* “Dideportasi” dari Riau karena terdeteksi HIV-positif pada surveilans tes HIV ….
Agaknya, penderitaan panjang wanita itu putus sudah setelah awal puasa tahun 2002 lalu dia dipanggil Yang Maha Kuasa setelah dirawat dua pekan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Selama beberapa tahun dia berjuang melawan infeksi HIV, cercaan dan hinaan penduduk, perlakuan kasar aparat dan petugas kesehatan, serta hujatan di media massa.
Sejak dipulangkan dari Prov Riau, ketika itu belum dimekarkan menjadi Prov Riau dan Prov Kepulauan Riau, karena terdeteksi HIV-positif dia terus-menerus dirundung malang. Dikucilkan penduduk sampai dikejar-kejar aparat yang membuatnya tidak bisa mempersiapkan hidup yang lebih layak dengan meninggalkan pekerjaannya sebagai pekerja seks.
Wanita tadi, sebut saja Cici, waktu itu berumur 25 tahun, penduduk sebuah desa di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat, awalnya ingin mengadu nasib ke Riau setelah bercerai.
Ketika berangkat ke Riau Cici meninggalkan anaknya dengan ibunya, seorang janda, bersama kakek dan neneknya di sebuah rumah di sebuah desa sekitar 25 km dari kota Karawang. Keluarga ini menopang hidupnya dengan bertani.
Dia termakan bujuk rayu seorang wanita di Cikampek, sekitar 50 km dari kampungnya, yang menjanjikan pekerjaan sebagai pelayan restoran di Riau dengan upah Rp 400.000/bulan.
Dengan hati yang berbunga-bunga Cici berangkat ke Riau (1992) dari Pelabuhan Tanjung Priok dengan KM Lawit bersama sembilan rekannya. Di Tanjung Pinang mereka ditempatkan di Batu 16, sebuah lokalisasi pelacuran di sana. Dia dipekerjakan sebagai pekerja seks. “Malam pertama menerima tamu saya nangis habis-habisan,” katanya seraya mengusap matanya yang memerah dan berair (terungkap dalam wawancara penulis dengan Cici bulan April 1994).
Beberapa bulan kemudian seorang langganannya, pria China warga negara Singapura, menebus Cici dari germonya dengan imbalan Rp 1 juta. Pria itu kemudian membawa Cici ke salah satu rumah di lokalisasi itu yang dihuni dua belas pekerja seks. Cici dijadikan sebagai ‘istri’ oleh laki-laki Singapura tadi.
Beberapa waktu kemudian seorang petugas kesehatan yang sering datang ke lokalisasi itu, yang biasa dipanggil dengan ‘Pak Dokter’, mendatangi rumah Cici. ‘Pak Dokter’ mengumpulkan semua pekerja seks yang ada di rumah itu.
“Di sini ada yang sakit,” kata ‘Pak Dokter’ (pekerja seks di sana sudah mengetahui sakit yang disebut ‘Pak Dokter’ yaitu AIDS). Pekerja seks di lokalisasi itu baru menjalani surveilans tes HIV.
Tiba-tiba semua rekan Cici di rumah itu menunjuk dirinya.
“Dia Pak, dia ’kan sering dibawa tamu asing ke hotel,” kata mereka serentak. Mereka menuding Cici sebagai orang yang sakit karena wanita inilah yang mereka nilai rentan terinfeksi HIV karena tamu-tamu Cici kebanyakan dari Singapura dan terkadang bule. Cici sendiri mengaku selalu meminta tamunya memakai kondom, tapi, “Ada saja yang menolak.”
***
Cici pun disekap di pos keamanan di lokalisasi itu. “Ah, dia (maksudnya ‘Pak Dokter’) ’kan dendam kepada saya,” kata Cici. Rupanya, Cici selalu menolak ajakan ‘Pak Dokter’ untuk ‘tidur’ (melakukan hubungan seksual-pen.) dengannya. Cici sendiri mengaku bukan tidak mau uang, tapi dia enggan ‘tidur’ dengan ‘Pak Dokter’ karena dia menghargai jabatan petugas kesehatan itu, dan “Isterinya pun sudah dua.”
