikahinya itu untuk menemui pimpinan Dinas Sosial. Mulutnya terkunci rapat untuk memberikan penjelasan soal status dirinya pada saat itu.
Mendengar penjelasan soal kondisi diri Nuraini, laki-laki yang berniat menikahinya itu kaget dan takut. Keinginannya untuk menikah bahkan diurungkan. Namun, setelah mendengar penjelasan tentang cara penularan dan pencegahan HIV laki-laki itu memantapkan hatinya untuk menikah dengan Nuraini. Kalau jodoh memang tidak akan kemana. Tuhan maha adil dan bijaksana.
Demikian halnya dengan Nuraini. Kala keputusasaan mendera jiwa, di saat hanya kematian terpatri dalam dinding hati, dirinya dikirimi laki-laki yang sepenuh hati mencintainya.
Laki-laki itu tidak mempersoalkan kondisi dirinya yang sudah dinyatakan HIV-positif. Hatinya telah bulat untuk menikahi Nuraini dan menjadi suami yang baik. Padahal, laki-laki itu HIV-negatif, bahkan hingga saat ini status dirinya tetap HIV-negatif kendati sudah delapan tahun sebagai suami Nuraini.
Setelah laki-laki itu melamar Nuraini secara resmi kepada Kepala Dinas Sosial, Nuraini diminta memanggil orang tuanya sebagai wali. Karena takut menanggung risiko yang akan terjadi bila orang tuanya tahu kondisi dirinya, Nuraini menolak. Karena pihak Dinas Sosial tidak bisa menikahkan bila orang tuanya tidak menjadi wali, akhirnya Nuraini memanggil orang tuanya dari kampung.
Ketika orang tua Nuraini datang, pihak Dinas Sosial memberikan penjelasan tentang status diri Nuraini. Dijelaskan bahwa Nuraini terpapar HIV/AIDS, tapi tidak akan menular bila melakukan hubungan seks memakai kondom. Hanya itu yang dijelaskan kepada orang tua Nuraini. Kedua orang tua Nuraini tidak bisa berbuat apa-apa setelah tahu kondisi anaknya yang akan tergantung pada obat. “Orang tuaku menerima dengan lapang dada, karena walau bagaimanapun saya akan tetap menjadi anak mereka,” kata Nuraini mengenang masa lalunya.
Ditolak Rumah Sakit
Nuraini sama sekali tidak tahu kalau pernikahannya waktu itu diliput oleh wartawan. Bahkan, dia tidak tahu bila dirinya yang menggunakan pakaian pengantin berwarna merah terpampang di koran yang memberitakannya sebagai ‘Pengantin AIDS’ atau ‘pengidap HIV menikah’. Apalagi pada saat itu dirinya sama sekali tidak pernah diwawancarai oleh wartawan (3).
Dia baru tahu bila status dirinya telah tersebar luas sehari setelah menikah. Ketika itu Nuraini dan suaminya jalan-jalan untuk menikmati bulan madu. Namun, yang mereka dapat justru cibiran dari orang yang mengenal wajahnya karena dimuat di koran. Ingatannya selalu tertuju pada saat dirinya sedang menggunakan pakaian pengantin. Pada saat itu memang beberapa kamera berusaha mengambil gambarnya dalam kamar. Tapi, Nuraini tidak tahu kalau orang-orang yang memotretnya itu adalah wartawan.
Beberapa hari kemudian dia baru tahu dan melihat fotonya terpampang dengan jelas di koran lokal tanpa ada pengaburan wajah. Padahal, pada saat itu pemahaman masyarakat soal HIV/AIDS sangat awam. Banyak orang yang menilai ‘pengidap HIV/AIDS’ seperti monster yang menakutkan dan dengan mudah akan menularkan penyakitnya pada orang lain.
Stigmatisasi dan diskriminasi sangat kuat ketika itu. Tapi, wartawan tidak memperdulikan dampak berita mereka. Wartawan justru merasa bangga bila mendapat data dan foto orang-orang yang dinyatakan HIV-positif tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan. Berita yang berempati sama sekali tidak pernah dipikirkan wartawan ketika mereka meliput pernikahan Nuraini.
Pemberitaan pernikahan Nuraini di media cetak dan salah satu televisi swasta kala itu membuat keluarganya yang tinggal sekitar 80 km dari Makassar tercengang. Keluarga suaminya pun tidak bisa menerima Nuraini.
Tapi, lagi-lagi suaminya tetap kukuh pada pendiriannya. Ikrar telah dilafalkan dan tak mungkin diingkari. Nurani akan tetap menjadi istrinya sepanjang hayatnya, tetap menjadi ibu dari dua orang anaknya. Apapun risikonya.
Dia menyadari bahwa orang tuanya dan keluarganya tidak menerimanya hanya karena ketidaktahuan mereka soal AIDS dengan benar. Butuh waktu yang lama untuk membuktikan kepada keluarganya bahwa virus HIV yang ada pada dirinya takkan menular kepada keluarganya, termasuk suaminya selama mereka tidak melakukan perbuatan yang berisiko.
Bagi Nuraini Juli 1997 merupakan petaka yang tak akan pernah dilupakannya sepanjang hayatnya. Pada saat itu dirinya harus pindah dari rumah kos yang satu ke kos yang lain karena warga yang tinggal tak jauh dari rumahnya tidak menerima kehadirannya karena kondisi dirinya yang berstatus HIV-positif. Penduduk menganggap HIV merupakan penyaki kutukan dan penularannya melalui udara atau nyamuk.
Pemahaman masyarakat soal HIV/AIDS kala itu memang masih sangat rendah. Suaminya yang ketika itu pegawai honorer di salah satu kantor pemerintahan di Makassar ikut pula mendapat diskriminasi. Setelah ada berita tentang pernikahannya dengan perempuan yang berstatus HIV-positif, pimpinannya memecatnya tanpa alasan yang jelas.
Pengabdiannya yang telah puluhan tahun berlangsung tak bernilai hanya karena menikah dengan Nuraini. Alasan pemecatannya, karena dia telah terkena kasus sehingga keberadaannya sulit diterima. Keputusan pimpinannya yang tidak manusiawi dan tanpa pertimbangan yang matang itu tak membuatnya menceraikan istrinya. Dia tetap pada keputusannya menjadi suami Nuraini. Cinta yang tumbuh dalam hati sungguh suci dan tulus.
HIV/AIDS bagi masyarakat merupakan momok yang sangat menakutkan. Ketika Nuraini menggunakan baju kaos (T-Shirt) yang ada kata-kata HIV/AIDS penduduk yang tinggal di sekitar rumahnya di Tallo mengusirnya. Kaos itu diperolehnya ketika mengikuti pertemuan Odha di Bali tahun 1998.
Nurani dan suaminya bagaikan ‘virus yang mematikan’ bagi penduduk yang tinggal di sekitar tempat kosnya. Nuraini memang baru saja mengikuti pelatihan advokasi di Bali. Dia diundang Yayasan Spiritia, sebuah yayasan pendampingan Odha di Jakarta. Dalam kegiatan itulah Nuraini mengetahui secara detail tentang apa dan bagaimana HIV/AIDS yang sebenarnya. Dia juga dibekali dengan berbagai macam buku soal HIV/AIDS.
Nuraini membaca buku-buku itu sehingga dia memahami HIV/AIDS. Ketika Nuraini ikut sebagai ‘peserta’ pada sebuah pelatihan di Makassar, dari belasan wartawan hanya beberapa yang mengenal Nuraini sebagai Odha. Ketika sharing dengan Nuraini banyak wartawan yang tercengang karena mereka tidak menyadari di antara mereka ada Odha.
Beberapa penduduk juga mengenali wajah Nuraini lewat koran sebagai ‘Pengantin AIDS’. Ini yang membuatnya teusir untuk yang kesekian kalinya.
Dulu bukan hanya masyarakat yang tidak menerima diri Nuraini. Tapi, rumah sakit juga ikut mendiskriminasinya. Misalnya, ketika sakit Nuraini berobat ke rumah sakit swasta di Makassar. Rumah sakit tidak mau merawatnya setelah Nuraini menyampaikan status dirinya.
Demikian pula ketika dia sakit tahun 2003. Seorang dokter di rumah sakit lain di Makassar mengetahui status HIV Nuraini dari rekannya sesama dokter (di rumah dokter inilah Nuraini tinggal setelah diusir penduduk berkali-kali). Pihak rumah sakit ini malah memintanya untuk pindah ke RS Wahidin. Alasannya, rumah sakit itu belum bisa merawat pasien HIV-positif (5).
Akhirnya, Nuraini pindah ke RS Wahidin. Di rumah sakit ini Odha memang dirawat intensif. Sayang, terkadang pihak rumah sakit menulis status pasien di tempat tidur sehingga orang lain mengetahuinya.Hal ini dialaminya Maret 2004. Nuraini protes dan menjelaskan kepada perawat bahwa status dirinya sebagai Odha tidak boleh ditulis di tempat tidurnya. Mendengar penjelasan tersebut perawat yang bertugas langsung menghapus status HIV Nuraini dari catatan di tempat tidurnya.
Dianggap Momok
Nuraini juga pernah diusir dari Baddoka atau di Jalan Daeng Ramang. Penyebabnya, karena dia memakai kaos bertuliskan ‘Manusia HIV/AIDS’ yang diperolehnya dari pelatihan di Bali tahun 1999. “Penduduk yang tinggal di rumah kosku memintaku pergi karena kata mereka saya pembawa penyakit dan bisa menular kepada semua penduduk,” kata Nuraini. Dia tidak punya pilihan. Dia pindah karena takut diamuk massa. “Dengan hati yang hancur kami terpaksa angkat kaki,” ujar Nuraini. Dia merasa penjelasannya tentang HIV/AIDS tidak akan diterima tetangganya.
Tahun 1998 Nuraini kembali terusir dari tempat tinggalnya di sekitar pompa bensin di Jalan Urip Sumoharjo. Memang, penduduk tidak mengusirnya secara langsung, Tapi, seorang tetangganya mengatakan bahwa Nuraini pernah dilihatnya di koran sebagai ‘pengidap penyakit’.
Namun, tetangganya itu mengaku lupa nama penyakitnya. Sebelum diusir, Nuraini dan suaminya memilih pindah. Hampir setiap bulan suami-istri ini pindah dari satu rumah kos satu ke rumah kos yang lain hanya karena pemahaman penduduk yang rendah soal HIV/AIDS.
Nuraini seolah-olah jadi momok bagi penduduk yang mengetahui status HIV-nya. ‘Rasa aman’ baru dirasakan suami-istri ini setelah mereka tinggal di rumah dr Alimin tahun 2003. Tak ada diskriminasi. Sejak tinggal di rumah Pak Dokter itulah mereka tidak pernah lagi diusir penduduk. “Kata Pak Dokter yang berhak mengusir cuma dia,” kata Nuraini. Penduduk yang tinggal di sekitar rumah dokter Alimin baik dan tidak pernah mempermasalahkan keberadaan Nuraini.
Setelah mengikuti pelatihan HIV/AIDS di Bali tahun 1999 dan banyak membaca buku tentang HIV/AIDS, apalagi setelah bertemu dengan almarhum Suzana Murni (4). Nuraini mulai terbuka tentang status dirinya.
“Suzana pernah bilang bahwa suatu hari nanti orang akan tahu tentang status diri kita, lalu kenapa kita tidak mau terbuka, lagi pula tidak semua orang tahu soal HIV/AIDS.” Kata-kata inilah yang mendorong Nuraini mau terbuka tentang status dirinya. Bahkan, wajah dan namanya tidak lagi dipersoalkannya jika dimuat di media massa.
Pertama kali Nuraini terbuka tentang status dirinya dilakukannya dalam acara sosialisasi HIV/AIDS di Hotel Sahid Makassar. Acara itu dihadiri oleh pengurus KPAD Makassar, USAID, pengurus LSM dan aparat pemerintah kota (Pemkot) Makassar. Pertemuan dihadiri sekitar 60 orang.
Sebelum berbicara di depan umum, panitia meminta persetujuan Nuraini untuk terbuka dan tidak memaksanya. Nurani langsung setuju untuk terbuka. Alasannya, karena ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa sama sekali tidak ada perbedaan antara orang yang HIV-positif dengan orang yang HIV-negatif. Kondisi dirinya tidak separah yang dibayangkan orang selama ini. Nuraini ingin mengatakan pada semua orang bahwa kondisi fisik antara HIV-positif dan HIV-negatif sama sekali tidak ada perbedaannya secara fisik. Sejak itulah Nuraini sering diundang untuk berbicara. tentang HIV/AIDS.Nurani memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa penularan HIV tidak semudah yang dibayangkan selama ini. Hepatitis B dan TBC jauh lebih mudah menular daripada HIV/AIDS. Setiap kali pertemuan, menurut Nuraini, peserta selalu menanyakan kondisi dirinya, bagian tubuh mana yang sakit. Apakah selera makannya tidak berkurang, Bagaimana kondisi suaminya yang masih negatif dan bagaimana caranya menjaga diri sehingga suaminya masih tetap negatif kendati sudah bertahun-tahun menikah.
Nuraini selalu memberitahu dokter atau perawat di rumah sakit tentang status HIV-nya karena dia tidak ingin orang lain terpaar. Nurani tidak mau menularkan virus yang ada pada dirinya kepada orang lain. Hal ini sering membingungkan kalau dia di rawat di rumah sakit. Soalnya, kalau dia tidak terus terang maka dokter dan perawat tidak tahu status dirinya.
Tapi, sebaliknya kalau dia membeberkan status dirinya dia ketakutan akan mendapat diskriminasi atau ditolak rumah sakit seperti yang pernah dia alami. Tapi, sikap teguh untuk menjaga kesehatan orang lain dan diri sendiri lebih kuat dalam diri Nuraini sehingga dia selalu jujur tentang kondisi dirinya (5). Dokter tidak pernah melakukan diskriminasi, hanya perawat yang sering takut mendekatinya.
Membuka Diri
Ketika terjadi pembengkakan pada payudaranya tahun 2000 dia dirawat di sebuah rumah sakit swasta di Makassar. Nuraini ingin ‘berontak’ karena seorang perawat di rumah sakit itu meludah di depan matanya ketika perawat itu mengetahui status HIV-nya. Dia ingin berteriak sekeras-kerasnya dengan mengatakan kepada perawat itu bahwa virus yang ada pada dirinya tidak berbahaya.
Tapi, dia tidak sanggup menguraikannya dalam bentuk kata. Dia berupaya meredam umpatan dan amarah yang membara dalam dadanya. Nuraini menyadari dengan mengamuk dan berteriak tidak akan menyelesaikan masalah malah bisa sebaliknya menambah masalah.Sikap yang tidak bersahabat dari perawat juga dirasakan Nuraini ketika dia dirawat di rumah sakit swasta di Makassar. Perawat takut memperbaiki selang infus yang tersumbat. Tangan perawat gemetar ketika menyentuh selang karena dia mengetahui Nuraini HIV-positif. Wajah perawat itu pucat pasi.
Melihat hal itu Nuraini memberikan penjelasan bahwa HIV tidak akan menular hanya dengan menyentuh selang infus. Emosi yang menggumpal dalam dadanya dia redam. Dia menjelaskan soal penularan HIV/AIDS pada perawat yang berkeringat dingin yang duduk tidak jauh dari tempat tidurnya. “Jangan menjadi perawat kalau takut sama orang yang HIV-positif karena HIV tidak menular melalui selang infus,” kata Nuraini mengenang kejadian itu (6).
Sekitar tahun 2000 setiap kali dirawat di rumah sakit Nurani selalu ditempatkan di ruangan khusus. Namun, sejak tahun 2003 dia dirawat di rumah perawatan umum. Tapi, perawat tetap melakukan diskriminasi kalau mereka mengetahui status dirinya. Walaupun akan menghadapi diskriminasi Nuraini tetap membeberkan status HIV-nya kepada perawat.
Ada perasaan bersalah dalam dirinya bila dia tidak terbuka kendati dia mengetahui dampak buruk yang akan terjadi pada dirinya kalau dia membuka status dirinya kepada perawat. Nuraini tidak mau orang lain tertular virus yang ada pada dirinya. Baginya sudah cukuplah dirinya yang tertular (7). Orang lain harus dilindungi, termasuk suaminya.
Membuka diri bagi Nuraini justru memberikan ketenangan dalam dirinya. Ada kepuasan dalam jiwanya karena telah memutuskan mata rantai penyebaran HIV/AIDS pada dirinya. Slogan “HIV Stop di Sini” yang menjadi keputusan dalam pertemuan Nasional Kelompok Dukungan Sebaya untuk Odha ingin diwujudkannya. Yang terdeteksi HIV-positif hanya sedikit, yang tidak ketahuan jauh lebih besar.
Sejak tahun 2003 Nuraini tidak lagi didampingi oleh LSM pemerhati HIV/AIDS. Selama ini dia melihat perhatian pemerhati HIV/AIDS sangat kurang. Ketika dia sakit tak satupun yang menjenguknya.
Memang, diskriminasi terhadap dirinya mulai reda. Diskriminasi sering dialaminya di rumah sakit, tapi bukan dilakukan oleh dokter namun dilakukan oleh perawat. Pokja AIDS di RS Wahidin dirasakan Nuraini sangat membantu karena perawatan dan pelayanan yang diterima Odha memuaskan.
