Belajar Mengarang di SR Tempino

Edukasi140 Dilihat

Memoar Serial My Lovely Village  TEMPINO

Guruku bernama Djuraidah, asli orang minang. Ketika itu kami masih duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat di dusunku bernama Tempino.  Tempino 27 km dari kota Jambi adalah daerah tambang minyak milik Pertamina.

Ibu Djuraidah sangat disiplin dan tegas (bukan keras), memeriksa kuku dan daki setiap kami akan masuk kelas.  Kami berbaris didepan pintu kelas, beliau memegang rotan panjang.

Palk !!!

kakiku dipukul, hari itu dakiku kelihatan di belakang telinga.

Kami disuruh Ibu Djuraidah maju kedepan kelas satu persatu.  Hari itu pelajaran mengarang cerita, atau tepatnya bercerita. Satu persatu temanku maju, bercerita dengan lancar. Kebanyakan dimulai dengan kata : pada suatu hari……..

Tiba giliranku, kakiku atau tepatnya lututku  gemetar, keringat dingin mengalir. Aku tidak bisa bercerita, aku tergagap.

Plak 2 kali lagi rotan itu mengenai kaki ku.

“Minggu depan angkau harus bisa bercerita, Tamrin.”

Itu pesan Ibu Djuraidah kepadaku. Aku menangis, ditertawai teman teman.  Sampai dirumah aku merajuk, memang aku anak yang agak pendiam, tidak bisa bercerita, tidak bisa ngomong.

Padahal Emakku  wanita  minang asli, pintar sekali bacarito.  Mungkin aku menurun dari sifat Bapak yang asal Bengkulu, Beliau Ulama dan tidak banyak ngomong.

Makku tertawa, terus aku diajarkannya bercerita Maling Kundang, cerita hikayat anak durhaka di sumpah menjadi batu itu.

Pelajaran  bercerita di depan kelas adalah pelajaran yang sangat aku takuti termasuk juga kalau disuruh menyanyi. Tetapi untuk pelajaran berhitung aku nomer satu.  Hanya ini sifat yang menurun dari emak. Mak ku punya kedai  kelontong di pasar Tempino.

Bercerita Maling Kundang aku selesaikan dengan tersengal sengal susah payah, Ibu Djuraidah tersenyum, dia teringat dengan mak ku sahabat kentalnya yang sama sama orang sekampung.

Kelas 5  Sekolah Rakyat. Guruku seorang Ibu Ibu lagi. Namanya Ibu  Nuraini.  Ibu Nuraini berasal dari suku Sunda Jawa Barat  Guruku ini sangat baik hati dan lemah lembut.  Kami sudah lancar membaca dan menulis. Menulis halus kasar diwajibkan setiap hari sedangkan membaca adalah pelajaran yang harus kami ulang dirumah seperti pesan Ibu Nuraini.

Para murid diajarkan bagaimana cara mengarang. Menulis cita cita itu lah judul karangan pertama  murid kelas 5 Tempino.

Semua anak anak dusun berangan angan, ada yang mau jadi dokter, pilot, tetapi tidak ada yang mau jadi petani dan karyawan pertamina. Aku malu malu menuliskan cita cita mau jadi polisi. Betapa bertambah malunya aku ketika disuruh Ibu Nuraini membaca karanganku didepan kelas.

Teman-teman ku bersorak,

“mau jadi polisi koq cengeng, hehehehhe.”

Sekarang 57 tahun kemudian, cita cita itu tercapai.  Mlaikat atas perintah Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasan mewujudkan cita cita budak Tempino.

Syukur Alhamdulillah, Terima kasih bapak Ibu Guru, tiada nan sia sia.  Maka disinilah sekarang menatap cakrawala berjuang di kancah Literasi Indonesia.

Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD) adalah pengabdian Keluarga Petokayo untuk dunia tulis menulis. Fokus menerbitkan buku ber ISBN tanpa biaya. Semua dilakukan  dalam rangka ikut bergerak mencerdaskan kehidupan bangsa

Pelajaran mengarang ketika di Sekolah Rakyat itu telah membawaku menjadi seorang penulis amatir di media sosial . 32  judul buku telah diterbitkan dalam kurun waktu 10 tahun sejak purna. Buku itu adalah  muara dari 3.000 tulisan nan terserak  di media sosial sejak aktif menulis 19 Agustus 2010.

Terima kasih Ayahbunda, Ibu Djuraidah, Ibu Nuraini, Bapak Ibu Ibu guru yang telah menorehkan keajaiban di diriku, sehingga bisa menulis.

Salam Literasi

BHP 261120

YPTD

Tinggalkan Balasan