Setelah disekap dua minggu di pos keamanan pelabuhan (menunggu jadwal kapal KM Lawit), Cici dipulangkan ke Jawa Barat melalui Tanjung Priok. Cici mau dipulangkan karena rindu kepada anaknya. Cici menerima uang dari germonya Rp 500.000 dan dari pacarnya Rp 300.000. Cici merasa sudah mengumpulkan banyak uang. Tarifnya Rp 120.000/malam. Pengeluarannya untuk kamar dan makan Rp 50.000/bulan.
Ketika diwawancarai Cici mengaku sangat kecewa membaca berita tentang dirinya di surat kabar yang mengait-ngaitkan pembangunan rumahnya dengan uang yang dikirimkannya dari Riau. Dalam pemberitaan disebutkan Cici bekerja sebagai pekerja seks sehingga dikesankan uang yang dipakai keluarganya untuk membangun rumah adalah uang dari hasil kerjanya sebagai pekerja seks. Padahal, seperti disampaikan Cici, uang yang dikirimkannya untuk membangun rumah merupakan pemberian pacarnya bukan uang dari penghasilannya sebagai pekerja seks.
Cici sendiri mengaku kaget ketika mengetahui dirinya dikatakan ‘Pak Dokter’ terinfeksi HIV karena dia tidak pernah merasa dirinya ‘sakit’, “Wah, mungkin jantung saya sudah copot kalau saya lemah jantung,” katanya. Hasil tes itu diketahui melalui surveilans tes HIV yang tidak menganut asas konfidensialitas dan tidak pula ada konseling sebelum dan sesudah tes. Hasil tes pun dibeberkan di depan banyak orang oleh seorang petugas kesehatan (kemungkinan mantri kesehatan).
Berita seputar dirinya dan tiga wanita lain, yang juga pekerja seks asal Karawang, yang dipulangkan dari Riau di media massa yang beredar di Karawang menggemparkan kampungnya. Dalam berita itu ada identifikasi, antara lain inisial, alamat dan tempat bekerja, yang jelas-jelas mengarah ke identitas mereka. Cici, misalnya, di lingkungan kampungnya itu hanya dia yang bekerja di Riau sehingga mudah diketahui masyarakat.
Ketika ada berita tentang pekerja seks yang dipulangkan dari Riau di media massa, ternyata Cici dan tiga rekannya masih di Riau. Cici pun mengaku bingung karena dia tidak pernah diwawancarai wartawan. Radiogram dari Dinas Kesehatan Prov Riau ke Dinas Kesehatan Kab Karawang tentang empat wanita yang dipulangkan itu bocor ke wartawan dan aparat. Penduduk pun serta-merta mengetahuinya karena rumahnya didatangi aparat dan wartawan sehingga kabar tentang Cici tersebar luas.
Ketika tiba di rumahnya (Oktober 1993) Cici mengaku sangat kaget karena semua penduduk menghindarinya, mencibirnya dan ada pula yang memandangnya seperti baru melihat makhluk angkasa luar.
Hari-hari berikutnya Cici harus menerima tamu dari berbagai kalangan dan instansi, mulai dari tingkat desa sampai provinsi. Puncaknya terjadi ketika pegawai Koramil setempat menggiring Cici ke sebuah Puskesmas di Kabupaten Karawang, sekitar 1 km dari rumahnya.
Sebelumnya Cici menolak ketika aparat desa dan pegawai puskesmas menjemputnya. Padahal, ketika itu Cici sedang berduka karena ketika tiba dia hanya menemukan pusara makam anaknya. Anaknya meninggal ketika dia masih di Riau.