Yang menjadi masalah besar bagi Nuraini adalah soal tempat tinggal. Karena dr Alimin telah menjual rumahnya maka mau tak mau dia dan suami serta dua anak tirinya harus meninggalkan rumah yang selama ini telah memberikan ketenangan kepada mereka. Sejak Agustus 2005 Nuraini dan keluarganya tinggal di kawasan Daya, Makassar. Mereka mengontrak kamar kecil.
Tiap bulan dia harus membayar kontrakan Rp 150.000. Suaminya tidak lagi bekerja karena bengkel motor yang selama ini menopang hidup mereka tidak lagi bisa dijalankan karena tidak ada tempat untuk membuka bengkel di rumah kontrakannya.
Nuraini belum terbuka soal status dirinya kepada tetangga barunya. Dia mengaku masih trauma mengenang masa silam yang selalu terbayang dalam ingatannya. Dia tidak tahu harus ke mana lagi kalau kembali lagi terusir. Alasan Nuraini tidak terbuka kepada tetangga barunya bukan hanya karena belum siap diusir, tapi juga di kebingungan bagaimana cara memberikan penjelasan kepada tetangganya soal HIV/AIDS. Dia takut yang terjadi justru antipati tetangga.
Itulah yang membuatnya memilih diam untuk ‘menyelamatkan’ diri, suami dan kedua anaknya.Tapi, Nuraini siap mengatakan pada semua orang soal status dirinya di pertemuan. Dialog lewat radio juga dilakukannya kalau ada yang mau mengundangnya. Nuraini ingin memberikan pemahaman kepada semua orang tentang HIV/AIDS melalui media massa supaya stigmatisasi dan diskriminasi tidak lagi terjadi kepada Odha, seperti yang dialami selama ini.
Nuraini sendiri merupakan ‘korban media’. Berita-berita seputar dirinya yang tidak komprehensif membuatnya berhadapan dengan kenyataan pahit: menerima perlakuan yang tidak manusiawi mulai dari stigmatisasi, diskriminasi sampai pengusiran.
Bahkan, pada direncanakan pada peringatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember 1998 akan ada talk show di TVRI yang menampilkan percakapan Nuraini dengan Presiden BJ Habibie. Disebutkan bahwa Nuraini akan dipoles sedemikian rupa agar tidak bisa dikenali. Waktu itu penulis mendesak dr Nafsiah Mboi, SpA, MPH, waktu itu anggota DPR, untuk membatalkan rencana itu.
Dan, alhamdulillah rencana itu batal. Soalnya, tidak ada jaminan identitas dan suara Nuraini akan diacak karena waktu itu menampilkan orang yang mengidap HIV/AIDS merupakan ’kebanggaan’ bagi sebagian media massa.
Akankah pengalaman pahit Nuraini ini (akan) terjadi lagi kepada saudara-saudara kita yang tertular HIV antara lain hanya karena berita yang tidak komprehensif? (AIDS Watch Indonesia, 29 Oktober 2012). *
Catatan:
(1) Cara-cara inilah yang sering dialami oleh pekerja seks atau Waria. Mereka menjadi korban kesewenang-wenangan berbagai pihak, termasuk yang memakai agama sebagai pembenar dan orang yang membalut lidahnya dengan moral. Mereka disebut sebagai pekerja seks tanpa vonis hakim melalui sidang pengadilan. Perlakuan yang mereka alami merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM. Cara-cara tes surveilans itu pun bertentangan dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Celakanya, hal itu justru dilakukan oleh instansi pemerintah yang wajib melindungi rakyat.
(2) Sumber di Makassar menyebutkan identitas Nuraini dan kawan-kawannya ‘terbongkar’ karena Dinas Kesehatan ditekan pejabat tinggi di Sulsel. Padahal, kegiatan itu hanya surveilans. Lagi-lagi ini membuktikan pemahaman yang sangat rendah di kalangan pejabat tinggi tentang HIV/AIDS. Yang menjadi persoalan besar adalah laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di Jalan Nusantara (diplesetkan sebagai Jalan Vagina Raya), tempat Nuraini dkk. mangkal, karena kalau ada di antara mereka yang tertular maka mereka menjadi jembatan penyebaran HIV ke masyarakat secara horizontal.
(3) Pernikahan Nuraini dan dua rekannya memancing silang pendapat yang tidak lebih dari debat kusir. Soalnya, alasan yang dipakai kalau salah satu pasangan suami-istri mengidap penyakit menular maka pernikahan batal demi hukum. Yang kontra hanya melihat HIV sebagai satu-satunya penyakit menular di muka bumi ini. Lho, bagaimana dengan panu, kurap, flu, TBC, hepatitis B, hepatitis C, sifilis dan GO? Kalau alasan ini dipakai maka jutaan perceraian terjadi karena pengidap TBC, kurap, panu, sifilis, GO dan hepatitis B puluhan juta jumlahnya di Indonesia.
(4) Suzana Murni adalah aktivis AIDS yang berkecimpung dalam pendampingan terhadap Odha, termasuk dirinya, melalui Yayasan SPIRITIA Jakarta. Suzanna meninggal di Jakarta 6/7-2002.
(5) Hal ini merupakan paradoks. Dokter dan perawat hanya menyoal pasien dengan status HIV-positif. Padahal, dengan mengetahui status HIV seorang pasien dokter dan perawat lebih ketat menerapkan kewaspadaan umum. Sebaliknya, pasien yang tidak terdeteksi HIV-positif tapi ternyata HIV-positif tentu lebih berbahaya karena dokter dan perawat bisa saja lalai menerapkan kewaspadaan umum.
(6) Ini menunjukkan pemahaman yang keliru karena ada kemungkinan dokter dan perawat pernah menghadapi pasien dengan status HIV-positif yang tidak terdeteksi. Kalau saja dokter dan perawat mau memutar otak tentulah jauh lebih berbahaya menghadapi pasien yang tidak diketahui status HIV-nya daripada pasien yang diketahui status HIV-nya. Dengan mengetahui status HIV pasien dapat ditempuh langkah-langkah pencegahan, seperti kewaspadaan umum.
(7) Nuraini sendiri tertular dari laki-laki yang ‘mengencaninya’ ketika dia bekerja sebagai PSK. Inilah ironi di kalangan masyarakat yang munafik. PSK dihujat, tapi laki-laki yang menyebarkan HIV luput dari hujatan. Laki-laki yang menularkan HIV kepada Nuraini tidak terdeteksi. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV kepada orang lain secara horizontal. Jika dia menularkan HIV kepada Nuraini tahun 1997 dan sampai sekarang laki-laki itu belum terdeteksi maka selama delapan tahun dia menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadarinya. *
(57) Seorang Perempuan di Makassar Berkali-kali Diusir karena Dikenal Sebagai ‘Pengantin AIDS’
Pekerja seks komersial (PSK) yang terdeteksi HIV-positif sekarang ini mungkin jauh lebih beruntung daripada Nuraini (meninggal dunia di RS Wahidin, Makassar, 26 Januari 2009). Dia seorang Odha di Makassar yang terdeteksi HIV-positif tahun 1997. Banyak orang yang tertular HIV bisa menyembunyikan status dirinya sehingga tidak mengalami stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda).
Berbeda dengan Nuraini yang terjaring razia di ‘lokalisasi pelacuran’ di Bonerate, Makassar, Sulawesi Selatan, tanggal 5 Juli 1997. Malam itu, Nuraini bersama belasan PSK lainnya yang terjaring pada razia malam itu dibawa ke Panti Sosial Mattiro Deceng untuk pembinaan selama enam bulan.
Di panti itu darah Nuraini dan teman-temannya diambil oleh seorang dokter. Untuk apa darah itu diambil? Mereka tidak tahu. Yang jelas Nuraini dan teman-temannya tidak berani menolak ketika darah mereka diambil. Mereka menyadari bahwa dengan menolak berarti hukuman akan diterima.
Nuraini dan teman-temannya mencoba sembunyi agar darahnya tidak diambil. Tapi, mereka ditarik-tarik dari persembunyiannya seperti binatang. Padahal, mereka tidak tahu untuk apa darahnya diambil karena tidak ada penjelasan dari pihak Dinas Sosial dan dokter yang mengambil darah mereka.1 Setelah tiga kali menjalani tes HIV, akhirnya Nuraini dan dua orang temannya dinyatakan HIV-positif.
Namun, sebelum Nuraini dan dua temannya mengetahui hasil tes HIV mereka ternyata wartawan dan beberapa orang lainnya justru sudah tahu bahwa mereka HIV-positif.(2)
Pengetahuan Nuraini dan dua temannya tentang HIV/AIDS ketika itu nol besar. Padahal, berdasarkan standar prosedur operasi tes HIV yang baku sebelum tes dilakukan harus ada konseling (bimbingan) yang menjelaskan semua hal yang terkait dengan HIV/AIDS, informasi dasar, penularan, pencegahan, tes dan lain-lain. Setelah yang dikonseling memahaminya dengan benar maka dia pun dianjurkan menjalani tes HIV baik untuk diagnosis maupun surveilans. Kesediaannya (informed consent) diberikan dengan lisan atau tertulis dengan nama asli, inisial atau samaran.
Ketemu Jodoh
Ketika pengambilan darah mereka hanya diminta masuk dalam ruangan. Di sana ada banyak suster dan dokter. Mereka sama sekali tidak menerima konseling.
Nuraini mengaku hasil tes darahnya dia ketahui dari berita di sebuah harian lokal bukan dari pegawai Dinas Sosial di panti itu atau dari dokter yang mengambil darahnya. Dalam berita itu namanya ditulis dengan jelas. Setelah ada berita barulah pegawai Dinas Sosial menyampaikan bahwa dirinya terpapar HIV.
Tapi, apa dan bagaimana HIV yang sebenarnya Nuraini sama sekali tidak tahu karena petugas tadi tidak menjelaskannya. Yang disampaikan oleh hanya keterangan bahwa penyakitnya belum ada obatnya. Nurani dan teman-temannya hanya melongo mendengar penjelasan itu karena mereka tidak tahu maksudnya.
Ketika menyadari bahwa hidupnya tidak berarti lagi setelah dia mengetahui bahwa penyakitnya belum ada obatnya Nurani meronta-ronta sampai pingsan. Dia tidak menerima hasil tesnya. Semangat hidupnya pupus. Obat nyamuk pun diminumnya untuk mengakhiri hidupnya. Mati pada saat itu bagi Nuraini jauh lebih berarti daripada hidup. Baginya hidup sudah tidak ada lagi nilainya karena penyakitnya tidak ada obatnya. Kondisi itu membuat dirinya kurus dan sakit.
Untunglah ada Dewi Fortuna yang berpihak padanya. Dua bulan setelah didiagnosis HIV-positif ada laki-laki yang mencintainya. Laki-laki itu dengan tulus mengulurkan tangan untuk menikahinya tanpa mempermasalahkan masa lalunya dan kondisi dirinya pada saat itu. Ketika diajak menikah Nuraini tidak bisa menjawab karena sudah tahu kondisi dirinya pada saat itu. Menikah baginya sangat sulit karena penularan HIV sudah diketahuinya, yakni bila melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom. Supaya mendapat penjelasan yang akurat, Nuraini meminta laki-laki yang ingin menikahinya itu untuk menemui pimpinan Dinas Sosial. Mulutnya terkunci rapat untuk memberikan penjelasan soal status dirinya pada saat itu.
Mendengar penjelasan soal kondisi diri Nuraini, laki-laki yang berniat menikahinya itu kaget dan takut. Keinginannya untuk menikah bahkan diurungkan. Namun, setelah mendengar penjelasan tentang cara penularan dan pencegahan HIV laki-laki itu memantapkan hatinya untuk menikah dengan Nuraini. Kalau jodoh memang tidak akan kemana. Tuhan maha adil dan bijaksana. Demikian halnya dengan Nuraini. Kala keputusasaan mendera jiwa, di saat hanya kematian terpatri dalam dinding hati, dirinya dikirimi laki-laki yang sepenuh hati mencintainya.
Laki-laki itu tidak mempersoalkan kondisi dirinya yang sudah dinyatakan HIV-positif. Hatinya telah bulat untuk menikahi Nuraini dan menjadi suami yang baik. Padahal, laki-laki itu HIV-negatif, bahkan hingga saat ini status dirinya tetap HIV-negatif kendati sudah delapan tahun sebagai suami Nuraini.
Setelah laki-laki itu melamar Nuraini secara resmi kepada Kepala Dinas Sosial, Nuraini diminta memanggil orang tuanya sebagai wali. Karena takut menanggung risiko yang akan terjadi bila orang tuanya tahu kondisi dirinya, Nuraini menolak. Karena pihak Dinas Sosial tidak bisa menikahkan bila orang tuanya tidak menjadi wali, akhirnya Nuraini memanggil orang tuanya dari kampung.
Ketika orang tua Nuraini datang, pihak Dinas Sosial memberikan penjelasan tentang status diri Nuraini. Dijelaskan bahwa Nuraini terpapar HIV/AIDS, tapi tidak akan menular bila melakukan hubungan seks memakai kondom. Hanya itu yang dijelaskan kepada orang tua Nuraini. Kedua orang tua Nuraini tidak bisa berbuat apa-apa setelah tahu kondisi anaknya yang akan tergantung pada obat. “Orang tuaku menerima dengan lapang dada, karena walau bagaimanapun saya akan tetap menjadi anak mereka,” kata Nuraini mengenang masa lalunya.
Ditolak Rumah Sakit
Nuraini sama sekali tidak tahu kalau pernikahannya waktu itu diliput oleh wartawan. Bahkan, dia tidak tahu bila dirinya yang menggunakan pakaian pengantin berwarna merah terpampang di koran yang memberitakannya sebagai ‘Pengantin AIDS’ atau ‘pengidap HIV menikah’. Apalagi pada saat itu dirinya sama sekali tidak pernah diwawancarai oleh wartawan.(3)
Dia baru tahu bila status dirinya telah tersebar luas sehari setelah menikah. Ketika itu Nuraini dan suaminya jalan-jalan untuk menikmati bulan madu. Namun, yang mereka dapat justru cibiran dari orang yang mengenal wajahnya karena dimuat di koran. Ingatannya lalu tertuju pada saat dirinya sedang menggunakan pakaian pengantin. Pada saat itu memang beberapa kamera berusaha mengambil gambarnya dalam kamar. Tapi, Nuraini tidak tahu kalau orang-orang yang memotretnya itu adalah wartawan.
Beberapa hari kemudian dia baru tahu dan melihat fotonya terpampang dengan jelas di koran lokal tanpa ada pengaburan wajah. Padahal, pada saat itu pemahaman masyarakat soal HIV/AIDS sangat awam. Banyak orang yang menilai ‘pengidap HIV/AIDS’ seperti monster yang menakutkan dan dengan mudah akan menularkan penyakitnya pada orang lain.
Stigmatisasi dan diskriminasi sangat kuat ketika itu. Tapi, wartawan tidak memperdulikan dampak berita mereka. Wartawan justru merasa bangga bila mendapat data dan foto orang-orang yang dinyatakan HIV-positif tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan. Berita yang berempati sama sekali tidak pernah dipikirkan wartawan ketika mereka meliput pernikahan Nuraini.
Pemberitaan pernikahan Nuraini di media cetak dan salah satu televisi swasta kala itu membuat keluarganya yang tinggal sekitar 80 km dari Makassar tercengang. Keluarga suaminya pun tidak bisa menerima Nuraini.
Tapi, lagi-lagi suaminya tetap kukuh pada pendiriannya. Ikrar telah dilafalkan dan tak mungkin diingkari. Nurani akan tetap menjadi istrinya sepanjang hayatnya, tetap menjadi ibu dari dua orang anaknya. Apapun risikonya.
Dia menyadari bahwa orang tuanya dan keluarganya tidak menerimanya hanya karena ketidaktahuan mereka soal AIDS dengan benar. Butuh waktu yang lama untuk membuktikan kepada keluarganya bahwa virus HIV yang ada pada dirinya takkan menular kepada keluarganya, termasuk suaminya selama mereka tidak melakukan perbuatan yang berisiko.
Bagi Nuraini Juli 1997 merupakan petaka yang tak akan pernah dilupakannya sepanjang hayatnya. Pada saat itu dirinya harus pindah dari rumah kos yang satu ke kos yang lain karena warga yang tinggal tak jauh dari rumahnya tidak menerima kehadirannya karena kondisi dirinya yang berstatus HIV-positif. Penduduk menganggap HIV merupakan penyakit kutukan dan penularannya melalui udara atau nyamuk.
Pemahaman masyarakat soal HIV/AIDS kala itu memang masih sangat rendah. Suaminya yang ketika itu pegawai honorer di salah satu kantor pemerintahan di Makassar ikut pula mendapat diskriminasi. Setelah ada berita tentang pernikahannya dengan perempuan yang berstatus HIV-positif, pimpinannya memecatnya tanpa alasan yang jelas.
Pengabdiannya yang telah puluhan tahun berlangsung tak bernilai hanya karena menikah dengan Nuraini. Alasan pemecatannya, karena dia telah terkena kasus sehingga keberadaannya sulit diterima. Keputusan pimpinannya yang tidak manusiawi dan tanpa pertimbangan yang matang itu tak membuatnya menceraikan istrinya. Dia tetap pada keputusannya menjadi suami Nuraini. Cinta yang tumbuh dalam hati sungguh suci dan tulus.
