Semaksimal Mungkin Jargon yang Bombastis dengan Nuansa Omong Kosong

Mustahil bagi seseorang untuk menguasai semua aspek dalam berbagai bidang, yang bisa dikuasai adalah salah satu atau beberapa aspek

Humaniora92 Dilihat

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal  9 Januari 2023. Redaksi.

Ini dialog di salah satu acara TV “Asia Bagus” yang disiarkan dari Singapura di akhir tahun 1980-an:

Najib (pembawa acara di TV Singapura, maaf, berbadan ceking): “Apa yang Saudara maksimalkan?”

Pertanyaan ini diajukan Najib kepada seorang pemuda peserta dari Indonesia dengan potongan badan dan rambut crew cut yang mengatakan dia berusaha ‘semaksimal mungkin’ untuk memenangkan lomba tersebut.

“Asia Bagus” merupakan ajang festival menyanyi bagi penyanyi remaja internasional untuk kawasan Asia yang disiarkan dengan durasi 30 menti.

Lionel Messi melawan Belanda di Piala Dunia FIFA Qatar 2022 (foto: marca.com/Getty Images)

Hiasan Bibir

Di awal acara ini hanya diikuti peserta dari Indonesia, Malaysia, Jepang dan Singapura. Tapi, pada tahun 1992 “Asia Bagus” dilangsungkan di Jepang dengan bergabungnya Taiwan, Korea Selatan, dan Thailand.

Pertanyaan Najib itu sangat faktual karena seorang penyanyi tidak mungkin bahkan mustahil menguasasi semua asepk terkait dengan lomba menyanyi, seperti suara, pakaian, penampilan dan lain-lain.

Sayang, peserta dari Indonesia itu hanya nyengar-nyengir karena jargon ‘semaksimal mungkin’ hanya hiasan bibir (lips service) yang disuburkan oleh banyak kalangan, terutama pejabat di masa itu.

Celakanya, jargon yang berbau bombastis itu (KBB: bombastis – banyak berjanji, tetapi tidak akan berbuat banyak; banyak menggunakan kata dan ucapan yang indah-indah serta muluk-muluk, tetapi tidak ada artinya; bersifat omong kosong; bermulut besar) jadi jargon nasional sampai sekarang.

Pertanyaan Najib sangat jelas karena setiap penyanyi mempunyai keunggulan sendiri pada satu atau lebih aspek terkait dengan suara dan penampilan.

Michael Jackson, misalnya, selain suaranya dia unggul dengan kostum dan gaya di panggung. Penyanyi dan band-band internasional pun mempunyai keunggulan masing-masing, tapi tidak semua aspek.

Rolling Stone dikenal dengan gaya panggung Mick Jagger. Sedangkan The Queen menang dengan vocal Freddy Mercury yang disebut bisa mencapai empat oktaf, sama seperti vocalis Deep Purple, Ian Gillan.

Nah, apa yang jadi unggulan penyanyi Indonesia tadi? Ya, ‘semaksinal mungkin.’ Kacau-balau, dah  ….

Begikut juga dengan sepak bola. Dulu ada Ketua PSSI yang mengatakan menerapkan ‘sepak bola Pancasila.’ Lalu, muncul pula jargon ‘ngotot’ sebagai tema nasional untuk tim nasional (Timnas) PSSI semlain itu ‘semaksimal mungkin’ juga jadi jargon Timnas.

Adalah hal yang mustahil seorang pemain sepak bola menguasai semua aspek, seperti dribble (menggiring bola), heading (menyundul bola) dan lain-lain.

Pemain-pemain sepak bola dunia yang terkenal sekali pun, seperti Pele, Maradona, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi mempunyai satu atau dua keunggulan.

Mantan juara dunia tinju kelas berat AS, Muhammad Ali (tengah), berpose dengan dua putrinya, Hana (kiri) dan May May (kanan), di Hollywood Walk of Fame, Los Angeles, CA, 11 Januari 2002 (Foto: voaindonesia.com – AFP/LUCY NICHOLSON)

Mulut Besar

Messi, misalnya, terkenal dengan gocekan dan tendangan kaki kiri. Dia tidak andalkan heading untuk cetak gol. Begitu juga Ronaldo yang dikenal dengan gocekan dan tendangan ke gawang.

Maka, ada baiknya PSSI dan pelatih Timnas menyiapkan pemain dengan keunggulan masing-masing sehingga dalam satu tim (kesebelasan) di lapangan saling membantu dan mendukung.

Saya khawatir pelatih PSSI menjadikan semua pemain unggul di semua aspek sepak bola. Ini jelas keliru. Di tahun 1970-an ketika PSSI bisa bersuara di kawasan Asia pemain-pemainnya mempunyai keunggulan masing-masing.

Belakangan dalam Timnas PSSI saya tidak mendengar dan melihat keunggulan setiap pemain, yang dipompakan adalah jargon moral: bermain mati-matian, pantang menyerah, semaksimal mungkin, ngotot dan lain-lain.

Semua jargon itu hanya omong kosong yang bermulut besar. Beda dengan (alm) petinju kelas berat dunia Mohamad Ali. Dia memang selalu sesumbar ketika acara timbang badan tentang ronde keberapa dia jatuhkan lawannya. Kenyataanya banyak sesumbarnya yang terbukti di ring.

Hal lain yang mengganggu pikiran saya adalah jersey Timnas PSSI. Mengapa yang dipakai lambang negara (Burung Garuda)? Negara atau klub-klub profesional dunia memakai bendera di jersey bukan lambang negara.

Nah, kalau PSSI kalah maka yang tumbang adalah (lambang) negara (Indonesia). []

Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Tinggalkan Balasan