Niatnya untuk mengubah hidup tidak pernah terwujud karena sejak tiba di desanya dia terus-menerus menghadapi berbagai persoalan. Untuk menghindarkan diri dari masalah yang dihadapi di desanya, dia pun pindah ke rumah ayahnya (sekitar 15 km dari rumahnya). Beberapa bulan dia merasa aman. Sehari-hari dia membantu ayah dan ibu tirinya mengerjakan sawah. “Anak saya tidak sakit, lihat dia gemuk,” kata ayahnya. “Yah, sudah nasib,” katanya tentang status HIV-nya. Cici pun mengatakan akan menjaga diri agar tidak menulari orang lain.
Tapi, ada saja penduduk yang membuka kedok Cici sebagai Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Akibatnya, aparat desa setempat pun menjadikan ayah Cici sebagai sapi perahan. Selain karena Cici disebut “masuk dalam daftar kasus” pacarnya pun sering pula datang ke rumah itu. Bahkan ada yang mengaku sebagai wartawan dan meminta imbalan Rp 2 juta untuk menghapus nama Cici dari “daftar kasus”. Setelah menikah Cici kembali ke rumahnya. Beberapa bulan kemudian Cici pindah ke RT lain, masih di desa yang sama, dan membangun rumah baru. Di rumah itulah Cici tinggal bersama ibunya.
Ketika dinyatakan positif HIV di Riau, Cici sebenarnya tidak percaya. Menurut pacarnya, pemeriksaan itu tidak sahih karena tesnya tidak dilakukan di rumah sakit (bagi pacarnya yang disebut rumah sakit adalah “Cipto”, maksudnya RSCM). Itulah sebabnya Cici menolak diperiksa di Puskesmas. Dia berkali-kali meminta kepada dokter di Puskesmas itu agar diperiksa di RSCM, tetapi puskesmas menolak. Setelah mereka mengatakan sebagai ‘dokter dari RSCM’ barulah Cici bersedia diambil darahnya.
Dalam satu pelatihan, waktu itu diselenggarakan oleh PT ASKES, penulis mengkonfirmasi tentang perilaku tenaga kesehatan di Puskesmas itu terhadap Cici kepada Ketua PB IDI, waktu (Alm) Kartono Mohamad. “Saya pikir itu bukan dokter,” kata Kartono waktu itu. Tapi, kejadian itu benar-benar dialami oleh Cici.
***
Cara yang ditempuh puskesmas itu jelas sudah melanggar hak asasi manusia (HAM). Selain karena tidak menaati standar prosedur operasi tes HIV yang baku yaitu tidak berdasarkan asas sukarela, tidak pula ada konseling prates serta tidak menerapkan asas konfidensialitas karena penduduk beberapa desa di sekitar puskesmas itu mengetahuinya. Bahkan, di sepanjang perjalanan menuju puskesmas Cici menjadi tontonan penduduk. Di puskesmas itu pun banyak orang, mulai dari aparat desa, kecamatan, pegawai puskesmas, pegawai dinas kesehatan kabupaten dan provinsi. Hasil pemeriksaan puskesmas dan radiogram dari Riau itu sendiri tidak diberikan kepada Cici, “Cukup di kantor desa saja,” kata seorang petugas desa.
Cici menyesalkan perlakuan puskesmas dan aparat pemda, “Seharusnya ’kan tidak boleh disebarluaskan,” katanya tentang kondisi kesehatannya. Pegawai salah satu rumah sakit di Karawang malah memberikan medical record salah satu dari tiga wanita yang dipulangkan dari Riau itu kepada wartawan. Akibat perlakuan yang membeberkan status HIV itu pergaulan Cici terganggu. Penduduk memusuhinya.