HIV/AIDS bagi masyarakat merupakan momok yang sangat menakutkan. Ketika Nuraini menggunakan baju kaos (T-Shirt) yang ada kata-kata HIV/AIDS penduduk yang tinggal di sekitar rumahnya di Tallo mengusirnya. Kaos itu diperolehnya ketika mengikuti pertemuan Odha di Bali tahun 1998.
Nurani dan suaminya bagaikan ‘virus yang mematikan’ bagi penduduk yang tinggal di sekitar tempat kosnya. Nuraini memang baru saja mengikuti pelatihan advokasi di Bali. Dia diundang Yayasan Spiritia, sebuah yayasan pendampingan Odha di Jakarta. Dalam kegiatan itulah Nuraini mengetahui secara detail tentang apa dan bagaimana HIV/AIDS yang sebenarnya. Dia juga dibekali dengan berbagai macam buku soal HIV/AIDS.
Nuraini membaca buku-buku itu sehingga dia memahami HIV/AIDS. Ketika Nuraini ikut sebagai ‘peserta’ pada sebuah pelatihan di Makassar, dari belasan wartawan hanya beberapa yang mengenal Nuraini sebagai Odha. Ketika sharing dengan Nuraini banyak wartawan yang tercengang karena mereka tidak menyadari di antara mereka ada Odha.
Beberapa penduduk juga mengenali wajah Nuraini lewat koran sebagai ‘Pengantin AIDS’. Ini yang membuatnya terusir untuk yang kesekian kalinya.
Dulu bukan hanya masyarakat yang tidak menerima diri Nuraini. Tapi, rumah sakit juga ikut mendiskriminasinya. Misalnya, ketika sakit Nuraini berobat ke rumah sakit swasta di Makassar. Rumah sakit tidak mau merawatnya setelah Nuraini menyampaikan status dirinya.
Demikian pula ketika dia sakit tahun 2003. Seorang dokter di rumah sakit lain di Makassar mengetahui status HIV Nuraini dari rekannya sesama dokter (di rumah dokter inilah Nuraini tinggal setelah diusir penduduk berkali-kali). Pihak rumah sakit ini malah memintanya untuk pindah ke RS Wahidin. Alasannya, rumah sakit itu belum bisa merawat pasien HIV-positif. (5)
Akhirnya, Nuraini pindah ke RS Wahidin. Di rumah sakit ini Odha memang dirawat intensif. Sayang, terkadang pihak rumah sakit menulis status pasien di tempat tidur sehingga orang lain mengetahuinya.Hal ini dialaminya Maret 2004. Nuraini protes dan menjelaskan kepada perawat bahwa status dirinya sebagai Odha tidak boleh ditulis di tempat tidurnya. Mendengar penjelasan tersebut perawat yang bertugas langsung menghapus status HIV Nuraini dari catatan di tempat tidurnya.
Dianggap Momok
Nuraini juga pernah diusir dari Baddoka atau di Jalan Daeng Ramang. Penyebabnya, karena dia memakai kaos bertuliskan ‘Manusia HIV/AIDS’ yang diperolehnya dari pelatihan di Bali tahun 1999. “Penduduk yang tinggal di rumah kosku memintaku pergi karena kata mereka saya pembawa penyakit dan bisa menular kepada semua penduduk,” kata Nuraini. Dia tidak punya pilihan. Dia pindah karena takutdiamuk massa. “Dengan hati yang hancur kami terpaksa angkat kaki,” ujar Nuraini.. Dia merasa penjelasannya tentang HIV/AIDS tidak akan diterima tetangganya
Tahun 1998 Nuraini kembali terusir dari tempat tinggalnya di sekitar pompa bensin di Jalan Urip Sumoharjo. Memang, penduduk tidak mengusirnya secara langsung, Tapi, seorang tetangganya mengatakan bahwa Nuraini pernah dilihatnya di koran sebagai ‘pengidap penyakit’.
Namun, tetangganya itu mengaku lupa nama penyakitnya. Sebelum diusir, Nuraini dan suaminya memilih pindah. Hampir setiap bulan suami-istri ini pindah dari satu rumah kos satu ke rumah kos yang lain hanya karena pemahaman penduduk yang rendah soal HIV/AIDS.
Nuraini seolah-olah jadi momok bagi penduduk yang mengetahui status HIV-nya. ‘Rasa aman’ baru dirasakan suami-istri ini setelah mereka tinggal di rumah dr Alimin tahun 2003. Tak ada diskriminasi. Sejak tinggal di rumah Pak Dokter itulah mereka tidak pernah lagi diusir penduduk. “Kata Pak Dokter yang berhak mengusir cuma dia,” kata Nuraini. Penduduk yang tinggal di sekitar rumah dokter Alimin baik dan tidak pernah mempermasalahkan keberadaan Nuraini.
Setelah mengikuti pelatihan HIV/AIDS di Bali tahun 1999 dan banyak membaca buku tentang HIV/AIDS, apalagi setelah bertemu dengan almarhum Suzana Murni.4 Nuraini mulai terbuka tentang status dirinya.
“Susana pernah bilang bahwa suatu hari nanti orang akan tahu tentang status diri kita, lalu kenapa kita tidak mau terbuka, lagi pula tidak semua orang tahu soal HIV/AIDS.” Kata-kata inilah yang mendorong Nuraini mau terbuka tentang status dirinya. Bahkan, wajah dan namanya tidak lagi dipersoalkannya jika dimuat di media massa.
Pertama kali Nuraini terbuka tentang status dirinya dilakukannya dalam acara sosialisasi HIV/AIDS di Hotel Sahid Makassar. Acara itu dihadiri oleh pengurus KPAD Makassar, USAID, pengurus LSM dan aparat pemerintah kota (Pemkot) Makassar. Pertemuan dihadiri sekitar 60 orang.
Sebelum berbicara di depan umum, panitia meminta persetujuan Nuraini untuk terbuka dan tidak memaksanya. Nurani langsung setuju untuk terbuka. Alasannya, karena ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa sama sekali tidak ada perbedaan antara orang yang HIV-positif dengan orang yang HIV-negatif. Kondisi dirinya tidak separah yang dibayangkan orang selama ini. Nuraini ingin mengatakan pada semua orang bahwa kondisi fisik antara HIV-positif dan HIV-negatif sama sekali tidak ada perbedaannya secara fisik. Sejak itulah Nuraini sering diundang untuk berbicara. tentang HIV/AIDS.
Nurani memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa penularan HIV tidak semudah yang dibayangkan selama ini. Hepatitis B dan TBC jauh lebih mudah menular daripada HIV/AIDS. Setiap kali pertemuan, menurut Nuraini, peserta selalu menanyakan kondisi dirinya, bagian tubuh mana yang sakit. Apakah selera makannya tidak berkurang, Bagaimana kondisi suaminya yang masih negatif dan bagaimana caranya menjaga diri sehingga suaminya masih tetap negatif kendati sudah bertahun-tahun menikah.
Nuraini selalu memberitahu dokter atau perawat di rumah sakit tentang status HIV-nya karena dia tidak ingin orang lain terpapar. Nurani tidak mau menularkan virus yang ada pada dirinya kepada orang lain. Hal ini sering membingungkan kalau dia di rawat di rumah sakit. Soalnya, kalau dia tidak terus terang maka dokter dan perawat tidak tahu status dirinya.
Tapi, sebaliknya kalau dia membeberkan status dirinya dia ketakutan akan mendapat diskriminasi atau ditolak rumah sakit seperti yang pernah dia alami. Tapi, sikap teguh untuk menjaga kesehatan orang lain dan diri sendiri lebih kuat dalam diri Nuraini sehingga dia selalu jujur tentang kondisi dirinya. Dokter tidak pernah melakukan diskriminasi, hanya perawat yang sering takut mendekatinya.
Membuka Diri
Ketika terjadi pembengkakan pada payudaranya tahun 2000 dia dirawat di sebuah rumah sakit swasta di Makassar. Nuraini ingin ‘berontak’ karena seorang perawat di rumah sakit itu meludah di depan matanya ketika perawat itu mengetahui status HIV-nya. Dia ingin berteriak sekeras-kerasnya dengan mengatakan kepada perawat itu bahwa virus yang ada pada dirinya tidak berbahaya. Tapi, dia tidak sanggup menguraikannya dalam bentuk kata. Dia berupaya meredam umpatan dan amarah yang membara dalam dadanya. Nuraini menyadari dengan mengamuk dan berteriak tidak akan menyelesaikan masalah malah bisa sebaliknya menambah masalah.
Sikap yang tidak bersahabat dari perawat juga dirasakan Nuraini ketika dia dirawat di rumah sakit swasta di Makassar. Perawat takut memperbaiki selang infus yang tersumbat. Tangan perawat gemetar ketika menyentuh selang karena dia mengetahui Nuraini HIV-positif. Wajah perawat itu pucat pasi. Melihat hal itu Nuraini memberikan penjelasan bahwa HIV tidak akan menular hanya dengan menyentuh selang infus. Emosi yang menggumpal dalam dadanya dia redam. Dia menjelaskan soal penularan HIV/AIDS pada perawat yang berkeringat dingin yang duduk tidak jauh dari tempat tidurnya. “Jangan menjadi perawat kalau takut sama orang yang HIV-positif karena HIV tidak menular melalui selang infus,” kata Nuraini mengenang kejadian itu. (6)
Sekitar tahun 2000 setiap kali dirawat di rumah sakit Nurani selalu ditempatkan di ruangan khusus. Namun, sejak tahun 2003 dia dirawat di rumah perawatan umum. Tapi, perawat tetap melakukan diskriminasi kalau mereka mengetahui status dirinya. Walaupun akan menghadapi diskriminasi Nuraini tetap membeberkan status HIV-nya kepada perawat.
Ada perasaan bersalah dalam dirinya bila dia tidak terbuka kendati dia mengetahui dampak buruk yang akan terjadi pada dirinya kalau dia membuka status dirinya kepada perawat. Nuraini tidak mau orang lain tertular virus yang ada pada dirinya. Baginya sudah cukuplah dirinya yang tertular.7 Orang lain harus dilindungi, termasuk suaminya.
Membuka diri bagi Nuraini justru memberikan ketenangan dalam dirinya. Ada kepuasan dalam jiwanya karena telah memutuskan mata rantai penyebaran HIV/AIDS pada dirinya. Slogan “HIV Stop di Sini” yang menjadi keputusan dalam pertemuan Nasional Kelompok Dukungan Sebaya untuk Odha ingin diwujudkannya. Yang terdeteksi HIV-positif hanya sedikit, yang tidak ketahuan jauh lebih besar.
Sejak tahun 2003 Nuraini tidak lagi didampingi oleh LSM pemerhati HIV/AIDS. Selama ini dia melihat perhatian pemerhati HIV/AIDS sangat kurang. Ketika dia sakit tak satupun yang menjenguknya.
Memang, diskriminasi terhadap dirinya mulai reda. Diskriminasi sering dialaminya di rumah sakit, tapi bukan dilakukan oleh dokter namun dilakukan oleh perawat. Pokja AIDS di RS Wahidin dirasakan Nuraini sangat membantu karena perawatan dan pelayanan yang diterima Odha memuaskan.
Yang menjadi masalah besar bagi Nuraini adalah soal tempat tinggal. Karena dr Alimin telah menjual rumahnya maka mau tak mau dia dan suami serta dua anak tirinya harus meningalkan rumah yang selama ini telah memberikan ketenangan kepada mereka. Sejak Agustus 2005 Nuraini dan keluarganya tinggal di kawasan Daya, Makassar. Mereka mengontrak kamar kecil. Tiap bulan dia harus membayar kontrakan Rp 150.000. Suaminya tidak lagi bekerja karena bengkel motor yang selama ini menopang hidup mereka tidak lagi bisa dijalankan karena tidak ada tempat untuk membuka bengkel di rumah kontrakannya.
Nuraini belum terbuka soal status dirinya kepada tetangga barunya. Dia mengaku masih trauma mengenang masa silam yang selalu terbayang dalam ingatannya. Dia tidak tahu harus ke mana lagi kalau kembali lagi terusir. Alasan Nuraini tidak terbuka kepada tetangga barunya bukan hanya karena belum siap diusir, tapi juga di kebingungan bagaimana cara memberikan penjelasan kepada tetangganya soal HIV/AIDS. Dia takut yang terjadi justru antipati tetangga. Itulah yang membuatnya memilih diam untuk ‘menyelamatkan’ diri, suami dan kedua anaknya.
Tapi, Nuraini siap mengatakan pada semua orang soal status dirinya di pertemuan. Dialog lewat radio juga dilakukannya kalau ada yang mau mengundangnya. Nuraini ingin memberikan pemahaman kepada semua orang tentang HIV/AIDS melalui media massa supaya stigmatisasi dan diskriminasi tidak lagi terjadi kepada Odha, seperti yang dialami selama ini.
Nuraini sendiri merupakan ‘korban media’. Berita-berita seputar dirinya yang tidak komprehensif membuatnya berhadapan dengan kenyataan pahit: menerima perlakuan yang tidak manusiawi mulai dari stigmatisasi, diskriminasi sampai pengusiran.
Akankah pengalaman pahit Nuraini ini (akan) terjadi lagi kepada saudara-saudara kita yang tertular HIV antara lain hanya karena berita yang tidak komprehensif? Diolah dengan bahan tambahan berdasarkan fakta terbaru (Oktober 2005) yang dilaporkan oleh Santiaji Syafaat dari Makassar. (Kompasiana, 2 Desember 20210). *
Catatan:
1 Cara-cara inilah yang sering dialami oleh pekerja seks atau Waria. Mereka menjadi korban kesewenang-wenangan berbagai pihak, termasuk yang memakai agama sebagai pembenar dan orang yang membalut lidahnya dengan moral. Mereka disebut sebagai pekerja seks tanpa vonis hakim melalui sidang pengadilan. Perlakuan yang mereka alami merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM. Cara-cara tes surveilans itu pun bertentangan dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Celakanya, hal itu justru dilakukan oleh instansi pemerintah yang wajib melindungi rakyat.
2 Sumber di Makassar menyebutkan identitas Nuraini dan kawan-kawannya ‘terbongkar’ karena Dinas Kesehatan ditekan pejabat tinggi di Sulsel. Padahal, kegiatan itu hanya surveilans. Lagi-lagi ini membuktikan pemahaman yang sangat rendah di kalangan pejabat tinggi tentang HIV/AIDS. Yang menjadi persoalan besar adalah laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di Jalan Nusantara (diplesetkan sebagai Jalan Vagina Raya), tempat Nuraini dkk. mangkal, karena kalau ada di antara mereka yang tertular maka mereka menjadi jembatan penyebaran HIV ke masyarakat secara horizontal.
3. Pernikahan Nuraini dan dua rekannya memancing silang pendapat yang tidak lebih dari debat kusir. Soalnya, alasan yang dipakai kalau salah satu pasangan suami-istri mengidap penyakit menular maka pernikahan batal demi hukum. Yang kontra hanya melihat HIV sebagai satu-satunya penyakit menular di muka bumi ini. Lho, bagaimana dengan panu, kurap, flu, TBC, hepatitis B, hepatitis C, sifilis dan GO? Kalau alasan ini dipakai maka jutaan perceraian terjadi karena pengidap TBC, kurap, panu, sifilis, GO dan hepatitis B puluhan juta jumlahnya di Indonesia.
4. Susana Murni adalah aktivis AIDS yang berkecimpung dalam pendampingan terhadap Odha, termasuk dirinya, melalui Yayasan SPIRITIA Jakarta. Suzanna meninggal di Jakarta 6/7-2002.
5. Hal ini merupakan paradoks. Dokter dan perawat hanya menyoal pasien dengan status HIV-positif. Padahal, dengan mengetahui status HIV seorang pasien dokter dan perawat lebih ketat menerapkan kewaspadaan umum. Sebaliknya, pasien yang tidak terdeteksi HIV-positif tapi ternyata HIV-positif tentu lebih berbahaya karena dokter dan perawat bisa saja lalai menerapkan kewaspadaan umum.
6. Ini menunjukkan pemahaman yang keliru karena ada kemungkinan dokter dan perawat pernah menghadapi pasien dengan status HIV-positif yang tidak terdeteksi. Kalau saja dokter dan perawat mau memutar otak tentulah jauh lebih berbahaya menghadapi pasien yang tidak diketahui status HIV-nya daripada pasien yang diketahui status HIV-nya. Dengan mengetahui status HIV pasien dapat ditempuh langkah-langkah pencegahan, seperti kewaspadaan umum.
7. Nuraini sendiri tertular dari laki-laki yang ‘mengencaninya’ ketika dia bekerja sebagai PSK. Inilah ironi di kalangan masyarakat yang munafik. PSK dihujat, tapi laki-laki yang menyebarkan HIV luput dari hujatan. Laki-laki yang menularkan HIV kepada Nuraini tidak terdeteksi. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV kepada orang lain secara horizontal. Jika dia menularkan HIV kepada Nuraini tahun 1997 dan sampai sekarang laki-laki itu belum terdeteksi maka selama delapan tahun dia menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadarinya. *
(58) Pintu Vihara Terbuka bagi Odha
Catatan: Artikel ini saya tulis tahun 1989 yang lalu yang merupakan hasil liputan ke Mendut untuk reportase (waktu itu) di Tabloid “MUTIARA” Jakarta. Bahan saya olah kembali untuk keperluan newsletter “WartaAIDS” yang diedarkan di berbagai kalangan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Ini untuk gambaran bagi agama-agama lain dalam bersikap jika kelak terjadi ‘ledakan’ AIDS di Inonesia.
