Yogyakarta mempunyai sangat banyak pilihan tempat wisata. Selain pemandangan alam berupa pantai atau bukit , gunung, dan gua, berkunjung ke candi-candi juga tidak kalah menariknya. Selain Borobudur dan Prambanan yang sudah sangat terkenal, sebenarnya masih banyak candi lain yang juga tidak kalah cantik dan bersejarah. Salah satunya adalah Candi Ijo.
Sebenarnya saya tidak sengaja menemukan Candi Ijo karena sore itu tujuan utama nya adalah mampir ke Tebing Breksi, tempat wisata yang sedang hits dan terkenal. Tetapi karena menemukan petunjuk jalan menuju Candi Ijo yang letaknya tidak jauh dari Tebing Breksi dengan terus mendaki, akhirnya kami memutuskan mampir ke Candi Ijo terlebih dahulu dengan alasan sebelum tutup sekitar jam 5 sore.
Kawasan Candi ijo yang letaknya di perbukitan konon membuatnya salah satu candi yang letaknya paling tinggi di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketinggian perbukitan di sini sekitar 400 meter dari atas permukaan laut dan pagar hijau menyambut kamu dengan tulisan Yogyakarta Candi Ijo.
Setelah membeli tiket, saya masuk ke kawasan candi dan sejenak mampir di papan informasi. Di sini dijelaskan sekilas mengenai sejarah, lokasi dan mengapa dinamakan Candi Ijo. Salah satunya adalah dijelaskan bahwa kompleks candi ini terdiri dari beberapa teras yang makin ke timur makin tinggi dan candi induk berada di teras atau tingkat paling tinggi. Pada papan informasi yang lain ada sebuah denah yang menggambarkan lokasi candi-candi yang ada di kawasan Prambanan seperti Candi Ratu Boko, Candi Banyunibo, Candi Dewangsari, , Candi Barong,dan tentunya Candi Ijo ini. Wah ternyata masih banyak candi dan situs yang belum pernah saya kunjungi.
Seperti Namanya Candi Ijo, kawasan di bebukitan ini ternyata cukup hijau dengan rerumputan yang membuat sejuk pemandangan. Kalau kita masuk dari tempat membeli tiket, maka kompleks candi Induk yang paling tinggi akan berada di sebelah kanan dan kita harus naik beberapa puluh anak tangga. Di depan candi induk ada tiga buah candi perwara yang ukurannya lebih kecil. Pada papan informasi sebelumnya juga dijelaskan bahwa candi ini dibangun pada sekitar pertengahan kedua abad ke IX pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dari Mataram Kuno.
Ukuran candi induk tidak terlalu besar mungkin sekitar 18 x 18 meter dengan tinggi sekitar 16 meter. Sekilas tubuh utama candi berbentuk kubus dengan puncak bersusun tiga yang makin mengecil di atasnya. Pada setiap tingkat dihiasi dengan beberapa stupa kecil dan di bagian atas juga ada sebuah Stupa.
Saya mendekati pintu utama candi induk dan melihat di atas pintu candi dihiasi relief kepala Kala yang bersusun dua, sementara di kirai kana nada relief sepasang naga. Untuk mencapai pintu utama ada tangga setinggi sekitar 1 meter yang diapit pipi tangga berbentuk sepasang makara dengan kepala yang menjulur ke bawah dan mulut yang terbuka. Suasana di sekitar candi induk kebetulan sedang sepi hanya ada beberapa orang di sana sehingga saya dapat menikmati keindahan candi dengan santai.
Saya masuk ke dalam ruangan di dalam candi induk dan menemukan sebuah lingga yang disangga oleh makhluk mitologi Hindu berbentuk ular dengan kepala mirip kura-kura. Konon penyatuan Lingga dan Yono merupakan manifestasi kesatuan antara Brahma, Wisnu dan Syiwa.
Di depan Candi induk terdapat tiga buah candi perwara yang menghadap ke timur urutannya adalah candi perwara selatan, tengah dan utara, sekilas ukurannya hampir sama yaitu sekitar dengan panjang dan lebar 5 meter dan tinggi 6 meter walau kalau diperhatikan dengan lebih saksama candi yang tengah lebih besar sedikit.
Saya masuk ke candi perwara yang tengah yang paling besar. Sama seperti candi induk, di atas pintu juga dihiasi kepala kala bersusun dan tangga menuju pintu diapit sepasang pipi tangga namun di sini tidak ada makara. Di dalam candi ini ternyata ada Nandi atau lembu dan sebuah meja batu berhiaskan bunga Teratai yang sering disebut padmasana.
Saya kemudian keluar dari candi perwara dan sejenak memandang ke seantero kawasan yang hijau dan lumayan sejuk di senja itu. Matahari masih belum tenggelam walau kata orang sun set di sini sangat indah. Dari teras tertinggi ini saya lemparkan pandangan ke arah barat, yaitu teras-teras di bawahnya. Selain rerumputan, pepohonan seperti pohon pisang ada beberapa candi baik yang sudah utuh dan selesai dipugar atau sebagian besar masih berbentuk reruntuhan. Sementara di salah satu candi perwara, di bagian belakang nya terdapat sepasang turis bule yang sedang duduk santai.
Saya kemudian menuruni anak tangga untuk menuju ke teras sebelah bawah. Tiga teras dari bangunan candi induk yang ternyata merupakan teras ke delapan terdapat tiga buah candi dan beberapa batur. Karena tidak diketahui nama masing-masing candi, maka sementara candi tersebut dinamakan dengan huruf seperti salah satu yang sudah selesai dipugar yaitu Candi F.
Uniknya di candi F ini ditemukan prasasti pada dinding yang bertuliskan Guywan, yang dibaca Bhuyutan dan memiliki arti pertapaan. Di tempat ini juga terdapat Prasasti batu yang berisi 16 buah kalimat yang berupa mantra kutukan yang diulang-ulang berbunyi Om sarwwawinasa, sarwwawinasa. Apa makna dan maksud kutukan tersebut dan apa peristiwa yang menjadi latar belakangnya?
Hingga kini semuanya masih belum terjawab dan menjadi misteri. Seperti misteri nama-nama candi di kompleks Candi ijo ini.
Lupakan kutukan itu, mari menikmati keindahannya ketika matahari terbenam di ufuk barat. Sebentar lagi. Sebentar lagi.