Setelah mengetahui status HIV Cici, aparat setempat pun rupanya khawatir kalau Cici kembali menjadi pekerja seks (sekitar 5 km dari kampungnya ada lokalisasi) sehingga gerak-gerik Cici pun diawasi karena wanita itu sering bepergian. Mereka keliru. Cici memang selalu pergi, tapi ke Karawang karena dia harus mengambil uang kiriman pacarnya dari Singapura yang ditransfer melalui bank. Setiap bulan Cici dikirimi uang Rp 300.000. Cici pun menjemput pacarnya ke Bandara Soekarno-Hatta. Antara tahun 1993 dan 1995 sudah empat kali Cici dibawa pacarnya ke Singapura melalui Bandara Soekarno-Hatta.
Tahun 1995 mereka menikah di sebuah KUA di Jakarta. Tapi aparat desa tidak mengakui pernikahan itu, “Ah, Cici cuma sebagai gendak (perempuan simpanan-pen.) saja,” kata seorang aparat desa. Cici pun menunjukkan buku akta nikah tsb.
Itulah sebabnya Cici selalu menyediakan beberapa amplop berisi uang jika suaminya menginap di rumahnya karena ada saja aparat yang mendatanginya dengan berbagai alasan. Ini terjadi karena perangkat desa tidak mengakui pernikahan Cici sehingga mereka menganggap laki-laki WN Singapura itu bukan suaminya.
Ketika Cici hamil delapan bulan dia pun pergi ke Puskesmas Tempuran karena janin di dalam perutnya bergerak-gerak. Namun, lagi-lagi di puskesmas dia mengalami perlakuan buruk. Tampaknya, pegawai puskesmas penasaran karena ada kemungkinan dalam medical record Cici ada catatan khusus karena dia seorang Odha.
Cici bukan diperiksa, tetapi dokter puskesmas itu membawa Cici ke rumahnya. Di sana Cici diinterogasi dengan pertanyaan yang mengarah ke riwayat seksnya. Cici sangat jengkel karena janin yang ada di perutnya disebut penyakit. Selain itu Cici pun sangat marah karena setelah makan obat yang diberikan puskesmas dia mual-mual dan muntah-muntah. Cici menganggap obat itu untuk menggugurkan kandunganya, “Bayi ini ada ayahnya,” kata Cici
Cici dibawa ke RSCM. Karena statusnya HIV-positif RSCM kemudian membawa Cici ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah lembaga yang menangani HIV/AIDS di Jakarta. Di YPI Cici ditangani dr Zubairi Djoerban, DSPD serta dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD. Selama menunggu melahirkan Cici tinggal di sanggar YPI. Persalinan Cici di RSCM ditangani oleh dr. Siti Dhyanti Wisnuwardhani, spesialis obstetri dan ginekologi FKUI/RSCM. Cici melahirkan bayi perempuan tepat pada pembukaan Olimpiade Atlanta, AS, 1996.
Sejak Cici melahirkan YPI membuka sanggar di desa tempat Cici tinggal untuk meredam penolakan masyarakat terhadap Cici. Bahkan, ketika Cici dimakamkan tidak ada penduduk yang membantu. “Hanya kami, Bang, yang memakamkan almarhum,” kata Abdul Rahman (Amang), aktivis di Yayasan Pantura Plus yang dulu bergabung di sanggar YPI.
Kini, putrinya tinggal bersama ibu Cici. Dua tahun lagi anak itu akan masuk sekolah. Yang dikhawatirkan kalau kelak masyarakat tidak menerima anak-anak mereka satu kelas dengan putri Cici itu. Di sisi lain sekolah (baca: guru dan instansi terkait) juga diragukan dapat menepis protes masyarakat itu sehingga nasib anak itu pun kian merana. Masyarakat sudah mengetahui siapa anak itu, anak seorang Odha, yang selama ini menjadi ‘musuh’ mereka.
Tapi, syukurlah belakangan hasil tes HIV putri Cici negatif sehingga anak itu hidup tanpa beban kecuali ada yang mengungkit-ungkit status HIV mendiang ibunya (AIDS Watch Indonesia/26 Oktober 2012). *
* Pernah dimuat di Newsletter HindarAIDS No. 37, 17 Januari 2000 dan dikembangkan sesuai dengan data terakhir.