Melihat stigma yang melekat pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) tidak tertutup kemungkinan kelak akan ada Odha yang luntang-lantung. Baik karena tidak mampu membayar biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit atau pun karena dikucilkan keluarga serta masyarakat.
Jika hal itu tidak diantisipasi tentulah bisa menimbulkan masalah besar. Agaknya, kita perlu melihat Thailand dalam menangani Odha. Berbagai pihak, termasuk vihara, membuka pintu bagi Odha. Vihara Phrabat Nampu, sekitar 175 km ke arah utara Bangkok, misalnya, merupakan salah satu vihara yang membuka pintu bagi Odha.
Menurut bhikkhu Vannyavaro, vihara Mendut, Jawa Tengah, kesediaan vihara membuka diri bertolak dari filosofis Buddha tentang kepedulian sosial yang diwujudkan Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi) dalam bentuk program nyata yaitu menangani orang yang sudah divonis mati, Odha dan korban narkotika.
Untuk itulah diharapkan vihara dapat membantu Odha dan orang yang sudah ‘ditolak’ dokter (hopeless). Di vihara sendiri mereka bukan mengikuti program pengobatan atau penyembuhan, tapi untuk membantu kondisi psikologis mereka menghadapi deritanya.
Vihara sudah merintisnya dengan mendirikan ‘Pondok Damai’. Di sinilah mereka yang sudah hopeless itu meninggal dengan tenang. Selain mengurangi beban keluarga, penderita sendiri dapat menjalani kehidupan dengan damai di vihara. Bagaimana pun, bagi Vannyavaro tidak akan menyelesaikan masalah kalau hanya dengan menyingkirkan penderita. Bahkan, hal itu akan berdampak negatif bagi penderita.
Odha, pecandu narkotik dan orang yang sudah hopeless hendaknya tidak dikucilkan. Dalam kaitan inilah umat Buddha diharapkan dapat merawat mereka dengan penuh kasih sayang (metta-karuna). Buddha melihat semua kejadian yang dialami manusia merupakan konsekuensi dari perilakunya.
Jadi, setiap perbuatan akan ada risikonya. Maka, umat Buddha pun tidak akan melihat penyebab suatu penyakit tapi mereka justru ingin mengulurkan tangan untuk membantu dan meringankan derita karena suatu penyakit. Artinya, uluran tangan itu merupakan suatu kesempatan bagi setiap orang untuk meringankan penderitaannya. Kehidupan dunia merupakan kehidupan tahap pertama untuk menuju ke kehidupan berikutnya sehingga diharapkan kelanjutan hidup setelah kematian bisa dijalani dengan tenang.
Untuk mencapai tahap itu seseorang harus dalam keadaan tenang dan tenteram ketika menghembuskan nafasnya yang terakhir, sehingga mereka tidak mempunyai pikiran yang melihat dirinya hidup di alam penderitaan. Dari sisi psikologis buddhis berharap agar di akhir hayat seseorang pikirannya harus tenang yang merupakan kunci ke kehidupan berikutnya yang juga diharapkan tenang.
Kesediaan vihara itu bertolak dari ajaran Kitab Suci Tripitaka Pali yaitu keharusan melayani bukan dilayani. Kesediaan itu pun tidak hanya terbatas bagi umat Buddha saja, tapi juga untuk semua umat. Keharusan melayani itu akan menjadi kenyataan dengan mewujudkan Desa Punna Kiriya (Sepuluh Macam Kebajikan) dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat.
Walaupun semua baru pada tahap tekad, tapi dengan melihat kenyataan yang ada, khususnya yang dialami Odha, kesediaan vihara ini tentu saja sangat positif. Kesiapan ini, sebenarnya dapat disebut sebagai upaya menyongsong malapetaka. Jadi, untuk mengantisipasinya diperlukan berbagai cara yang tepat. Mulai dari tata cara penyampaian informasi, penyuluhan dan kegiatan yang terkait dengan cara merawat Odha.
Harapan Vannyavaro itu sangat beralasan karena vihara di Thailand sudah terbukti dapat melakukannya. Dengan menerapkan ajaran Buddha para bhikkhu di Thailand bisa mengatasi pecandu narkotik. Kerja keras bhikkhu itu menghasilkan ‘Magsaysay Award’, sebuah penghargaan internasional.
Apalagi kalau diingat Odha dan narkotik sangat dekat dengan remaja, jajaran pembina umat Buddha pun diharapkan dapat dengan aktif memberikan penyuluhan kepada umat di vihara, sekolah dan tempat lain. Vannyavaro sendiri berharap upaya mereka itu dapat membantu masyarakat, terutama bagi yang memerlukannya. (Sumber: Newsletter “WartaAIDS”, Nomor 41, 5 April 1999). *
(59) Duka Derita PSK di ‘Sarkem’ Yogyakarta
“Kalian ini para PeeSKa (maksudnya pekerja seks komersial/PSK-pen.) mudah cari uang. Tinggal angkat rok.” Itulah yang sering dilontarkan orang kepada PSK. Kesan itu muncul dari gambaran yang selalu disiarkan televisi yang menunjukkan kemeriahan di tempat-tempat hiburan malam dan pelacuran.
Padahal, “Itu anggapan yang sangat menyakitkan,” kata Sri Suhartiningsih, yang dipanggil Herni, pendamping PSK di Jalan Pasar Kembang, dikenal sebagai ’Sarkem’, sebuah lokasi pelacuran di sebelah selatan stasiun kereta api Tugu, Yogyakarta. Herni, 42 tahun, memberikan gambaran riil tentang ‘penghasilan’ PSK.
Di ‘Sarkem’ tarif untuk ‘short time’ Rp 70.000. PSK harus mengeluarkan uang untuk sewa kamar Rp 10.000, calo Rp 10.000, minum, makan dan rokok Rp 15.000. Bagi yang kos di luar ‘Sarkem’ bayar ongkos beca Rp 10.000. Maka, kalau seorang PSK hanya kebagian satu ‘tamu’ satu malam, maka dia hanya mengantongi Rp 25.000.
Seperti yang dialami oleh Tia, nama samaran, 30-an tahun, malam itu (9/6-2011). Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 23.00, tapi Tia baru dapat satu ’tamu’ (laki-laki ’hidung belang’). Di hanya duduk sambil menyedot kopi susu panas. Sesekali dia melirik ke luar melalui kaca nako. Di gang berukuran 75 cm itu lalu-lalang laki-laki sambil melirik. Tapi, tidak ada yang mampir. Jarum jam mendekati angka 12 yang menunjukkan hampir tengah malam.
”Masuk, Mas….ayo…silakan,” kata Herni kepada seorang laki-laki setengah baya yang memakai jaket kulit. ”Ah, tadi ’kan sudah,” kata Tia sambil melirik laki-laki itu. Rupanya, laki-laki itu sudah ’ngamar’ (melakukan hubungan seksual) dengan Tia beberapa jam sebelumnya. Tia berdiri dan menarik tangan laki-laki itu masuk ke kamar. Malam itu Tia melayani dua laki-laki ’hidung belang’.
”Saya memilih tidak dapat uang daripada meladeni laki-laki yang tidak mau memakai kondom,” kata Tia, sambil menyibak rambutnya. Perempuan ibu dua anak yang berasal dari pesisir utara Jateng itu memilih tidak dapat uang daripada dapat penyakit.
Kondom yang diedarkan di ’Sarkem’ diperoleh pendamping gratis, tapi karena mereka butuh ongkos maka kondom pun ’dijual’ ke PSK Rp 500/strip yang berisi tiga buah kondom.
Berkali-kali dia harus bertengkar dengan laki-laki di kamar karena laki-laki tsb. ingkar janji. Sebelum ’ngamar’ laki-laki tsb. berjanji akan memakai kondom. Tapi, di dalam kamar laki-laki tsb. menolak memakai kondom.
Tia minta sewa kamar karena jika pintu sudah ditutup itu artinya kamar dipakai biar pun tidak terjadi transaksi seksual dan Tia harus membayar Rp 10.000. Sambil melemparkan uang laki-laki yang ditolak Tia biasanya mengomel atau mencaci. Sering juga terjadi keributan karena laki-laki memaksa PSK melayaninya tanpa kondom atau tidak mau membayar sewa kamar. ”Ya, kalau sudah ribut (di sana disebut ’gegeran’) kita serahkan ke pihak keamanan,” kata Herni.
”Ah, saya tidak merasa terpaksa memakai kondom,” kata laki-laki yang baru ’ngamar’ dengan Tia. Laki-laki yang bekerja sebagai pegawai itu mengaku selalu pakai kondom kalau ’ngamar’.
Tapi, ada persoalan yang dihadapi PSK terkait dengan menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom. Menurut Herni, PSK harus memilih antara menolak laki-laki yang tidak memakai kondom dengan kebutuhan untuk memperoleh uang. Jika terus-menerus menolak laki-laki yang tidak memakai kondom maka mereka tidak akan mendapat uang. Padahal, tiap hari mereka butuh uang untuk menyambung hidup.
Padahal, terkait dengan upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) dan HIV melalui hubungan seksual di lokasi pelacuran diperlukan ketegasan PSK untuk menolak laki-laki yang tidak memakai kondom. Tapi, karena posisi tawar PSK sangat lemah maka mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit.
Berbagai peraturan, seperti peraturan daerah (Perda) hanya membidik PSK sebagai ’sasaran tembak’ terkait dengan kewajiban memakai kondom. Bahkan, ada perda yang tidak tegas, seperti Perda AIDS DI Yogyakarta.
Memang, jika mereka meladeni laki-laki tanpa kondom ada risiko tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus. Tapi, bak kata mereka: ”Kalau tidak meladeni laki-laki mereka tidak bisa makan dan hanya bertahan beberapa hari, sedangkan kalau tertular HIV kematian baru terjadi belasan tahun kemudian.”
Untuk memberdayakan PSK, Herni memberikan jalan keluar yaitu pemerintah daerah membantu biaya sewa pondokan sehingga PSK tidak membayar sewa kalau ’ngamar’. Soalnya, sebagian PSK mondok di rumah-rumah yang dikategorikan sebagai penginapan itu dengan tarif rata-rata Rp 400.000/bulan.
Herni sendiri menyewa rumah dengan dua kamar yang disewakan untuk PSK Rp 2,5 juta/bulan. Padahal, kalau dihitung-hitung pendapatan Herni dari sewa kamar rata-rata Rp 1,8 juta/bulan. Itulah sebabnya Herni juga jualan minuman dan menyedikan karaoke untuk disewa.
Dulu di ’Sarkem’ ada klinik yang digagas PKBI Yogyakarta yaitu ’Griya Lentera’. ”O, yang urus cewek-cewek nakal itu,” kata seorang pemuda bertato di punggung ketika saya tanya tentang klinik tsb. ”Sudah tidak ada, Mas.” Setelah tanya sana tanya sini akhirnya saya dibawa ke Herni yang dikenal sebagai aktivis ’Bunga Seroja’ (semacam paguyuban) yang menyediakan kondom (mereka sebut outlet) dan pendampingan untuk PSK.
Karena tidak semua PSK bisa menolak laki-laki yang tidak memakai kondom, maka kasus IMS dan HIV pun terdeteksi pada PSK. Pada sebuah surveilans, misalnya, terdeteksi 7 kasus GO dan 105 jengger ayam. Pada surveilans berikutnya pernah pula ditemukan contoh darah PSK yang reaktif terhadap reagen tes HIV.
Kasus-kasus IMS dan HIV yang terdeteksi melalui surveilans itu pun menggegerkan aparat setempat, terutama dari kantor camat. Sekretaris kecamatan mengancam akan ’menggaruk’ PSK yang tidak mau mengikuti surveilans tes IMS dan HIV. Berkat pendekatan Herni rencana itu tidak dilakukan.
Ya, itulah yang selalu terjadi. Ada kesan PSK sebagai sumber IMS dan HIV. Padahal, IMS dan HIV yang terdeteksi pada PSK itu ditularkan oleh laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Yogyakarta atau pendatang. Dengan jumlah 400 PSK di ‘Sarkem’, maka setiap malam ada 800 – 1.200 laki-laki ‘hidung belang’ yang berisiko tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus.
Kenyataan itulah yang luput dari perhatian pemerintah daerah, terutama Pemkot Yogyakarta. Maka, tidak mengherankan kalau kasus HIV/AIDS di Yogyakarta terus bertambah seiring dengan penemuan kasus baru melalui tes HIV, terutama di klinik VCT. Sudah 75 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga di Kota Yogyakarta. Ini menunjukkan suami mereka melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain, al. dengan PSK, tanpa kondom.
Tiap bulan ada surveilans IMS dan HIV di ‘Sarkem’, tapi yang jadi persoalan besar adalah jika ada PSK yang terdeteksi IMS dan HIV tidak ada program yang konkret untuk meredam penularan IMS atau HIV dari laki-laki ‘hidung belang’ ke PSK atau sebaliknya.
Yang dilakukan hanyalah memberikan obat dalam program PPB (pengobatan presumtif berkala) setiap bulan. Satu kali minum ada empat kapsul. Celakanya, ada PSK yang menganggap obat itu sebagai ‘vaksin’ untuk IMS dan HIV. Hal ini akan mendorong penyebaran IMS dan HIV karena PSK merasa tidak berisiko (lagi) meladeni laki-laki tanpa kondom jika ‘ngamar’.
Banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tertipu karena PSK bisa pura-pura sudah orgasme. Tapi, “Ada juga yang tahu kalau saya bohong,” kata Tia tentang upayanya mengelabui laki-laki agar merasa puas. Rupanya, PSK akan menikmati hubungan seksual dengan pacar. Seperti Tia, mengaku mencapai kepuasan dengan pacarnya. Tapi, mereka justru tidak memakai kondom ketika sanggama dengan pacar. Padahal, tidak ada jaminan pacar mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain.
Karena (praktek) pelacuran tidak bisa dibasmi, maka Pemkot Yogyakarta jauh lebih baik meregulasi ‘Sarkem’ sebagai lokasi pelacuran agar program ‘wajib kondom 100 persen’ bisa diterapkan dengan sanksi teguran, denda, pencabutan izin usaha sampai pidana kurungan. Sanksi bukan kepada PSK, tapi kepada mucikari yang memegang izin usaha penginapan.
Maka, semua kegiatan pelacuran di luar ‘Sarkem’, seperti di rumah-rumah kontrakan, kos-kosan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang diberikan sanksi berat mulai dari denda, pencabutan izin usaha sampai kurungan badan.
Praktek pelacuran di luar ‘Sarkem’, seperti di losmen dan hotel, ibarat membuang jarum ke semak-semak. Tidak bisa dilihat dengan mata, tapi bisa dilihat dengan hati.
Program ’wajib kondom 100 persen’ tidak bisa diterapkan pada pelacuran di luar ’Sarkem’, sehingga transaksi seks akan menjadi mata rantai penyebaran IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus.
Jadi, jangan heran kalau penyebaran IMS dan HIV akan terus terjadi di Kota Yogyakarta karena praktek pelacuran terjadi di banyak tempat yang tidak bisa dikontrol. (Kompasiana, 11 Juni 2011). *
(60) Odha di Jawa Tengah Tidak Perlu Lapor Karena Data Mereka Sudah Ada di Yankes
Warga yang melakukan tes HIV di Klinik VCT di Yankes pemerintah sudah terdata dan mereka juga menerima pengobatan dengan obat antiretroviral (ART)
“Ganjar Pranowo Dorong Orang dengan HIV/AIDS Berani Lapor” Ini judul berita di republika.co.id (3/9-2022).
Astaga, ini kok kayak perkara kriminal saja.
Disebutkan dalam berita: Ganjar khawatir kasus terus naik, apabila banyak ODHA yang takut melapor petugas.
Yang bikin kasus terus naik bukan karena Odha yang tidak mau melapor ke petugas (petugas apa, ya?- pen.).
Secara empiris semua warga di Jawa Tengah (Jateng) khususnya dan Indonesia umumnya yang sudah terdeteksi HIV/AIDS tidak perlu lagi lapor karena data mereka sudah ada di unit-unit pelayanan kesehatan (Yankes) tempat mereka menjalani tes HIV secara sukarela.
Klinik-klinik VCT yang ada di Yankes, seperti Puskesmas dan rumah sakit umum daerah (RSUD) mencatat identitas warga yang jalani tes HIV.
Bagi yang hasil tes negatif akan dikonseling agar tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Sedangkan bagi yang hasil tes HIV-nya positif akan dikonseling terkait dengan menjaga kesehatan dan pengobatan dengan obat antiretroviral (ART).
Dulu Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) memberi syarat ART dengan patokan sejak terdeteksi HIV-positif.
Kalau kemudian ada yang putus obat, seharusnya Pemprov Jateng, dalam hal Dinkes Jateng, mencari tahu penyebabnya. Di beberapa daerah putus ART karena terkait dengan biaya yang harus dikeluarkan setiap untuk mengambil obat ARV ke Yankes tertentu.
Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 – Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Dalam berita disebutkan: Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mendorong orang dengan HIV/AIDS (ODHA) berani melapor untuk menekan penularan atau risiko kematian. Ganjar mengaku khawatir kasus tersebut bisa terus naik, apabila banyak ODHA yang enggan atau masih takut melapor petugas.
