Menyoal Kebijakan Bank Indonesia Pertontonkan Penukaran Uang Secara Terbuka

Ini bisa jadi pemantik perilaku beringas massa yang tidak terkendali di kemudian hari

Humaniora43 Dilihat

Sebuah pemandangan yang ironis karena mencolok tapi bertolak belakang dengan realitas sosial terjadi setiap menjelang Idulfitri.

Bank Indonesia (BI) selalu menyediakan tempat-tempat penukaran uang dengan uang baru dan pilihan pecahan nominal rupiah secara terbuka.

Lembaran uang kertas rupiah baru dipakai oleh warga, antara lain yang mudik Lebaran, untuk diberikan kepada anggota keluarga dan kerabat di kampung halaman. Selain itu untuk salam tempel kepada anak-anak yang datang mengucapkan Idulfitri.

Hal ini sudah merupakan tradisi atau kebiasaan yang sudah membumi di Nusantara sebagai bagian dari keramaian hari raya, khususnya Idulfitri.

Salam tempel di Idulfitri menambah keceriaan, terutam bagi anak-anak, sebagai bekal untuk jajan. Soalnya, selama puasa mereka tidak bisa jajan sehingga di Idulfitri mereka seakan-akan terbebas dari aturan yang berlaku di bulan puasa.

Kegembiraan anak-anak di Idulfitri ketika mengunjungi rumah famili dan tetangga mereka akan menerima uang rupiah kertas baru melalui salam tempel.

Untuk itulah warga menukarkan uang lama (yang masih berlaku) dengan lembaran uang kertas rupiah yang masih baru.

Yang jadi persoalan besar adalah liputan media (media massa dan media sosial), terutama stasiun TV, yang menunjukkan warga yang membawa segepok uang lama untuk ditukarkan dengan lembaran uang keras rupiah baru.

Di sisi lain tidak sedikit orang tua yang ‘menangis’ karena tidak bisa membeli pakaian baru untuk anak-anaknya. Tangisan juga akan mewarnai ketiadaan uang untuk membeli kue-kue Lebaran, ketapat, opor ayam dan rendang.

Liputan media itu bisa jadi pemicu kecemburuan sosial karena dilakukan secara terbuka di tengah-tengah kemiskinan, bahkan ada keluarga yang tergolong dalam kualifikasi kemiskinan ekstrem.

Menukarkan uang lama dengan yang baru tentulah hal yang lumrah, tapi, realitas sosial di social settings menunjukkan kondisi itu bisa jadi penanda sebagai pembeda antara Si Kaya dan Si Miskin.

Baca juga: Yuppies di Indonesia Akankah Mereka Beralih ke Yippies?

Apa dan bagaimana cara seorang ayah atau ibu dari kalangan Si Miskin memberikan jawaban ketika ditanya anak-anaknya: Yah atau Bu, kapan kita menukarkan uang baru?

Pertanyaan itu bak sembilu yang menusuk kalbu yang mendorong tangisan dalam hati dan tetesan air mata karena tidak ada jawaban yang bisa diberikan orang tua dari kalangan Si Miskin kepada anak-anaknya.

Sementara itu kalangan Si Kaya pulang ke rumah membawa segepok lembaran uang kertas rupiah baru yang selanjutnya dipilah-pilah sebagai bagian untuk angpau atau salam tempel saat merayakan Idulfitri.

Agaknya, BI tidak melakukan rekayasa sosial dalam melayani warga dari kalangan Si Kaya yang menukarkan uang secara terbuka terkait dengan dampak buruknya.

Baca juga: Orang Tua Murid Terpaksa Beli Pakaian Seragam yang Bukan Bagian dari Proses Belajar

Kondisi itu bisa mendorong kecemburuan sosial yang tumbuh subur karena kelemahan sebagian orang yang tidak bisa menerima adanya perbedaan status dalam starata masyarakat. Pada gilirannya akan mendorong keresahan terpendam ibarat api dalam sekam. Ini bisa jadi pemantik perilaku beringas massa yang tidak terkendali di kemudian hari.

Ketika ada anjuran agar tidak melakukan perbuatan yang mengarah ke hedonisme* tapi di sisi lain media mempertontonkan warga menukarkan lembaran rupiah di tengah-tengah jeritan orang tua yang tidak bisa mempunyai uang untuk merayakan Idulfitri.

Jika ditilik dari aspek sosial penukaran uang secara terbuka juga sebagai bagian dari, maaf, perilaku hedonisme.

Alangkah arif dan bijaksana jika BI menyediakan bilik atau ruangan yang khusus untuk menukarkan uang lama jelang Idulfitri agar tidak demonstratif atau gebyah-uyah (menyamaratakan yang berbeda) di tengah-tengah deraan kemiskinan yang dihadapi sebagai besar keluarga di Tanah Air.

Bagaimanapun, sebagai lembaga negara BI sejatinya menjaga nilai-nilai norma sosial agar tidak menimbulkan friksi yang berujung pada kecemburuan sosial. (Sumber: Kompasiana, 1/4/2024).

*Hedonisme (KBBI: pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup)

Tinggalkan Balasan