Terkait dengan penularan HIV/AIDS melalui Odha sebenarnya sebelum tes HIV mereka sudah berjanji akan menghentikan penyebaran HIV/AIDS mulai dari dirinya.
Yang jadi persoalan besar adalah insiden infeksi HIV baru (di hulu) melalui perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS yaitu:
(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks dengan waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),
(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,
(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,
(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.
Apakah ada langkah konkret Pemprov Jateng untuk menutup ‘pintu masuk’ HIV/AIDS di atas?
Kalau tidak ada, maka kasus HIV/AIDS akan terus bertambah di Jawa Tengah apalagi ada warga yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.
Mereka itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Maka, yang perlu dilakukan Pemprov Jateng adalah membuat regulasi, seperti peraturan daerah (Perda), untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS.
Ini juga ada dalam berita: Tingginya temuan kasus baru HIV di Jateng itu sebenarnya menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan kesehatan dan bahaya penyakit tersebut. Hal itu dibuktikan dengan makin banyak warga yang melakukan voluntary counselling test (VCT) atau tes HIV/AIDS sehingga banyak yang terdeteksi.
Apakah benar kasus HIV/AIDS yang terdeteksi karena orang per orang yang khusus datang ke klinik VCT untuk tes HIV?
Selama ini kasus-kasus baru terdeteksi pada orang yang dijangkau melalui berbagai komunitas, seperti waria dan gay.
Selain itu ada program PITC (Provider Initiated Testing and Counselling) di Yankes. Dokter yang menemukan pasien dengan gejala terkait HIV/AIDS dan dengan perilaku seksual berisiko dirujuk ke Klinik VCT.
Maka, Pemprov Jateng perlu meningkatkan penjangkauan, tapi terkait dengan ‘pintu masuk’ HIV/AIDS di atas mustahil dijangkau karena semua terjadi di ranah privat. Itu artinya kasus baru HIV/AIDS akan terus terjadi dan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat pun terus terjadi sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Kompasiana, 17 September 2022). *
Bagian VII – Cengkeraman Epidemi HIV/AIDS
(61) Omong Kosong Penularan HIV Baru di Indonesia Bisa Dihentikan pada Tahun 2030
Epidemi HIV/AIDS memasuki tahun ke-36 tapi insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang disebut-sebut bisa dihentikan 2030 tanpa program konkret
Menghadapi epidemi HIV/AIDS yang tak kunjung reda sejak diidentifikasi tahun 1981 muncullah pernyataan-pernyataan yang bombastis dan sensasional tanpa didukung fakta.
Tak kurang dari UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS – Badan PBB yang khusus menangani HIV/AIDS) yang sejak beberapa tahun terakhir berkoar-koar bahwa epidemi (baca: penyebaran atau penularan) HIV/AIDS akan dihentikan pada tahun 2030.
Hal itu dilakukan melalui program yang disebut tiga nol (Getting To 3 Zero), yaitu: tidak ada infeksi baru HIV, tidak ada kematian akibat AIDS, dan tidak ada stigma dan diskriminasi.
Celakanya, tidak ada cara yang masuk akal secara medis yang mereka tawarkan untuk menghentikan epidemi HIV/AIDS bukan hanya pada tahun 2030 tapi sampai kiamat pun epidemi akan terus terjadi jika tidak ada langkah konkret untuk menghentikan perilaku berisiko. Insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi karena penyangkalan dan mitos (anggapan yang salah) yang kadung tersebar luas.
Perilaku Seksual
Sampai akhir tahun 2018 kasus HIV/AIDS secara global dilaporkan oleh UNAIDS tercatat 37,9 juta warga dunia hidup dengan HIV/AIDS dengan 770.000 kematian. Sepanjang tahun 2018 terjadi 1,7 juta infeksi baru HIV. Sedangkan di tingkat nasional seperti dilaporkan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS adalah 466.859 yang terdiri atas 349.882 HIV dan 116.977 AIDS.
Sedangkan estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2016 adalah 630.000. Yang terdeteksi 466.859 atau 74,1%. Itu artinya ada 163.141 (25,9%) warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Setiap tahun ada 46.000 kasus infeksi HIV baru.
Sedangkan Odha (Orang dengan HIV/AIDS yang meminum obat antiretroviral (ARV) rutin disebut baru 17%. Setiap tahun terjadi 38.000 kematian terkait dengan HIV/AIDS (aidsdatahub.org). Kasus yang tidak terdeteksi sudah jadi masalah ditambah lagi dengan kasus infeksi HIV baru.
Yang tidak terdeteksi ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom di dalam atau di luar nikah.
Indonesia sendiri ada di peringkat ketiga di Asia setelah India dan Cina sebagai negara dengan percepatan kasus infeksi HIV baru terbanyak. Ada 10 provinsi dengan kasus kumulatif HIV/AIDS terbesar (Lihat tabel).
Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan paling banyak di Papua yaitu 22.554. Maka, ‘musuh’ besar warga Papua adalah HIV/AIDS. Celakanya, yang terjadi di sana justru penyangkalan terkait dengan perilaku seksual sebagian laki-laki dengan menyalahkan, maaf, pelacur (dari) Jawa.
Setiap tahun sejak tahun 1988 dunia menggelar Hari AIDS Sedunia (World AIDS Day) yang dirayakan setiap tanggal 1 Desember untuk menggerakkan kepedulian masyarakat dunia terhadap penanggulangan HIV/AIDS. Tahun ini temanya adalah “Communities make the difference” (Masyarakat bisa membuat perbedaan).
Ketika AIDS terdeteksi pada laki-laki gay di San Fransisco pada tahun 1981 ada anggapan AIDS hanya ‘menyerang’ laki-laki gay. Tapi, setelah HIV diidentifikasi sebagai penyebab AIDS tahun 1983 dan reagen untuk tes HIV diakui WHO tahun 1986 komunitas kesehatan global memahami bahwa HIV juga dapat menyebar di antara orang heteroseksual, melalui hubungan seksual, transfusi darah, dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya.
Persoalan besar yang dihadapi Indonesia adalah tidak ada langkah konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru di hulu. Insiden infeksi HIV di hulu terjadi karena perilaku-perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Perilaku-perilaku seksual laki-laki yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS;
(2). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS;
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:
(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum, dan
(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini ‘menyamar’ sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.
(4). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan Waria. Sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan Waria umumnya laki-laki beristri. Ketika seks dengan Waria mereka justru jadi ‘perempuan’ (dalam bahasa Waria ditempong atau di anal) dan Waria jadi ‘laki-laki’ (dalam bahasa Waria menempong atau menganal).
(5). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti.
Pertanyaannya adalah: Apakah ada langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mencegah perilaku berisiko nomor 1 sd. 5 di atas?
Tentu saja tidak ada. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat (horizontal) melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Mengawasi Perilaku Seksual Berisiko
Begitu juga dengan perempuan beberapa perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:
(a). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki tidak memakai kondom), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS;
(b). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki tidak memakai kondom), di dalam atau di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS;
(c). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki tidak memakai kondom) dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan, seperti gigolo, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap HIV/AIDS.
(d). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (Waria tidak memakai kondom) dengan Waria. Dalam prakteknya Waria ada yang heteroseksual sehingga menyalurkan dorongan seksual dengan perempuan.
Pertanyaannya adalah: Apakah ada langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mencegah perilaku berisiko nomor a sd. d di atas?
Tentu saja tidak ada. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat (horizontal) melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Yang harus diperhatikan adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang (laki-laki atau perempuan) yang mengidap HIV/AIDS karena tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Selain itu status HIV seseorang yang tidak pernah tes HIV bukan negatif tapi tidak diketahui.
Terkait dengan pernyataan UNAIDS dan berbagai kalangan di Indonesia yang sambil membusungkan dada mengatakan pada tahun 2030 tidak ada infeksi HIV baru sangat patut dipertanyakan. Tapi, tidak ada yang mereka lakukan secara konkret untuk mengatasi perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS pada laki-laki dan perempuan seperti yang disebutkan di atas.
Apakah bisa diawasi perilaku seksual orang per orang? Mustahil!
Langkah konkret untuk menurunkan, sekali lagi hanya menurunkan, insiden infeksi HIV baru hanya bisa dilakukan pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK yaitu dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki setiap kali melakukan hubungan seksual. Ini sudah berhasil menekan insiden infeksi HIV baru di Thailand dengan indikator jumlah calon taruna yang terdeteksi HIV terus turun. Cuma, hal ini hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir.
Dalam matriks di bawah ini terlihat jelas jika PSK tidak dilokalisir tidak bisa dijangkau sehingga program ‘wajib kondom 100 persen’ tidak bisa dijalankan.
Yang didengung-dengungkan di Indonesia sebagai cara menghentikan infeksi HIV baru adalah deteksi dini tes HIV dan pemberian obat antiretroviral. Ada lagi tes HIV pada ibu hamil dan tes HIV bagi calon pengantin.
Tes HIV dengan deteksi dini dan tes HIV pada ibu hamil adalah kegiatan di hilir karena yang tes HIV sudah tertular HIV. Yang diperlukan secara konkret adalah langkah di hulu yaitu mencegah agar tidak ada lagi yang melakukan perilaku berisiko sehingga insiden infeksi HIV baru bisa diturunkan dengan harapan bisa berhenti.
Sedangkan tes HIV bari calon pengantin tidak jaminan karena biarpun ketika hendak menikah status HIV pasangan tsb. negatif, tapi dalam perjalanan hidup pernikahan bisa saja salah satu melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Ini bisa terjadi karena tes HIV bukan vaksin.
Dengan kondisi seperti sekarang ketika langkah penanggulangan hanya sebatas orasi moral untuk konsumsi sensasional media hasilnya sudah pasti: Nol besar. Big nothing (Bahan-bahan dari UNAIDS, WHO, CDC dan sumber-sumber lain). (Tagar.id, 1 Desember 2019). *
(62) Pandemi Covid-19 Tenggelamkan Isu Epidemi HIV/AIDS Indonesia
Catatan: Naskah ini pertama kali dipublikasikan di Tagar.id tanggal 20 Maret 2021, naskah ini terdeteksi di-copy paste di situs lain tanpa menyebut sumber yang dikategorikan sebagai plagiat.
Sepanjang tahun 2020 yang juga merupakan tahun dengan pandemi Covid-19 terdeteksi 50.626 kasus HIV/AIDS baru.
Pandemi virus corona (Covid-19) benar-benar menenggelamkan berita seputar epidemi HIV/AIDS di Indonesia. Padahal, berdasarkan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 2 Februari 2021 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS per 31 Desember 2020 mencapai 549.291 yang terdiri atas 419.551 HIV dan 129.740 AIDS. Estimasi kematian 38.000.
Angka-angka tersebut merupakan akumulasi jumlah kasus mulai tahun 1987 sampai 31 Desember 2020.
Sepanjang tahun 2020 yang juga merupakan tahun dengan pandemi Covid-19 terdeteksi 50.626 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 41.987 HIV dan 8.639 AIDS. Sedangkan jumlah bayi usia di bawah 18 bulan yang terdeteksi HIV/AIDS sebanyak 67. Lima daerah yang melaporkan kasus AIDS terbanyak adalah Papua (1.629), Jawa Tengah (1.387), Jawa Barat (836), Bali (830), dan Jawa Timur (495).
Sedangkan estimasi kasus HIV/AIDS diperkirakan sebanyak 640.000. Itu artinya ada 90.709 kasus HIV/AIDS di masyarakat yang tidak terdeteksi. Jumlah yang tidak terdeteksi ini (90.709) jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
- Fenomena Gunung Es pada Epidemi HIV/AIDS
Persoalan epidemi HIV/AIDS kian runyam jika dibandigkan dengan pandemi Covid-19 yaitu tidak ada vaksin untuk HIV/AIDS, sedangkan Covid-19 sudah ada vaksin. Selain itu gejala HIV/AIDS bisa sampai 15 tahun tidak muncul sehingga orang-orang yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS. Sedangkan gejala dan kesakitan infeksi Covid-19 sudah muncul dalam beberapa hari setelah tertular.
Berdasarkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di peringkat ke-1 nasional adalah Jawa Timur dengan jumlah 85.615, disusul DKI Jakarta 81.257, Papua 63.499, Jawa Barat 53.779, dan Jawa Tengah 51.964.
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS per provinsi secara nasional dari tahun 1987 sampai 31 Desember 2020 (Foto: Tagar/Syaiful W Harahap)
Yang perlu diperhatikan adalah jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Maka, daerah-daerah dengan jumlah kasus yang kecil atau sedikit harus waspada karena jumlah yang kecil itu bisa saja karena penjangkauan yang rencah dan fasilitas tes HIV yang tidak banyak.
Fenomena gunung es pada epidemi HIV/AIDS (Foto: Tagar/Syaiful W Harahap)
Jumlah kasus HIV/AIDS yang terus melonjak di Jawa Timur jadi tanda tanya karena lokalisasi pelacuran Dolly dan puluhan lokasi pelacuran sudah ditutup. Hal yang sama juga terjadi di beberapa daerah. Kondisi ini realistis karena transaksi seks tidak bisa lagi diintervensi untuk meminta agar laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
- Program Penanggulangan HIV/AIDS Mengekor ke Thailand
Soalnya, lokasi dan lokalisasi pelacuran sekarang sudah pindah ke media sosial yang melibatkan PSK tidak langsung. Transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak terjangkau. PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dan lain-lain.
Ketika lokasi dan lokalisasi pelacuran ditutup di seluruh Indonesia, prostitusi online marak yang melibatkan berbagai kalangan mulai dari yang disebut-sebut artis, foto model, mahasiswi dan lain-lain. Karena transaksi seks pada prostitusi online tidak bisa dijangkau, maka kegiatan ini jadi salah satu pintu penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.
Estimasi infeksi baru HIV setiap tahun sebanyak 46.000 sehingga diperlukan langkah-langkah yang konkret untuk menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Persoalan besar yang dihadapi Indonesia dalam menanggulangi epidemi HIV/AIDS adalah mitos, penolakan terhadap kondom, penyangkalan, dan penutupan lokasi dan lokalisasi pelacuran. Mitos terkait HIV/AIDS sudah dipupuk sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia, yaitu menyebut AIDS penyakit bule, AIDS penyakit homoseksual, dan lain-lain.
Penolakan terhadap kondom, alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, terjadi karena sosialisasi HIV/AIDS yang tidak komprehensif. Materi komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) menonjolkan kondom di saat masyarakat belum sepenuhnya memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.
Ketika Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ di awal tahun 1990-an, Indonesia pun ‘mencangkok’ program tersebut. Celakanya, program ‘wajib kondom 100 persen’ di Thailand adalah langkah terakhir dari lima program skala nasional yang dijalankan simultan dengan dukungan media massa.
Itu artinya Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand. Langkah pertama Thailand adalah menyebarluaskan informasi HIV/AIDS dengan materi KIE yang komprehensif yang didukung oleh media massa. Kondisi ini membuat warga Thailand memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.
- Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia Bagaikan ‘Bom Waktu’
Sedangkan di Indonesia sebagian besar media massa justru menyebarkan informasi HIV/AIDS yang tidak akurat sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Berita HIV/AIDS pun banyak yang dibalut dengan norma dan moral sehingga menhilangkan fakta medis.
Misalnya, mengaitkan zina, selingkuh, seks pranikah, seks di luar nikah, pelacuran, dan homoseksual dengan penularan HIV/AIDS. Padahal, berdasarkan fakta medis penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, selingkuh, seks pranikah, seks di luar nikah, pelacuran, dan homoseksual) tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu ada keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).
Beberapa media online bulan November 2020 mengutip pernyataan Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, yang mengatakan bahwa minum minuman keras sebagai pintu masuk HIV/AIDS. Pernyataan ini menyesatkan karena tidak ada kaitan antara minum minuman keras atau minuman yang mengandung alkohol dengan infeksi atau penularan HIV/AIDS.
Untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS diperlukan langkah-langkah yang konkret, tapi sejauh ini tidak ada langkah konkret yang dijalankan pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, dan pemerintah di daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota.
Padahal, banyak daerah dan Kemenkes yang sesumbar tahun 2030 Indonesia bebas HIV/AIDS. Tanpa program yang konkret adalah hal yang mustahil Indonesia bebas HIV/AIDS tahun 2030.
Soalnya, penanggulangan epidemi HIV/AIDS di Indonesia hanya mengandalkan peraturan daerah (Perda) yang justru mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.
Sudah 143 Perda AIDS yang diterbitkan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia tapi hasilnya nol besar. Ini terjadi karena pasal-pasal di Perda-perda itu hanya normatif yang tidak menukik ke akar persoalan.
Tanpa langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK, maka penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terus terjadi sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan’ AIDS. (Tagar.id, 20 Maret 2021). *
(63) Pemerintah Sibuk Urus Covid-19 pada Mudik Lebaran dengan Mengabaikan HIV/AIDS
PSK yang bekerja pada pelacuran dan prostitusi online di berbagai daerah akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS ketika mereka mudik lebaran
Setelah dua kali Lebaran mudik dihadang, Lebaran tahun 2022 ini pemerintah membuka keran mudik secara besar-besaran dengan syarat sudah Vaksinasi Covid-19 dan menerapkan protokol kesehatan (Prokes). Celakanya, epidemi HIV/AIDS yang masih jadi persoalan besar justru diabaikan.
Sejak pandemi Covid-19 muncul, isu epidemi HIV/AIDS di Indonesia pun tenggelam, padahal penyebaran HIV/AIDS terjadi juga di masa pandemi Covid-19.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2 Februari 2021, menunjukkan para periode Januari — Desember 2020 yang merupakan tahun pertama pandemi Covid-19 ditemukan 41.987 kasus HIV/AIDS.
Sedangkan dari 1 Januari 2021 sampai tanggal 30 Juni 2021 menunjukkan terdeteksi 17.797 kasus HIV/AIDS.
Sementara itu jumlah kumulatif HIV/AIDS per 30 Juni 2021 mencapai 569.903 yang terdiri atas 436.948 HIV dan 132.955 AIDS.
Sejak reformasi tempat-tempat pelacuran yang dijadikan sebagai lokalisasi dan resosialisasi (Lokres) pelacuran yang dibina dinas sosial ditutup di seluruh wilayah Indonesia. Akibatnya, tidak ada lagi penjangkauan untuk melakukan penyuluhan dan advokasi, terkait dengan upaya mencegah penularan HIV/AIDS, terhadap pekerja seks dan laki-laki pelanggan pekerja seks serta germo.
Praktek pelacuran pun bertebaran di sembarang tempat dan sembarang waktu. Bahkan, belakangan ini sejak muncul media sosial praktek pelacuran marak sebagai prostitusi online. Kondisi ini kian membuat runyam penanggulangan HIV/AIDS karena pekerja seks yang praktek melalui prostitusi online tidak bisa dijangkau.
Celakanya, pandemi Covid-19 juga membuat surveilans tes HIV (tes HIV pada kalangan tertentu dan para kurun waktu yang tertentu untuk memperoleh prevalensi HIV-positif) tidak dijalankan oleh pemerintah, dalam hal ini Kemenkes dan Dinas-dinas kesehatan pemerintah daerah).
Pekerja seks komersial (PSK) sendiri dikenal 2 tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2). PSK tidak langsung adalah pekerja seks yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK pada prostitusi online, dll.
PSK langsung pun sudah lari ke prostitusi online karena mereka tidak lagi dilokalisir sehingga praktek PSK langsung pun masuk ke ranah prostitusi online.PSK yang bekerja melalui prostitusi online, baik sebagai PSK langsung maupun PSK tidak langsung, tentulah ikut mudik juga. Mereka umumnya praktek di kota-kota besar dan kota-kota dengan industri serta daerah tujuan wisata (DTW).
Di Indonesia dikenal ada beberapa daerah tujuan pelacuran yang khas, yaitu:
- Batam dan Kepulauan Riau serta Riau jadi daerah tujuan laki-laki dari Singapura dan Malaysia
- Pontianak dan Singkawang jadi daerah tujuan laki-laki dari China dan Taiwan
- Bali jadi daerah tujuan laki-laki dari mancanegara
- Cilegon (Banten) dan Cikarang (Jawa Barat) jadi daerah tujuan laki-laki dari Korea Selatan
- Kawasan Puncak (Jawa Barat) jadi daerah tujuan laki-laki dari Asia Depan dan Timur Tengah.
PSK yang bekerja melalui prostitusi online di daerah-daerah tidak terjangkau sehingga status HIV mereka tidak diketahui. Celakanya, tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada PSK yang bekerja melalui prostitusi online itu, sehingga status HIV mereka hanya bisa diketahui melalui tes HIV.
Namun, karena tidak ada mekanisme yang komprehensif untuk mendeteksi HIV pada PSK yang bekerja melalui prostitusi online, maka ada di antara mereka yang potensial sebagai “pembawa HIV/AIDS” ke kampung halamannya.
PSK yang bekerja melalui prostitusi online itu ada yang mempunyai suami atau pacar di kampung sehingga bisa terjadi penularan HIV/AIDS jika ada hubungan seksual tanpa kondom. PSK yang bekerja melalui prostitusi online yang positif HIV/AIDS yang tidak punya suami dan pacar pun bisa jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di kampungnya jika mereka menjalankan praktek pelacuran.
Dengan segala macam keterbatasan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS pada PSK yang bekerja melalui prostitusi online, maka langkah yang bisa dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan dinas-dinas kesehatan pemerintah daerah adalah menyebarluaskan informasi terkait dengan risiko penyebaran HIV/AIDS oleh PSK yang bekerja melalui prostitusi online.
Poin yang perlu dalam penyebaran informasi itu adalah anjuran dan ajakan bagi laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan istri atau perempuan yang bekerja sebagai PSK pada prostitusi online.
Tanpa langkah yang konkret penyebaran HIV/AIDS di Indonesia akan terus terjadi yang akan jadi “bom waktu” yang kelak jadi “ledakan AIDS” di Indonesia. (Kompasiana, 1 Mei 2022). *
(64) Prostitusi “Artis” (Bisa) Jadi Mata Rantai Penyebaran HIV/AIDS
Berita-berita seputar penangkapan artis VA menyebutkan digerebek polisi ketika sedang berduaan di kamar hotel di Surabaya. “Artis berinisial VA itu diketahui berumur 27. Saat ditangkap dia diketahui bersama pria yang bukan pasangan di dalam kamar hotel.” (bali.tribunnews.com, 5/1-2019).
Tapi, mengapa laki-laki yang bukan pasangan sah VA tidak ditangkap bersama VA?
Ini memang ironi penegakan hukum terkait moral yang selalu menyalahkan perempuan. Bahkan banyak orang yang juga menyalahkan korban kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual dan perkosaan.
Misalnya, dengan mengatakan ‘habis pakaiannya’ dll. Padahal, korban kejahatan seksual ada juga yang memakai pakaian yang menutup seluruh badannya kecuali wajah.
Seorang laki-laki dihukum atas kesalahan sebagai mucikari pelacuran online mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar laki-laki yang membeli seks juga dipidana.
Terkait dengan hal ini MK mengatakan: suatu perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana harus mendapat kesepakatan dari seluruh rakyat yang di Negara Indonesia diwakili oleh para DPR bersama dengan Presiden (news.detik.com, 6/1-2019).
Pejabat di UGM Yogyakarta, misalnya, (perempuan) justru menyalahkan mahasiswi yang diperkosa mahasiswa ketika KKN di Maluku (2017). Ini benar-benar tidak masuk akal karena secara moral si mahasiswa dong yang menjauhkan diri.
Terkait dengan prostitusi yang melibatkan ‘artis’ biarpun dengan tarif selangit, seperti yang diungkapkan polisi dari Polda Jatim, yaitu Rp 80 juta untuk sekali kencan (kompas.com, 5/1-2019) tetap ada pasaran karena berbagai faktor.
Misalnya, ada kaitannya dengan snobisme (KBBI: orang yang senang meniru gaya hidup atau selera orang lain yang dianggap lebih daripadanya tanpa perasaan malu).
Dalam beberapa kesempatan wawancara dengan (alm) Sartono Mukadis, dulu psikolog di UI, terungkap bahwa perilaku sebagian orang yang secara sosial dinilai berlebihan, seperti membayar ‘artis’ untuk zina, merupakan salah satu bentuk snobisme.
Snobisme bentuk lain, menurut Sartono, adalah laki-laki akan tertarik jika kepadanya ditawarkan cewek yang disebut sebagai anak, keponakan, atau janda dari kalangan tertentu. Ada yang beralasan sebagai pelampiasan atau balas dendam, misalnya, karena pernah berurusan dengan keluarga cewek yang ditawarkan.
Ada pula yang memakai fantasi seks. Ini biasanya dengan public figure, seperti artis. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian terjadi penipuan yang melibatkan cewek-cewek yang didandani seperti artis tertentu.
Ini terjadi beberapa tahun yang lalu. yaitu kasus ‘prostitusi artis’ yang ternyata hanya cewek-cewek yang didandani mirip artis tertentu. Dengan dandanan itu ‘cewek artis’ dibayar mahal.
Melihat angka rupiah yang sangat besar untuk tarif sekali kencan yaitu dari Rp 25 juta — Rp 80 juta sudah saatnya Undang-undang (UU) Pembuktian Terbalik segera dibuat agar setiap orang bisa mempertanggungjawabkan asal-usul harta kekayaan yang dimilikinya di depan hukum.
Selain itu UU itu pun meningkatkan penerimaan negara berupa pajak penghasilan (PPh) karena setiap orang wajib melaporkan penghasilan sesuai dengan harta yang dimiliki.
Dengan tarif Rp 80 dengan frekuensi 10 kali saja perbulan penghasilan seorang ‘artis’ melalui pelacuran hampir Rp 1 miliar. Jumlah ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan honor dari bermain di sinetron dan film.
Dari aspek epidemi HIV/AIDS pelacuran ‘artis’ juga bisa jadi penyebar HIV/AIDS karena mereka termasuk pekerja seks komersial (PSK) karena dalam prakteknya mereka melayani laki-laki yang berganti-ganti melakukan hubungan seksual.
Mereka dikenal sebagai PSK tidak langsung yang tetap sebagai perempuan dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV/AIDS.
PSK dikenal dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Mereka melakukan seks dengan laki-laki yang berganti-ganti. Risiko tertular HIV/AIDS bisa terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang membeli seks kepada ‘artis’ pelaku prostitusi mengidap HIV/AIDS.
Terkait dengan penangkapan ‘artis’ dan PSK kelas atas terjadi diskriminasi (perlakuan berbeda) dengan PSK jalanan. Ketika razia ‘pekat’ (penyakit masyarakat) yang dilakukan oleh polisi atau Satpol PP atau gabungan semua PSK yang tertangkap langsung menjalan tes HIV dan tes IMS [infeksi menular seksual yang lebih dikenal sebagai ‘penyakit kelamin’, yaitu, al.: kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kanker serviks, dll.].
Tapi, ketika polisi menangkap pelacur-pelacur kelas atas di hotel berbintang tidak pernah dilakukan tes HIV dan tes IMS terhadap ‘artis’ prostitusi dan cewek pelacur online. Celakanya, Dinas Kesehatan setempat juga bungkam dan mendukung diskriminasi yang merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Dengan tidak melakukan tes HIV dan tes IMS terhadap ‘artis’ prostitusi dan pelacur online, maka polisi membiarkan epidemi HIV/AIDS dan IMS merasuk ke populasi melalui laki-laki yang membeli seks kepada ‘artis’ prostitusi dan cewek pelacur online.
Di awal tahun 2000-an sebagai pengasuh rubrik “Konsultasi HIV/AIDS” di salah satu koran di Indonesia tengah saya menerima surat dari seorang pejabat tinggi di tingkat kabupaten. Pejabat itu mengatakan dia yakin tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena tidak melakukan hubungan seks dengan PSK di lokalisasi pelacuran.
“Bang, kalau dinas ke Jakarta atau Surabaya saya kencan dengan cewek cantik yang bukan PSK.” Inilah alasan pejabat tadi yang membuat dia tidak khawatir kena AIDS. Belakangan saya dengar pejabat itu bolak-balik berobat ke rumah sakit. Padahal, waktu itu saya anjurkan tes HIV.
Kalau saja pejabat itu tes HIV tentulah dia akan tetap hidup seperti biasa karena ada obat antiretroviral (ARV) yang menjaga imunitas tubuh dengan kondisi replikasi HIV ditekan sampai tidak terdeteksi dengan tes HIV.
Maka, adalah langkah yang arif dan bijaksana jika laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan ‘artis’ segera menjalani tes HIV untuk menyelamatkan istri dan anak-anak yang akan dikandung istrinya. Silakan kontak kami jika ada kesulitan untuk mendapatkan konseling dan tempat tes HIV yang konfidensial. (Kompasiana, 6 Januari 2019). *
(65) Tes HIV Sebelum Menikah Dikesankan Sebagai “Vaksin AIDS”, Kesalahan Terbesar dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Berapa orang, sih, laki-laki yang menikah setiap hari di Indonesia? Coba bandingkan dengan jumlah laki-laki beristri (baca: suami) yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS setiap hari.
Tentu saja jumlah suami yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS jauh lebih banyak daripada laki-laki yang menikah. Menteri Kesehatan, dr Nafsiah Mboi, menegaskan bahwa pihaknya mencatat hingga akhir 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK), sehingga pria menjadi kelompok paling berisiko tinggi untuk menyebarkan HIV/AIDS (antarabali.com, 9/4-2013). Dari jumlah ini 4,9 juta di antaranya adalah laki-laki beristri.
Suami-suami itu adalah:
(1) Suami yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dala dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti, seperti perselingkuhan, kumpul kebo, kawin-cerai, kawin kontrak, dll.
(2) Suami yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata yaitu yang mangkal di lokasi pelacuran dan mejeng di jalanan).
(3) Suami yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) tidak langsung (PSK yang yang tidak kasat mata yaitu perempuan yang mangkal di kafe, pub, diskotek, panti pijat plus-plus, ABG, ayam kampus, cewek gratifikasi seks, dll.).
(4) Suami yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan Waria. Sebuah penelitian di Kota Surabaya, Jawa Timur, menunjukkan ketika seorang suami melakukan hubungan seksual dengan Waria suami tadi yang jadi ‘perempuan’, dalam bahasa mereka ‘ditempong’, sehingga risiko tertular HIV/AIDS sangat tinggi karena menerima seks anal.
(5) Suami yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki, disebut LSL (lelaki suka seks lelaki). Dalam berbagai penjangkauan di banyak daerah LSL sudah banyak yang teridentifikasi.
Bayi Tabung
Lima perilaku di atas menggambarkan jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV. Tes HIV terhadap calon pengantin pun tidak akan bisa menyentuh ‘nikah siri’ dan kawin-kontrak.
Terkait dengan tes HIV terhadap calon pengantin perlu juga jalan keluar kalau salah satu atau kedua-duanya ternyata mengidap HIV/AIDS. Apakah pernikahan dibatalkan?
Tidak ada peraturan yang melarang pernikahan pengidap HIV/AIDS. Penyakit ini adalah penyakit menular yang bisa dicegah. Kalau rencana pernikahan dibatalkan karena HIV/AIDS penyakit menular, maka semua pasangan yang mengidap penyakit menular otomatis gugur pula pernikahannya.
Bahkan, kalau laki-laki yang mengidap HIV/AIDS pasangan itu bisa punya anak yang tidak tertular HIV melalui proses bayi tabung karena di sperma tidak ada HIV. Maka, sperma suami bisa membuahi indung telur istrinya melalui proses bayi tabung.
Yang luput dari perhatian adalah penyakit-penyakit noninfeksi yaitu penyakit genetika yang diturunkan, seperti thalasemia dan diabetes. Tapi, karena penyakit ini tidak pernah dikait-kaitkan dengan moral maka tidak ada persoalan pada pernikahan pasangan yang mengidap penyakit genetika.
Di Aceh, misalnya, disebutkan oleh Ketua Pengurus Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassemia (POPTI), Aceh Heru Noviat, untuk pembawa sifat (carrier) thalasemia tertinggi di dunia ada di Aceh (kompas.com, 7/5-2015). Nah, dikabarkan di Aceh ada 250 anak penderita thalasemia (thalasemia adalah kelainan darah yang merupakan penyakit genetika atau diturunkan dari orang tua, penderita thalasemia tidak bisa memproduksi hemoglobin yang cukup sehingga jumlah hemoglobin di dalam tubuh sedikit). Mereka ini sepanjang hidupnya tergantung pada transfusi darah.
Tes HIV bukan Vaksin
Penyakit lain yang juga menular persis serupa dengan HIV/AIDS adalah virus hepatitis B, tapi lagi-lagi tidak pernah disampaikan secara terbuka. Orang dengan bangga mengatakan mengidap virus hepatitis B, padahal kalau orang tsb. tidak pernah transfusi darah yang tidak diskrining, tidak pernah memakai jarum suntik bergantian, maka kemungkinan tertular melalui hubungan seksual.
Kalau seorang suami terdeteksi mengidap virus hepatitis B sedangkan istrinya tidak mengidap virus hepatitis B, maka si suami tertular dari perempuan lain jika tidak pernah transfusi darah yang tidak diskrining dan tidak pernah pakai jarum suntik bergantian.
Yang menjadi persoalan besar adalah: Apakah tes HIV sebelum menikah bisa jaminan bahwa pasangan itu, khususnya suami, tidak akan pernah lagi tertular HIV sepanjang hidupnya?
Tentu saja tidak ada karena setelah menikah bisa saja si suami melakukan salah satu atau beberapa dari lima perilaku di aas.
Persoalan besar akan muncul jika kelak seorang istri terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Suami akan bertahan dengan surat keterangan “Bebas AIDS” yang diperoleh ketika tes HIV sebelum menikah. Bisa jadi si suami akan menuduh istrinya yang selingkuh.
Tes HIV sebelum menikah juga merupakan langkah penanggulangan di hilir karena ada pembiaran sehingga calon mempelai itu tertular HIV (di hulu).
Yang bisa dijalankan di hulu adalah intervensi berupa program ‘wajib kondom’ bagi laki-laki yang melacur untuk menurunkan, sekali lagi hanya untuk menurunkan, jumlah insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa pada perilkau nomor 2 di atas.
Celakanya, program itu hanya bisa dilakukan kalau pelacuran dilokalisir. Kebijakan di Indonesia sekarang adalah menutup semua lokasi pelacuran. Maka, langkah penanggulangan yang konkret tidak bisa lagi dijalankan.
Maka, insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa, sebagian besar suami, terus-menerus terjadi. Buktinya adalah jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS juga terus terdeteksi. Sampai bulan September 2014 sudah ada 6.539 ibu rumah tangga di Indonesia yang mengidap HIV/AIDS (lifestyle.okezone.com/9/1-2015).
Untuk itulah kebijakan yang menerapkan tes HIV sebelum menikah memikirkan langkah konkret agar tidak terjadi kondisi ini: “Bebas AIDS” ketika di pelaminan, tapi bisa terjadi “Pengidap AIDS” dalam ikatan perkawinan. Ironis. (Kompasiana, 3 Januari 2016).*
(66) Hasil Negatif Tes HIV Pranikah Bukan Vaksin AIDS
Akhir-akhir ini kian banyak pemerintah daerah yang memuat pasal mewajibkan calon pasangan mempelai untuk menjalani konseling dan tes HIV melalui peraturan daerah (Perda) penanggulangan IMS dan HIV-AIDS.
Upaya ini konon untuk menekan penularan HIV-AIDS yang masih terjadi hingga sekarang.
Seperti diketahui, laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, menyebutkan jumlah kumulatif kasus HIV-AIDS dari 1987 hingga Maret 2021 sebanyak 558.618 yang terdiri atas 427.201 HIV dan 131.417 AIDS.
Dari 427.201 kasus HIV-positif, faktor risiko atau penularan di kelompok heteroseksual sebesar 30,0 persen. Sedangkan dari 131.417 kasus AIDS, faktor risiko atau penularan di kelompok heteroseksual sebanyak 70,1 persen.
Tapi, apakah penularan pada kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan dengan faktor risiko heteroseksual seperti di atas lebih disebabkan laki-laki mengidap HIV sebelum menikah?
Tentu saja tidak!
Lagi pula dalam konteks heteroseksual ada juga biseksual, tapi ini tidak terdeteksi karena hanya bisa diketahui berdasakan pengakuan. Tentu saja tidak semua laki-laki atau perempuan biseksual mau secara terbuka mengakui kalau mereka biseksual.
Celakanya, asumsi yang dibangun oleh pemerintah daerah adalah mencegah agar suami tidak menularkan HIV ke istrinya kelak setelah menikah.
Persoalan yang sangat mendasar adalah, risiko suami tertular HIV juga bisa terjadi dalam perjalanan kehidupan mereka selama ikatan pernikahan.
Konseling yang dilanjutkan dengan tes HIV sebelum menikah dengan hasil HIV-negatif tidak jadi jaminan selamanya akan HIV-negatif karena hasil tes HIV bukan vaksin. Dalam perjalanan kehidupan selama pernikahan, bisa saja suami melakukan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV.
Yang perlu kita semua ketahui adalah perilaku seksual berisiko tertular dan menularkan HIV tidak selamanya dalam bentuk zina atau hubungan seksual di luar nikah. Bagaimanapun, risiko penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi juga di dalam pernikahan, jika salah satu dari pasangan suami-istri mengidap HIV.
Maka ketika seorang suami melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti sebelum atau dalam kehidupan pernikahannya, ia berisiko tinggi tertular HIV. Sang suami potensial menularkan HIV ke istrinya saat berhubungan seks tanpa kondom. Begitu pula sebaliknya.
Di Sumatera Utara seorang guru agama bingung tujuh keliling karena anaknya lahir dengan HIV. Padahal, guru agama itu tidak pernah melakukan hubungan seks di luar nikah dengan perempuan lain.
Usut punya usut, ternyata anak yang lahir dengan HIV itu dari istri kedua. Pada saat yang hampir bersamaan istri pertamanya melahirkan anak kedua juga dengan HIV. Anak pertamanya lahir dengan HIV-negatif sebelum dia menikah dengan istri kedua.
Itu artinya guru agama tadi tertular HIV dari istri kedua, kemudian dia menularkannya ke istri pertama. Bisa jadi mantan suami dari istri keduanya HIV-positif.
Bila dalam hasil tes HIV pranikah salah seorang calon pengantin positif, maka hal itu bisa jadi bumerang. Karena boleh jadi yang hasil tesnya negatif menuduh calon pengantinnya pernah selingkuh dan pernikahan pun batal. Padahal belum tentu calon pengantin yang HIV-positif tertular dari hubungan seks.Hal ini tidak dipikirkan oleh pemerintah daerah yang membuat peraturan dengan mewajibkan calon mempelai tes HIV.
Di beberapa puskesmas, tenaga kesehatan memilih tidak memberi tahu seorang suami bahwa istrinya mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah, raja singa, vius kanker serviks, dll.). Soalnya, sudah kerap terjadi suami marah bahkan memukul istri dengan menuding istrinya selingkuh.
Dalam kondisi ini tentulah istri terus jadi korban karena IMS pada suami tidak diobati sehingga penularan akan terus terjadi terhadap si istri.
Pemerintah daerah yang membuat Perda AIDS dengan mewajibkan calon pengantin tes HIV justru mengabaikan faktor risiko atau transmisi HIV yang sangat potensial, yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seks berisiko tinggi tertular HIV, terutama dengan pekerja seks.
Dari tabel di atas, bisa dibandingkan berapa jumlah laki-laki yang menikah dalam 24 jam dengan laki-laki yang melakukan perilaku berisiko juga dalam waktu 24 jam.
Secara kasat mata sudah bisa dihitung bahwa jumlah laki-laki yang melakukan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV jauh lebih banyak daripada jumlah laki-laki yang menikah dalam rentang waktu 24 jam.
Bahkan, bisa jadi laki-laki yang melakukan perilaku seksual berisiko ada juga yang pernah menjalani tes HIV pranikah dan hasilnya negatif. Ironis! (Rumah Cemara, 30 Agustus 2021). *
(67) Lokalisasi Pelacuran dari Jalanan ke Media Sosial
Sejak reformasi gerakan massal tutup lokalisasi pelacuran, tapi Internet melalui media sosial jadi ranah baru pelacuran melalui prostitusi online
Ketika reformasi bergulir tahun 1998 gerakan massal menutup Lokres (lokalisasi dan resosialisasi), lebih dikenal sebagai lokalisasi pelacuran yang menampung pekerja seks komersial (PSK) terjadi di seluruh Nusantara.
Di era Orde Baru Lokres dijadikan sebagai tempat pembinaan PSK yang ditangani Depsos dengan kondisi mereka tetap ‘bekerja’ sebagai PSK.
Satu persatu tempat pelacuran, ada yang berfungsi sebagai lokres ada pula yang hanya lokalisasi, ditutup. Ada anggapan dengan menutup tempat-tempat pelacuran akan menghentikan praktek pelacuran. Penguasa daerah pun sambil menepuk dada mengatakan: Di daerah kami tidak ada lagi pelacuran!
Apa yang terjadi kemudian?
Perzinaan dalam bentuk pelacuran terus terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang tetap melibatkan PSK. Dalam prakteknya PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:
(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan
(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek prostitusi online, dll.
Bahkan, belakangan yang marak terjadi adalah pelacuran online atau prostitusi online yang memanfaatkan media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter, dll. Kini para germo tidak lagi duduk di pintu kamar rumah bordil karena sekarang mereka memakai telepon pintar memasarkan cewek-cewek yang jadi anak asuhnya.
Itu artinya pelacuran pindah dari lokalisasi atau jalanan ke Internet, dalam hal ini media sosial. Hanya dalam hitungan klik, germo atau mucikari sudah mendapatkan calon pembeli seks yaitu laki-laki ‘hidung belang’. Tinggal negosiasi harga, mengatur cara pembayaran dan tempat transaksi seks.
Jejaring sosial jadi media untuk memasarkan gadis-gadis di bawah umur atau cewek-cewek bahkan ada mahasiswi.
Pekerjaan tertua dalam peradaban manusia itu sekarang telah jadi bagian dari dunia digital. Keunggulan Internet dan ledakan media sosial jadi media untuk memasarkan prostitusi dengan Internet untuk mencari pemakai atau pelanggan.
Judul-judul berita ini menunjukkan geliat prostitusi online yang kian marak:
- Polisi Bongkar Prostitusi Online di Gresik, Tawarkan Tiga Janda Muda, Dikendalikan Suami Istri (tribunnews.com 19 November 2019)
- Polisi Bongkar Bisnis Prostitusi Online Pelajar di Tasikmalaya (kompas.com, 31 Oktober 2019)
- 5 Fakta Prostitusi Online di Aceh, Libatkan Mahasiswi, Pelanggannya Mahasiswa Hingga Pejabat (bangka.tribunnews.com, 27 Maret 2018)
- Artis VA Ditangkap terkait Prostitusi Online (kompas.com, 5 Januari 2019).
- Prostitusi Online Penyedia Jasa Threesome Kembali Dibongkar Polisi (jatim.suara.com, 15 Agustus 2019).
Itu sebagian dari fakta terkait dengan prostitusi online di Indonesia. Industri seks melonjak dengan dukungan Internet. Yang terjadi kemudian adalah eksploitasi seksual yang terjadi di semua negara di seluruh dunia.
Penelitian menunjukkan 80% transaksi seks sekarang terjadi melalui Internet yang memakai aplikasi media sosial sehingga pelacuran pun jadi bagian dari kegiatan online.
Penelitian di Amerika Serikat (AS) menunjukkan penghasilan mucikari di Chicago dan Atlanta setiap tahun dilaporkan rata-rata 75.000 dolar AS atau setara dengan Rp 1.058.077.500.
Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS prostitusi online yang melibatkan PSK tidak langsung jadi pemicu penyebaran HIV/AIDS karena banyak laki-laki termakan mitos (anggapan yang salah).
Sejak epidemi HIV/AIDS diakui pemerintah ada di Indonesia pada tahun 1987 materi sosialisasi al. disebutkan bahwa HIV/AIDS hanya menular melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran.
Akibatnya, laki-laki yang seks dengan cewek melalui prostitusi online dan eksekusi seks di hotel menganggap tidak ada risiko penularan HIV/AIDS. Padahal, dalam prakteknya cewek prostitusi online biar pun disebut model atau artis sama saja dengan PSK langsung karena mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti. Ini perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS karena bisa saja di antara laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga cewek prostitusi online berisiko tertular HIV/AIDS.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019 menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sd. 30 Juni 2019 mencapai 466.859 yang terdiri atas 349.882 HIV dan 116.977 AIDS.
Jika pemerintah daerah menganggap daerahnya bebas pelacuran hanya karena tidak ada lokalisasi pelacuran, maka itu akan jadi bumerang karena prostitusi online marak. Maka, penyebaran HIV/AIDS di Indonesia akan terus terjadi melalui prostitusi online yang kelak jadi ‘ledakan AIDS’ bisa jadi nantinya sebagai ‘Afrika Kedua’ (Bahan-bahan dari: forensicmag.com, businesslive.co.za, dan sumber-sumber lain). (Tagar.id, 20 Agustus 2022). *
(68) Prostitusi Online dan Artis Penyebar HIV/AIDS di Indonesia
Hari AIDS Sedunia diperingati tiap 1 Desember sebagai pengingat bagi warga dunia untuk menanggulangi HIV/AIDS dan dukungan bagi Odha
Pandemi virus corona menenggelamkan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, padahal laporan terakhir Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P), Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020 menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 September 2020 sebanyak 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS.
Laporan UNAIDS, Badan PBB khusus AIDS, menunjukkan sampai akhir tahun 2019 jumlah kasus HIV/AIDS global mencapai 38 juta dengan 1,7 juta infeksi baru dan 690.000 kematian terkait HIV/AIDS.
Peringkat provinsi berdasarkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai 30 September 2020 (Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI)
Sedangkan estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia 640.000 (aidsdatahub.org). Itu artinya ada 102.270 warga yang mengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik warga yang mengidap HIV/AIDS.
Jika dibandingkan dengan Filipina yang industri seksnya tinggi, jumlah kasus di Indonesia jauh lebih banyak. Data di aidsdatahub.org menunjukkan Filipina melaporkan 97.000 kasus dengan 16.000 infeksi baru per tahun. Thailand pun dengan pariwisata didukung industry seks jumlah kasus 470.000 dengan 5.400 infeksi baru per tahun. Bandingkan dengan Indonesia dengan kasus 640.000 dan 46.000 kasus infeksi baru per tahun.
Mengapa Filipina dan Thailand bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru?
Ketika mengikuti Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik IV (ICAAP IV) tahun 1997 di Manila, Filipina, penulis berkunjung ke sebuah pusat hiburan malam yang menyediakan layanan seks.
“Sir, jangan lupa kondom, ya.” Ini diingatkan oleh Satpam di pintu depan sambil meminta kamera ditinggalkan (waktu itu belum ada ponsel dengan kamera). Bagi yang berpikiran negatif tentulah yang dia bayangkan HIV/AIDS berkecamuk di Manila, tapi bagi yang berpikiran positif Satpam itu mengingatkan: Jangan bawa HIV/AIDS ke sini, serta Hati-hati tertular HIV/AIDS!
- Perilaku Berisiko Tertular HIV/AIDS
Bayangkan, tahun 1997 Filipina sudah menggencarkan pemakaian kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Thailand menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di tempat-tempat pelacuran dan rumah bordil.
Sedangkan di Indonesia sampai hari in perdebatan, pro dan kontra, soal kondom belum juga selesai. Di beberapa daerah kalau ada ceramah atau diskusi soal HIV/AIDS diwanti-wanti agar tidak menyebut kata kondom. Padahal, pada saat yang sama terjadi insiden penularan HIV baru, terutama melalui hubungan seksual berisiko yang juga jadi pintu masuk HIV/AIDS di Indonesia, yaitu:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS,
(2). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS,
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.
(4). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan Waria. Sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan Waria umumnya laki-laki beristri. Ketika seks dengan Waria mereka justru jadi ‘perempuan’ (dalam bahasa Waria ditempong atau di anal) dan Waria jadi ‘laki-laki’ (dalam bahasa Waria menempong atau menganal).
(5). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti.
Satpol PP memaksa pelacur jalanan dan pasangan di penginapan, losmen dan hotel melati yang tertangkap jalani tes HIV. Tapi, polisi yang menangkap ‘artis’ dan pelaku prostitusi online tidak melakukan tes HIV. Razia yang dilakukan Satpol PP dan polisi pun hanya menyasar pelacur jalanan, penginapan, losmen dan hotel melati. Apakah di hotel berbintang dan apartemen mewah tidak ada transaksi seks sebagai bentuk pelacuran? Soalnya, Satpol PP dan polisi tidak pernah merazia hotel berbintang dan apartemen mewah terkait dengan penyakit masyarakat (Pekat), dalam hal ini zina, yang diatur di dalam peraturan daerah (Perda).
- PSK Tidak Langsung
Ketika mengasuh rubrik Konsultasi HIV/AIDS di salah satu surat kabar di Sulawesi Selatan saya menerima surat dari seorang pejabat di Sulawesi yang mengatakan dia tidak mungkin tertular HIV/AIDS karena tidak pernah melakukan hubungan seksual dengan PSK. “Bang, saya kalau dinas ke Surabaya atau Jakarta seks dengan cewek cantik di hotel berbintang.” Ini alasan pejabat tadi sehingga dia berani mengatakan tidak berisiko tertular HIV/AIDS.
Tapi, tunggu dulu. Cewek yang dia maksud itu adalah PSK tidak langsung. Dalam prakteknya sama saja dengan PSK jalanan (PSK langsung) yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti.
PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.
PSK tidak langsung berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena bisa saja salah satu laki-laki yang melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.Waktu itu saya anjurkan dia untuk jalani tes HIV, tapi dia menolak dan tetap teguh mengatakan tidak berisiko tertular HIV/AIDS. Belakangan dapat kabar orang itu bolak-balik ke ibu kota provinsi berobat dan hasil tes HIV positif.
- Program Penanggulangan HIV/AIDS Mengekor Thailand
Lokres (lokalisasi dan resosialisasi) pelacuran sejak reformasi sudah ditutup sehingga tidak bisa lagi dilakukan intervensi kepada laki-laki agar memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Sekarang lokres justru sudah pindah ke media sosial dengan berbagai modus.
Prostitusi artis dan online sudah menjamur mulai dari Aceh sampai Papua. Ini melibatkan PSK tidak langsung. Jelas tidak bisa diintervensi karena transaksi seksual terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Padahal, Thailand sudah membuktikan intervensi program ‘wajib kondom 100 persen’ menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa. Indikatornya adalah jumlah calon taruna militer yang terdeteksi HIV/AIDS terus berkurang dan kasus baru di Thailand pun berkurang.
Program yang dijalankan Thailand ini merupakan langkah penanggulangan di hulu, sedangkan di Indonesia penanggulangan dilakukan di hilir, seperti tes HIV pada ibu hamil. Maka, insiden infeksi HIV di hulu akan terus-menerus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Tes HIV adalah program di hilir sehingga insiden infeksi HIV terus terjadi di hulu karena tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV dihulu (Tagar/Syaiful W Harahap)
Program ‘wajib kondom 100 persen’ memang ‘dicangkok’ di Indonesia, tapi setengah hati karena tidak utuh. Lagi pula program ini adalah ekor program di Thailand yang jadi kepala program di Indonesia. Itu artinya program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mengekor ke ekor program Thailand.
Kondom merupakan aspek terakhir dari lima program penanggulangan HIV/AIDS dengan skala nasional di Thailand. Sedangkan di Indonesia kondom ditolak banyak kalangan. Selain itu program ‘wajib kondom 100 persen’ hanya bisa dijalankan jika praktek pelacuran dilokalisir.
Karena saat ini prostitusi artis dan online jadi penyebar HIV/AIDS di Indonesia, maka artis dan cewek yang tertangkap harus jalani tes HIV, termasuk laki-laki yang tertangkap bersama artis dan cewek prostitusi online. Memang, dalam tes HIV bisa hasilnya negatif palsu (tes nonreaktif tapi HIV sudah ada di darah) atau positif palsu (tes reaktif tapi tidak ada HIV di darah) jika tes dilakukan di bawah tiga bulan tertular HIV/AIDS.
Untuk itu mereka diharuskan tes HIV tiga bulan ke depan dengan catatan tidak melakukan hubungan seksual berisiko pada rentang waktu tiga bulan sampai tes HIV. Dan, perlu juga ditekankan bahwa tes HIV bukan vaksin. Biar pun hasilnya negatif itu tidak jaminan akan ‘bebas HIV/AIDS’ selamanya karena setelah tes HIV bisa saja mereka yang HIV-negatif melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.
Karena prostitusi online dan artis tidak bisa diintervensi, maka dianjurkan agar pelaku dan pelanggan untuk melakukan tes HIV di Klinik VCT yang ditunjuk pemerintah agar tidak jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. (Tagar.id, 1 Desember 2020). *
(69) Ajal Mengakhiri Persahabatanku dengan Tiga Odha
”Inilah. Semua gara-gara teman Abang.” Itulah salah satu ucapan Nuraini, seorang Odha (Orang dengan HIV/AIDS) di Makassar, Sulsel, yang selalu terngiang di telinga saya. Hal itu tentang perlakuan masyarakat terhadap dirinya akibat pemberitaan di media massa, surat kabar dan TV (ketika itu belum ada media sosial).
Semasa hidupnya Nuraini, meninggal tahun 2009, berulang kali pindah kontrakan dengan suaminya karena diusir tetangga.
Lho, mengapa?
Rupanya, foto pernikahan mereka dimuat di halaman depan di beberapa media cetak lokal dan nasional (1997). Judul dan teks foto pun tidak tanggung-tanggung bombastis dan sensasional: ”Pengantin AIDS”. Akibatnya, banyak orang yang mengenali wajah Nuraini dan suaminya.
- Ditulari Laki-laki
Yang dimaksud Nuraini sebagai ’teman-teman Abang’ adalah wartawan yang menulis belasan berita tentang penangkapannya ketika dirazia di ’jalan vagina raya’ (julukan untuk Jalan Nusantara di pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, karena di jalan itu banyak tempat hiburan sebagian ada tempat transaksi seks), sampai pernikahannya.
Nuraini termasuk pekerja seks pertama yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Makassar. Ketika dirazia mereka langsung menjalani tes HIV tanpa konseling (bimbingan) dan ditempatkan di sebuah panti sosial di Makassar.
Bahkan, suatu hari ketika dia memakai T-Shirt bertuliskan “AIDS” orang-orang pun langsung mencibirnya. ”Saya tidak menyebarkan AIDS, justru laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke saya,” kata Nuraini sambil menyeka matanya yang basah.
Dia pernah curhat, ”Bang, kalau foto saya tidak dimuat di koran ‘kan saya bisa m*la*ur lagi. Saya tidak minta-minta uang lagi ke Abang.”
Syukurlah. Ada lembaga dan dokter yang membantu Nuraini. Bahkan, memberikan garasi untuk tempat tinggal Nuraini dan suaminya karena mereka tidak bisa lagi mendapat kontrakan. Hampir semua tempat kontrakan di Makassar mengenali wajah mereka.
Terakhir kami bertemu di Makassar tahun 2007 pada sebuah lokakarya. Nuraini saya minta menceritakan derita yang dialaminya sebagai ’pengantin AIDS’.
Setelah itu komunikasi terus berlanjut melalui SMS. ”Bang, kirim ka pulsa.”
Suatu hari saya menerima SMS dari nomor ponsel Nuraini, tapi kali ini dikirim oleh suaminya yang mengabarkan bahwa Nuraini telah tiada. Selamat Jalan, Sahabat.
Ulah wartawan terhadap Odha juga dialami oleh Cece, bukan nama sebenarnya. Gadis ini dipulangkan dari Riau karena terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui surveilans tes HIV yang tidak sesuai standar prosedur operasi.
Ayahnya bingung karena Cece belum sampai ke rumah di Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jabar, tapi petugas dari berbagai instansi dan wartawan sudah berkerumun di depan rumahnya bertanya tentang Cece. Berita di surat kabar dan TV pun sudah gencar.
Lho, koq bisa? Rupanya, radiogram dari Pemda Riau ke Pemda Jabar ’dibocorkan’ ke wartawan sehingga wartawan pun ramai-ramai ’memburu’ Cece.
- Dicaci-maki Tetangga
Akibat pemberitaan media massa yang gencar penduduk di sekitar rumahnya pun mencaci-maki, mencela, dan mencibir Cece dan keluarganya.
Ayahnya tidak lagi mendapat pekerjaan sebagai kuli tani. Telur asin yang dijual ibunya pun tidak pernah lagi dibeli orang.
Mereka kemudian pindah ke satu tempat di Cikarang, Jabar, dan bekerja di lio (tempat pembuatan batu bata). Tapi, nasib keluarga ini juga apes karena pemilik lio mengusir mereka.
Mengapa? Rupanya, ada yang membisiki pemilik lio tentang status HIV/AIDS yang ’disandang’ Cece.
Cece dan keluarganya berkali-kali pindah tempat. Terakhir mereka bekerja di sebuah lio di Banten, waktu itu masih masuk Jabar.
Lama-lama tetangga di kampung mulai memahami HIV/AIDS berkat Pak RT yang mati-matian membela keluarga Cece. Karena sudah diterima di kampung mereka pun balik ke rumah.
Kondisi Cece terus memburuk. ”Pak, Cece sudah pergi selamanya,” kata ibu Cece sambil berlinang air mata. Cece pergi di tahun 2003.
Foto Cece dan keluarganya jadi kenang-kenangan. ”Jangan dikorankan, Pak,” pinta Cece ketika dipotret di salah satu lio di Cikarang.
”Ini wartawan kok bisa-bisanya menulis berita seperti ini,” kata Cici, bukan nama sebenarnya, seorang Odha di Tempuran, Kab Karawang, Jabar.
Cici juga pekerja seks yang dipulangkan dari Riau karena terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Berita-berita yang dimaksud Cici adalah perihal rumahnya yang dikatakan dibangun dengan, maaf, uang lendir. Berita itu memang sudah melewati batas-batas kaidah jurnalistik.
Yang tidak masuk akal adalah pengakuan Cici dia tidak pernah diwawancarai wartawan. ”Baru Bapak wartawan yang menemui saya,” kata Cici sambil menghela napas.
- Terbang ke Singapura
Perjalanan hidup Cici pun tidak kalah buruknya dengan Nuraini dan Cece. Dia jadi bulan-bulanan berbagai instansi di kampungnya kalau suaminya datang. Dia menikah di sebuah KUA di Jakarta Barat dengan seorang WN Singapura. Cici memegang buku nikah.
Dengan berbagai alasan Cici pun diperas, apalagi mereka tahu suaminya warga negara asing. Terkadang mereka ketemu di Jakarta untuk menghindari perlakuan yang sering dialaminya. Kadang-kadang Cici yang terbang ke Singapura.
”Silakan lihat, Pak,” kata Cici sambil menunjukkan paspornya dengan beberapa cap imigrasi Singapura.
Ketika Cici memeriksakan kehamilannya (usia kehamilan delapan bulan tahun 1996) di puskesmas di dekat rumahnya dokter pun mengatakan bahwa perutnya yang membesar bukan karena hamil, tapi: ”Ini penyakit.”
Ternyata di Puskesmas itu ada catatan bahwa Cici seorang pengidap HIV/AIDS.
”Bayi ini ada bapaknya. Kami menikah.” Itulah yang selalu dikatakan Cici, tapi tetap saja pegawai di Puskesmas tidak bersahabat.
Ketika hendak melahirkan Cici dibawa pihak puskesmas ke RSCM Jakarta karena ’statusnya’ tadi. Setelah diperiksa di RSCM Cici dibawa ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta. Selama menunggu persalinan, Cici tinggal di sanggar YPI dan ditangani dokter-dokter yang memang pakar HIV/AIDS, seperti Prof Dr dr Zubairi Djoerban, DSPD, dan Prof Dr dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD. Persalinan Cici sendiri ditangani dr Siti Dhyanti Wisnuwardhani, spesialis obstetri dan ginekologi di FK UI/RSCM.
Tahun 2000 ada kabar dari YPI bahwa Cici sudah berpulang. Pemakamannya pun hanya dilakukan oleh relawan yang dibina YPI di Karawang karena sebagian penduduk menjauhinya.
Cici meninggalkan seorang putri yang lahir tepat pada pembukaan olimpiade di Atlanta, AS. Syukurlah putrinya itu tidak tertular HIV. Kini putrinya diasuh neneknya (Kompasiana, 29 November 2013). *
(70) Renungan Akhir Tahun: Epidemi dan Pandemi di Indonesia
Informasi tentang epidemi (HIV/AIDS) dan pandemi (virus corona) di Indonesia yang berbalut moral mendorong stigma dan diskriminasi
Epidemi HIV/AIDS dihadapkan dengan norma, moral dan agama sehingga menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda), sementara informasi pertama pandemi virus corona juga dikaitkan dengan perilaku yang dikategorikan sebagai maksiat yaitu dansa.
Ketika ada publikasi, 5 Juni 1981, ditemukan penyakit Pneumocystis pneumonia pada lima laki-laki gay di Los Angeles, AS, oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention – Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) AS mulai muncul tanggapan yang dibumbui dan dibalut dengan moral.
Kalangan ahli kemudian menyebut gejala penyakit itu sebagai AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu cacat system kekebalan tubuh dapatan). Penyebab AIDS kemudian diumumkan WHO yaitu HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada 1986 juga tentang tata cara tes.
- Pemerintah Memakai Norma, Moral dan Agama
Tahun-tahun berikutnya beberapa negara mulai melaporkan kasus HIV/AIDS. Negara-negara lain mencari langkah untuk mengatasi penyebaran HIV/AIDS yang disebut epidemi (wabah penyakit yang menyebar di area geografis yang luas). Tapi, pemerintah Indonesia justru sibuk menangkis penjelasan kalangan ahli tentang kemungkinan HIV/AIDS masuk ke Indonesia.
Informasi tentang HIV/AIDS pun dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama.
Misalnya, mengatikan HIV/AIDS sebagai penyakit gay (homoseksual), penyakit bule, penyakit di pelacuran, dan lain-lain. Bahkah, pejabat-pejabat pun selalu mengatakan bahwa Indonesia adalah negara berbudaya dan beragama sehingga tidak bisa ‘ditembus’ HIV/AIDS.
Waktu berjala terus kalangan pakar sudah memberikan indikasi bahwa ARC (AIDS related complex) yaitu penyakit yang terkait dengan (kondisi) AIDS sudah terdeteksi di Indonesia. Tapi, lagi-lagi pemerintah memakai norma, moral dan agama menyerang informasi tentang kemungkinan HIV/AIDS masuk ke Indonesia.
Pada tanggal 5 April 1987 seorang turis Belanda meninggal dunia di RS Sanglah, Denpasar, Bali, dengan indikasi penyakit terkait HIV/AIDS. Pemerintah pun semerta mengakui sudah ada HIV/AIDS di Indonesia. Celakanya, pengakuan ini justru menguatkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yaitu penyakit homoseksual, penyakit gay, penyakit orang asing dan penyakit bule.
Akibatnya, masyarakat lalai karena menganggap dirinya bukan homosesual, bukan gay, bukan orang asing dan bukan bule, Pengaitan HIV/AIDS dengan homoseksual, gay dan pelacuran menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskrimiasi terhadap pengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS).
- Tantang Pakar Asing
Padahal, tahun 1988, setahun setelah kematian bule itu, seorang laki-laki penduduk asli Indonesia meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS juga di RS Sanglah. Secara medis kematian pengidap HIV/AIDS terjadi antara 5 -15 tahun setelah tertular HIV sehingga penduduk asli tadi tertular HIV jauh-jauh hari sebelum turis Belanda meninggal di Bali. Tidak pula ada riwayat kontak antara turis Belanda itu dengan penduduk yang meninggal terkait HIV/AIDS itu.
Data terakhir yang dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 1987 sampai 30 September 2020 mencapai 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS. Kasus ini tersebar di 34 provinsi dengan lima teratas yaitu: Jawa Timur, Jakarta, Papua, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Ketika banyak negara mulai melaporkan kasus infeksi virus corona (Covid-19) sejak Januari 2020, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, lagi-lagi menyangkal kasus virus corona sudah ada di Indonesia. Bahkan, Menkes, waktu itu, Terawan Agus Putranto, menantang pakar Universitas Harvard untuk membuktikan bahwa hasil riset mereka yng memprediksi virus corona sudah masuk ke Indonesia.
Ketika itu, awal Februari 2020 ketika sudah banyak negara, termasuk Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina, sudah melaporkan kasus virus corona. Tim peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health, Amerika Serikat, ragu di Indonesia tidak ada kasus virus corona. Alasan yang disampaikan, antara lain mobilitas warga dan penerbangan internasional dari dan ke Indonesia.
Ketika pemerintah mengumumkan kasus pertama virus corona tanggal 2 Maret 2020 terbukti dua pasien tersebut tidak bisa didiangnosis di sebuah rumah sakit di Depok, Jawa Barat. Setelah beberapa hari dirawat dengan indikasi penyakit lain pasien dirujuk ke RS Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta Utara, baru diagnosis jelas sebagai infeksi virus corona.
- Memupus Stigma dan Diskriminasi
Entah kebetulan atau karena apa kasus kematian terkait HIV/AIDS dan virus corona terjadi di Bali. Kematian terkait HIV/AIDS pada 5 April 1987, sedangkan kematian pertama terkait Covid-19 juga terjadi pada pasien Kode 25 yaitu seorang WNA perempuan umum 53 tahun tanggal 11 Maret 2020.
Publikasi kasus virus corona pertama disampaikan oleh pemerintah dengan cara yang vulgar yaitu memaparkan riwayat kontak pasien 01 dan 02 yang dikait-kaitkan dengan pesta dansa. Padahal, tidak bisa dibuktikan secara medis penularan virus corona terjadi pada kegiatan sedang melakukan dansa.
Akibat pemaparan riwayat kontak yangvulgar itu muncul stigma (cap buruk) dan diskriminasi (pelakuan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular virus corona. Soalnya, pesta dansa dianggap sebagai maksiat. Penyebaran virus corona sebagai pandemi pun terus terjadi yang sudah menyebar ke Nusantara.
Jumlah konfirmasi positif virus corona di Indonesia sampai tanggal 31 Deember 2020, pukul 11.30 WIB, sebanyak 735.124 dengan 21.944 kematian. Indonesia ada di peringkat ke-20 dunia dari 218 negara dan teritori serta 2 kapal pesiar mewah yang melaporkan kasus virus corona (worldometers).
Kondisinya kian runyam karena judul-judul berita di media massa dan media online serta hoaks di media sosial juga mengaitkan penularan virus corona dengan dansa.Tenaga medis diusir dari rumah atau tempat kos mereka karena dianggap sebagai sumber penularan. Jenazah yang meninggal karena virus corona ditolak warga dimakamkan di pekuburan daerah mereka.
Memupus stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dan yang tertular virus corona, yang sembuh dan jenazah serta tenaga medis, jadi PeeR (pekerjaan rumah) bagi Menkes (baru) Budi Gunadi Sadikin. (Tagar.id, 30/12-2020). *
*****
Sekilas Penulis
Syaiful W. Harahap, lahir di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara, 1953. Anggota PWI Jaya dan Wartawan Utama (PWI Pusat/Dewan Pers Indonesia).
Lokakarya: beberapa lokakarya di dalam dan luar negeri.
Narasumber, instrukrur dan fasilitator: sekitar 250 lebih kegiatan berupa workshop, pelatihan untuk penulisan HIV/AIDS, aborsi, kesehatan reproduksi, narkoba, dll.
Pekerjaan sebagai wartawan: sejak 1980 sampai sekarang
Blogger: kompasiana.com/infokespro
Publikasi Buku:
- 5 Tahun Taperum (anggota Tim Penulis), Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat-Properti Indonesia, Jakarta, 1998.
- PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000.
- Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002
- AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014
- Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD), Jakarta, 2022
- Stigma dan Diskriminasi Covid-19 Karena Kita Tak Belajar Dari Pengalaman, Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD), Jakarta, 2022 (proses cetak)
- Pariwisata Indonesia Harus Memupus Anggapan Turis Sebagai (Calon) Mangsa, Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD), Jakarta, 2022 (proses cetak)
Kejuaraan Lomba Karya Tulis (LKT): 17 kejuaraan mulai dari juara harapan sampai juara pertama. *